DOKTER
BUKAN PENJAHAT . STOP KRIMINALISASI KASUS PRAKTIK KEDOKTERAN YANG BISA MENIMBULKAN Defensive/ Passive Medicine
Oleh : Herry Setya Yudha Utama
Semua setuju bahwa Kejahatan utama itu
antara lain penyalahgunaan narkotika ,pembunuhan terencana ,korupsi dan teror,
Apakah seorang dokter yang menjalankan praktik kedokteran yang sesuai Standar
prosedur operasional disebut melakukan kejahatan karena pasennya meninggal
dunia ? Tentu saja tidak karena dokter lagi melaksanakan tugas negara
melaksanakan profesinya sesuai standar.
Dokter juga manusia dan sama di mata hukum.
Apakah dokter bisa salah ya bisa . apakah dokter bisa di hukum ya bisa bila
melakukan kejahatan seperti diatas dan bisa dipenjara. Apakah dokter bisa
dipenjara saat bertugas menjalankan praktik kedokteranya? Pasti tidak bisa
menurut aturan hukum yang berlaku saat ini di bumi Indonesia. Kenapa dokter Ayu
bisa dipenjara? Ini perlu dipertanyakan apakah sudah tepat hukum yang
diberlakukan terhadap dr Ayu? Dokter ukan Tuhan yang bisa menentukan sakit,
sembuh dan mati seseorang ,dokter hanya perantaranya. Tidak adil dokter hanya
dikasih dua pilihan kalau pasen sembuh dokter selamat dari jerat hukum ,kalau
pasen cacad atau meninggal dokter dipenjara.
Hakim,Hakim agung ,jaksa ,polisi juga
manusia bukan tuhan, bisa salah dan keliru dalam dalam mengaplikasikan hukum
yang ada, bisa saja hakim salah mengerti dalam menerapkan prinsip dan azas
hukum atau salah pilih pasal atau undang undang mangkanya ada upaya hukum peninjauan kembali
dll. Kalau kita taat hukum maka kita menghormati serta berupaya untuk menjalani
proses peradilan yang sudah berjalan lalu lalu kita lakukan upaya hukum yang
ada seperti PK.
Dalam sejarah beribu-ribu
tahun yang lalu, pernah ada kejadian seorang yahudi terkapar pingsan dijalanan.
Saat itu, banyak khafilah/orang yang berlalu lalang lewat ke tempat orang
yahudi yang terkapar tersebut. Tak ada satupun yang mau menolong bukan karena
mereka tidak kasihan, bukan karena mereka orang jahat, tetapi karena mereka
tidak ingin dituduh terlibat dalam kasus tersebut. Mereka hanya melirik lalu
berlalu. Datanglah seorang warga Samariyah yang dianggap warga Negara kelas dua
pada saat itu. Warga Samariyah lewat dan melihat, lalu dia terenyuh dan
ditolonglah orang yahudi tersebut dan bermaksud untuk dirawat dirumahnya.
Sesampainya di rumah, ternyata orang yahudi tersebut tidak tertolong dan
meninggal dunia. Warga dan penguasa setempat menuduh orang Samariyah sebagai
penyebab kematian orang yahudi Dan sampai berabad – abad orang tidak mau
menolong orang yang kesusahan karena takut tertuduh. Hingga di barat ber
abad abad orang acuh tak acuh, karena orang yang menolong itu bisa
dikenakan hukuman, sehingga banyak sekali korban – korban. Banyak korban yang
seharusnya mendapat pertolongan dan selamat menjadi tidak dapat pertolongan sehingga tidak tertolong lagi.. Oleh karena itu, di Amerika
munculah undang – undang “Good Samaritan’s Law”. Untuk
melindungi barang siapa yang menolong seseorang dalam kesusahan, orang tersebut
tidak akan dituduh dan dihukum terutama dibidang kedokteran. Tapi sosialisasi Good
Samatiran’s Law sangat alot di Negara – Negara yang sudah majupun. Apalagi,
aparat hukum banyak yang tidak mengerti akan hukum kesehatan /kedokteran.
