"A Man can't make a mistake can't make anything"

Wednesday, 26 February 2014

Tumor Testis dan penanganannya oleh herry setya yudha utama

TUMOR TESTIS

PENDAHULUAN
             Kanker testis meskipun kasus yang relatif jarang, merupakan keganasan tersering pada pria kelompok usia 15 – 35 tahun. Setiap tahun kira-kira ditemukan 2-3 kasus baru dari 100.000 pria di Amerika Serikat. Perkembangan yang pesat dalam hal tehnik diagnosis, perkembangan pemeriksaan penanda tumor, pengobatan dengan regimen kemoterapi dan modifikasi tehnik operasi, berakibat pada penurunan angka mortalitas penderita kanker testis dari 50% pada 1970 menjadi kurang dari 5% pada 1997. Dengan mulai berkembangnya pengobatan yang efektif bahkan untuk pasien-pasien dengan keadaan lanjut, perhatian pada tumor testis telah beralih pada penurunan morbiditas dengan menentukan protokol pengobatan selektif pada setiap pasien.
            

Perubahan pada filosofi penatalaksanaan tumor testis ini didasarkan pada penegetahuan mengenai perlunya membuat metoda terapi lapis kedua setelah metode terapi pilihan pertama gagal.

ANATOMI TESTIS
             Testis merupakan organ yang berperan dalam proses reproduksi dan hormonal. Fungsi utama dari testis adalah memproduksi sperma dan hormon androgen terutama testosteron. Sperma dibentuk di dalam tubulus seminiferus yang memiliki 2 jenis sel yaitu sel sertoli dan sel spermatogenik. Diantara tubulus seminiferus inilah terdapat jaringan stroma tempat dimana sel leydig berada.
             Testis normal berukuran rata-rata 4x3x2,5 cm. Organ ini diliputi oleh suatu lapisan yang disebut dengan tunika albuginea, oleh suatu septa-septa jaringan ikat testis dibagi menjadi 250 lobus. Pada bagian anterior dan lateral testis dibungkus oleh suatu lapisan serosa yang disebut dengan tunika vaginalis yang meneruskan diri menjadi lapisan parietal, lapisan ini langsung berhubungan dengan kulit skrotum.4 Di sebelah posterolateral testis berhubungan dengan epididimis, terutama pada pool atas dan bawahnya. Testis terdapat di dalam skrotum yang merupakan lapisan kulit yang tidak rata dimana dibawahnya terdapat suatu lapisan yang disebut tunika dartos yang terdiri dari serabut-serabut otot. Peredarahan darah testis memiliki keterkaitan dengan peredarahan darah di ginjal karena asal embriologi kedua organ tersebut. Pembuluh darah arteri ke testis berasal dari aorta yang beranastomosis di funikulus spermatikus dengan arteri dari vasa deferensia yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Aliran darah dari testis kembai ke pleksus pampiniformis di funikulus spermatikus. Pleksus ini di anulus inguinalis interna akan membentuk vena spermatika. Vena spermatika kanan akan masuk ke dalam vena cava inferior sedangkan vena spermatika kiri akan masuk ke dalam vena renalis kiri.
             Saluran limfe yang berasal dari testis kanan mengalir ke kelenjar getah bening di daerah interaaortacaval, paracaval kanan dan iliaka komunis kanan, sedangkan saluran limfe testis kiri mengalirkan isinya ke kelanjar getah bening paraaorta kiri dan daerah hilus ginjal kiri, paracaval kiri dan iliaka kiri.

INSIDENSI
             Kanker testis adalah salah satu dari sedikit neoplasma yang dapat didiagnosis secara akurat melalui pemeriksaan penanda tumor ( tumor marker ) pada serum tersangka penderita yaitu pemeriksaan human chorionic gonadotropin (bhCG) dan α-fetoprotein (AFP).
             Insiden kanker testis memperlihatkan angka yang berbeda-beda di tiap negara, begitu pula pada setiap ras dan tingkat sosioekonomi. Di negara skandinavia dilaporkan 6,7 kasus baru dari 100.000 laki-laki tiap tahunnya sedangkan di Jepang didapatkan 0,8 dari 100.000 penduduk laki-laki. Di Amerika Serikat ditemuan 6900 kasus baru kanker testis setiap tahunnya.
             Kemungkinan seorang laki-laki kulit putih untuk terkena kanker testis sepanjang hidupnya di Amerika Serikat adalah 0,2%. Saat ini angka survival pasien dengan tumor testis meningkat, hal ini memperlihatkan perkembangan dan perbaikan dalam pengobatan dengan kombinasi kemoterapi yang efektif. Secara keseluruhan 5-years survival rate mengalami peningkatan dari 78% pada 1974-1976 menjadi 91% pada 1980 – 1985. Puncak insiden kasus tumor testis terjadi pada usia-usia akhir remaja sampai usia awal dewasa ( 20-40 tahun ), pada akhir usia dewasa ( Lebih dari 60 tahun ) dan pada anak ( 0-10 tahun ). Secara keseluruhan insiden tertinggi kasus tumor testis terjadi pada pria dewasa muda, hal ini membuat tumor ini menjadi noeplasma tersering mengenai pria usia 20-34 tahun dan tumor tersring kedua pada pria usia 35-40 tahun di Amerika Serikat dan Inggris Raya.
             Kanker testis sedikit lebih sering terjadi pada testis kanan dibanding testis kiri, ini berhubungan dengan lebih tingginya insidensi kriptoidosme pada testis kanan dibanding testis kiri. Pada tumor primer testis 2-3 % adalah tumor testis bilateral dan kira-kira 50% terjadi pada pria dengan riwayat kriptokidsme unilateral ataupun bilateral. Jika tumor testis sekunder disingkirkan maka insiden tumor testis primer bilateral 1 – 2,8 % dari seluruh kasus tumor sel germinal testis.1Tumor primer testis bilateral dapat terjadi secara berbarengan ataupun tidak, tetapi cenderung memiliki kesamaan jenis histilogisnya. Dari penelitian oleh Bach dkk ( 1983 ) di dapatkan seminoma merupakan tumor primer testis bilateral tersering ( 48 % )1 sedangkan limfoma maligana adalah tumor testis sekunder bilateral tersering.

