GUGATAN MALPRAKTEK
(MEDIK) ,LAGU LAMA DENGAN MELODI BARU
OLEH : HERRY SETYA YUDHA UTAMA,Dr;SpB;FInaCS
Belakangan ini yang dicemaskan oleh
dunia medis di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktek
(dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler), utamanya
sejak masyarakat lebih mengerti hukum dan bermunculannya LSM yang
“peduli”kesehatan. masyarakat kita menjadi masyarakat yang semakin gemar
menuntut (litigious society) .adakah
sebabnya?, belum ada jawaban pasti yang patut dipercaya. Namun yang
jelas, situasi dunia dokter sekarang ini amat mirip dengan krisis malpraktek (malpractice crisis) yang pernah melanda
Amerika Serikat sekitar 40 tahun yang lampau, yaitu sejak dokter tidak lagi
dianggap dewa sehingga tidak lagi kebal terhadap segala bentuk gugatan.
Sebelumnya selama berabad-abad, dokter dianggap sebagai mahluk sosial yang
kebal hukum berdasarkan doctrine of
charitable immunity sampai-sampai di amerika pernah ada Samarians Law yang
menjamin siapa yang menolong yang gawat tidak boleh di hukum, sebab
pertimbangannya, menghukum dokter dan rumah sakit supaya membayar gantirugi
sama artinya dengan mengurangi assetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi
kemampuannya untuk menolong masyarakat banyak.
Tetapi sejak
adanya kasus Darling v. Charleston
Community Memorial Hospital 1965, yakni kasus pertama yang menyatakan rumah
sakit sebagai subjek hukum sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target
gugatan atas kinerjanya yang merugikan pasien. Maka sejak itulah marak tuntutan
kepada dokter dan rumah sakit.
Menurut Sofwan(2005) yang paling penting bagi
dokter dan para pengelola serta pemilik rumah sakit adalah memahami lebih
dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktek dapat dibuktikan maka setiap sengketa
yang muncul antara health care receiver dan health care provider
baru boleh disebut sebagai konflik akibat adanya ketidaksesuaian logika atas
sesuatu masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by
medical management rather than the underlying condition of the patient).
Menurut Winardi (1994), konflik bisa diartikan sebagai ketidaksesuaian paham
atas situasi tentang pokok-pokok
pikiran tertentu atau karena adanya antagonisme-antagonisme emosional. Maka
berbagai konflik yang melanda dunia medis sekarang ini tidak harus jadi
panik sehingga TIdak perlu disikapi
secara tidak proporsional. sisi positifnya justru konflik atau sengketa dapat
meningkatkan kreatifitas, inovasi, intensitas upaya, kohesi kelompok serta
mengurangi konplik internal dan meningkatkan silaturahmi. Konflik itu sendiri
sebetulnya hanya akan terjadi kalau ada prakondisi atau predisposing factor, misalnya berupa adverse events (kesenjangan antara
harapan pasien dengan kenyataan yang
diperolehnya menyusul dilakukannya upaya medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi,
komunikasi ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter
sendiri (misal arogan) atau dari
pihak pasien misalnya chronic complainer
atau sikap temperamental. Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya
klaim atas pelayanan yang kurang sempurna. Tidak jarang pemicunya justru datang
dari teman sejawat dokter
(sebagai”pesaing”) atau pihak ketiga yang ingin ikut memamfaatkan situasi
konflik (memancing di air keruh)..
MALPRATEK
sering disalah artikan oleh masyarakat, bukan saja masyarakat biasa
malah orang intelekpun sering salah arti malah media dan infotaiment juga
sering salah.masyarakat sering mengartikan MALPRAKTEK , suatu tindakan atau
keadaan yang tidak sesuai dengan harapannya sehingga tidak memuaskan harapan
dirinya. terutamanya kalau kondisi pasen menjadi memburuk,punya gejala
sisa(cacat/squele) atau meninggal dunia. Padahal memburuknya keadaan pasen
sering bukan karena salah tindakan dokter justru sering karena komplikasi dan
perjalanan penyakitnya itu sendiri.
perbedaan persepsi, biasanya disebabkan ketidakmampuan pihak pasien
untuk memahami logika medis bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty dan hasilnyapun tidak dapat
diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain diluar kontrol dokter untuk mengendalikannya (I.Nasution).; misalnya daya
tahan tubuh, mekanisme pertahanan tubuh, jenis dan tingkat virulensi penyakit,
stadium penyakit, kualitas obat, respon individual terhadap obat serta ketidakpatuhan pasien dalam mengikuti
prosedur dan nasehat dokter. Banyak masyarakat menyangka bahwa upaya medis yang
dilakukan dokter merupakan satu-satunya variabel yang dapat mempengaruhi
kondisi kesakitan pasien sehingga parameternya, kalau upaya tersebut sudah
benar menurut logika mereka tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah
buruk kondisinya atau malahan muncul problem-problem baru. Pada kenyataannya
upaya medis yang terbaik dan termahal sekalipun belum tentu dapat menjamin
kesembuhan. menurut Robert Koch
sebenarnya 70% penyakit akan sembuh sendiri berkat mekanisme pertahanan
tubuhnya sendiri sisanya sembuh harus dengan tindakan atau cacat atau meninggal
. banyak ahli yang menyatakan “medicine is a science and arts ,a science of the uncertainty, an art
of the probability”.
Selain Pemahaman yang
kurang memadai tentang hakekat upaya medis ,
diperparah lagi oleh minimnya pemahaman mengenai hukum; misalnya tentang
bentuk perikatan yang terjadi menyusul disepakatinya hubungan terapetik yang
konsekuensinya memunculkan hak dan kewajiban para pihak. perikatan yang terjadi antara health care
receiver dan health care provider merupakan inspanning-verbintenis (perikatan
upaya,bukan janji sembuh) sehingga konsekuensi hukumnya, dokter tidak
dibebani kewajiban untuk mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya
dibebani kewajiban melakukan upaya
sesuai standar (standard of care);
yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan telah
diterapkannya ilmu, ketrampilan,
pertimbangan dan perhatian
yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi
situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Dengan tingkat kualitas
seperti itu diharapkan mampu menyelesaikan problem kesehatan pasien, namun jika
pada kenyataannya harapan tersebut tidak terwujud atau bahkan terjadi adverse
events atau risiko medis, tidak serta merta dokter atau rumah sakit
harus dipersalahkan.
Tidak banyak ahli hukum yang
mengerti tentang hokum kesehatan sehingga, kualitas dari gugatannya sering
kabur (obscure libel) karena tidak didukung oleh logika medis dan logika
hukum yang benar sehingga amat wajar apabila keputusan pengadilan hampir selalu
memenangkan rumah sakit atau dokter.
nampaknya mereka telah menggeneralisasi setiap adverse event sebagai
malpraktek. Mestinya setiap adverse event dianalisis lebih dahulu
(mengingat tidak semua adverse events identik dengan malpraktek) dan
sesudah itu barulah dipilah apakah kasus tersebut merupakan kasus pidana, perdata
ataukah kecelakaan (misadventure). Kasus syok anafilaktik/alergi obat di
Pati Jawa tengah menjadi bebes di tingkat kasasi.