Sebenarnya, kalau dilihat dari kacamata kedokteran
orang itu meninggal 99,9% atau 2000% tidak berhubungan dengan yang menolong biasanya meninggal karena komplikasi penyakitnya yang berhubungan dengan perjalanan
penyakit dan 0,001% berhubungan dengan penolong itupun karena resiko medik yang
melekat pada perjalanan pasien tersebut dan resiko itu harus dipahami oleh
pasien dan keluarganya kalau dia memutuskan bahwa suatu tindakan medis itu
dilakukan dan mempunyai resiko. Jangan pasien atau keluarga pasien beranggapan
bahwa semua tindakan medis harus 100% berhasil. Karena perikatan pelayanan
medis itu adalah perikatan ikhtiar (inspanding verbentenist) bukan perikatan hasil (result verbentenist). Jadi kalau pasien
meninggal saat tindakan operasi , dokter
tidak bisa dikriminalkan. Dokter tidak boleh dianggap melakukan perbuatan
kriminal. Seorang dokter tidak boleh dan tidak akan menjanjikan kesembuhan, dia
hanya perikatan ikhtiar dimana dia berusaha melakukan tindakan sesuai dengan
standart pelayanan medis atau Standart Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku
ditempat dia bekerja tailor made dimana sudah disesuaikan
dengan keadaan dan fasilitas yang dimiliki oleh fasilitas kesehatan (Rumah
Sakit) sesuai dengan kompetensinya. SOP itu tailor made artinya di buat untuk rumah sakit
tersebut serta mengacu ke guide line nasional
/ kolegium bahkan guideline dunia / literature pokok dan disahkan oleh direktur.
Kematian dan
kegagalan tidak sepenuhnya dokter menjadi penyebabnya dan dokter tidak langsung
dimintakan pertanggung jawaban secara hukum. Jikalau kematian di Rumah Sakit itu
yang dipersalahkan hanya dokter, maka seluruh dokter didunia harus dipenjara
karena hampir semua dokter pernah menangani pasien lalu pasiennya meninggal. Hampir
seluruh Rumah Sakit umum dimanapun di dunia ini pasti
pernah ada pasiennya yang meninggal dunia dirumah sakit. Tidak pernah ada Rumah
sakit yang mempunyai rekor zero death. Ini yang belum dipahami oleh aparat
hukum di negeri kita. Ternyata dari mulai aparat yang paling bawah yaitu dari
mulai polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, hakim sebagai pembuat
keputusan dan Mahkamah Agung/Hakim Agung sebagai pembuat keputusan akhir
(Inkrach) belum sepenuhnya memahami tentang ilmu hukum kesehatan dan
kedokteran. Sebagaimana kita ketahui, ilmu kedokteran begitu dalam dan luas
sehingga tidak mudah bagi seorang yang tidak belajar ilmu kedokteran memahami
ilmu kedokteran dengan jelas sehingga tidak cukup hanya dengan mencari tahu diinternet atau membaca buku. Seharusnya, dalam
proses malpraktek medik aparat hukum harus meminta fatwa terlebih dahulu apakah
suatu peristiwa itu merupakan malpraktek medik atau bukan ke
IDI/Kolegium/Konsil Kedokteran Indonesia yang insyaallah jujur apa adanya.
Seharusnya dalam memutus terutama di Mahkamah Agung, Majelis Hakim harus ada Hakim Anggota Adhoc yang mengerti hukum kesehatan
dan kedokteran sehingga membuat keputusan yang seadil – adilnya dan seakurat –
akuratnya.
Memang disebutkan dalam
undang- undang praktik kedokteran ( UUPK ) no. 29 tahun 2004 pasal 45 ayat 1- 6 bahwa dokter dalam
melakukan tindakan medik, diharuskan membuat Informed Consent. Dimana
menginformasikan tentang tindakan yang akan dilakukan resiko dan alternatif lain penanganan. Consent itu bisa saja lisan
untuk kasus – kasus tertentu dan tertulis (written consent) untuk kasus –
kasus yang cukup berat. Khusus untuk anak, informed consent dengan orang tuanya.