ETIOLOGI
             Saat ini belum diketahui faktor yang menjadi penyebab terjadinya tumor testis, adanya faktor bawaan dan didapat merupakan faktor yang dikaitkan dengan penyakit ini dan kriptokidisme merupakan faktor terkuat yang diduga menjadi penyebab kanker testis. Faktor resiko tertinggi terjadinya kanker testis adalah adanya testis intra abdomen yang diakibatkan oleh undescensus testis ( 1 kasus dari 20 kasus undescensus testis ). Sementara itu tindakan orchiopeksi tidak merubah potensi terjadinya keganasan testis pada kasus kriptokidisme.
             Adanya bukti klinis dan eksperimental mendukung faktor konginetal sebagai etiologi dari tumor sel germinal. Dalam perkembangan embriologinya sel germinal primordial mengalami perubahan oleh karena faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam proses diferensiasinya. Oleh karena adanya kriptokidisme, orchitis, disgenesis gonad, adanya kelaianan herediter ataupun oleh karena paparan bahan kimia yang bersifat karsinogenik maka perkembangan normal sel germianl mengalami hambatan. Secara garis besar 2 faktor yang dianggap menjadi etiologi terjadinya tumor sel germial yaitu : (1) Faktor kongenital, (2) Faktor didapat.
a. Faktor kongenital
Kriptokidisme
             Dari suatu penelitian yang dilakukan Grove ( 1954 ) memperlihatkan bahwa 7-10% pasien dengan tumor testis memiliki riwayat kriptokidisme sebelumnya. Whiteker ( 1970 ) dan Mostofi ( 1973 ) mengemukakan 5 keadaan yang dianggap kriptokidisme menjadi penyebab terjadinya tumor testis yaitu : 1) Morfologi sel germinal yang abnormal; 2) Peningkatan temperatur tempat testis berada ( intraabdomen atau spermatic cord ); 3) Gangguan aliran darah; 4) Kelainan fungsi endokrin; 5) Disgenesis kelenjar gonad.
             Insiden pasti kasus kriptokidisme belum diketahui, ini dikarenakan seringkali data pasien dengan kriptokidisme bercampur dengan data pasien dengan testis retraktil. Dari suatu penelitian serial oleh Scorer dan Ferrington ( 1971 ) didapatkan hasil kasus kriptokidisme pada neonatus sebesar 4,3%, pada bayi dan anak-anak 0,8% dan pada orang dewasa sebesar 0,7%. Gilbert dan Hamilton ( 1940 ) melaporkan 7000 pasien dengan tumor testis dan mendapatkan 12% ( 840 pasien ) dari mereka memliki riwayat kriptokidisme. Henderson dkk ( 1979 ) menyimpulkan bahwa pria dengan riwayat kriptokidisme memiliki resiko3-14 kali untuk terkena tumor testis dibanding pria tanpa riwayat kriptokidisme. Campbell ( 1942 ) megemukakan penelitiannya bahwa 25% pasien dengan kriptokidisme bilateral dan akhirnya menjadi kanker testis memiliki resiko yang besar untuk terkena tumor sel germinal testis untuk kedua kalinya pada testis sisi yang lain.
b. Faktor yang didapat
Trauma
             Meskipun trauma memiliki andil pada terjadinya teratoma pada unggas akibat zinc-induced atau cooper induced, tapi pada manusia kemungkinan trauma sebagai penyebab terjadinya tumor testis belum secara jelas diketahui.
Hormon
             Terjadinya fluktuasi hormon seks memiliki kontribusi bagi perkembangan tumor testis, ini didasari oleh penelitian pada hewan dan manusia. Pemberian estrogen pada tikus yang sedang hamil menyebabkan tikus tersebut melahirkan anak-anak yang menderita kriptokidisme dan disgenesis kelanjar gonad ( Nomura dan Kanzak,1977 ). Penelitian oleh Cosgrove ( 1977 ) memperlihatkan hal yang sama bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu yang mendapatkan diethylstilbestrol atau kontrasepsi oral menderita kriptokidisme dan disgenesis kelenjar gonad.
Atrofi
             Terjadinya infeksi bakteri nonspesifik virus mump pada testis diduga menjadi penyebab terjadinya atrofi testis yang potensial menjadi penyebab terjadinya tumor testis. Namun demikian peran atrofi testis sebagai faktor penyebab terjadinya tumr testis masih merupakan spekulasi.
             Terdapat klasifikasi besar yang membagi tumor testis menjadi 2 yaitu :
1. Tumor sel germinal testis, termasuk dalam kelompok ini adalah
seminoma, karsinoma sel embrional, tumor yolk sac, trratoma, koriokarsinoma dan mixed cell tumor.
2. Tumor non sel germinal testis, meliputi tumor sel leydig, tumor