Di
pengadilan ,Dalam kasus pidana maka menjadi kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk
membuktikan dipenuhinya unsur pidana yang terdiri atas perbuatan tercela (actus
reus) dan sikap batin yang salah (mens rea) yang melatar-belakangi
perbuatan tercela tersebut. Apabila terbukti bersalah maka tanggungjawab
hukumnya (criminal resposibility) selalu bersifat individual dan personal
sehingga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. di berbagai negara yang menganut Common Law
System pada awalnya memasukkan malpraktek sebagai tort (civil wrong againsts
a person or properties) sehingga tidak ada pidana bagi dokter yang
melakukan malpraktek melainkan gugatan ganti rugi. Namun kecenderungan
internasional (di Amerika dan Inggris) akhir-akhir ini mulai ada upaya-upaya
walaupun kasusnya masih sangat jarang(belasan dalam satu dekade) untuk
mempidanakan dokter, utamanya atas kasus malpraktek yang mengakibatkan
kematian. Kecenderungan tersebut tentunya dapat menambah keyakinan LSM disini
yang selama ini lebih suka membawa kasus malpraktek ke peradilan pidana,
apalagi tindakan seperti itu dimungkinkan mengingat adanya Psl 359 KUHP “barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan seseorang meninggal ,maka di penjara…………. Dan pasal 360
KUHP………..menyebabkan lukaberat maka dipenjara………….kedua pasal tersebut
merupakan pasal “KOJO” bagi penyidik ,penuntut atau penggugat walaupun para ahli sering menyebutnya pasal keranjang sampah. Pasal ini bisa
dipakai berbagai kejadian :supir nabrak, jembatan runtuh,masinis lalai dll (R.
Soesilo).
Lain lagi
kalau kasus perdata, yang harus membuktikan adalah pihak penggugat (pasien)
mengingat “siapa yang mendalilkan (bahwa dokter bersalah) maka dialah yang
membuktikan”. Untuk itu penggugat harus membuktikan adanya keempat unsur 4 D
dari malpraktek; yaitu (D)uty, (D)ereliction of duty, (D)amages dan (D)irect
causation betweem dereliction of duty and damages. Tentunya yang paling sulit
bagi penggugat ialah membuktikan unsur D yang terakhir (Direct causation), namun
pembuktian unsur itu beserta 3 unsur lainnya dari malpraktek menjadi tidak
diperlukan lagi manakala ditemukan fakta yang mampu berbicara sendiri (misalnya
ditemukannya gunting atau pinset didalam perut pasien) sehingga dapat
diberlakukan doktrin Res Ipsa Loquitur (the thing speaks for itself) yang
secara otomatis membuktikan adanya malpraktek. Walaupun itu juga tidak langsung
bisa 100% dokter bisa di hokum karena ada suatu yurisprudensi kasus
tertinggalnya kain kasa di amerika dokter dibebaskan karena operasi hot urgent.
Adapun mengenai tanggunggugatnya (civil
liability,) dapat ditanggung sendiri oleh dokter yang bersangkutan atau
dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan ajaran
tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).
Contoh
kasus paling gamblang yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam
menuntut dan menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai
pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong
kelahirannya dengan vacuum extractie menderita komplikasi kelumpuhan
otot leher. Juga kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena terjadinya Steven
Johnson syndrome akibat obat (yang seringkali mustahil dapat diramalkan
sebelumnya). Betul pada kedua kasus itu ada damage, tetapi
persoalannya, adakah unsur dereliction of duty yang secara langsung
telah mengakibatkan damage tersebut?
penelitian
Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar 2,9 %
sampai 3,7 % dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa:
1.
Perpanjangan
hospitalisasi.
2. Cacat saat meninggalkan rumah sakit.
3.
Cacat tetap.
4.
Adverse drug event.
5.
Infeksi luka.
6.
Meninggal dunia.
Sekitar 70 % dari adverse
event tersebut diatas disebabkan oleh error (diagnostic, treatment,
preventive and others) yang dapat dicegah sehingga disebut preventable
adverse event dan hanya sekitar 27,6 % dari preventable adverse event
yang dapat dikatagorikan sebagai malpraktek (negligence atau culpa).
Jadi kalau dihitung-hitung sebenarnya sangat kecil sekali bagian dari adverse
event yang dapat dihubungkan dengan malpraktek, sedangkan selebihnya
merupakan adverse event yang tidak termasuk pelanggaran hokum; baik yang
bersifat error of commission (melakukan tindakan yang seharusnya tidak
boleh dilakukan) maupun error of omission (tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan). Agaknya apa yang diuraikan diatas sejalan dengan teori
Perrow (the Perrow’s Normal Accident Theory) yang menyatakan bahwa:
1.
Dalam system tertentu, kecelakaan tidak dapat dihindari
sama sekali.
2.
Dalam industri yang komplek dan berteknologi tinggi maka
kecelakaan merupakan hal yang normal.
Perlu disadari
bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di rumah sakit merupakan pekerjaan yang
sulit, rumit dan komplek serta memerlukan bantuan teknologi (metode, alat dan
obat-obatan). Maka
dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The National Patient Safety
Foundation menyimpulkan bahwa:
1.
Keselamatan
pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari dan mencegah
adverse event (adverse outcome) yang disebabkan oleh proses layanan
serta meningkatkan mutu outcome.
2.
Keselamatan
pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan atau
departemen saja, tetapi juga interaksi dari berbagai komponen dan system.
Hal-hal
tersebut diatas seyogyanya difahami lebih dahulu oleh pasien sebelum
memutuskan menggugat, disamping perlu
pula memahami logika hokum sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu:
1.
Hubungan
terapetik antara pasien dan rumah sakit merupakan hubungan kontraktual dan oleh karenanya semua asas
dalam berkontrak berlaku, utamanya asas utmost of good faith (iktikad
baik).
2.
Perikatan
yang timbul sebagai konsekuensi hubungan terapetik merupakan jenis perikatan
dimana rumah sakit hanya dibebani kewajiban oleh hokum untuk memberikan upaya
yang benar (inspanning atau effort), bukan hasil (resultaat atau
result).
3. Adverse
event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti
adanya malpraktek.
Pembuktian
malpraktek menghendaki adanya unsur 4 D (Duty tugas/kewajiban, Dereliction
of duty , Damage dan Direct causation
between damage and dereliction of duty) atau kalau tidak harus ada fakta
yang benar-benar dapat berbicara sendiri (Res Ipsa Loquitur).
4. Kesalahan
diagnosis tidak dapat dikatakan malpraktek sepanjang dokter, dalam membuat
diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur.
Perlu dipahami oleh
masyarakat bahwa bagian dari pekerjaan dokter yang paling sulit adalah
menegakkan diagnosis, sementara peralatan diagnostik (yang paling canggih
sekalipun) hanyalah bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Maka tidaklah
aneh jika kesalahan diagnosis di Amerika tetap tinggi (sekitar 17 %). Satu hal yang paling penting adalah apakah kesalahan
diagnosis itu terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur diagnosis
atau tidak.
5. Dokter
dapat dituntut pidana apabila tindakannya memenuhi rumusan pidana beserta
unsur-unsurnya (mens rea dan actus reus).
6. Tanggungjawab
pidana (criminal responsibility) selalu bersifat individual dan personal
serta tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (baik individu maupun korporasi).
7. Dokter
juga boleh digugat jika pasien menderita kerugian akibat ingkar janji atau
karena tindakannya yang melawan hokum (onrechtmatige-daad).
8. Tanggunggugat
(civil liability) atas terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter
dapat dialihkan berdasarkan doktrin tanggung-renteng (doctrine of vicarious
liability).
GANTI RUGI AKIBAT
MALPRAKTEK
Dalam melaksanakan pengabdiannya,
tidak selamanya rumah sakit dapat memberikan hasil sebagaimana diharapkan semua pihak. Adakalanya layanan
tersebut justru menimbulkan malapetaka; seperti cacat seumur hidup,
lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Namun rumah sakit tidak perlu
merasa khawatir sebab sepanjang yang dilakukannya sudah benar (sesuai standar
yang berlaku) maka adverse events yang terjadi hanya bisa dianggap
sebagai bagian dari risiko medik atau sebagai sesuatu yang tak mungkin
dihindari, sehingga rumah sakit tidak seharusnya bertanggunggugat atas kerugian
yang dialami pasien, materiel maupun immateriel. Lain halnya apabila adverse
events terjadi karena error yang benar-benar dapat
dikaitkan dengan malpraktek; baik yang bersifat kesengajaan (intensional),
kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).
