PENDAHULUAN
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus, mulai dari sfingter anal internal ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu,1,2,3tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum.3 Kelainan ini dikenal sebagai congenital aganglionesis, aganglionic megacolon, atau Hirschsprung’s disease.1,2,3,4
Gambar 1. Ilustrasi Megakolon
Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit kongenital. Kelainan yang ada pada penderita penyakit Hirschsprung yaitu ketiadaan ganglion atau aganglionosis saraf intrinsik usus mulai dari sfingter anal interna ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu.1,2,3 Paling banyak, yaitu 80% dari keadaan aganglionosis ini terjadi di segmen rektosigmoid.3 Selain aganglionosis, kelainan lain yang ditemukan pada kolon penderita penyakit Hirschsprung adalah hipertrofi persarafan usus eksterna terutama saraf kolinergik. 3
Tidak adanya pleksus mienterikus (auerbach) dan pleksus submukosa (meissner) menyebabkan berkurangnya fungsi usus dan peristaltik. Sel ganglion usus berkembang dari neural crest. Pada perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan pada usus kecil pada usia gestasi 7 minggu dan mencapai kolon pada usia gestasi 12 minggu. Salah satu teori mengenai etiologi yang mendasari terjadinya penyakit hirschsprung ini ialah defek pada migrasi dari neuroblast menuju ke usus bagian distal yang menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Teori lain menyatakan dapat terjadi migrasi yang normal, namun terjadi kegagalan dari nueroblast untuk bertahan, berproliferasi ataupun berkembang pada segmen tersebut. Teori ini dapat disebabkan karena kurangnya komponen yang dieperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel neuron seperti fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor neurotropik.2
Ada dua pleksus yang mensyarafi usus, yaitu pleksus submukosa (meissner), pleksus intermuskular (auerbach) dan pleksus mukosa yang kecil. Ketiga pleksus ini terintegrasi dan terlibat dalam berbagai aspek dari fungsi usus meliputi absorbsi, sekresi, motilitas dan aliran darah. 2
Motilitas normal terutama dikontrol oleh neuron intrinsik. Ganglion sebagai neuron intrinsik berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot halus. Kontrol ekstrinsik terutama melalui persyarafan kolinergik dan adrenergik. Kolinergik menyebabkan kontraksi dan adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada pasien hirschsprung, sel ganglion tidak ada, sehingga menyebabkan meningkatnya inervasi ekstrinsik. Inervasi dari system kolinergik maupun adrenergik meningkat sampai 2-3 kali inervasi normal. Adrenergik lebih mendominasi dibandingkan dengan kolinergik, menyebabkan meningkatnya tonus otot halus. Dengan hilangnya inervasi intrinsik dan meningkatnya tonus otot halus yang tidak dihambat menyebabkan terjadinya kontraksi otot tidak seimbang, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional.
Gambar 2. Gambaran mikroskopik segmen aganglionosis pada penyakit hirschsprung.
Epidemiologi
Insidens penyakit Hirschsprung adalah sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup. Rata-rata 1: 5000 1,2,3, . Dalam kepustakaan disebutkan lelaki lebih banyak, dengan rasio lelaki 4:1 perempuan;1,2,3 di Jakarta perbandingan ini adalah 3:1. Untuk penyakit Hirschsprung segmen panjang rasio lelaki/perempuan ialah 1:1. Tidak terdapat distribusi rasial untuk penyakit ini. Penyakit ini jarang mengenai bayi dengan riwayat prematuritas.
Faktor Resiko
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terkenanya penyakit Hirschsprung ialah riwayat keluarga terkena penyakit tersebut, lebih sering pada pria daripada wanita dan dapat berhubungan dengan penyakit kongenital lain.1,2
Mortalitalitas/Morbiditas
· Penyakit hirschsprung ditemukan barkaitan dengan beberapa penyakit diantaranya: 2 - Down syndrome
- Neurocristopathy syndromes
- Waardenburg-Shah syndrome
- Yemenite deaf-blind syndrome
- Piebaldism
- Goldberg-Shprintzen syndrome
- Multiple endocrine neoplasia type II
- Congenital central hypoventilation syndrome.
