PENUTUPAN LUKA LAPARATOMI YANG
KOTOR
AKIBAT PERITONITIS DIFUSE E.C. TYPHOID PERFORASI
DENGAN MENGGUNAKAN BENANG
SINTETIK ABSORBABLE
MONOFILAMENT
DI RSUD. ARJAWINANGUN, CIREBON,
JAWA BARAT
DI SUSUN OLEH:
Dr. HERRY SETYA YUDHA UTAMA, SpB, FInaCS, MHKes. ICS
www.dokterbedahherryyudha.com
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARJAWINANGUN
CIREBON – JAWA BARAT
INDONESIA
ABSTRACT
Telah
dilakukan penelitian selama 11 tahun mengenai penutupan luka laparatomi yang
kotor akibat peritonitis disfuse e.c. typhoid perforasi dengan menggunakan benang synthetic absorbable
monofilament di Rumah Sakit Umum Daerah Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat,
Indonesia.
Didapat
96 kasus, dimana 50 kasus di jahit dengan Continous
Mass Closure tanpa diperkuat (Jenkins Metoda CMC) dan 46 kasus dijahit
dengan Continous Mass Closure diperkuat dengan Smead Jones
Metoda (CMCSJ)
Dari 50
pasien yang di jahit CMC, 7 (tujuh) orang pasien (14%) mengalami infeksi luka
operasai. 2 (dua) orang pasien (4%) mengalami Granuloma benang, 1 (satu) orang pasien
(2%) terjadi Hernia Incisional dan
tidak ada yang Burst Abdomen.
Dari 46
(empat puluh enam) orang pasien yang dijahit dengan CMCSJ ternyata, ada 10
(sepuluh) orang pasien (21,7%)yang mengalami Granuloma benang, tidak satu orang
pasien pun yang mengalami Hernia atau
pun Burst Abdomen.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................
1.1. Latar
Belakang Penelitian .....................................................................
1.2. Identifikasi
Masalah .............................................................................
1.3. Maksud dan
Tujuan Penelitian ............................................................
1.4. Manfaat
Penelitian ...............................................................................
1.5. Kerangka Pemikiran,
Premis & Hipotesa .............................................
1.6. Metodologi
Penelitian ..........................................................................
1.7. Lokasi
Penelitian ..................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
2.1.
Anatomi Dinding Perut ........................................................................
2.2.
Penyembuhan Luka ..............................................................................
2.3.
Klaifikasi Benang ..................................................................................
2.4.
Prinsip Memilih Benang .......................................................................
2.5.
Prinsip dan Tehnik Penutupan Luka Laparotomi ................................
2.6.
Komplikasi pada Penutupan Luka Laparotomi ...................................
BAB III BAHAN
DAN CARA PENELITIAN .......................................................
3.1.
Bahan Penelitian ...................................................................................
3.2.
Cara penelitian ......................................................................................
3.3.
Syarat-syarat / Kriteria Pasien .............................................................
BAB IV HASIL
PENELITIAN ................................................................................
4.1.
Hubungan Komplikasi Dengan Teknik Operasi ...................................
4.2.
Hubungan Etiologi Dengan Komplikasi ...............................................
4.3.
Hubungan Lama Peritoniti Dengan Komplikasi ...................................
BAB V PEMBAHASAN
........................................................................................
BAB VI KESIMPULAN ............................................................................................
BAB VII SARAN-SARAN ........................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................................
LAMPIRAN ...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Penelitian
Menurut
Richer 1973, untuk menutup luka operasi Laparatomi, diperlukan perhatian yang
khusus; terutama luka laparatomi yang kotor, sebab sering terjadi komplikasi
apalagi bila salah teknik penutupan dan pemilihan material. Menurut Jenkins
1976 dan Maingots 1990, komplikasi yang sering terjadi antara lain berupa
infeksi luka operasi, burst abdomen,
hernia incisional, pembentukan sinus dan granuloma benang (17, 32, 34).
Richer menggunakan motode diperkuat dengan retention suture pada kasus-kasus
luka laparatomi yang kotor untuk mencegah terjadinya kompikasi hernia
insisional dan burst abdomen (32).
Di
RS. Hasan Sadikin, penelitian penutupan luka operasi laparatomi kotor dilakukan
Hanafi (1980), dengan teknik Continous
Mass Closure (Jenkins modifikasi) dan pada peritonitis umum lebih dari 3
hari jahitan penutupan Continous Mass
Closure ditambah diperkuat dengan teknik far and near (Smead Jones) dengan menggunakan benang yang diserap
polifilement. Komplikasi yang ditemukan : infeksi luka operasi 30,5%, granuloma
benang 0,3%, hernia incisional 0% dan
1,0% burst abdomen (3,36).