Ganti rugi oleh UU Kesehatan,
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sesuatu akibat
yang timbul, baik fisik maupun non fisik. Kerugian fisik adalah kerugian karena
hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, yang dalam
bahasa hukum disebut kerugian materiel. Sedangkan kerugian non fisik adalah
kerugian yang berkaitan dengan martabat seseorang, yang dalam bahasa hukumnya
disebut kerugian immateriel. Pertanyaan sekarang ialah, siapakah yang harus bertanggunggugat
atas timbulnya kerugian itu? Dokter, rumah sakit, yayasan ataukah
ketiga-tiganya?
Untuk dapat menjawab
pertanyaan-prtanyaan diatas perlu dipahami lebih dahulu tentang:
1.
Jenis
tanggunggugat.
2.
Pola
hubungan terapetik yang terjadi.
3.
Pola
hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit.
Mengenai
jenis tanggunggugat (menurut hukum perdata) dikenal ada banyak macamnya,
antara lain:
a. Contractual
liability.
Tanggung gugat jenis ini
muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban
(prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.
Dalam kaitannya dengan
hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health
care provider adalah berupa upaya (effort),
bukan hasil (result). Karena itu
dokter hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar,
atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice.
b. Liability
in tort.
Tanggung gugat jenis ini
merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual
obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Pengertian melawan hukum
tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban
hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang
berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan berlawanan dengan ketelitian yang
patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain
(Hogeraad, 31 Januari 1919).
Konsep liability in tort
ini sebetulnya berasal
dari Napoleontic
Civil Code Art.1382, yang
bunyinya: “Everyone causes damages
through his own behavior must provide compensation, if at least the victim can
prove a causal relationship between the fault and damages”. Konsep ini sejalan dengan Psl 1365 KUH
Perdata yang bunyi lengkapnya: “Tiap perbuatan yang melanggar hokum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian
itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dengan adanya tanggung
gugat ini maka rumah sakit atau dokter dapat digugat membayar ganti rugi atas
terjadinya kesalahan yang termasuk katagori tort (civil wrong against a person or properties); baik yang bersifat intensiona atau negligence. Contoh dari tindakan rumah sakit atau dokter yang dapat
menimbulkan tanggunggugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, eutanasia
atau ceroboh dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau
menderita cacat.
c.
Strict liability.
Tanggung gugat jenis ini sering
disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability
whitout fault) mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak
melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness
ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas
terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah
memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.
Di negara-negara Common Law, produk darah dikatagorikan sebagai product sold sehingga produsen yang
mengolah darah harus bertanggunggugat untuk setiap transfusi darah olahannya
yang menularkan virus hepatitis atau HIV.
d. Vicarious
liability.
Tanggung gugat jenis ini
timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam
kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate
(employee). Lain halnya jika
tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician)
sehingga kedudukannya setingkat dengan rumah sakit.
Doktrin
vicarious liability ini
sejalan dengan Psl 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab
atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau
disebabkan barang-barang yang berada dibawah pengawasannya”.
Jadi dapat tidaknya rumah
sakit menjadi subjek tanggung-renteng tergantung dari pola hubungan kerja
antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit, dimana pola hubungan tersebut juga
akan ikut menentukan pola hubungan terapetik dengan pihak pasien yang
berobat di rumah sakit tersebut.
Mengenai
pola hubungan terapetik antara health
care provider dan health care receiver dapat dirinci
sebagai berikut:
a.
Hubungan
“pasien
- rumah sakit”.
Hubungan seperti ini
terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat akal, sedangkan rumah sakit hanya
memiliki dokter yang bekerja sebagai employee. Para pihaknya adalah
pasien dan rumah sakit, sementara dokter
hanya berfungsi sebagai employee (subordinate
dari rumah sakit) yang bertugas melaksanakan kewajiban rumah sakit.
Hubungan hukum seperti ini biasanya berlaku
di sarana kesehatan milik pemerintah yang dokter-dokternya digaji secara tetap
dan penuh, tidak didasarkan atas jumlah pasien yang telah ditangani ataupun
kuantitas dan kualitas tindakan medik yang dilakukan dokter.
b.
Hubungan
“pasien
– dokter”.
Pola
ini terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat akal (berkompeten), dirawat di
rumah sakit yang dokter-dokternya bekerja bukan sebagai employee melainkan
sebagai mitra (attending physician). Para pihaknya adalah pasien dan dokter, sementara
posisi rumah sakit hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas
(penginapan, makan dan minum, perawat atau bidan serta sarana medik dan
nonmedik). Konsepnya seolah-olah dokter menyewa fasilitas rumah sakit untuk
digunakan merawat pasiennya.
Pola seperti ini banyak
dianut oleh rumah sakit swasta yang dokter-dokternya mendapatkan penghasilan berdasarkan
perhitungan jumlah pasien serta kuantitas dan kualitas tindakan medik yang
dilakukannya. Jika dalam satu bulan tidak ada seorang pasienpun yang dirawat
maka dalam bulan itu dokter tidak memperoleh penghasilan apa-apa. Hubungan
kerja seperti ini menempatkan dokter pada kedudukan yang sama derajat dengan
rumah sakit, bukan subordinate dari rumah sakit.
c.
Hubungan
“penanggung
pasien – dokter”.
Pada
prinsipnya pola ini seperti pola butir (c), hanya saja karena pasien masih
anak-anak atau tidak sehat akal maka para pihaknya adalah penanggung pasien
(orang tua atau wali) dan dokter.
Sedangkan
mengenai hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit terdapat beberapa pola,
antara lain:
1. Dokter sebagai employee.
2.
Dokter
sebagai attending physician (mitra).
3.
Dokter
sebagai independent contractor.
Masing-masing dari
pola-pola hubungan tersebut diatas akan sangat menentukan apakah rumah sakit
atau dokter yang harus bertanggunggugat sendiri (direct liability) terhadap
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dokter dan sejauh mana pula
tanggunggugat dokter tersebut dapat dialihkan kepada pihak rumah sakit
berdasarkan doctrine of vicarious liability?
CORPORATE LIABILITY &
VICARIOUS LIABILITY
Pada awal sejarahnya, rumah sakit
tidak lebih dari sekedar institusi (penerima sumbangan dari para dermawan) yang
hanya menyediakan makanan dan tempat tidur bagi pasien yang memerlukan rawat
inap. Dengan diramaikannya rumah sakit oleh kehadiran para dokter mitra
ternyata mampu memberikan pengaruh yang luar biasa besar bagi peningkatan
kualitas layanan. Sekarang keadaannya sudah benar-benar berubah secara
dramatis. Rumah sakit kini tidak hanya menyediakan makanan dan penginapan saja,
melainkan juga berbagai macam tenaga profesional guna menunjang fungsi;
meliputi fungsi layanan keperawatan terampil dan profesional, diagnosis dan
terapi spesialistik, pre dan post-operative care dan masih banyak
lagi layanan lainnya. Tidak cukup sampai disitu saja sebab masing-masing rumah
sakit juga terus berlomba meningkatkan dan mengembangkan diri menjadi institusi
dengan layanan total dan komprehensif. Namun konsekuensinya tidak hanya
kualitas layanan medik, penunjang medik dan layanan umum saja yang meningkat,
tetapi juga kemungkinan munculnya lebih banyak lagi corporate liability (tanggunggugat
korporasi) serta vicarious liability (tanggung-renteng) akibat kesalahan
yang dilakukan oleh sub-ordinate rumah sakit.
a. Corporate Liability:
Agak sulit sebenarnya membedakan
antara corporate liability dengan vicarious liability, sebab
dalam situasi tertentu corporate liability dapat saja ditafsirkan
sebagai vicarious liability. Konsep corporate liability itu
sendiri sesungguhnya dikembangkan dari pemahaman bahwa rumah sakit merupakan artificial
entity yang dapat melakukan perbuatan hukum, melalui individu yang
tergabung didalamnya yang bertindak untuk dan atas namanya sehingga rumah sakit
dapat menjadi subjek langsung dari corporate liability manakala employee,
non-employee staff, administrative personnel atau regular employees gagal
mengimplementasikan kebijakan rumah sakit yang pantas; misalnya gagal menerapkan kebijakan pencegahan infeksi
nosokomial atau gagal mencegah dokter yang tidak berkompeten untuk tidak
menangani pasien.