- Komplikasi enterokolitis dapat menyebabkan terjadinya sepsis sehingga meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
- Mortalitas pada anak sebesar 80 %. Angka kematian dari operasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak dioperasi. 2
- Kemungkinan komplikasi dari pembedahan yaitu kebocoran anastomosis (5%), striktur anastomosis (5-10 %), Obstruksi intestinal (5%), abses pelvis (5 %) , dan infeksi luka operasi (10 %). Komplikasi jangka panjang yaitu gejala obstruktif, inkontinensia, konstipasi kronik, enterokolitis, dan kematian, terutama pada kasus dengan segmen aganglionik yang panjang. Walaupun banyak pasien yang mengalami komplikasi paska operasi ini, namun penelitian menunjukan bahwa 90 % menunjukan perbaikan yang signifikan dan menunjukan hasil yang baik. Pasien dengan sindrom dan pasien dengan penyakit hirschsprung segmen panjang menunjukan hasil yang lebih buruk. 2
Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit Hirschsprung yang khas pada neonatus aterm adanya keterlambatan mekonium lebih dari 48 jam pertama,1 konstipasi, distensi abdomen, muntah berwarna hijau, poor feeding, seperti tanda-tanda obstruksi usus setinggi ileum atau lebih distal.4 Pada 99% bayi cukup bulan mekonium keluar dalam 48 jam pertama. Penyakit hirschsprung harus dicurigai pada setiap pasien cukup bulan yang mengalami keterlambatan pengeluaran mekonium.1 Walaupun pada beberapa bayi dapat mengeluarkan mekonium secara normal, namun akan pada akhirnya akan berlanjut menjadi konstipasi kronik. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket, dan dalam jumlah cukup. Gejala lain pada neonatus lainnya seperti konstipasi yang diikuti diare berlebih yang sering terindifikasikan sebagai enterokolitis, abdomen yang menegang, dan kegagalan perkembangan.1,4
Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya. Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh kelainan lain.1 Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya disekitar umbilicus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila terdapat komplikasi peritonitis. Gambaran abdomen tersebut ini mirip dengan gambaran abdomen pada penyakit lain seperti enterokolitis nekrotikans neonatal, atresia ileum dengan komplikasi perforasi, peritonitis intrauterin, dll.3
Muntah yang berwarna hijau sering terjadi pada penyakit Hirschsprung. Karena disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat terjadi pula pada gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis nekrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine. Penyakit Hirschsprung dengan komplikasi enterokolitis menampilkan distensi abdomen disertai diare berupa feses cair bercampur mucus dan berbau busuk, dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan.3
Pada pemeriksaan fisik sering terlihat tidak adanya distensi abdomen. Penilaian posisi anus pada perineum sangatlah penting. Terdapat anus imperforate dibagian bawah dalam keadaan terbuka yang dapat menggantikan langsung bagian anterior ini juga dapat menyebabkan konstipasi. Pada pemeriksaan rectum pasien Hirschsprung memperlihatkan anus yang kaku dan bisa mengakibatkan kesalahan diagnosis karena dianggap sebagai stenosis anus.4
Diagnosis
Diagnosis penyakit Hirschsprung sangatlah penting dan harus ditegakkan sedini mungkin. Penyakit Hirschsprung harus disadari pada setiap anak yang mempunyai riwayat konstipasi setelah kelahiran. Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis, yang merupakan penyebab kematian tersering.3 Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung. Namun demikian dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radigrafik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsy isap rektum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian kasus dapat ditegakkan.3,4
Anamnesis
Pada anamnesis (alloanamnesis) didapat riwayat keterlambatan pengeluaran mekonium. Mekonium pada keadaan normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket, dan dalam jumlah cukup. Manifestasi klinis lain penyakit Hirschsprung yang khas adalah distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal. Distensi abdomen merupakan manifestasi dari obstruksi usus letak rendah yang dapat disebabkan oleh kelainan lain, seperti atresia ileum, dan lain-lain. Muntah yang berwarna hijau pada penyakit Hirschsprung, disebabkan oleh obstruksi usus. Penyakit Hirschsprung dengan komplikasi enterokolitis menampilkan distensi abdomen yang disertai dengan diare berupa feses cair bercampur mukus dan berbau busuk, dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan atau tengguli.3 Pada 10 persen pasien memiliki riwayat keluarga dengan penyakit serupa. 1,2,3 Pada pasien anak yang sudah besar terdapat keluhan berupa konstipasi kronik sejak lahir dan menunjukan penambahan berat badan yang kurang.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan abdomen yang membuncit, kembung, dan tampak pergerakan usus. Bila telah terdapat komplikasi peritonitis akan ditemukan tanda-tanda edema dan bercak-bercak kemerahan, khususnya disekitar umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia.1
Pemeriksaan Radiologis
Untuk mendeteksi penyakit Hirschsprung secara dini pada neonatus dilakukan dengan pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium.5
Foto Polos Abdomen
Penyakit Hirschsprung pada neonatus cederung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Walaupun jarang dapat terlihat udara bebas intrapritonial yang menginisiasi adanya tanda perforasi usus proksimal karena penyakit Hirschsprung. Gambaran obstruksi usus letak rendah seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis.5
Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine atau perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar sulit dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan massa feses lebih jelas dapat terlihat.3
Gambar 3. Foto polos abdomen pada penyakit Hirschsprung.