Untuk yang dewasa, dengan pribadi pasien dan diperbolehkan ada saksi. Untuk
pasien tak sadar, pingsan/penurunan kesadaran atas persetujuan keluarga dan
wali/curator. Pasien yang sudah menikah, pasien tersebut yang mempunyai hak
memberikan consent. Informed consent pada pasien emergency, tetap penting
tetapi bukan prioritas walaupun penting, pelaksanaan informed consent pada
kasus emergency tidak boleh menjadi penghambat atau penghalang bagi
dilakukannya Emergency Care. UUPK pasal 45 dan
penjelasannya juga Permenkes Nomor 585 bahwa
dalam keadaan emergency tidak dilakukan informed consent. Berbagai yurisprudensi dinegara negara maju mempunyai persamaan
prinsip bahwa tindakan emergency care dapat dilakukan tanpa informed consent
dan Negara menjamin serta melindungi petugas kesehatan yang disumpah untuk melakukan tindakan
emergency. Walaupun Permenkes ini tidak termasuk hierarki perundang – undangan dikita. Tetapi Permenkes
ini bisa menjadi petunjuk tekhnis dalam perundang – undangan yang berlaku di
Indonesia. Sebenarnya setelah ada Undang – Undang Praktek Kedokteran No. 29
Tahun 2004 yang mengatur seluk beluk Praktek Dokter dan Dokter Gigi di
Indonesia diundangkan dan dicantumkan dalam lembaran Negara maka aparat hukum
wajib mempedomani Undang – Undang ini dalam kasus – kasus Praktek Kedokteran.
Sayangnya aparat – aparat hukum kita banyak yang tidak memahami Undang – Undang
ini sehingga kalau ada kasus malpraktek medik mereka menggunakan hukum
pidana/perdata Ansich yang umum. Misalkan, memakai Pasal 359 – 361
KUHP bahwa barang siapa yang melakukan kelalaian dan menyebabkan kematian
terhadap orang lain dihukum pidana. Ini ketentuan umum, dimana pasal ini adalah
pasal karet dan pasal *keranjang sampah*. Kenapa aparat hukum masih
menggunakan Perundang – undangan yang umum. Harusnya memakai perundang –
undangan yang spesial sesuai dengan konteksnya. Bukankah “Lex
Speciale Derogate Lex Generale” ketentuan Undang – Undang yang khusus
/ spesial menghapus ketentuan Undang – Undang yang umum.
Menurut Goldstein, Freud dan Solnit berpendapat bahwa
tindakan medik emergency dapat dilakukan bila :
1. Tindakan medik teurapetic
bukan eksperimental,
2. Tindakan medik tersebut bisa
menyebabkan kematian bila tidak dilakukan,
3. Tindakan medik memberikan
harapan untuk hidup
dan KUHP Pasal 531 mengatakan bahwa barang siapa
ketika menyaksikan orang dalam keadaan bahaya maut tidak memberi pertolongan
yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya
maupun orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana
kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak……………………….
Di Amerika berlaku Good Samaritan’s Law, yaitu undang undang yang memberikan
immunitas dari tuntutan hukum bila dokter melakukan kesalahan yang tidak seberapa
besar (bukan gross negligent)
Adapun tindakan medis yang memerlukan informed consent
menurut (Roach, Chernoff, Esley, 1986) adalah:
1. Major or minor invasive
surgery.
2. All procedures that involve
more than slight risk of harm.
3. All forms of radiological therapy.
4. Electro-convulsive therapy
5. All experimental procedures.
6. All procedures for which
consent forms are required by statute or regulation.
Dan semua itu bisa gugur bila dalam keadaan emergency.
Menurut World Medical Association 1992
Medical malpractice involves the physician’s failure
to conform to the standard of care for treatment of the patient’s
condition, or lack of skill, or negligence in providing care
to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.
Menurut Undang – Undang Praktek Kedokteran Nomer 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tentang Hak Dokter
1. Memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional.
2. Memberikan pelayanan medis
menuntut standar profesi dan standar prosedur operasional.