Meskipun tidak selalu benar, corporate
liability dapat diterapkan manakala rumah sakit tidak melakukan
langkah-langkah manajerial yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap
bidang-bidang tertentu dibawah ini, yaitu:
1.
Hospital
equipment, supplies, medication and food.
2.
Hospital
environment.
3.
Safety
procedures.
4.
Selection
and retention of employees and conferral of staff privileges.
5.
Responsibilities
for supervision of patient care.
b. Vicarious Liability:
Pada umumnya rumah sakit tidak
bertanggunggugat atas kesalahan dokter non- organik (non-employee physician)
yang hanya memanfaatkan fasilitas rumah sakit untuk merawat pasiennya sendiri (staff
privileges). Mereka bertanggunggugat secara mandiri atas kesalahan yang
telah merugikan pasiennya. Meskipun bertanggunggugat secara mandiri namun
kesepakatan dengan pihak rumah sakit dapat saja dibuat untuk misalnya
bersama-sama menanggung ganti rugi berdasarkan proporsi yang disetujui oleh
kedua belah pihak apabila dokter kalah di pengadilan. Tanpa kesepakatan khusus
maka non-employee physician (misalnya dokter mitra) pada umumnya
bertanggunggugat secara mandiri.
Dibawah doctrine of
vicarious liability, rumah sakit (meskipun sebagai artificial entity
tidak melakukan kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggunggugat atas kesalahan
dokter organik yang bekerja di institusi tersebut. Doktrin ini sejalan dengan Pasal 1367 KUH Perdata, yang bunyinya:
“Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang
berada dibawah pengawasannya”.
Untuk dapat diberlakukan doctrine
of vicarious liability diperlukan prakondisi seperti tersebut di bawah ini,
yaitu:
1.
Harus
ada direct (economic) relationship.
Maknanya, antara dokter dan pihak
rumah sakit harus terjalin dalam suatu hubungan yang bersifat ekonomi; misalnya
hubungan master-servant atau employer-employee.
Sebagai bukti adanya direct
(economic) relationship antara lain: adanya gaji tetap, kewenangan rumah
sakit mengontrol, memberi sanksi serta adanya kewenangan mengangkat dan
memberhentikan dokter.
2.
Tindakan
dokter harus berada dalam lingkup tugas dan tanggungjawabnya.
Artinya, tindakan (yang merugikan
pasien) yang dilakukan oleh dokter harus berada didalam lingkup tugas dan
tanggungjawab yang diberikan oleh rumah sakit pemberi kerja berdasarkan
hubungan yang telah terjalin.
Jika dokter melakukan tindakan diluar
lingkup tugas dan tanggungjawabnya (misalnya di luar clinical previlige
yang diberikan oleh Direktur atas rekomendasi Panitia Kredensial dari Komite
Medik) maka kerugian akibat kesalahannya harus ditanggung sendiri.
Konsep pengalihan tanggunggugat
kepada rumah sakit (dalam kedudukannya sebagai master atau employer)
antara lain didasarkan pada pemikiran:
1.
Untuk
memberikan jaminan kepada pasien yang dirugikan bahwa ia pasti akan dapat
menemukan pihak tergugat yang punya kemampuan membayar (solvent defendant atau
deeper pocket).
2.
Untuk
memberikan umpan balik kepada pihak manajemen rumah sakit agar memiliki rasa
tanggungjawab yang lebih besar lagi dalam mengelola dan mengontrol para dokter
supaya mau melakukan layanan medik yang lebih baik agar tidak terjadi kerugian
pada pasien.
Pertanyaan yang muncul sekarang ialah
“siapakah yang seharusnya menjadi target (subjek) dari tanggung-renteng
tersebut”? Institusi rumah sakit ataukah justru badan hokum yang menjadi pemilik rumah sakit?
Meskipun pada hakekatnya tidak ada bedanya
apabila yang menjadi subjek dari vicarious liability adalah rumah sakit
atau badan hokum pemilik rumah sakit sebab pembebanan ganti rugi kepada rumah
sakit dengan sendirinya juga akan mengurangi asset badan hokum yang menjadi
pemiliknya, demikian pula sebaliknya. Namun dilihat dari sisi yuridis-formal
mungkin jawaban dari pertanyaan diatas menjadi sangat penting agar supaya
masing-masing pihak saling memahami posisinya masing-masing, disamping untuk
menghindari kemungkinan terjadinya gugatan salah alamat. Untuk itu menurut
hemat saya perlu memperhatikan beberapa hal:
1.
Konsep
dasar bahwa dalam ajaran vicarious liability harus ada direct
(economic) relationship antara dokter yang melakukan kesalahan dengan pihak
yang menjadi subjek dari tanggung-renteng.
Siapa subjek tersebut? Jawabannya
sudah bisa ditebak, yakni tergantung dari siapa sebenarnya yang memberi kerja,
memberhentikan, membayar, mengontrol dan mengawasi kinerja dokter yang
bersangkutan. Rumah sakit atau badan hokum yang menjadi pemilik rumah sakit?
2.
Undang-undang
tentang Badan Hukum yang terkait.
Dalam kaitannya dengan yayasan,
sepanjang bentuk rumah sakit merupakan kegiatan usaha yayasan (yang
dilaksanakan oleh pelaksana dan diangkat oleh organ pengurus yayasan) maka yang
akan menjadi subjek tanggungrenteng adalah yayasan yang bersangkutan.
Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan UU Yayasan, organ pengurus
bertanggungjawab sepenuhnya atas kepengurusan yayasan, baik untuk kepentingan
maupun tujuan yayasan, serta mewakili yayasan baik didalam maupun diluar
pengadilan sesuai asas persona standi in judicio. Ini berarti bahwa
organ pengurus mewakili yayasan dalam melakukan gugatan ataupun digugat. Barangkali
demikian pula untuk rumah sakit yang merupakan amal usaha perkumpulan.
Tetapi lain halnya apabila rumah sakit berbentuk PT yang didirikan oleh
yayasan atau oleh perkumpulan maka
tanggungrentengnya bukan pada yayasan atau perkumpulan tersebut, melainkan pada
rumah sakit (yang dalam hal ini diwakili oleh direksi). Tanggungjawab yayasan
atau perkumpulan (sebagai pemegang saham) hanyalah sebatas saham yang
dimilikinya dan samasekali tidak meyentuh kekayaan lain dari yayasan atau
perkumpulan yang memiliki PT tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chatamarrasjid.
: Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisisi
Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial, Penerbit PT Ctra Aditya
Bakti, Bandung, 2002.
Dahlan,
S, : Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi
Profesi Medik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2nd
Ed, 2000.
Dooly, B, J. ; Gorton, M,
W. : Legal Liability of Doctors, in Surgery, Ethics and the Law, Blackwell
Science Asia Pty Ltd, 2000.
Koeswadji, H, H. : Hukum untuk Perumahsakitan, Penerbit PT Ctra
Aditya Bakti, Bandung, 2002.
King, J, H. : The Law of Medical Malpractice in a Nutshell,
West Publishing Co, St Paul, Minn, 2nd Ed, 1986.
Kohn, L, T. : Corrigan, J,
M. ; Donaldson, M, S. : To Err is Human, Building a Safer Health System,
Washington, National Academy Press, 2000.