Foto Enema Barium
Pemeriksaan enema barium harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan mekonium disertai distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda atau hilang. Enema barium berisikan kontras cairan yang larut dalam air, yang sangat akurat untuk mendiagnosis penyakit Hirschsprung.4
Tanda-tanda klasik radiografik yang khas untuk penyakit Hirschsprung adalah:3
1. Segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang tertentu.
2. Zona transisi, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi.
3. Segmen dilatasi.
Terdapat 3 jenis gambaran zona transisi yang dijumpai pada foto enema barium:3
1. Abrupt, perubahan mendadak
2. Cone, bentuk seperti corong atau kerucut
3. Funnel, bentuk seperti cerobong
Selain tanda-tanda seperti diatas, dapat juga terlihat gambar permukaan mukosa yang tidak teratur yang menunjukkan proses enterokolitis. Juga dapat terlihat garis-garis lipatan melintang (transverse fold), khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon dilatasi yang berada dalam keadaan kosong.3 Pada kasus aganglionosis yang mengenai seluruh kolon, sering caliber kolon tampak normal.3,4
Gambar 4. Foto barium enema pada Penyakit Hirschsprung.
Foto Retensi Barium
Retensi barium dapat terjadi 24 sampai 48 jam pertama merupakan tanda penyakit Hirschsprung terutama neonatal. Gambaran barium tampak membaur dengan feses kearah proksimal didalam kolon berganglion normal. Retensi barium pada pasien obstruksi kronik yang bukan disebabkan penyakit Hirschsprung terlihat makin distal, menggumpal didaerah rectum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto pada waktu enema barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda khas penyakit Hirschsprung.3
Pemeriksaan Patologi Anatomik
Biopsi rektal merupakan gold standar untuk diagnosis penyakit Hirschsprung.1,4 Swenson pada tahun 1955 dengan eksisi seluruh tebal dinding muskulus rektum, sehingga pleksus mienterik dan bagian submukosa dapat diperiksa.3,4 Terdapat nya ganglion dalam spesimen biopsi menyingkirkan diagnosis penyakit Hirschsprung begitu sebaliknya.