TUMOR SEL GERMINAL TESTIS
             Tumor sel germinal merupakan tumor testis yang paling sering ditemukan sebagi tumor primer yaitu meliputi kira-kira 90-95 % dari seluruh tumor primer testis ( seminoma dan non seminoma) dan sisanya adalah neoplasma non germinal ( tumor sel leydig, tumor sel sertoli dan gonadoblastoma). Sejumlah sistem klasifikasi dikemukakan untuk membagi tumor sel germinal testis. Sistem klasifikasi berdasarkan tipe histologi dari tumor ini adalah sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan.
Berdasarkan klasifikasi ini tumor sel germinal testis dapat dibagi menjadi:
• Seminoma
• Non seminoma germ cell tumor ( NSGCT ), termasuk di dalamnya adalah karsinoma sel embrional, teratoma, koriokarsinoma dan tumor-tumor campuran ( mixed tumors )
1. Seminoma
             Terdapat 3 subtipe gambaran histologis dari tumor jenis ini yaitu :
• Seminoma klasik
             Disebut juga dengan typical seminoma. Seminoma jenis ini meliputi sebagian besar dari seluruh kasus seminoma ( 85%), sering terjadi pada dekade ke 4 kehidupan namun tidak jarang terjadi pada pria usia 40 atau 50 tahunan. Secara makroskopis tampak nodul berwarna abu-abu yang menyatu dan secara mikroskopis telihat lapisan yang monoton pada sel besar dengan sitoplasma yang jernih dengan inti sel padat. Pada 10-15% kasus tampak terlihat sel-sel sinsitioteofoblas dan ini sesuai dengan jumlah kasus seminoma yang disertai dengan adanya produksi hCG.
• Seminoma anaplastik
             Meliputi 5-10% seluruh kasus seminoma. Untuk mendiagnosis adanya seminoma anaplastik secara mikroskopis harus ditemukan 3 atau lebih sel mitosis perlapang pandang besar dan sel-sel nya memperlihatkan adanya intisel pleomorfisme dengan derajat yang lebih tinggi dari subtipe seminoma klasik. Seminoma anapastik cenderung memperlihatkan staging yang lebih tinggi dari pada subtipe seminoma klasik. Meskipun sangat jarang, seminoma anaplastik menjadi sangat penting karena 30% pasien yang akhirnya meninggal karena seminoma adalah dari subtipe anaplastik. Sejumlah tanda yang menunjukkan bahwa seminoma ini lebih agresif dan lebih memiliki potensi menyebabkan kematian dari pada jenis klasik. Hal tersebut dapat dilihat bahwa seminoma jenis ini : (a) Memiliki aktifitas mitotik yang lebih besar, (2) rate of invasion yang lebih tinggi, (3) rate of metastase yang tinggi dan (4) Produksi tumor marker terutama hCG yang lebih tinggi.
• Seminoma spermatositik
             Subtipe ini meliputi 5-10% dari seluruh subtipe seminoma. Secara mikroskopis tampak variasi ukuran sel dan karakter sel berupa perbedaan
pada kekeruhan sitoplasma sel dan terlihat adanya intisel yang bulat dengan kromatin yang memadat. Lebih dari setengah pasien dengan seminoma spermatositik berumur lebih dari 50 tahun.
2. Nonseminoma
             Terdapat 5 tipe tumor yang merupakan bagian dari tumor sel germinal nonseminoma, yaitu :
a. Karsinoma sel embrional
Terdapat 2 varian / tipe dari karsinoma sel embrional yaitu :
• Tipe dewasa
             Secara histologis memperlihatkan tanda pleomorfisme dan batas sel yang tidak jelas. Secara makroskopis kemungkinan tampak terlihat adanya hemoragis yang luas dan jaringan yang nekrotik.
• Tipe infantil
             Dengan nama lain tumor yolk sac atau tumor sinus endodermal adalah tumor testis tersering pada bayi dan anak-anak. Jika ditemukan pada usia dewasa maka kemungkinan merupakan tipe campuran dan sangat mungkin jenis tumor yang menghasilkan AFP. Secara mikroskopis terlihat adanya sitoplasma yang mengalami vakuolisasi oleh adanya deposit lemak dan glikogen. Tampak pula terlihat badan embrioid dan terlihat seperti embrio berusia 1-2 minggu yang terdiri dari sebuah ruang yang dikelilingi oleh sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas.
b. Teratoma
             Tumor ini dapat ditemukan pada anak-anak dan dewasa. Tumor ini terdiri lebih dari satu lapisan sel germinal yang bervariasi dalam maturasi dan diferensiasinya. Secara makroskopis tumor ini tampak berlobus-lobus dan terdiri dari beragam ukuran kista-kista yang berisi materi gelatin dan musin.
             Secara mikroskopis, ektoderm mungkin ditunjukkan oleh jaringan neural dan epitel skuamosa, endoderm oleh saluran cerna, pankreas dan jaringan teratoma jenis matur memiliki gambaran struktur yang jinak yang berasal dari ektoderm, mesoderm dan endoderm, sedangkan teratoma jenis immatur terdiri dari jaringa primitif yang tidak terdiferensiasi pembentuk sistem respirasi sedangkan mesoderm ditunjukkan oleh otot polos atau otot lurik, jaringan kartilago dan tulang.
c. Koriokarsinoma
             Kasus dengan koriokarsinoma murni adalah kasus yang jarang. Keganasan ini terlihat sebagai sebuah lesi yang kecil dan biasanya terdapat suatu pendarahan pada bagian tengahnya. Secara klinis, koriokarsinoma merupakan keganasan yang agresif karena tumor ini menyebar luas secara hematogen lebih awal. Sebaliknya sebuah lesi kecil pada testis dapat merupakan suatu metastase jauh dari keganasan di tempat lain.
d. Mixed cell tumor
             Yang termasuk dalam tumor jenis mixed cell sebagian besar (25%) adalah teratokarsinoma yang bercampur dengan teratoma dan karsinoma sel embrional. Lebih dari 6% dari seluruh tumor testis adalah jenis mixed cell dengan salah satu komponennya adalah seminoma. Pengobatan untuk karsinoma mixed cell yang terdiri campuran antara seminoma dan nonseminoma sama dengan pengobatan untuk tumor nonseminoma saja.
e. Karsinoma in situ
             Pada sebuah penelitian yang melibatkan 250 pasien dengan tumor testis satu sisi, Berthelsen dkk (1982) mengemukakan bahwa 13 (5,2%) pasien memiliki karsinoma in situ pada testis sisi yang lainnya, persentase ini bahkan 2kali lebih besar daripada persentase kasus kanker testis yang mengenai kedua testis. Dari 13 kasus itu setelah dilakukan pengamatan selama 3 tahun 2 kasus berkembang menjadi kanker testis yang bersifat invasif.