Morris, R, C. , Moritz, A,
R. : Doctor and Patient and the Law, The
C.V. Mosby Company, Saint GUGATAN MALPRAKTEK
(MEDIK) ,LAGU LAMA DENGAN MELODI BARU
OLEH : HERRY SETYA YUDHA UTAMA,Dr;SpB;FInaCS
Belakangan ini yang dicemaskan oleh
dunia medis di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktek
(dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler), utamanya
sejak masyarakat lebih mengerti hukum dan bermunculannya LSM yang
“peduli”kesehatan. masyarakat kita menjadi masyarakat yang semakin gemar
menuntut (litigious society) .adakah
sebabnya?, belum ada jawaban pasti yang patut dipercaya. Namun yang
jelas, situasi dunia dokter sekarang ini amat mirip dengan krisis malpraktek (malpractice crisis) yang pernah melanda
Amerika Serikat sekitar 40 tahun yang lampau, yaitu sejak dokter tidak lagi
dianggap dewa sehingga tidak lagi kebal terhadap segala bentuk gugatan.
Sebelumnya selama berabad-abad, dokter dianggap sebagai mahluk sosial yang
kebal hukum berdasarkan doctrine of
charitable immunity sampai-sampai di amerika pernah ada Samarians Law yang
menjamin siapa yang menolong yang gawat tidak boleh di hukum, sebab
pertimbangannya, menghukum dokter dan rumah sakit supaya membayar gantirugi
sama artinya dengan mengurangi assetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi
kemampuannya untuk menolong masyarakat banyak.
Tetapi sejak
adanya kasus Darling v. Charleston
Community Memorial Hospital 1965, yakni kasus pertama yang menyatakan rumah
sakit sebagai subjek hukum sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target
gugatan atas kinerjanya yang merugikan pasien. Maka sejak itulah marak tuntutan
kepada dokter dan rumah sakit.
Menurut Sofwan(2005) yang paling penting bagi
dokter dan para pengelola serta pemilik rumah sakit adalah memahami lebih
dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktek dapat dibuktikan maka setiap sengketa
yang muncul antara health care receiver dan health care provider
baru boleh disebut sebagai konflik akibat adanya ketidaksesuaian logika atas
sesuatu masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by
medical management rather than the underlying condition of the patient).
Menurut Winardi (1994), konflik bisa diartikan sebagai ketidaksesuaian paham
atas situasi tentang pokok-pokok
pikiran tertentu atau karena adanya antagonisme-antagonisme emosional. Maka
berbagai konflik yang melanda dunia medis sekarang ini tidak harus jadi
panik sehingga TIdak perlu disikapi
secara tidak proporsional. sisi positifnya justru konflik atau sengketa dapat
meningkatkan kreatifitas, inovasi, intensitas upaya, kohesi kelompok serta
mengurangi konplik internal dan meningkatkan silaturahmi. Konflik itu sendiri
sebetulnya hanya akan terjadi kalau ada prakondisi atau predisposing factor, misalnya berupa adverse events (kesenjangan antara
harapan pasien dengan kenyataan yang
diperolehnya menyusul dilakukannya upaya medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi,
komunikasi ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter
sendiri (misal arogan) atau dari
pihak pasien misalnya chronic complainer
atau sikap temperamental. Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya
klaim atas pelayanan yang kurang sempurna. Tidak jarang pemicunya justru datang
dari teman sejawat dokter
(sebagai”pesaing”) atau pihak ketiga yang ingin ikut memamfaatkan situasi
konflik (memancing di air keruh)..
MALPRATEK
sering disalah artikan oleh masyarakat, bukan saja masyarakat biasa
malah orang intelekpun sering salah arti malah media dan infotaiment juga
sering salah.masyarakat sering mengartikan MALPRAKTEK , suatu tindakan atau
keadaan yang tidak sesuai dengan harapannya sehingga tidak memuaskan harapan
dirinya. terutamanya kalau kondisi pasen menjadi memburuk,punya gejala
sisa(cacat/squele) atau meninggal dunia. Padahal memburuknya keadaan pasen
sering bukan karena salah tindakan dokter justru sering karena komplikasi dan
perjalanan penyakitnya itu sendiri.
perbedaan persepsi, biasanya disebabkan ketidakmampuan pihak pasien
untuk memahami logika medis bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty dan hasilnyapun tidak dapat
diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain diluar kontrol dokter untuk mengendalikannya (I.Nasution).; misalnya daya
tahan tubuh, mekanisme pertahanan tubuh, jenis dan tingkat virulensi penyakit,
stadium penyakit, kualitas obat, respon individual terhadap obat serta ketidakpatuhan pasien dalam mengikuti
prosedur dan nasehat dokter. Banyak masyarakat menyangka bahwa upaya medis yang
dilakukan dokter merupakan satu-satunya variabel yang dapat mempengaruhi
kondisi kesakitan pasien sehingga parameternya, kalau upaya tersebut sudah
benar menurut logika mereka tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah
buruk kondisinya atau malahan muncul problem-problem baru. Pada kenyataannya
upaya medis yang terbaik dan termahal sekalipun belum tentu dapat menjamin
kesembuhan. menurut Robert Koch
sebenarnya 70% penyakit akan sembuh sendiri berkat mekanisme pertahanan
tubuhnya sendiri sisanya sembuh harus dengan tindakan atau cacat atau meninggal
. banyak ahli yang menyatakan “medicine is a science and arts ,a science of the uncertainty, an art
of the probability”.
Selain Pemahaman yang
kurang memadai tentang hakekat upaya medis ,
diperparah lagi oleh minimnya pemahaman mengenai hukum; misalnya tentang
bentuk perikatan yang terjadi menyusul disepakatinya hubungan terapetik yang
konsekuensinya memunculkan hak dan kewajiban para pihak. perikatan yang terjadi antara health care
receiver dan health care provider merupakan inspanning-verbintenis (perikatan
upaya,bukan janji sembuh) sehingga konsekuensi hukumnya, dokter tidak
dibebani kewajiban untuk mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya
dibebani kewajiban melakukan upaya
sesuai standar (standard of care);
yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan telah
diterapkannya ilmu, ketrampilan,
pertimbangan dan perhatian
yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi
situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Dengan tingkat kualitas
seperti itu diharapkan mampu menyelesaikan problem kesehatan pasien, namun jika
pada kenyataannya harapan tersebut tidak terwujud atau bahkan terjadi adverse
events atau risiko medis, tidak serta merta dokter atau rumah sakit
harus dipersalahkan.
Tidak banyak ahli hukum yang
mengerti tentang hokum kesehatan sehingga, kualitas dari gugatannya sering
kabur (obscure libel) karena tidak didukung oleh logika medis dan logika
hukum yang benar sehingga amat wajar apabila keputusan pengadilan hampir selalu
memenangkan rumah sakit atau dokter.
nampaknya mereka telah menggeneralisasi setiap adverse event sebagai
malpraktek. Mestinya setiap adverse event dianalisis lebih dahulu
(mengingat tidak semua adverse events identik dengan malpraktek) dan
sesudah itu barulah dipilah apakah kasus tersebut merupakan kasus pidana, perdata
ataukah kecelakaan (misadventure). Kasus syok anafilaktik/alergi obat di
Pati Jawa tengah menjadi bebes di tingkat kasasi.
Di
pengadilan ,Dalam kasus pidana maka menjadi kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk
membuktikan dipenuhinya unsur pidana yang terdiri atas perbuatan tercela (actus
reus) dan sikap batin yang salah (mens rea) yang melatar-belakangi
perbuatan tercela tersebut. Apabila terbukti bersalah maka tanggungjawab
hukumnya (criminal resposibility) selalu bersifat individual dan personal
sehingga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. di berbagai negara yang menganut Common Law
System pada awalnya memasukkan malpraktek sebagai tort (civil wrong againsts
a person or properties) sehingga tidak ada pidana bagi dokter yang
melakukan malpraktek melainkan gugatan ganti rugi. Namun kecenderungan
internasional (di Amerika dan Inggris) akhir-akhir ini mulai ada upaya-upaya
walaupun kasusnya masih sangat jarang(belasan dalam satu dekade) untuk
mempidanakan dokter, utamanya atas kasus malpraktek yang mengakibatkan
kematian. Kecenderungan tersebut tentunya dapat menambah keyakinan LSM disini
yang selama ini lebih suka membawa kasus malpraktek ke peradilan pidana,
apalagi tindakan seperti itu dimungkinkan mengingat adanya Psl 359 KUHP “barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan seseorang meninggal ,maka di penjara…………. Dan pasal 360
KUHP………..menyebabkan lukaberat maka dipenjara………….kedua pasal tersebut
merupakan pasal “KOJO” bagi penyidik ,penuntut atau penggugat walaupun para ahli sering menyebutnya pasal keranjang sampah. Pasal ini bisa
dipakai berbagai kejadian :supir nabrak, jembatan runtuh,masinis lalai dll (R.