Biopsi Isap Rektum
Biopsi isap mukosa dan submukosa rektum mempergunakan alat Rubin atau Noblett dapat dikerjakan lebih sederhana, aman, dan dilakukan tanpa anestesi umum.3 Spesimen biopsi dalam paraffin dilakukan potongan seri dan pewarnaan hematoksillin dan eosin. Diagnosis ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion Meissner dan ditemukan penebalan serabut saraf. Junis dkk melaporkan akurasi pemeriksaan ini 100%.3 Smith berpendapat, pada neonatus pleksus persarafan rektum masih imatur dan pleksus Meissener kurang berkembang dibandingkan pleksus Auerbach; penemuan sel ganglion imatur dalam pleksus Meissner diartikan menyingkirkan diagnosis penyakit Hirschsprung.3 Andrassy et al merekomendasikan pemeriksaan dengan biopsi isap rektum untuk semua neonatus yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih dari 24 jam untuk menegakan diagnosis hirschsprung.5 Biopsi isap rektum merupakan pilihan diagnostik pertama dan harus dilakukan tidak kurang dari 2 cm dari garis dentata.1
Teknik Pewarnaan Histokimia Asetilkolinesterase
Pada pasien Hirschsprung terdapat kenaikan aktivitas asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam lamina propria dan muskularis mukosa.3,4 Pewarnaan untuk asetilkolinesterase sangat membantu menemukan sel ganglion di submukosa atau dilapisan muskularis, khususnya dalam segmen usus dengan hipoganglionosis, juga dalam menentukan segmen berganglion normal pada waktu pembedahan.3
Pemeriksaan Imunohistokimia
Pewarnaan histokimia asetilkolinesterase pada sediaan potong beku memang membantu penegakkan diagnosis. Pewarnaan imunohistokimia potongan paraffin jaringan biopsy isap rectum terhadap enolase spesifik neuron dan protein S100 dengan teknik peroksidaseantiperoksidase mempermudah menegakkan diagnosis. 3 Pewarnaan enolase spesifik neuron, sel ganglion imatur dan serabut saraf yang hipertrofik lebih mudah terlihat. Pewarnaan untuk protein S100 menunjukkan sel ganglion berupa daerah negative yang dikelilingi oleh pewarnaan sitoplasma dan nuclei sel-sel Schwan. 3 Secara umum cara imunoperoksidase memudahkan identifikasi sel ganglion imatur pada neonatus. 3
Biopsi Seluruh Tebal Dinding Rektum
Biopsi seluruh tebal dinding rektum mengandung dua lapisan muskulus, yaitu lapis muskulus sirkular dan lapis muskulus longitudinal. Walaupun hasilnya mempunyai akurasi tinggi, tetapi prosedur ini dinilai relatif lebih sulit dari biopsy isap, disamping kemungkinan komplikasi fibrosis pasca-biopsi yang akan mempersulit pembedahan definitive selanjutnya.3 Biopsi seluruh tebal dinding rektum dapat dilakukan pada saat operasi untuk mengkonfirmasi diagnosis dan panjang segmen yang terlibat .1
Elektromanometri
Elektromanometri anorektal yaitu pengukuran yang dilakukan dengan memasukkan balon kecil dengan kedalaman yang berbeda-beda dalam rectum dan kolon. Kontraksi yang terjadi dalam segmen aganglionik tidak ada hubungannya dengan kontraksi dalam kolon proksimal yang berganglion normal. 3,4
Studi manometri pada penyakit Hirschsprung memberikan hasil sebagai berikut:3
1. Dalam segmen dilatasi terdapat hiperaktivasi dengan aktivitas propulsive yang normal.
2. Dalam segmen aganglionik tidak terdapat gelombang peristaltic yang terkoordinasi. Motilitas normal digantikan oleh kontraksi yang tidak terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.3
3. Refleks inhibisi antara rectum dan sfingter anal interna tidak berkembang. Refleks relaksasi sfingter anal interna setelah distensi rectum tidak terjadi, bahkan terdapat kontraksi spastic. Relaksasi spontan tidak pernah terjadi.3
Penyakit Hirschsprung pada umumnya dapat ditegakkan berdasarkan pada riwayat sakit, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan radiologis. Bila diagnosis diragukan, selama memungkin pasien diobservasi dan dilakukan pemeriksaan radiologis ulang 1-2 bulan kemudian.3,4
Penatalaksanaan
Pada dasarnya penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan pembedahan, berupa pengangkatan segmen usus aganglion, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. 1,2,3 Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada penyakit hirscshsprung dapat berupa bedah sementara dan bedah definitif. 3
Terapi Medis
Tujuan terapi medis pada pasien ialah:
- Mengobati komplikasi dari penyakit hirschsprung yang tidak diketahui dan tidak terobati. Menatalaksana komplikasi seperti mencegah terjadinya distensi usus yang berlebihan, gangguan cairan dan elektrolit, dan komplikasi seperti sepsis dengan menggunakan intravena ,dekompresi dengan menggunakan NGT, dan memberikan antibiotik bila ada indikasi. Lavase kolon, yaitu irigasi mekanik dengan menggunakan rektal tube yang besar dan volume cairan yang banyak, mungkin diperlukan. 1
- Menatalaksana sampai dilakukannya operasi
- Menatalaksana fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Tindakan Bedah Sementara
Tindakan dekompresi dengan pembuatan kolostomi di kolon berganglion normal yang paling distal merupakan tindakan bedah pertama yang harus dilakukan. Tindakan ini menghilangkan obstruksi usus serta mencegah enterokolitis yang dikenal sebagai penyebab utama kematian. Perlu diketahui enterokolitis yang timbul sebelum tindakan dekompresi cenderung untuk timbul kembali setelah pembedahan definitif. Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi secara medik berhasil dan direncanakan bedah definitif langsung. Kolostomi dikerjakan pada:3
· Pasien Neonatus
Tindakan bedah definitif langsung tanpa kolostomi menimbulkan banyak komplikasi dan kematian (mencapai 28,6% dan pada bayi 1,7%). Kematian terjadi karena adanya kebocoran anastomosis dan abses dalam rongga pelvis. 3
· Pasien Anak dan Dewasa yang Terlambat Terdiagnosis
Pada pasien ini biasanya kolon sudah sangat terdilatasi sehingga dengan kolostomi kolon yang berdilatasi akan mengecil kembali setelah 3-6 bulan pasca bedah sehingga anastomosis lebih mudah dikerjakan dan hasil lebih baik. 3
· Pasien dengan Enterokolitis berat dan Keadaan Umum yang Buruk
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pasca bedah. 3
Tindakan Bedah Definitif
Ada beberapa cara tindakan pembedahan yang dapat digunakan untuk tindakan bedah definitif antara lain teknik Swenson, Duhamel, dan Soave Operation. 3
Swenson
Pada cara ini dilakukan rektosigmoidektomi dengan preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar rongga peritoneal. Pungtum rektum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan. Komplikasi pasca bedah antara lain kebocoran anastomosis, stenosis, inkotinensi, enterokolitis, dll. Pada swenson, enterokolitis diduga terjadi akibat spasme pungtum rektum yang ditinggalkan (anal sphincter tightness). Untuk mengurangi keadaan tersebut, maka swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Yaitu pungtum rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior. Sampai saat ini, banyak dokter bedah melakukan sfingterektomi tersebut.
Tehnik pembedahan dilakukan dengan reseksi kolon dimulai dengan pemotongan arteri dan vena sigmoidalis dan hemorhoidalis superior. Segmen sigmoid dibebaskan beberapa cm dari dasar peritoneum sampai 12 cm proksimal kolostomi. Pungtum rektosigmoid dibebaskan dari jaringan sekitarnya di dalam rongga pelcis untuk dapat tiprolapskan melalui anus. Pembebasan kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut dapat ditarik ke perineum melalui anus tanpa tegangan.
3 hal yang perlu diperhatikan dalam pembedahan kolon proksimal yaitu :
· Preparasi vaskularisasi yang mendarahi kolon tersebut
· Pembebasan perlekatan mesokolon dengan dinding retroperitoneal
· Pembebasan omentum
Pungtum rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang di dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan dengan arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5 di bagian posterior. Selanjutnya kolon proksimal ditarik di perineum melalui pungtum rektum yang telah dibuka. Anastomosis dilakukan dengan jahitan dua lapis menggunakan benang sutera atau vicryl. Setelah anastomosis selesai, rektum dimasukkan kembali ke dalam rongga pelvis. Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada vaskularisasi kolon agar tidak terjahit. Penutupan dinding abdomen dilakukan setelah pencucian rongga peritoneum. Kateter dan pipa rektal kecil dipertahankan selama 2-3 hari.
Gambar 5. Teknik Operasi Swenson
Duhamel
Kolon yang berganglion normal di proksimal ditarik melalui retrorektal transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi. Kemudian kolon proksimal ditarik melalui retrorektal transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi. Pada prosedut duhamel anastomosis kolon proksimal dilakukan pada sfingter anal internal, hal ini dinilai kurang baik sebab sering terjadi stenosis, inkontinensi, dan pembentukkan fekaloma dalam pungtum rektum yang ditinggalkan terlalu panjang. Sehingga hingga saat ini metode duhamel sudah banyak dimodifikasi untuk mendapat hasil yang lebih baik.