POLA PENYEBARAN TUMOR
             Tumor testis hampir selalu bermetastasis secara limfogen kecuali koriokarsinoma yang menyebar secara hematogen sejak staging awal. Tumor testis kanan dapat menyebar ke kelenjar getah bening daerah interaortocaval yang terletak sejajar dengan hilus ginjal kanan, selanjutnya tumor akan menyebar ke daerah precaval, preaorta, paracaval, iliaka komunis kanan dan kelenjar getah bening iliaka eksterna kanan.
             Tempat yang menjadi daerah penyebaran tumor testis kiri adalah paraaorta yang sejajar dengan daerah hilus ginjal kiri, selanjutnya tumor akan menyebar ke kelenjar getah bening preaorta, iliaka komunis kiri dan iliaka eksterna kiri.
             Dari sebuah pengamatan oleh Donahue, Zachary dan Magnard ( 1982 ) memperlihatkan bahwa tumor testis kiri tidak pernah bermetastase ke kelenjar getah bening di sisi kanan, sedangkan tumor testis kanan seringkali bermetastasis ke kelenjar getah bening pada sisi kiri.Terjadinya penyebaran ke kelenjar getah bening di iliaka eksterna distal dan obturator oleh karena invasi tumor ke epididimis dan funikulus spermatikus sedangkan penyebaran ke kelenjar getah bening inguinal disebabkan terjadi invasi tumor ke tunika albuginea dan ke kulit skrotum.
Tempat yang paling sering menjadi lokasi penyebaran tumor testis adalah daerah retroperitoneal, tempat lainnya yang juga menjadi lokasi penyebaran tumor testis adalah paru-paru, hepar, otak, tulang, ginjal, kelenjar adrenal, gastrointestinal dan limpa.

GEJALA DAN TANDA
             Gejala yang paling sering muncul pada pasien dengan kanker testis adalah pembesaran testis yang berlangsung gradual yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Penegakkan diagnnosis kanker testis diperlukan untuk memutuskan dilakukan terapi definitif ( orchidectomy ) dan sering kali pasien mengalami keterlambatan penegakkan diagnosis ( biasanya 3 – 6 bulan) dan ini berkaitan dengan insiden terjadinya metastase tumor. Adanya gejala nyeri akut pada testis ditemukan pada 10% kasus dan mungkin berhubungan dengan pendarahan intratestikuler atau oleh adanya proses iskemia/infark.
             Kira-kira 10% pasien mengeluh oleh suatu gejala yang diakibatkan penyebaran/metastase tumor. Keluhan nyeri punggung adalah keluhan tesering yang dirasakan penderita, keluhan ini akibat penyebaran tumor ke retroperitoneal. Gejala lain adalah batuk atau sesak yang disebabkan metastase ke paru, anoreksia,mual dan muntah ( penyebaran ke retroduodenal ) nyeri tulang ( metastease ke tulang ) dan pembengkakan pada ekstremitas inferior ( oleh karena obstruksi vena cava ) dan mungkin
saja ditemukan massa di daerah leher ( metastase ke kelenjar getah bening supraclavicula ). Seringkali kelainan ini ditemukan secara tidak sengaja karena tidak ada keluhan apapun.  Gonadotropin yang mungkin disekresi oleh sel tumor dapat menyebabkan ginekomastia. Kadang keadaan umum merosot cepat dengan penurunan berat badan.
             Pada pemeriksaan fisik dengan melakukan pemeriksaaan bimanual ditemukannya masa atau pembesaran yang menyeluruh pada testis adalah tanda utama pada banyak kasus. Masa biasanya keras dan tidak menimbulkan nyeri tekan dan dapat dengan mudah dipisahkan dari epididimis. Seringkali tanda ini dikaburkan oleh adanya hidrocelle tapi dapat diatasi dengan pemeriksaan transluminasi pada skrotum.
             Pemeriksaaan pada abdomen dapat ditemukan masa yang besar di daerah retroperitoneal. Perlu juga dilakukan pemeriksaan pada daerah supraclavucula, axilla dan inguinal. Pada 5% kasus tumor sel germinal ditemukan ginekomastia tapi akan lebih besar pada pasien tumor sel leydig dan tumor sertoli ( 30-50% ), hal ini kemungkinan berkaitan dengan interaksi yang kompleks antara hormon testosteron, estrogen, estradiol, prolaktin, human chorionic somatomammotropin dan hCG. Terjadinya ginekomastia dapat disebabkan atau juga tidak disebabkan oleh hormon-hormon tersebut. Hubungan antara ginekomastia morfologi tumor primer dan kelainan endokrin masih belum sempurna dapat diterangkan