Sejak tahun 1980-an benang sintetik absorbable monofilamen (polidioxanone,
polyglycolic acid-trimethylene carbonate) telah secara umum digunakan untuk
penutupan luka operasi karena dianggap lebih kuat dan tidak banyak menimbulkan
reaksi jaringan, serta dapat menghambat penjalaran infeksi yang melalui benang
(Houdart, Valleur). (42)
Apakah
pemakaian teknik yang diperkuat pada penutupan laparatomi yang kotor masih
diperlukan, bila menggunakan benang sintetik abosrbable monofilamen yang
dianggap lebih baik dan kuat? Hal ini masih suatu pertanyaan yang diharapkan
akan terjawab dengan penelitian ini.
Penyulit
penutupan luka laparatomi masih ditemukan di RSUD. Arjawinangun Cirebon, walaupun
cukup kecil tetapi tetap akan meninggikan mortalitas dan morbilitas serta
menyebabkan penyembuhan luka menjadi lama dan berlarut-larut. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi untuk terjadinya komplikasi terebut diatas antara
lain: keadaan umum penderita, jenis penyakit, operator, teknik operasi yang
dipergunakan dan jenis material (benang) yang dipakai. (3,28)
Dengan
menyamakan faktor-faktor kondisi pasien, operator dan faktor material, maka
teknik operasi bisa diteliti sejauh mana pengaruhnya terhadap terjadinya
penyulit penutupan luka operasi laparatomi.
Pada
penelitian ini, dilakukan penelitian terhadap penutupan luka laparatomi yang
kotor antara teknik continous mass
closure yang diperkuat dibandingkan dengan teknik continous mass closure tanpa diperkuat, dimana angka kejadian
komplikasi sebagai tolok ukurnya.
1.2
Identifikasi
Masalah
Pertanyaan
yang dikemukakan sebagai masalah utama adalah: Adakah perbedaan antara teknik Continous Mass Closure dengan tekik Continous Mass Closure yang diperkuat
pada penutupan luka laparatomi yang kotor? Dengan kata lain apakah pengunaan
teknik Continous Mass Closure yang
diperkuat pada operasi-operasi laparatomi yang kotor mempunyai indikasi dan
alasan yang jelas bila benang yang digunkaan adalah benang absorbable synthetic monofilament?
Maka
atas dasar pertanyaan di atas akan diteliti seberapa jauh sebenarnya perbedaan
teknik Continous Mass Closure antara
yang diperkuat dengan tanpa diperkuat terhadapa terjadinya komplikasi pasca
operasi.
1.3
Maksud
dan Tujuan Penelitian
Mengetahui
sejauh mana perbedaan komplikasi yang terjadi pada penggunaan benang synthetic absorbable monofilament, untuk
menutup luka laparatomi yang kotor secara Continous
Mass Closure tanpa diperkuat dibandingkan dengan cara Continous Mass Closure yang diperkuat. Jika tidak ada perbedaan
antara pemakaian teknik Continous Mass
Closure (saja) dengan teknik Continous
Mass Closure yang diperkuat, maka penelitian ini bermanfaat untuk
menentukan strategi penutupan luka laparatomi yang kotor yaitu dengan teknik Continous Mass Closure (saja) tanpa
harus diperkuat dan ini akan menghemat pemakaian material benang (biaya) serta
mempersingkat waktu operasi.
1.4
Manfaat
Penelitian
Hasil
dari penelitian ini diharapkan sebagai tambahan informasi yang berguna untuk
mendasari rekomendasi dipakai atau tidaknya metode yang diperkuat pada teknik Continous Mass Absorbable yang diperkuat
saat penutupan luka laparatomi kotor yang menggunkan benang syntethic Absorbable monofilament di
Rumah Sakit Umum Daerah Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia sehingga
diharapkan akan menurunkan tingkat komplikasi yang nantinya dapat mempercepat
perawatan penderita.
1.5
Kerangka
Pemikiran, Premis dan Hipotesa
Menurut
Brieger, operasi laparatomi sudah berkembang sejak 2 (dua) abad yang lalu. Dalam
evolusi penyempurnaan teknik operasi ini telah banyak dilakukan
perubahan-perubahan metode sehingga komplikasi pasca operasi yang tadinya
sangat tinggi menjadi rendah. Komplikasi yang sering terjadi pada operasi
laparatomi adalah burst abdomen, hernia
incisional, infeksi luka operasi dan granuloma benang. Dengan majunya ilmu
dan teknologi bidang kedokteran, maka selain berkembangnya teknik penutupan
luka operasi juga telah berkembang bermacam-macam benang yang telah teruji
lebih kuat dan lebih inert.