3. Memperoleh informasi yang
lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya, dan
4. Menerima imbalan jasa.
Maka dari itu, dokter harus dilindungi negara dalam menjalankan tugas pelayanan medisnya, karena
kalau tidak terlindungi dan dianggap kriminal, maka dokter itu akan tidak
percaya diri dan ragu – ragu dalam menjalankan profesinya, dan tidak ingin
melakukan karena dapat merugikan diri sendiri. Kalau tidak maka akan muncul
Defensive/Passive Medicine dimana dunia kedokteran, dokternya lebih memilih
mencari aman dan hanya mengerjakan kasus – kasus yang resikonya kecil supaya
dia tidak terkena pidana (ASA 1 & ASA 2 dalam klasifikasi Anestesi). Bentuk
Defensive Medicine juga berbentuk dokter jadi
pasive dalam melakukan
tindakan medis sehingga dunia kedokteran tidak akan berkembang malah akan
mundur. Dan masyarakat itu sendiri akan rugi akibat defensive medicine. Jangan sampai ada kejadian defensive medicine seperti
ini. Di rumah sakit :
Badu: dok ada kecelakaan ,orangnya ga
sadar. Tolong ya dok
Dokter : cepat sini ...mana mana?
Keluaganya.
Badu : untuk apa dok?
Dokter : eh penting untuk minta izin
tindakan bla la bla
Badu : dimana yah keluarganya , mana
keteheee?
Dokter : lapor polisi dulu ih
Badu :
untuk apa dokteeeeerrrr?
Dokter : ya untuk cari keluarganya.
Badu : darurat ..emergency dok
lakukan yang terbaik saja
Dokter : yang terbaik untuk pasen belum
tentu terbaik untuk saya apa lagi menurut keluarga, hakim, jaksa atau polisi.
Nanti saya kena pasal 359 gmn? Sapa yang nolong
Badu : jadi saya harus minta izin dulu ke
pengadilan untuk tindakan dokter ya , jadi ribet gini sekarang,
Oleh karena itu Disinilah tugas Negara untuk menjamin suatu
profesi berjalan, semestinya tanpa harus
dibayang – bayangi oleh ancaman .
Suatu putusan pengadilan harus berdampak positif bukan
berdampak negative. Adapun penyimpangan – penyimpangan malpraktek dokter
harus diawasi ketat oleh komite mediknya sehingga bisa ditentukan apakah dokter
memang melakukan kesalahan atau hanya perjalanan penyakitnya (Adverse Event).
Kalau kejadian tragedi medik ini di Rumah Sakit dan
pelaksananya adalah calon dokter spesialis (PPDS) dalam masa pendidikan maka
institusi Rumah Sakit dan institusi pendidikan juga ikut bertanggung jawab
bukan hanya pribadi dokter itu sendiri. Lagipula menurut Undang - Undang ada
beberapa kewajiban Rumah Sakit yang harus terpenuhi sehingga pasien dan dokter
sama – sama aman.
DOKTER TIDAK KEBAL HUKUM DAN BUKAN HARUS DI BEDAKAN
DENGAN WARGA NEGARA LAINNYA TETAPI KALAU LAGI MENJALANKAN PROFESI YANG
MENYEREMPET MENYREMPET BAHAYA NYAWA,
MAKA DOKTER DAN PETUGAS KESEHATAN LAINNYA HARUS DILINDUNGI KARENA
NIATNYA MENOLONG , KALO ADA DOKTER YANG TERBUKTI BERNIAT MEMBUNUH PASEN
SILAHKAN DIHUKUM. Karena dokter tidak kebal hukum maka
banyak jenis hukuman untuk dokter misal dicabut lisensinya STR ,rescholing,
denda ,dipecat dari kepegawaiannya dll tetapi sudah jelas hukuman untuk dokter
atas kesalahan dokter saat menjalankan praktik kedokteranya menurut undang undang yang ada di Iindonesia
BUKAN KURUNGAN BADAN SILAHKAN PERIKSA DENGAN TELITI ATURANNYA.
dokter yang melakukan kesalahan dalam menjalankan
profesi harus ditindak tetapi tindakan dan hukumannya bukan berupa
kurungan badan(penjara) karena di uupk no 29 sudah dihapus kurungan
badan (judicial review) jadi hakim yang memutus kurungan badan untuk kasus praktek kedokteran pasti tidak update.
salut untuk hakim di PN yang lebih update dari pada seniornya di mahkamah
agung. Jadi dokter bisa dipidana kalau melanggar SOP dirumah
sakit tersebut dan melakukan pelanggaran – pelanggaran yang tidak ada
hubungannya dengan praktek kedokteran. Merujuk kasus meninggalnya Michael
Jackson, dokternya dihukum dikarenakan dia menyuntikkan obat Anestesi sejenis
Propofol yang seharusnya prosedurnya hanya boleh disuntikkan di Rumah Sakit.