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
             Sejumlah penanda biokomia sangat diperlukan untuk mendiagnosis dan penatalaksanaan karsinoma testis yaitu α-fetoprotein ( AFP ), human chorionic gonadotropin ( hCG ), dan lactic acid dehydrogenase ( LDH ). Alfa fetoprotein adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 70.000 dalton dan waktu paruh 4-6 hari, ditemukan pada bayi usia kurang dari 1 tahun, meningkat dengan kadar yang bervariasi pada pasien dengan non seminoma germ cell tumor ( NSGCT ) dan tidak pernah ditemukan pada kasus seminoma. Human chorionic gonadotropin adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 38.000 dalton, waktu paruhnya 24 jam. Pada orang normal hormon ini secar signifikan tidak dianggap ada namun meningkat pada pasien dengan NSGCT dan dapat meningkat pada pasien seminoma ( 7 % ). Lactic acid dehydrogenase adalah enzim intrasel denagn berat molekul 134.000 dalton. Enzim ini dalam keadaan normal ditemukan di otot ( otot polos, lurik dan jantung ), hati, ginjal dan otak. Kadarnya meningkat baik pada pasien NSGCT dan seminoma. Penanda lain yang juga dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kanker testis adalah placental alkaline phospatase ( PLAP ) dan gamma-glutamyl transpeptidase ( GGT ).

PEMERIKSAAN PENCITRAAN
             Tumor primer testis dapat dengan cepat dan tepat ditentukan dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi pada testis. Sekali kanker testis terdiagnosis setelah dilakukan orchiectomy inguinal maka staging harus dilakukan. Pemeriksaan foto rontgen dada dan CT-scan abdomen dan pelvis dilakukan untuk mengetahui adanya metastase ke paru dan retroperitoneal yang paling sering menjadi tempat penyebaran tumor testis.
             Magnetic resonance imaging ( MRI ) secara umum tidak memberikan informasi gambaran radiologis yang lebih baik daripada CT-scan pada kasus tumor testis.

KLASIFIKASI
            Pada tahun 1996 the American Joint Committee mengemukakan suatu klasifikasi TNM yang mencoba membuat standar staging secara klinis pada kanker testis, yaitu :
• T ( Tumor primer )
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : kanker intratubular ( karsinoma in situ )
T1 : Tumor terbatas pada testis dan epididimis, tidak terdapat invasi ke
       pembuluh darah
T2 : Tumor melewati tunika albugenia atau terdapat invasi ke pembuluh
       darah
T3 : Tumor mencapai funikulus spermatikus
T4 : Tumor mencapai kulit skrotum
• N ( Kelenjar getah bening regional )
Nx : Adanya metastase ke kelenjar getah bening tidak dapaditentukan
N0 : Tidak terdapat metastase ke kelenjar getah bening
N1 : Terdapat metastase ke kelenjar getah bening dengan ukuran lesi
       ≤ 2 cm dan melibatkan ≤ 5 kelenjar geatah bening
N2 : Metastase > 5 kelenjar, ukuran massa 2-5 cm
N3 : Ukuran massa > 5 cm
• M ( metastase jauh )
Mx : Adanya metastase jauh tidak dapat ditentukan
M0 : Tidak terdapat metastase jauh
M1 : Ditemukan adanya metastase jauh
• S ( Tumor marker pada serum )
Sx : Tumor marker tidak tersedia
S0 : Nilai kadar tumor marker pada serum dalam batas normal
S1 : Nilai kadar Lactic acid dehydrogenase (LDH) <> 10 x normal atau                                 hCG > 50.000 mlU/ml atau AFP> 10.000ng/ml

             Stadium dan tingkat penyebaran karsinoma testis ( Peckham ).
Stadium Lokasi Tumor
I Tumor terbatas pada testis dan rete testis
IIA Tumor mengenai KGB retroperitoneal,ukuran <> 2 Cm dan <> 2 Cm
III Tumor mengenai KGB supraklavikula atau mediastinum
IV Metastase ekstralimfatik

DIAGNOSIS BANDING
             Kesalahan dalam membuat diagnosis pada pemeriksaan awal terjadi pada kira-kira 25 % pasien dengan tumor testis dan pada akhirnya menimbulkan keterlambatan dalam penatalaksanaanya dan kesalahan yang bersifat fatal berupa tindakan pembedahan melalui approach yang keliru ( Insisi pada skrotum ) untuk melakukan eksplorsi testis.
             Kelaianan yang paling sering membuat seorang klinisi melakukan kesalahan diagnosis adalah epididimitis atau epididimoorchitis. Pada keadaan awal epididimitis memperlihatkan gejala berupa pembesaran, nyeri tekan pada epididimis yang sangat jelas terpisah dari testis, tapi pada keadaan lanjut dengan peradangan yang menjalar ke testis maka gejala-gejala tadi akan melibatkan juga testis. Adanya riwayat demam, discharge uretra dan gejala iritatif pada berkemih lebih memungkinkan untuk mendiagnosis epididimis. Pemerksaan dengan USG dapat menentukan bahwa pembesaran berasal dari epididimis dan buakn dari testis.
             Kelainan kedua yang seringkali menyebabkan kekeliruan dalam membuat diagnosis tumor testis adalah hidrokel, pemeriksaan transluminasi skrotum dapat dengan mudah membedakan antara adanya cairan pada hidrokel dengan masa padat pada tumor testis. Pada 5-10% pasien dengan tumor testis ditemukan adanya hidrokel dengan demikian apabila dengan pemeriksaan fisik terdapat kesulitan dalam membedakan keduanya maka pemeriksaan USG merupakan suatu keharusan. Kelaianan lain yaitu spermatokel, massa kistik pada epididimis, hematokel oelh karena trauma, varikokel dan orchitis granulomatosis yang sering disebabkan oleh tuberkolosis. Tuberkolosis pada testis hampir selalu berasal dari infeksi kuman ini pada epididimis. Merupakan hal yang sangat sulit untuk membedakan pembengkakan oleh radang tuberkolosis dengan massa tumor testis, oleh karena itu jiak pada pemberian OAT didapatkan respon yang lambat maka sebaiknya dilakukan eksplorasi testis.