Walaupun
komplikasi pasca operasi sudah semakin menurun, tetapi tetap saja insidensinya
ada walau angkanya kecil. Di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia dengan
protokol strategi penutupan luka laparatomi memakai teknik continous mass closure dengan atau tanpa diperkuat dengan
menggunakan benang absorbable synthetic
polyfilament masih terdapat komplikasi-kompikasi di atas. Pemakaian teknik
diperkuat walaupun masih diperdebatkan sering digunakan pada penutupan luka
laparatomi yang kotor, yaitu pada peritonitis umum yang lebih dari 3 (tiga)
hari.
Adapun
informasi yang menyokong pemakaian teknik yang diperkuat pada penutupan
laparatomi adalah:
1. Ketakutan
adanya penyulit burst abdomen dan hernia incisional sehingga diharapkan
teknik yang diperkuat akan mempertahankan pertautan tepi luka lebih lama dan
kuat sampai terjadi penyembuhan (G. Adams, R. Richer, 1973)
2. Teknik
yang diperkuat akan menurunkan penyulit operasi berupa burst abdomen dan hernia
incisional pada penutupan luka laparatomi (Abel, Hans, Jones, 1977).
Sedangkan
informasi yang tersedia yang tidak setuju dengan pemakaian metoda yang
diperkuat adalah:
1. Bila
teknik penutupan luka telah dilakukan secara cermat dan benar maka ketakutan
akan adanya komplikasi tidaklah beralasan (Jenkins, 1976)
2. Pemakaian
teknik yang diperkuat sering merupakan suatu “surgical ritual” yang bertujuan
hanya menyenangkan ahli bedah. Pemakaian teknik yang diperkuat dengan
menambahkan bahan dan banyaknya jahitan juga akan mengundang komplikasi baru
yang lain: kemungkinan infeksi luka semakin tinggi gangguan penyembuhan luka
atau rangsangan terhadap jaringan yang lebih tinggi (Richard Sanders, David
Diclemeni, 1977)
3. Dengan
adanya pemakaian benang absorbabe sintetik monofilamen yang secara in vitro
lebih kuat dan lebih lama bisa bertahan (kurang lebih 6 bulan) sehingga
menyebabkan pertautan luka lebih lama dipertahankan sampai sembuh maka
pemakaian teknik yang diperkuat tidak diperlukan lagi (Ray, Doddi, Regula 1981)
Dari
pendapat-pendapat di atas dapatlah dirumuskan suatu hipotesa sebagai berikut:
terdapat perbedaan komlikasi pasca bedah antara perbedaan teknik jahitan
continous mass closure (saja) dengan teknik jahitan continous mass closure yang
diperkuat terhadap penyulit pasca operasi.
1.6
Metodologi
Penelitian
Penelitian
ini dilakukan terhadap semua kasus operasi-operasi laparatomi yang kotor,
dimana di diagnosis sebagai peritonitis
diffusa dengan causa tpyhoid
perforasi. Pertonitis yang di ambil dibatasi yang lebih dari 24 jam tetapi
tidak lebih dari 4 x 24 jam ; yang datang ke RSUD. Arjawinangun mulai April
1996 sampai Maret 2007. Pasien yang masuk pada penelitian ini adalah pasien
dewasa umur 15-45 tahun.
Penelitian
dilakukan secara studi prospektif i ntervensional dengan mengambil sample
secara random.
Dilakukan
penilaian komperatif terhadap kasus peritonitis umum dimana kelompok I luka
operasinya ditutup dengan menggunakan metode Continous Mass Closure Jenkins (CMC) dan kelompok II ditutup dengan
menggunakan metode Contionous Mass
Closure Jenkins yang diperkuat dengan metode far and near Smead-Jones (CMCSJ) dan dinilai jumlah penyulit yang
terjadi yaitu infeksi luka operasi, burst
abdomen, hernia incisional dan granuloma benang.
Benang
yang digunakan adalah benang synthetic
absorbable monofilament (polidioxanone). Teknik CMC memerlukan 1 buah
benang (70 cm) untuk setiap orangnya, sedangkan teknik CMCSJ memerlukan 3 buah
benang untuk setiap orangnya.
Operasi
dilakukan oleh ahli bedah yang telah dianggap mampu dalam menguasai teknik
penutupan seperti di atas.
Pengambilan
kesimpulan dilkukan dengan menggunakan metoda statistika untuk menganalisis
data hasil yang didapat.