Soesilo).
Lain lagi
kalau kasus perdata, yang harus membuktikan adalah pihak penggugat (pasien)
mengingat “siapa yang mendalilkan (bahwa dokter bersalah) maka dialah yang
membuktikan”. Untuk itu penggugat harus membuktikan adanya keempat unsur 4 D
dari malpraktek; yaitu (D)uty, (D)ereliction of duty, (D)amages dan (D)irect
causation betweem dereliction of duty and damages. Tentunya yang paling sulit
bagi penggugat ialah membuktikan unsur D yang terakhir (Direct causation), namun
pembuktian unsur itu beserta 3 unsur lainnya dari malpraktek menjadi tidak
diperlukan lagi manakala ditemukan fakta yang mampu berbicara sendiri (misalnya
ditemukannya gunting atau pinset didalam perut pasien) sehingga dapat
diberlakukan doktrin Res Ipsa Loquitur (the thing speaks for itself) yang
secara otomatis membuktikan adanya malpraktek. Walaupun itu juga tidak langsung
bisa 100% dokter bisa di hokum karena ada suatu yurisprudensi kasus
tertinggalnya kain kasa di amerika dokter dibebaskan karena operasi hot urgent.
Adapun mengenai tanggunggugatnya (civil
liability,) dapat ditanggung sendiri oleh dokter yang bersangkutan atau
dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan ajaran
tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).
Contoh
kasus paling gamblang yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam
menuntut dan menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai
pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong
kelahirannya dengan vacuum extractie menderita komplikasi kelumpuhan
otot leher. Juga kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena terjadinya Steven
Johnson syndrome akibat obat (yang seringkali mustahil dapat diramalkan
sebelumnya). Betul pada kedua kasus itu ada damage, tetapi
persoalannya, adakah unsur dereliction of duty yang secara langsung
telah mengakibatkan damage tersebut?
penelitian
Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar 2,9 %
sampai 3,7 % dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa:
1.
Perpanjangan
hospitalisasi.
2. Cacat saat meninggalkan rumah sakit.
3.
Cacat tetap.
4.
Adverse drug event.
5.
Infeksi luka.
6.
Meninggal dunia.
Sekitar 70 % dari adverse
event tersebut diatas disebabkan oleh error (diagnostic, treatment,
preventive and others) yang dapat dicegah sehingga disebut preventable
adverse event dan hanya sekitar 27,6 % dari preventable adverse event
yang dapat dikatagorikan sebagai malpraktek (negligence atau culpa).
Jadi kalau dihitung-hitung sebenarnya sangat kecil sekali bagian dari adverse
event yang dapat dihubungkan dengan malpraktek, sedangkan selebihnya
merupakan adverse event yang tidak termasuk pelanggaran hokum; baik yang
bersifat error of commission (melakukan tindakan yang seharusnya tidak
boleh dilakukan) maupun error of omission (tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan). Agaknya apa yang diuraikan diatas sejalan dengan teori
Perrow (the Perrow’s Normal Accident Theory) yang menyatakan bahwa:
1.
Dalam system tertentu, kecelakaan tidak dapat dihindari
sama sekali.
2.
Dalam industri yang komplek dan berteknologi tinggi maka
kecelakaan merupakan hal yang normal.
Perlu disadari
bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di rumah sakit merupakan pekerjaan yang
sulit, rumit dan komplek serta memerlukan bantuan teknologi (metode, alat dan
obat-obatan). Maka
dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The National Patient Safety
Foundation menyimpulkan bahwa:
1.
Keselamatan
pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari dan mencegah
adverse event (adverse outcome) yang disebabkan oleh proses layanan
serta meningkatkan mutu outcome.
2.
Keselamatan
pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan atau
departemen saja, tetapi juga interaksi dari berbagai komponen dan system.
Hal-hal
tersebut diatas seyogyanya difahami lebih dahulu oleh pasien sebelum
memutuskan menggugat, disamping perlu
pula memahami logika hokum sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu:
1.
Hubungan
terapetik antara pasien dan rumah sakit merupakan hubungan kontraktual dan oleh karenanya semua asas
dalam berkontrak berlaku, utamanya asas utmost of good faith (iktikad
baik).
2.
Perikatan
yang timbul sebagai konsekuensi hubungan terapetik merupakan jenis perikatan
dimana rumah sakit hanya dibebani kewajiban oleh hokum untuk memberikan upaya
yang benar (inspanning atau effort), bukan hasil (resultaat atau
result).
3. Adverse
event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti
adanya malpraktek.
Pembuktian
malpraktek menghendaki adanya unsur 4 D (Duty tugas/kewajiban, Dereliction
of duty , Damage dan Direct causation
between damage and dereliction of duty) atau kalau tidak harus ada fakta
yang benar-benar dapat berbicara sendiri (Res Ipsa Loquitur).
4. Kesalahan
diagnosis tidak dapat dikatakan malpraktek sepanjang dokter, dalam membuat
diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur.
Perlu dipahami oleh
masyarakat bahwa bagian dari pekerjaan dokter yang paling sulit adalah
menegakkan diagnosis, sementara peralatan diagnostik (yang paling canggih
sekalipun) hanyalah bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Maka tidaklah
aneh jika kesalahan diagnosis di Amerika tetap tinggi (sekitar 17 %). Satu hal yang paling penting adalah apakah kesalahan
diagnosis itu terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur diagnosis
atau tidak.
5. Dokter
dapat dituntut pidana apabila tindakannya memenuhi rumusan pidana beserta
unsur-unsurnya (mens rea dan actus reus).
6. Tanggungjawab
pidana (criminal responsibility) selalu bersifat individual dan personal
serta tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (baik individu maupun korporasi).
7. Dokter
juga boleh digugat jika pasien menderita kerugian akibat ingkar janji atau
karena tindakannya yang melawan hokum (onrechtmatige-daad).
8. Tanggunggugat
(civil liability) atas terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter
dapat dialihkan berdasarkan doktrin tanggung-renteng (doctrine of vicarious
liability).
GANTI RUGI AKIBAT
MALPRAKTEK
Dalam melaksanakan pengabdiannya,
tidak selamanya rumah sakit dapat memberikan hasil sebagaimana diharapkan semua pihak. Adakalanya layanan
tersebut justru menimbulkan malapetaka; seperti cacat seumur hidup,
lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Namun rumah sakit tidak perlu
merasa khawatir sebab sepanjang yang dilakukannya sudah benar (sesuai standar
yang berlaku) maka adverse events yang terjadi hanya bisa dianggap
sebagai bagian dari risiko medik atau sebagai sesuatu yang tak mungkin
dihindari, sehingga rumah sakit tidak seharusnya bertanggunggugat atas kerugian
yang dialami pasien, materiel maupun immateriel. Lain halnya apabila adverse
events terjadi karena error yang benar-benar dapat
dikaitkan dengan malpraktek; baik yang bersifat kesengajaan (intensional),
kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).
Ganti rugi oleh UU Kesehatan,
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sesuatu akibat
yang timbul, baik fisik maupun non fisik. Kerugian fisik adalah kerugian karena
hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, yang dalam
bahasa hukum disebut kerugian materiel. Sedangkan kerugian non fisik adalah
kerugian yang berkaitan dengan martabat seseorang, yang dalam bahasa hukumnya
disebut kerugian immateriel. Pertanyaan sekarang ialah, siapakah yang harus bertanggunggugat
atas timbulnya kerugian itu? Dokter, rumah sakit, yayasan ataukah
ketiga-tiganya?