PENATALAKSANAAN
             Prinsip penanganan pasien dengan tumor sel germinal adalah merujuk pada riwayat alamiah dari tumor, staging klinis dan efektifitas pengobatan. Tindakan orchiectomi radikal adalah tindakan bedah yang harus dilakukan. Apabila dari serangkaian pemeriksaan adanya kanker testis tidak dapat di singkirkan maka tindakan ini dapat dikerjakan.
             Tindakan biopsi melalui skrotum atau membuka testis harus dihindari. Penatalaksanaan selanjutnya tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi dan staging tumor secara patologi.

A. Penatalaksanaan tumor dengan staging I ( T1-T3, N0, M0, S0 )
Seminoma
             Pasien yang secara klinis menunjukkan gejala dan tanda tumor yang terbatas pada testis, pemberian radiasi adjuvant terhadap kelenjar getah bening retroperitoneal dan kemoterapi adalah pilihan terapi paska orchiektomi. Radiasi adjuvan masih merupakan terapi pilihan pada penderita seminoam stage I ( T1-T3, N0, M0, S0 ) seperti juga pada jenis nonseminoma.
             Dengan melakukan orchiektomi radikal dan radioterapi pada daerah retroperitoneal ( biasanya 2500-3000 cGy ), paraaorta dan pelvis ipsilateral maka 95% seminoma stage I dapat sembuh. Seminoma merupakan tumor yang radiosensitif. Penelitian terakhir membuktikan bahwa sekitar 15% pasien dengan staging I klinis telah menyebar ke daerah retroperitoneal. Meskipun efek samping pemberian radiasi dosis rendah jarang terjadi tapi pada pemberian dalam jangka waktu lama pada beberapa laporan menunjukkan adanya infertilitas, komplikasi pada saluran cerna dan kemungkinan radiasi menginduksi timblnya keganasan lain.
Nonseminoma
             Tindakan orchiektomi inguinal saja mampu menyembuhkan 60-80% pasien nonseminoma. Tindakan retroperitoneal lymph node dissection ( RPLND) perlu dilakukan dengan tujuan terapi dan diagnostik. Penyebaran dapat terjadi pada kira-kira 30% pasien dengan nonseminoma nyang secara klilnis masuk dalam staging I ( occult metastase ) sehingga pada klasifikasi patologi masuk dalam staging IIA. Tindakan RPLND dilakukan melalui thoracoabdominal approach.

B. Penatalaksanaan tumor dengan staging II ( N1-N3 )
Seminoma
             Seminoma staging II ( stage IIA dan IIB ) memiliki angka kesembuhan ( cure rate ) 85 – 95 %. Termasuk dalam staging ini adalah pasien dengan tumor yang telah bermetastase ke daerah retroperitoneal yang berukuran tranversal kurang dari 5 cm dengan staging N1-N3. Sebagai terapi pilihan tumor pada staging II adalah radioterapi dengan angka kekambuhan kurang dari 5 % dengan5-years survival ratenya 70 – 92 %. Pada pasien dengan ukuran tumor di retroperitoneal lebih dari 5 cm ( N3 ) kira-kira setengahnya akan bermetastase keluiar regio tersebut. Perlu diperhatikan pasien-pasien dengan penyakit ginjal tapal kuda ( hourse shoe kidney ) dan inflammatory bowel disease maka terapi radiasi merupakan kontraindikasi dan kemoterapi adalah terapi pilihan pada pasien seminoma dengan kelainan ini. Obat-obat kemoterapi yang digunakan adalah bleomycin, etoposide dan cisplatin ( BEP ).
Nonseminoma
             Retroperitoneal lymph node dissection ( RPNLD ) merupakan tindakan operasi yang standar dilakukan pada pasien dengan tumor nonseminoma stage IIA dan IIB yang pada hasil pemeriksaan tumor marker ( AFP ) normal, jika terdapat peningkatan kadarnya daam darah dan timbul gejala dan tanda adanya kelaianan sistemik akibat metastase tumor maka terapi yang harus dilakukan adalah pemberian kemoterapi primer yang terdiri dari bleomycin, etoposide dan cisplatin ( BEP ), vinblastin, cyclophosphamide, dactinomicyn, bleomycin, dan cisplatin ( VAB-6 ) dan cisplatin-etoptoside.
Cisplatin diberikan sebanyak dua siklus jika ditemukan :
• Lebih dari 6 kelenjar getah bening terkena.
• Terdapat massa tumor yang berukuran lebih dari 2 cm.
• Adanaya tumor di luar kelenjar getah bening.
Jika terjadi kekambuhan maka pemberian cisplatin dapat dilakukan sebanyak 3-4 siklus.