1.7 Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arjawinangun, terhadap semua
penderita yang dilakukan operasi laparatomi di emergensi dan dirawat di SMF
Bedah RUSD. Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat
BAB III
BAHAN
DAN CARA PENELITIAN
3.1 Bahan Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di SMF Bedah RSUD. Arjawinangun Cirebon, merupakan suatu
penelitian randomisasi prospektif intervensional terhadap pasien-pasien
peritonitis umum yang menjalani tindakan operasi laparatoi di OK emergensi dan
di rawat di ruang perawatan bedah.
Jumlah
kasus ditentukan berdasarkan kndala waktu, yaitu para penderita peritonitis
yang dilakukan operasi laparatomi (11
tahun).
Syarat-syarat
penderita yang dimasukkan ke dalam penelitian ini adalah:
1.
Laki-laki atau perempuan
dewasa.
2.
Umur antara 15-45 tahun
3.
Tidak menderita penyakit lain
seperti Diabetes Mallitus, infeksi organ lain, uremia dan keganasan.
4.
Penderita di diagnosa sebagai
peritonitis umum ec. Typhoid perforasi,
yang diperkirakan lamanya lebih dari 1 x 24 jam dan kurang dari 4 x 24 jam.
5.
Penderita tidak dalam terapi
cortiko steroid.
6.
Penderita tidak menderita penyakit
gangguan perdarahan dan pembekuan.
7.
Penderita tidak mengalami mal
nutrisi.
3.2 Cara Penelitian
3.2.1 Data pasien dicatat di dalam status pasien
dan formulir penelitian yang disediakan.
3.2.2 Secara acak pasien yang memenuhi persyaratan
di bagi ke dalam 2 kelompok, yaitu kelompok pertama ditutup dengan teknik continous mass closure cara Jenkins,
kelompok kedua ditutup dengan teknik continous
mass closure yang diperkuat dengan cara far
and near smead Jones.
3.2.3 Operasi dikerjakan di OK RSUD. Arjawinangun
1.
Operator adalah ahli bedah.
2.
Lama operasi berlangsung tidak
lebih 3 x 60 menit.
3.
Tidak digunakan
elektrocoagulasi.
4.
Penutupan luka menggunakan
benang synthetic absorbable monofilament
(polodioxanone) benang nomor 1 (satu).
5.
Bila operator lupa sehingga teknik
yang dipergunakan tertukar atau operator melanggar aturan randomisasi, maka
pasien ini dikeluarkan dari penelitian.
3.2.4
Penderita pasca operasi dirawat
di ruang perawatan bedah dan diberlakukan sama sesuai protokol perawatan serta
diberi antibiotik sesuai dengan protokol yang berlaku.
3.2.5
Balutan dibuka dan diganti pada
hari ke dua (2) pasca bedah. Penilaian keadaan luka operasi dilakukan pada hari
ke 2, ke 5, dan hari ke 10. Dinilai ada tidaknya komplikasi luka operasi
seperti: infeksi dengan melihat adanya tanda-tanda peradangan disertai nanah,
granuloma benang, hernia insisional dan burst adbomen. Khusus mengenai hernia
insisional pengamatan dilakukan di poliklinik selama tahun pertama pasca
operasi.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN
Selama 11 tahun antara telah dilakukan penelitian dan yang memenuhi
kriteria 96 pasien. Semua penderita preoperatif di diagnosa : peritoniti umum
ec. Typhoid perforasi. Semua penderita harus memenuhi kriteria penelitian yang
secara randominasi digolongkan pada dua kelompok:
-
Kelompok I luka operasinya
ditutup dengan cara continous mass closure (CMS) yaitu : 50 orang.
-
Kelompok II luka operasinya
ditutup secara continous mass closure yang diperkuat secara Smead Jones (SMCSJ)
yaitu 46 orang.
Tabel 1. Komplikasi
paska operasi
CMC (N=50)
|
CMCSJ (N=46)
|
Jumlah (N=96)
|
|
Infeksi luka
|
7
|
10
|
17
|
Granuloma benang
|
2
|
5
|
7
|
Hernia insisional
|
1
|
0
|
1
|
Burst abdomen
|
0
|
0
|
0
|
Dari
50 pasien yang dijahit CMC, 7 pasien (14%) mengalami infeksi luka operasi, 2
pasien (4%) mengalami granuloma benang, 1 pasien (2%) terjadi hernia insisional
dan tidak seorang pun pasien yang mengalami Burst Abdomen.
Dari
46 pasien yang dijahit dengan CMCSJ ternyata ada 10 pasien (21,7%) yang
mengalami infeksi luka operasi, 5 orang (10,9%) mengalami granuloma benang,
tidak satu pasien pun yang mengalami hernia atau pun burst abdomen.