Untuk dapat menjawab
pertanyaan-prtanyaan diatas perlu dipahami lebih dahulu tentang:
1.
Jenis
tanggunggugat.
2.
Pola
hubungan terapetik yang terjadi.
3.
Pola
hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit.
Mengenai
jenis tanggunggugat (menurut hukum perdata) dikenal ada banyak macamnya,
antara lain:
a. Contractual
liability.
Tanggung gugat jenis ini
muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban
(prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.
Dalam kaitannya dengan
hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health
care provider adalah berupa upaya (effort),
bukan hasil (result). Karena itu
dokter hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar,
atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice.
b. Liability
in tort.
Tanggung gugat jenis ini
merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual
obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Pengertian melawan hukum
tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban
hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang
berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan berlawanan dengan ketelitian yang
patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain
(Hogeraad, 31 Januari 1919).
Konsep liability in tort
ini sebetulnya berasal
dari Napoleontic
Civil Code Art.1382, yang
bunyinya: “Everyone causes damages
through his own behavior must provide compensation, if at least the victim can
prove a causal relationship between the fault and damages”. Konsep ini sejalan dengan Psl 1365 KUH
Perdata yang bunyi lengkapnya: “Tiap perbuatan yang melanggar hokum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian
itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dengan adanya tanggung
gugat ini maka rumah sakit atau dokter dapat digugat membayar ganti rugi atas
terjadinya kesalahan yang termasuk katagori tort (civil wrong against a person or properties); baik yang bersifat intensiona atau negligence. Contoh dari tindakan rumah sakit atau dokter yang dapat
menimbulkan tanggunggugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, eutanasia
atau ceroboh dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau
menderita cacat.
c.
Strict liability.
Tanggung gugat jenis ini sering
disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability
whitout fault) mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak
melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness
ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas
terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah
memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.
Di negara-negara Common Law, produk darah dikatagorikan sebagai product sold sehingga produsen yang
mengolah darah harus bertanggunggugat untuk setiap transfusi darah olahannya
yang menularkan virus hepatitis atau HIV.
d. Vicarious
liability.
Tanggung gugat jenis ini
timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam
kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate
(employee). Lain halnya jika
tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician)
sehingga kedudukannya setingkat dengan rumah sakit.
Doktrin
vicarious liability ini
sejalan dengan Psl 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab
atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau
disebabkan barang-barang yang berada dibawah pengawasannya”.
Jadi dapat tidaknya rumah
sakit menjadi subjek tanggung-renteng tergantung dari pola hubungan kerja
antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit, dimana pola hubungan tersebut juga
akan ikut menentukan pola hubungan terapetik dengan pihak pasien yang
berobat di rumah sakit tersebut.
Mengenai
pola hubungan terapetik antara health
care provider dan health care receiver dapat dirinci
sebagai berikut:
a.
Hubungan
“pasien
- rumah sakit”.
Hubungan seperti ini
terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat akal, sedangkan rumah sakit hanya
memiliki dokter yang bekerja sebagai employee. Para pihaknya adalah
pasien dan rumah sakit, sementara dokter
hanya berfungsi sebagai employee (subordinate
dari rumah sakit) yang bertugas melaksanakan kewajiban rumah sakit.
Hubungan hukum seperti ini biasanya berlaku
di sarana kesehatan milik pemerintah yang dokter-dokternya digaji secara tetap
dan penuh, tidak didasarkan atas jumlah pasien yang telah ditangani ataupun
kuantitas dan kualitas tindakan medik yang dilakukan dokter.
b.
Hubungan
“pasien
– dokter”.
Pola
ini terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat akal (berkompeten), dirawat di
rumah sakit yang dokter-dokternya bekerja bukan sebagai employee melainkan
sebagai mitra (attending physician). Para pihaknya adalah pasien dan dokter, sementara
posisi rumah sakit hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas
(penginapan, makan dan minum, perawat atau bidan serta sarana medik dan
nonmedik). Konsepnya seolah-olah dokter menyewa fasilitas rumah sakit untuk
digunakan merawat pasiennya.
Pola seperti ini banyak
dianut oleh rumah sakit swasta yang dokter-dokternya mendapatkan penghasilan berdasarkan
perhitungan jumlah pasien serta kuantitas dan kualitas tindakan medik yang
dilakukannya. Jika dalam satu bulan tidak ada seorang pasienpun yang dirawat
maka dalam bulan itu dokter tidak memperoleh penghasilan apa-apa. Hubungan
kerja seperti ini menempatkan dokter pada kedudukan yang sama derajat dengan
rumah sakit, bukan subordinate dari rumah sakit.
c.
Hubungan
“penanggung
pasien – dokter”.
Pada
prinsipnya pola ini seperti pola butir (c), hanya saja karena pasien masih
anak-anak atau tidak sehat akal maka para pihaknya adalah penanggung pasien
(orang tua atau wali) dan dokter.
Sedangkan
mengenai hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit terdapat beberapa pola,
antara lain:
1. Dokter sebagai employee.
2.
Dokter
sebagai attending physician (mitra).
3.
Dokter
sebagai independent contractor.
Masing-masing dari
pola-pola hubungan tersebut diatas akan sangat menentukan apakah rumah sakit
atau dokter yang harus bertanggunggugat sendiri (direct liability) terhadap
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dokter dan sejauh mana pula
tanggunggugat dokter tersebut dapat dialihkan kepada pihak rumah sakit
berdasarkan doctrine of vicarious liability?
CORPORATE LIABILITY &
VICARIOUS LIABILITY
Pada awal sejarahnya, rumah sakit
tidak lebih dari sekedar institusi (penerima sumbangan dari para dermawan) yang
hanya menyediakan makanan dan tempat tidur bagi pasien yang memerlukan rawat
inap. Dengan diramaikannya rumah sakit oleh kehadiran para dokter mitra
ternyata mampu memberikan pengaruh yang luar biasa besar bagi peningkatan
kualitas layanan. Sekarang keadaannya sudah benar-benar berubah secara
dramatis. Rumah sakit kini tidak hanya menyediakan makanan dan penginapan saja,
melainkan juga berbagai macam tenaga profesional guna menunjang fungsi;
meliputi fungsi layanan keperawatan terampil dan profesional, diagnosis dan
terapi spesialistik, pre dan post-operative care dan masih banyak
lagi layanan lainnya. Tidak cukup sampai disitu saja sebab masing-masing rumah
sakit juga terus berlomba meningkatkan dan mengembangkan diri menjadi institusi
dengan layanan total dan komprehensif. Namun konsekuensinya tidak hanya
kualitas layanan medik, penunjang medik dan layanan umum saja yang meningkat,
tetapi juga kemungkinan munculnya lebih banyak lagi corporate liability (tanggunggugat
korporasi) serta vicarious liability (tanggung-renteng) akibat kesalahan
yang dilakukan oleh sub-ordinate rumah sakit.
a. Corporate Liability:
Agak sulit sebenarnya membedakan
antara corporate liability dengan vicarious liability, sebab
dalam situasi tertentu corporate liability dapat saja ditafsirkan
sebagai vicarious liability. Konsep corporate liability itu
sendiri sesungguhnya dikembangkan dari pemahaman bahwa rumah sakit merupakan artificial
entity yang dapat melakukan perbuatan hukum, melalui individu yang
tergabung didalamnya yang bertindak untuk dan atas namanya sehingga rumah sakit
dapat menjadi subjek langsung dari corporate liability manakala employee,
non-employee staff, administrative personnel atau regular employees gagal
mengimplementasikan kebijakan rumah sakit yang pantas; misalnya gagal menerapkan kebijakan pencegahan infeksi
nosokomial atau gagal mencegah dokter yang tidak berkompeten untuk tidak
menangani pasien.
Meskipun tidak selalu benar, corporate
liability dapat diterapkan manakala rumah sakit tidak melakukan
langkah-langkah manajerial yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap
bidang-bidang tertentu dibawah ini, yaitu:
1.