C. Penatalaksanaan tumor dengan staging III ( T1-T4, N0-N3, M1-M2, S0-S3 )
Seminoma
             Penatalaksanaan seminoama staging tinggi ( high tumor burden ) yang meliputi pasien dengan tumor yang telah mengalami penyebaran yang luas, ukuran tumor yang besar, terdapat metastase ke viseral dan kelenjar supradiafragma termasuk juga pasien yang masuk dalam staging IIC ( T1-T4, N0-N3, M1-M2, S0-S3 ) pemberian cisplatin dapat mengobati 60-70% pasien.
Terdapat pembagian seminoma pada staging ini berdasarkan respon terhadap pengobatan yaitu :
• Seminoma dengan prognosis baik
             Pasien ini memiliki kemungkinan sembuh yang tinggi dengan respon terhadap terapi mencapai 88-95%. Regimen obat yang diberikan berupa etoposide dan cisplatin sebanyak 4 siklus atau dapat diberikan BEP sebanyak 3 siklus.
• Seminoma dengan prognosis buruk
             Pasien dengan respon yang buruk terhadap kemoterapi memiliki respon rate sebesar 40% dan pasien ini dapat diberikan BEP sebanyak 4 siklus.
Nonseminoma
             Pasien dengan massa tumor yang besar di daerah retroperitoneal (lebih dari 3 cm atau terdapat pada 3 slice CT-scan ) atau terdapat metastase maka terapi dengan kemoterapi primer merupakan keharusan setelah dilakukan orchiektomi. Jika hasil pemeriksan tumor marker normal dan pemeriksan radiologi terlihat adanya massa maka harus dilakukan tindakan reseksi karena massa tersebut 20% merupakan sisa massa tumor, 40% adalah teratoma dan 40 % merupakan massa tumor yang mengalami fibrosis. Beberapa ahli menganjurkan tetap perlu dilakukan RPNLD karena lebih dari 10% kasus tetap ditemukan massa tumor, walaupun hasil kemoterapi menunjukkan hasil yang sangat baik perlu dilaukan evaluasi kadar tumor marker selama pemberian kemoterapi untuk mengetahui respon tumor terhadap pengobatan.
Orchiektomi radikal
             Indakasi dilakukannya orchiektomi radikal adalah pasien dengan kecurigaan adanya tumor testis. Kecurigaan tumor testis apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa yang irreguler yang berasal dari testis, tidak terdapat keluhan nyeri. Kecurigaan ini harus dipastikan melalui pemeriksaan Doppler ultrasonografi pada skrotum. Adanya tumor testis diperlihatkan oleh gambaran hipoekoik yang hipervaskuler pada lesi intratestikuler. Tindakan ini dilakukan untuk menentukan diagnosis histopatologi dan staging T. Tindakan ini pada sebagian besar kasus memiliki morbiditas dan mortalitas yang rendah serta mampu mengontrol perkembangan tumor lokal. Pada sedikit kasus memang terjadi hal yang tidak diinginkan tetapi ini disebabkan oleh karena tumor spillage, orchiectomy subtotal atau operasi melalui transscrotal ( whitmore, 1982 ). Tindakan orchiectomy dilakukan dengan anestesi umum ataupun anestesi lokal dan dapat dilakukan pada pasien-pasien rawat jalan. Pasien dalam posisi supine dengan skrotum ditempatkan dalam medan operasi yang steril. Dilakukan insisi oblique pada daerah inguinal kira-kira 2 cm diatas tuberculum pubicum dan dapat diperlebar sampai ke skrotum bagian atas untuk mengangkat tumor yang berukuran besar. Insisi pada fasia Camper dan Scarpa sampai ke aponeurosis obliqus eksternus dilanjutkan dengan menginsisi aponeurosis sesuai dengan arah seratnya sampai mencapai anulus inguinalis internus. Indentifikasi nervus ilioinguinalis dan funikulus spermatikus setinggi anulus inguinalis internus dibebaskan dan diisolasi dengan menggunakan klem atraumatik atau turniket penrose 0,5 inchi. Testis dan kedua tunika pembungkusnya dikeluarkan dari skrotum secara tumpul dengan hati-hati, jika akan dilakukan biopsa atau subtotal orchiectomy, pengeleluaran testis dari skrotum dilakukan sebelum membuka tunika vaginalis dan menginsisi jaringan testis. Orchiectomy radikal diakhiri dengan memasukkan funikulus spermatikus ke dalam anulus inguinalis internus dan meligasi pembuluh darah vas deferen dan funikulus spermatikus secara sendiri-sendiri. Dilakukan irigasi pada luka dan skrotum dan hemostasis lalu dapat dilalukan pemasangan protease testis. Selanjutnya dilakukan penutupan aponeurosis muskulus obliqus eksternus dengan benang prolene 2-0, fasia scarpa dijahit dengan benang absorble dan selanjutnya dilakukan penutupan kulit. Dressing dengan penekanan pada skrotum dapat meminimalisasi terjadinya udema paska operasi.
             Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang telah menjalani orchiektomi radikal adalah : Pendarahan, yang terlihat dengan adanya hematoma di skrotum atau reroperitoneal; Infeksi luka operasi; Trauma pada nervus ilioinguinal yang mengakibatkan terjadinya hipostesia pada tungkai ipsilateral dan permukaan lateral skrotum.


HASIL DAN PROGNOSIS
Seminoma
             Setelah dilakukan orkiectomi radikal dan pemberian radiasi eksterna, maka pada pasien seminoma stag I 5-years disease-fre surviva rate mencapai 95% dan 92-94% pada seminoma stag IIA. Pada pasien dengan staging yang lebih tinggi yang telah menjalani orkiekomi radikal yang diikuti dengan pemberian kemoterapi maka 5-years disease-fre surviva ratenya 35-75%.
Nonseminoma
             Pasien pada stag I yang menjalani orchiektomi radikal dan RPLND memiliki 5-years disease-fre surviva rate yang tinggi mencapai 96-100%. Pada pasien stag II dengan massa tumor yang kecil dan telah menjalani orkoiektomi radikal dan kemoterapi 5-years disease-fre surviva rate nya mencapai 90% sedangkan pasien pada stag ini tapi dengan massa tumor yang besar yang telah dilakukan orchiektomi radikal diikuti dengan kmoterapi dan RPLND memiliki 5-years disease-fre surviva rate sebesar 55-80%.