Tabel 2. Hubungan
lamanya peritonitis dengan komplikasi yang terjadi pada CMC
CMC 50 kasus
|
Infeksi Luka Op.
|
Granuloma Benang
|
Hernia Insisional
|
Burst Obdomen
|
Peritonitis
24-48 jam (19 kasus)
|
1
|
0
|
0
|
0
|
Peritonitis
49-72 jam (26 kasus)
|
2
|
0
|
1
|
0
|
Peritonitis
73-96 jam (5 kasus)
|
4
|
2
|
0
|
0
|
Jumlah
|
7
|
2
|
1
|
0
|
Dari
50 kasus yang dijahit dengan CMC terdapat 19 kasus yang lama peritonitisnya
24-48 jam dimana terjadi komplikasi infeksi 1 kasus (5,2%), komplikasi lain
tidak ada.
Dari
50 kasus yang dijahit CMC terdapat 26 kasus yang lama peritonitisnya terjadi
49-72 jam, dimana terdapat komplikasi 2 kasus (7,6%) infeksi, 1 kasus hernia
insisional.
Dari
50 kasus CMC ada 5 kasus yang lama peritonitisnya 73-46 jam dan terjadi infeksi
4 kasus (80%), 2 kasus granuloma (40%).
Tabel 3. Hubungan
lamanya peritonitis dengan komplikasi yang terjadi pada CMCSJ
CMC 50 kasus
|
Infeksi Luka Op.
|
Granuloma Benang
|
Hernia Insisional
|
Burst Obdomen
|
Peritonitis
24-48 jam (18 kasus)
|
2
|
1
|
0
|
0
|
Peritonitis
49-72 jam (23 kasus)
|
3
|
2
|
0
|
0
|
Peritonitis
73-96 jam (5 kasus)
|
5
|
2
|
0
|
0
|
Jumlah
|
10
|
5
|
0
|
0
|
Dari
46 kasus yang dijahit dengan cara CMCSJ terdapat 18 kasus yang lama
peritonitisnya 24-48 jam, dengan komplikasi 2 kasus (11,1%) infeksi dan
granuloma 1 kasus (5,5%).
Dari
46 kasus CMCSJ : 23 kasus perionitisnya 49-72 jam komplikasi yang terjadi 3
infeksi (13%) dan granuloma 2 kasus (0,6%).
Dari
46 kasus CMCSJ : 5 kasus yang peritonitisnya 73-96 jam, komplikasi yang terjadi
5 kasus infeksi (100%) 2 kasus ganuloma (40%)
Semua yang dijahit dengan CMCSJ tidak ada yang
mengalami hernia dan burst abdomen.
BAB
V
PEMBICARAAN
Pada penelitian ini seluruh
penderita dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut:
50
kasus dijahit tanpa
Diperkuat
(CMC)
96
kasus memenuhi sarat
Penelitian
46
kasus dijahit
Diperkuat
(CMC)
103
pasien yang di diagnosa
peritonitis
umum yang masuk
kriteria penelitian
3
kasus melanggar kriteria
Randominasi/benang
7 kasus
digugurkan
4
kasus meninggal/ lolos dari pengamatan
Dari bagan di atas terlihat bahwa agak
sulit melakukan randominasi secara sempurna dan juga agak sulit mem-follow up pasien di poliklinik.
Pada kedua kelompok yang diperkuat dan yang tanpa diperkuat tidak
didapatkan variable yang berarti dari segi : usia, jenia etiologi, lama operasi
dan pengalaman operator; sehingga kedua kelompok cukup komperable (lihat
lampiran hasil uji komputer dengan SPSS).
Pada
penelitian ini analisa statistik digunakan 2 macam:
1.
Secara konvensional – manual
uji kolerasi
X2 = N
(ad – bc)2
m.n.r.s
2.
Secara komputerisasi dengan
metoda statistical program for social science.
Dengan
memasukkan data ke komputer dan komputer secara otomatis mengitung uji kolerasi
yang diinginkan.
Ternyata
dari kedua uji statistik baik secara konvensional maupun komputerisasi tidak
jauh berbeda.
Hubungan penyulit
infeksi dengan teknik operasi
CMC
|
CMCSJS
|
Jumlah
|
|
Infeksi
|
7
|
10
|
17
|
Tidak
Infeksi
|
43
|
36
|
79
|
Jumlah
|
50
|
46
|
96
|
X2 = N
(ad – bc)2
m.n.r.s
X2 = 96 x ( 7 x 36 - 43 x 10)2 = 3041664
50 x 46 x 17 x 79 3088900
X2 = 0,9847 (SPSS pearson X2 =
0,98471)
DF
= Derajat Kebebasan = 1
P >
0,05
Dari
tabel di atas terlihat intervensi CMC & CMCSJ terdapat penyulit infeksi
dimana CMC 14% dan CMCSJ 21,7% disini metoda diperkuat mempunyai resiko infeksi
lebih tinggi dibandingkan metoda yang tidak diperkuat.