Tehnik pembedahan dilakukan dengan reseksi segmen sigmoid dikerjakan seperti swenson. Pungtum rektum dipotong sekitar 2-3 cm di atas dasar perineum dan ditutup dengan jahitan dua lapis memakai benang sutera atau vicryl. Ruang rektorektal dibuka sehingga seluruh permukaan dinding posterior bebas. Sayatan endoanal setengah lingkaran dilakukan pada dinding posterir rektum pada jarak 0,5 cm dari linea dentata. Selanjutnya kolon proksimal ditarik retrorektal melalui insisi endoanal keluar anus. Mesokolon diletakkan di bagian posterior.
Anastomosis kolorektal dilakukan untuk membentuk rektum baru dengan menghilangkan septum (dinding rektum posterior dan dinding anterior kolon proksimal)
Gambar 6. Teknik Operasi Duhamel
Soave
Dilakukan pembuangan lapisan mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskular. Selanjutnya dilakukan penarikan kolon berganglion keluar anus melalui selubung seromuskular rektosigmoid. Prosedur ini disebut juga sebagai prosedur pull through endorektal. Setelah 21 hari, sisa kolon yang diprolapskan dipotong.
Gambar 7. Teknik Operasi Soave
Diagnosis Banding
Pada pasien dengan usia yang sudah besar harus dibedakan penyebab lain dari distensi abdomen dan konstipasi kronik, contohnya konstipasi fungsional. Dapat dilihat pada tabel di bawah ini.1
| Konstipasi fungsional (didapat) | Hirschsprung |
Anamnesis |
|
|
Onset konstipasi | > usia 2 tahun | Saat lahir |
Encopresis | Sering | Sangat jarang |
Failure to thrive | - | mungkin |
Enterokolitis | - | mungkin |
Training toilet yang dipaksakan | sering | - |
Pemeriksaan fisik |
|
|
Distensi abdomen | Tidak sering ditemukan | Sering ditemukan |
Penambahan berat badan yang kurang | Jarang | Sering ditemukan |
Tonus anal | normal | normal |
Pemeriksaan rektal | Feses di ampula | Ampula kosong |
malnutrisi | - | mungkin |
Pemeriksaan penunjang |
|
|
Anorectal manometri | Distensi rektum menyebabkan relaksasi otot sphingter ani eksternum | Tidak ada relaksasi sphingter |
Biopsi Rektum | normal | Tidak ada sel ganglion, dan pewarnaan asetilkolinesterase |
Barium enema | Jumlah feses yang banyak, tidak terdapat zona transisi. | Zona transisi, dan evakuasi barium enema terla 24 jam |
|
|
|
Komplikasi Pasca Bedah
Faktor predisposisi komplikasi pasca bedah antara lain :
· Usia pasien saat dilakukan bedah definitif, makin muda usia pasien makin sering komplikasi sering dijumpai
· Kondisi pasien pra bedah, keadaan umum pra bedah yang kurang baik ( misalnya, enterokolitis) cenderung menimbulkan komplikasi pasca bedah
· Prosedur bedah yang digunakan
· Keterampilan spesialis bedah
· Perawatan pasca bedah
Komplikasi pasca bedah ,antara lain :
· Kebocoran anastomosis
· Stenosis
· Enterokolitits
· Gangguan fungsi sfingter anal pasca bedah
· Displasia neuronal intestinal
1) Wylie R. Motility disoders and hirshsprung disease. In: Kliegman RM, Jenson HB, Berhman RE, Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatrics. 18th edition. Philadelphia: Elsivier Saunders; 2007.p. 1565-1567
3) Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto; 2004. h.1-62
4) Teitelbaum DH and Coran AG. Hirschsprung’s Disease and Related Neuromuscular Disorders of the Intestine. In: Grosfeld JL, O’Neill JA, Fonkalsrud EW, Coran AG. Pediatric Surgery, 6th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006.p.1515-1519.