Sedangkan keputusan Mahkamah Agung Nomor 365K/pid/2013
yang menyatakan bahwa dokter dipersalahkan dan mendapat hukuman kurungan adalah
tidak berdasarkan Undang – Undang Praktek Kedokteran yang sudah dilakukan
yudisial review dimana dokter tidak ada hukuman kurungan badan untuk kasus –
kasus praktek kedokteran. Sehingga dengan adanya keputusan itu Dokter dengan
Dokter Gigi di Indonesia menjadi resah karena merasa dikriminalisasi.
Kalau benar dokter dipersalahkan karena
tidak punya SIP itupun pelanggaran administrasi yang menurut UUPK yang sudah di
yudicial review dan permenkes 2052 serta
UU Rumah sakit no 44 th 2010 ,hukumannya
bukan penjara dan yang terkena bukan dokter yang bersangkutan saja justru
direktur harus kena malah lebih berat
Maka kasus mengenai dokter SPOG di Manado banyak
kejanggalan – kejanggalan dan perlu pengusutan lebih lanjut apa yang sebenarnya
terjadi.aik di pihak dokter,pasen ,pengacara ,rumah
sakit dan hakimnya. Lembaga negara yang idependen seperti KKI harus ikut menyelidiki.
Kesimpulan dan Saran
- Penegakkan hukum pada kasus –
kasus malpraktik medik, harus mempertimbangkan Undang – Undang
praktek Kedokteran daripada Undang – Undang kitab hukum pidana yang general dan
seharusnya IDI / MKEK / MKDKI dan Kolegium lebih aktif lagi
dalam menangani kasus – kasus praktik kedokteran sehingga bisa dipilah mana
yang betul pidana mana yang pelanggaran etika maupun pelanggaran administrasi.
Karena pelanggaran malpraktik medik itu tidak ada kurungan badan atau penjara.
- Aparat penegak hukum, polisi,
jaksa, hakim, terutama hakim agung harus lebih mengenal lagi hukum kesehatan
kedokteran dan istilah – istilah medis supaya tidak salah tafsir sehingga bisa
menegakkan keadilan hukum yang lebih baik lagi dan sebaiknya penanganan
malpraktik medik itu dilakukan diperadilan khusus dimana sebenarnya pihak pengadilan
atau Mahkamah Agung memasukkan hakim anggota secara Adhoc yang mengerti tentang
hukum kesehatan kedokteran sehingga keputusannya lebih tepat.
- Negara berkewajiban memberikan
perlindungan hukum kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya (DOKTER ,PERAWAT,BIDAN, APOTEKER DLL) bila sedang menjalankan tugas
profesi kesehatan yang sesuai dengan standart
pelayanan medis dan standart operasional prosedur.
- Untuk kasus SPOG di Manado
sebagai orang yang taat hukum kita harus mengikuti upaya hukum yang bisa
dilaksanakan, adalah minta Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung dan karena
ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun penjara maka sebaiknya dokter itu
bisa tidak ditahan sampai putusan PK.
- disarankan mahkamah agung mengadakan
analisa yang mendalam dengan mengundang para pakar HUKUM, KEDOKTERAN DAN HUKUM
KESEHATAN/KEDOKTERAN sehingga putusannya
benar benar akurat dan berkeadilan.
JANGAN SAMPAI KEBBENCIAN KAMU TERHADAP SUATU
KAUM MENYEBABKAN KAMU TIDAK BERLAKU ADIL (AL QURAN)
Penulis: Dr. Herry Setya Yudha Utama,
Sp.B, MH.Kes, FinaCS, ICS adalah seorang dokter Spesialis Bedah dan Magister Hukum Kesehatan , Ketua PABI wilayah III Cirebon, Ketua komite hukum dan etika IDI kab, CireBon, merupakan staff
pengajar/dosen tamu dibeberapa perguruan tinggi.
Members of INTERNATIONAL COLEGE SURGEON.
Email : herrysyu@gmail.com
No comments:
Post a Comment