Ini
sesuai dengan penelitian Richard Sanders & David Diclementi semakin banyak
bahan dan jahitan, angka infeksi akan semakin tinggi. Coperman mendapatkan
angka luka operasi laparatomi kotor 30% sedangkan Irvin mendapatkan 14% infeksi
pada laparatoi dengan benang sintetik yang diserap. Disini terihat bahwa anga
kejadian infeksi hampir sama dengan peneliti yang lain disimpulkan bahwa teknik
continous mass closure yang diperkuat
pada peneliti ini angka kejadian infeksinya lebih besar dibanding dengan teknik
continous mass closure yang tanpa
diperkuat. Tetapi secara statistik perbedaannya tidak signifikan.
Hubungan penyulit
granuloma benang dengan teknik operasi
CMC
|
CMCSJS
|
Jumlah
|
|
Granuloma
|
2
|
5
|
7
|
Tidak Granuloma
|
48
|
41
|
89
|
50
|
46
|
96
|
X2 = N
(ad – bc)2
m.n.r.s
X2 = 96 x ( 41 x 2 - 48 x 5)2 = 2396544
50 x 46 x 7 x 89 1432900
X2 = 1,6725 (SPSS pearson X2 =
0,67251)
DF
= Derajat Kebebasan = 1
P >
0,05
Pada tabel di atas terlihat bahwa intervensi terhadap
sample menghasilkan penyulit yang sama walaupun secara kwnatitas berbeda.
Dengan teknik CMC angka kejadian granuloma benang 4%,
ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dijahit dengan teknik diperkuat CMCSJ
yaitu 10.9% dari hsail uji statistik didapatkan bahwa perbedaan di atas belum
cukup bermakna. Ini memang mengkin dikarenakan jumlah kasus yang tidak banyak
karena insidensinya rendah.
Irvin
mendapatkan angka granuloma benang pada sintetik yang diserap 3,5%, sedangkan
Soekamto mendapatkan angka kejadian 0,3%
Teoritis benang yang diserap dengan cepat, tidak akan
sempat terjadi grauloma benang. Tetapi pada benang sintetik yang diserap malai
bulan ke 2, granuloma sempat terjadi.
Dari uji statistik terlihat bahwa walaupun
secara klinik, terdapat perbedaan angka kejadian granuloma pada kedua teknik,
namun secara statistik belum terihat bermakna. Sehingga kejadian granuloma
tidak berbeda antar CMC dengan CMCSJ bila digunakan benang yang synthetic absorbable monofilament.
Hubungan
penyulit hernia insisional dengan teknik operasi
CMC
|
CMCSJS
|
Jumlah
|
|
Hernia
|
1
|
0
|
1
|
Tidak Hernia
|
49
|
46
|
95
|
50
|
46
|
96
|
Chi
– Square
Value DF Significance
Pearson 0.929 1 0,335
Continuity
correction 0
1 1,000
Mantel-Haenszel Test :
For
linear association 0,920 1 0,337
Fisher’s exact test:
One – tai 0,521
Two – tail 1,000
Pada tabel diatas didapatkan : bahwa dengan teknik
continous masss closure yang diperkuat, tidak ditemukan penyulit hernia
insisional. Sedangkan pada teknik yang tanpa diperkuat terdapat penyulit hernia
insisional 1 kasus (2%).
Secara statistik perbedaan di atas tidak bermakna mengkin
ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya hernia insisional pada 1 kasus di
atas.
Scheidel dan Hohl menemukan agaka hernia insisional 5%
pada luka operasi ginekologi dengan benang statistik diserap monofilamen pada
tahun pertama, sedangkan Cameron dengan teknik continous mass closure for and near Smead Jones mendapatkan angka
hernia insisional dengan benang yang diserap 5,2%.
Pada penelitian ini, tidak didapatkannya hernia
insisional pada teknik yang diperkuat serta rendahnya angka hernia insisional
pada yang tanpa diperkuat mungkin dikarenakan end point waktu untuk observasi hanya 6 bulan. Bila observasi
waktunya panjang 1-2 tahun mengkin insiedensinya ada.