Hospital
equipment, supplies, medication and food.
2.
Hospital
environment.
3.
Safety
procedures.
4.
Selection
and retention of employees and conferral of staff privileges.
5.
Responsibilities
for supervision of patient care.
b. Vicarious Liability:
Pada umumnya rumah sakit tidak
bertanggunggugat atas kesalahan dokter non- organik (non-employee physician)
yang hanya memanfaatkan fasilitas rumah sakit untuk merawat pasiennya sendiri (staff
privileges). Mereka bertanggunggugat secara mandiri atas kesalahan yang
telah merugikan pasiennya. Meskipun bertanggunggugat secara mandiri namun
kesepakatan dengan pihak rumah sakit dapat saja dibuat untuk misalnya
bersama-sama menanggung ganti rugi berdasarkan proporsi yang disetujui oleh
kedua belah pihak apabila dokter kalah di pengadilan. Tanpa kesepakatan khusus
maka non-employee physician (misalnya dokter mitra) pada umumnya
bertanggunggugat secara mandiri.
Dibawah doctrine of
vicarious liability, rumah sakit (meskipun sebagai artificial entity
tidak melakukan kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggunggugat atas kesalahan
dokter organik yang bekerja di institusi tersebut. Doktrin ini sejalan dengan Pasal 1367 KUH Perdata, yang bunyinya:
“Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang
berada dibawah pengawasannya”.
Untuk dapat diberlakukan doctrine
of vicarious liability diperlukan prakondisi seperti tersebut di bawah ini,
yaitu:
1.
Harus
ada direct (economic) relationship.
Maknanya, antara dokter dan pihak
rumah sakit harus terjalin dalam suatu hubungan yang bersifat ekonomi; misalnya
hubungan master-servant atau employer-employee.
Sebagai bukti adanya direct
(economic) relationship antara lain: adanya gaji tetap, kewenangan rumah
sakit mengontrol, memberi sanksi serta adanya kewenangan mengangkat dan
memberhentikan dokter.
2.
Tindakan
dokter harus berada dalam lingkup tugas dan tanggungjawabnya.
Artinya, tindakan (yang merugikan
pasien) yang dilakukan oleh dokter harus berada didalam lingkup tugas dan
tanggungjawab yang diberikan oleh rumah sakit pemberi kerja berdasarkan
hubungan yang telah terjalin.
Jika dokter melakukan tindakan diluar
lingkup tugas dan tanggungjawabnya (misalnya di luar clinical previlige
yang diberikan oleh Direktur atas rekomendasi Panitia Kredensial dari Komite
Medik) maka kerugian akibat kesalahannya harus ditanggung sendiri.
Konsep pengalihan tanggunggugat
kepada rumah sakit (dalam kedudukannya sebagai master atau employer)
antara lain didasarkan pada pemikiran:
1.
Untuk
memberikan jaminan kepada pasien yang dirugikan bahwa ia pasti akan dapat
menemukan pihak tergugat yang punya kemampuan membayar (solvent defendant atau
deeper pocket).
2.
Untuk
memberikan umpan balik kepada pihak manajemen rumah sakit agar memiliki rasa
tanggungjawab yang lebih besar lagi dalam mengelola dan mengontrol para dokter
supaya mau melakukan layanan medik yang lebih baik agar tidak terjadi kerugian
pada pasien.
Pertanyaan yang muncul sekarang ialah
“siapakah yang seharusnya menjadi target (subjek) dari tanggung-renteng
tersebut”? Institusi rumah sakit ataukah justru badan hokum yang menjadi pemilik rumah sakit?
Meskipun pada hakekatnya tidak ada bedanya
apabila yang menjadi subjek dari vicarious liability adalah rumah sakit
atau badan hokum pemilik rumah sakit sebab pembebanan ganti rugi kepada rumah
sakit dengan sendirinya juga akan mengurangi asset badan hokum yang menjadi
pemiliknya, demikian pula sebaliknya. Namun dilihat dari sisi yuridis-formal
mungkin jawaban dari pertanyaan diatas menjadi sangat penting agar supaya
masing-masing pihak saling memahami posisinya masing-masing, disamping untuk
menghindari kemungkinan terjadinya gugatan salah alamat. Untuk itu menurut
hemat saya perlu memperhatikan beberapa hal:
1.
Konsep
dasar bahwa dalam ajaran vicarious liability harus ada direct
(economic) relationship antara dokter yang melakukan kesalahan dengan pihak
yang menjadi subjek dari tanggung-renteng.
Siapa subjek tersebut? Jawabannya
sudah bisa ditebak, yakni tergantung dari siapa sebenarnya yang memberi kerja,
memberhentikan, membayar, mengontrol dan mengawasi kinerja dokter yang
bersangkutan. Rumah sakit atau badan hokum yang menjadi pemilik rumah sakit?
2.
Undang-undang
tentang Badan Hukum yang terkait.
Dalam kaitannya dengan yayasan,
sepanjang bentuk rumah sakit merupakan kegiatan usaha yayasan (yang
dilaksanakan oleh pelaksana dan diangkat oleh organ pengurus yayasan) maka yang
akan menjadi subjek tanggungrenteng adalah yayasan yang bersangkutan.
Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan UU Yayasan, organ pengurus
bertanggungjawab sepenuhnya atas kepengurusan yayasan, baik untuk kepentingan
maupun tujuan yayasan, serta mewakili yayasan baik didalam maupun diluar
pengadilan sesuai asas persona standi in judicio. Ini berarti bahwa
organ pengurus mewakili yayasan dalam melakukan gugatan ataupun digugat. Barangkali
demikian pula untuk rumah sakit yang merupakan amal usaha perkumpulan.
Tetapi lain halnya apabila rumah sakit berbentuk PT yang didirikan oleh
yayasan atau oleh perkumpulan maka
tanggungrentengnya bukan pada yayasan atau perkumpulan tersebut, melainkan pada
rumah sakit (yang dalam hal ini diwakili oleh direksi). Tanggungjawab yayasan
atau perkumpulan (sebagai pemegang saham) hanyalah sebatas saham yang
dimilikinya dan samasekali tidak meyentuh kekayaan lain dari yayasan atau
perkumpulan yang memiliki PT tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chatamarrasjid.
: Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisisi
Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial, Penerbit PT Ctra Aditya
Bakti, Bandung, 2002.
Dahlan,
S, : Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi
Profesi Medik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2nd
Ed, 2000.
Dooly, B, J. ; Gorton, M,
W. : Legal Liability of Doctors, in Surgery, Ethics and the Law, Blackwell
Science Asia Pty Ltd, 2000.
Koeswadji, H, H. : Hukum untuk Perumahsakitan, Penerbit PT Ctra
Aditya Bakti, Bandung, 2002.
King, J, H. : The Law of Medical Malpractice in a Nutshell,
West Publishing Co, St Paul, Minn, 2nd Ed, 1986.
Kohn, L, T. : Corrigan, J,
M. ; Donaldson, M, S. : To Err is Human, Building a Safer Health System,
Washington, National Academy Press, 2000.
Morris, R, C. , Moritz, A,
R. : Doctor and Patient and the Law, The
C.V. Mosby Company, Saint Louis, 5th ed, 1971.
Pozgar, G, D .: Legal Aspects of Health Care Administration,
68h Ed Geithersburg An Aspen Publication, 2002.
Trieschmann, J, S.;
Gustavson, S, G. : Risk Management & Insurance, 10th Ed, An International
Thomson Publishing Company, Cincinati, Ohio, 1998.
ooooooooooo
Louis, 5th ed, 1971.
Pozgar, G, D .: Legal Aspects of Health Care Administration,
68h Ed Geithersburg An Aspen Publication, 2002.
Trieschmann, J, S.;
Gustavson, S, G. : Risk Management & Insurance, 10th Ed, An International
Thomson Publishing Company, Cincinati, Ohio, 1998.
ooooooooooo