Tindak lanjut
             Semua pasien dengan kanker sel germinal memerlukan pengamatan secara teratur. Pasien yang telah menjalani tindakan RPLND atau radioterapi memerlukan pengamatan lanjutan setiap 3 bulan selama 2 tahun, lalu setiap 6 bulan selama 5 tahun selanjutnya setiap satu tahun. Pada setiap kunjungan haruslah dilakukan pemeriksaan fisik pada sisa testis, abdomen dan kelenjar getah bening sekitarnya, perlu pula dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan kadar AFP, hCG dan LDH. Selain itu perlu pula dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorak dan abdomen.

TUMOR TESTIS NON SEL GERMINAL
             Tumor testis non sel germinal hanya meliputi 5-6% dari seluruh kasus tumor testis. Terdapat 3 tipe tumor testis non sel germinal yaitu tumor sel leydig, tumor sel sertoli, dan gonadoblastoma.

1. Tumor sel leydig
             Tumor sel leydig adalah tumor testis non sel germinal tersering yang dijumpai meliputi 1-3% dari seluruh tumor testis. Tumor ini 25% terjadi pada anak-anak, dangan 5-10% merupakan tumor bilateral. Terdapat jenis yang jinak dan ganas. Penyebab tumor jenis ini tidak diketahui dan tidak seperti pada tumor testis sel germinal yang dihubungkan dengan kriptokidisme maka tumor sel leydig tidak dikaitkan dengan kelainan tersebut. Tampak adanya lesi kecil yang berwarna kekuningan tanpa adanya gambaran hemoragi dan nekrosis. Terdapat sel-sel heksagonal yang granuler dengan sitoplasma yang berisi vakuola-vakuola lemak.
             Temuan klinis yang dapat ditemukan pada penyakit ini berupa virilization pada pasien usia pra pubertas dan merupakan suatu tumor jinak. Pada pasien dewasa biasanya tidak bergejala meskipun pada 20-25% kasus terdapat adanya ginekomastia dan tumor bersifat ganas pada 10% kasus. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan kadar 17-ketosteroid serumdan urin dan juga kadar estrogen. Pemeriksaan 17-ketosteroid penting untuk membedakan jenis jinak dengan yang ganas, peningkatan 10-30 kali kadar enzim ini adalah pertanda untuk tumor ganas dan indikasi untuk dilakukan RPLND.
             Terapi inisial dari tumor ini adalah orchiektomi radikal. Peran kemoterapi untuk tumor ini maih belum dapat ditentukan karena kasus tumor sel leydig sangatlah jarang. Progonosis tumor sel leydig jenis jinak sangat baik sedangkan untuk jenis yang ganas prognosisnya buruk.

2. Tumor sel sertoli
             Tumor sel sertoli merupakan kasus yang sangat jarang, hanya meliputi kurang dari 1% dari seluruh kasus tumor testis. Dari seluruh kasus tumor sel sertoli 10% nya merupakan jenis ganas sedangkan sisanya merupakan lesi jinak. Pada lesi jiank terlihat sel-sel dengan gambaran yang baik seperti pada sel leydig normal sedangkan pada jenis ganas terlihat sel dengan batas-batas yang tidak jelas. Secara mikroskopis tampak sel-sel yang heterogan yang merupakan campuran dari sel epitel dan sel stroma.
             Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa tumor pada testis dan terjadi virilisasi pada penderita anak-anak. Pada 30% kasus ditemukan adanya ginekomastia pada pasien dewasa.
             Tindakan orchiektomi merupakan terapi awal untuk tumor ini dan RPLND diindikasikan untuk jenis tumor ganas. Peran kemoterapi dan radioterapi untuk tumor sel sertoli masih belum jelas.

3. Gonadoblastoma
             Gonadoblastoma hanya meliputi 0,5% dari seluruh kasus tumor testis dan hampir selalu ditemukan pada pasien dengan disgenesis testis. Penderita tumor ini sebagian besar dijumpai pada usia dibawah 30 tahun. Manifestasi klinis yang terlihat pada kelainan ini berkaitan dengan keadaan yang mendasari timbulnya gonadoblastoma yaitu adanya disgenesis kelenjar gonad. Hal yang penting diperhatikan bahwa 4/5 pasien gonadoblasoma secara fenotip adalah wanita dan pada penderita pria murni biasanya menderita kriptokidisme dan hipospadia.
             Terapi pilihan untuk gonadoblastoma adalah orchiektomi radikal. Jika ditemukan adanya disgenesis kelenjar gonad maka tindakan gonadektomi kontralateral selain dari pengangkatan kelenjar gonad yang terkena merupakan indikasi dari kelainan ini karena gonadoblastoma cenderung untuk mengenai kedua testis.




DAFTAR PUSTAKA

  1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004. Hal 791-792.
  2. Basuki B Purnomo, Dasar-dasar Urologi. Edisi ke-2. Jakarta : CV. Sagung Seto.  2003. Hal 181-186.
  3. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw Hill.2006. Page 1049-1051
  4. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.1994. Hal 492-494.
  5. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000. Hal 580-594.
  6. http://www.urologi-dharmais.com/view.php?idartikel=30
  7. http://images.google.com/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com



No comments:

Post a Comment