Hubungan
penyulit burst abdomen dengan teknik operasi
CMC
|
CMCSJS
|
Jumlah
|
|
Burst
|
0
|
0
|
0
|
Tidak Burst
|
50
|
46
|
96
|
Jumlah
|
50
|
46
|
96
|
Karena angka kejadian burst pada kedua teknik
tidak didapatkan, maka X2 : tidak dapat dihitung.
Dari
tabel di atas terlihat bahwa baik teknik yang diperkuat maupun yang tanpa
diperkuat bila menggunakan benang yang diserap monofilament synthetic tidak
didapatkan burst abdomen. Soekamto mendapatkan angka burst abdomen 1,0% dengan
benang polyfilamen yang diserap, sloop dengan benang yang diserap dan teknik
continous mass closure mendapatkan angka burst abdomen 1,5%. Maingot
berpendapat bahwa tingkat kejadian burst pada operasi laparatomi adalah 0,5 –
3%.
Menurut
Jenkins, terjadinya burst abdomen adalah faktor mekanis (terputusnya benang,
terurainya simplu, dll). Bila teknik penutupan luka telah dilakukan secara
cermat dan benar, maka ketakutan adanya komplikasi burst abdomen tidaklah
beralasan.
Uji
kolerasi antara etioloi peritonitis dan lamanya peritonitis terhadap penyulit
paska operatif didapatkan : perbedaan angka penyulit pada kedua teknik operasi
tidak signifikan .
BAB VI
KESIMPULAN
Setelah dilakukan analisa uji statistik maka
didapatkan hasil sebagai berikut:
1.
Angka kejadian infeksi luka
operasi pada continous mass closure yang diperkuat lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tanpa diperkuat walaupun perbedaannya tidak bermakna secara
statistik.
2.
Angka kejadian granuloma benang
pada continous mass closure yang diperkuat lebih tinggi di banding dengan yang
tanpa diperkuat walaupun perbedaannya tidak bermakna secara statistik.
3.
Masih didapatkan penyulit
hernia insisional pada teknik continous
mass closure tanpa diperkuat, sedangkan pada teknik yang diperkuat tidak
didapatkan hernia insisional, tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara
statistik.
4.
Pada penelitian ini tidak
didapatkan burst abdomen baik pada teknik continous mass closure yang diperkuat maupun pada teknik yang tanpa
diperkuat.
Dari hasil perhitungan statistik di atas dapat
disimpulkan: Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara
teknik continous mass closure yang diperkuat dengan yang tanpa diperkuat
terhadap penyulit pasca operasi pada penutupan laparatomi yang kotor.
BAN VII
SARAN –
SARAN
Pada penelitian ini tidak ditemukan
perbedaan yang bermakna pada kedua teknik yang dilakukan, maka disarankan pada
penutupan luka laparatomi kotor yang menggunakan benang sintetik absorbable
monofilamen bisa menggunakan teknik continous mass closure diperkuat maupun
teknik tanpa diperkuat.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
menghasilkan nilai-nilai yang lebih bermakna, sehingga didapatkan nilai
signifikasi yang lebih akurat.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Abernadhy; Hasken : Surgical
Secret, Hanley & Bel Fus inc. 2nd ed, Philadelpia, 1991.
2.
Barus J.F. dkk : Prediktor
infeksi luka operasi pada laparatomi untuk perforasi appendiks di RSCM PIT
IKABI IX Semarang 1994.
3.
B. Hanafi : Tehnik menutup luka
laparatomi yang terkontaminasi, Ropanasuri vol 12: 1, Hal 9-12, Jakarta 1989
4.
Betty Kir & Wood :
Essensial of medical statistics; Black weel statistific Pub ; Oxford, 1988.
5.
Byron Masterson : In vivo tissu
reactivity and degradation of suture materials : A comparison of Maxon and PDS,
Journal of Gynecologyc Surgery. Mary Ann Liebert Pub. Col 5: 36, Gainesville
1989.
6.
D. Atmadilaga : Buku pintar
panduan penulisan skripsi, tesis & disertasi Pionir Jaya, ed I, Bandung
1994.
7.
Donal Fry : Adbominal wall
considerations and complications ini Re operative surgery, The Surgical clinics
of North America; vol. 71 : 1, Philadelpia, Feb 1991.
8.
Dunn DC : Surgical Diagnostic
And Management Ed. 2 Blackweel Scientific Pu. London 1991.
9.
Erwin Thal : Post operative
complication in abdominal trauma, the Surgical Clinics of North America, vol.
70 : 3 : Philedelpia, June 1990.
10.
G. Wind : Principles of Surgical technique the art of
surgery, unformed services University of the Health Sciences, 2nd
ed, Bethesda 1987.
11.
G. Bongiovanni : Essentials of
clinical gastroenterology; Mc Graw-Hill, ed I, 1988.
12.
Hugh-Dudley : Hamilton Bailey
Ilmu Bedah Gawat Darurat, Gajah Mada Univ. Pres; ed 11. Yogyakarta, 1992.
13.
Hollinshead W. H. : Anatomy for
Surgeon, vol 3, International Ed. New York 1976.
14.
Hunt, Jewetz : Inflamasi,
Infection and antibiotic in Dumphy J.E. Current Surgical Diagnosis and
Treatment, Ed. 3 Lange Med. Pub. California 1977 : 122-146.
15.
Holmlud et all : Suture and
technique for wound closure, Medical and Surgical Pub. Naimark and Barba, New
York 1976.
16.
Ingel Finger : Bio Statistics
in clinical medicine, 2 ed, Mac Millan Pub Co, New York 1987.
17.
Jenkins, T. 1976, The Burst
Abdominal Wound : A Mecanical Aproach. Br.J. Surgery, vol. 62, P 873-876.
18.
J. E. Skandalakis : Anatomical
complication in general surgery; Mc Graw-Hill Book Company : International Ed,
New York, 1986.
19.
Jarrel BE; Carabasi III :
Surgery, Wiley Medical Pub, International Ed, Pennsylvania, 1986.
20.
L. Norton : Surgical Decision
Making, WB Saunders Corp, 2nd ed, Philadelphia 1986.
21.
Lawrence Way : Surgical
diagnostics & treatment ; Prentice Hall International ed 10 ; San Francisco,
1994.
22.
Lerwick : Studies on the
efficacacy and cafety polydioxanone monofilement absorsbable suture; Surgery
Gyn Obs : vol 156, January 1983, p. 51-55.
23.
Lerwick, E. 1983. Study on the
efficacacy and cafety polydioxanone monofilement absorsbable suture, Journal
Surgery, Gynaecology and Obstetrics, vol. 156, p. 51-56.
24.
Metz, A. S. 1989. In vivo
tissue reactivity and degradation suture material : A comparison of Maxon and
PDS. Journal of Gynecologic Surgery, vol. 0 p. 37-46
25.
Neal Kon, Meredith : Abdominal
wound closure ; American Surgeon vol 50 : 10, October 1984.
26.
Patrick Boisel : A News
technique for closing abdominal incesions in patiens with poor wound healing,
the American Journal of Surgery, vol 143, March 1982.
27.
Ronald Hoile : The use of a new
suture materials in biliary tract ; annalis of Royal Collage of Surgeons of
England, vol 65, 1983.
28.
R. Anton, B. Hanafi : Pola
peritonitis yang dirawat di RSHS Bandung 1992-1993, PIT IX IKABI, Semarang
1994.
29.
R. Sneil : Clinical anatomy of
medical student : little Bown Corp. 3rd ed, Washington DC, 1986.
30.
R. Cordon : Manual of Surgical
therapeutics ; 7 ed, Boston, 1988.
31.
Ray. J. 1981. Polydioxanone, a
novel monofilament synthetic absorbable suture, Journal Surgery , Gynecologic
& Obstetric, New Jersey, vol. 153, p 1-11.
32.
Richter, R. 1973. Safe method
of closure with retention suture. Surgical Services, New York : P 981-982.
33.
Schaidel and Hold. 1987. Modern
synthetic suture material and abdominal wound closure techniques.
Gynaecologycal Syrgery. Vol. 2, p. 223-246.
34.
Schwartz, SI. 1990. Maingot’s
abdominal operations ed 9th Prentice Hall International Inc. New
Jersey : p. 181-196.
35.
Sanders, R. 1977. Principles of
abdominal wound closure, Arch Surgery, vol 112, p. 1188-1191.
36.
Soekamto, S. 1984. Penutupan
luka laparatomi dengan benang yang diserap, Bandung, Bagian Ilmu Bedah RS.
Hasan Sadikin.
37.
Sabiston : Text book of
surgery, WB Saunders Corp. 13rd ed, Philadelphia, 1986.
38.
S. White head : Illustrated
operation notes : Hodder & Stoughton Limited, ed 1, London 1988.
39.
Schwartz S.I. : Principles of
surgery, Mc Graw Hill, 5 ed, New York, 1989.
40.
Taylor, T. 1985. The use og
polydioxanone suture in mid line incision, Journal of Royal College of
Edinburgh, Manchester : vol 30, p. 873-876.
41.
Thorek : Atlas of surgical
techniques, Harper & Row Pub, Inc, ed 2, New York, 1970.
No comments:
Post a Comment