"A Man can't make a mistake can't make anything"

Monday, 21 October 2013

TRAUMA ABDOMEN DAN PENATALAKSANAAN OLEH HERRY SETYA YUDHA UTAMA


PENDAHULUAN

Dibawakan pada Seminar Trauma 26 Oktober 2013 di Rumah Sakit Mitra Plumbon Cirebon

           I.I  Latar Belakang
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera. Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. Trauma penetrasi dan Trauma non penetrasi.
Pukulan langsung, misalnya kena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang masuk (intruded) pada tabrakan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan cedera tekanan atau tindasan pada isi abdomen. Kekuatan ini merusak bentuk organ padat atau berongga dan dapat mengakibatkan ruptur, khususnya pada organ yang menggembung (misalnya uterus yang hamil), dengan perdarahan sekunder dan peritonitis. Shearing injuries pada organ isi abdomen merupakan bentuk trauma yang dapat terjadi bila suatu alat penahan (seperti sabuk pengaman jenis lap belt atau komponen sabuk bahu)dipakai dengan cara yang salah.
Penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat menderita cedera deceleration karena gerakan yang berbeda dari bagian badan yang bergerak dan yang tidak bergerak, pada hati dan limpa yang sering terjadi (organ bergerak) ditempat jaringan pendukung (struktur tetap) pada tabrakan tersebut. Pada penderita yang dilakukan laparatomi oleh karena trauma tumpul (blun injury), organ yang paling sering cedera, adalah limpa (40 – 55%), hati (35 – 45%)dan hematoma retroperitoneum (15%).

I.2  Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang anatomi abdomen, definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, dan penatalaksanaan trauma abdomen.

I.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan referat ini adalah:
1.      Memahami  mengenai anatomi abdomen.
2.      Memahami mengenai trauma abdomen.
3.      Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di dalam bidang kedokteran khususnya bagian ilmu bedah.
4.      Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas YARSI dan RSUD Arjawingaun.

I.4  Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada beberapa literatur.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
“TRAUMA ABDOMEN”
II.1 ANATOMI ABDOMEN
Cavum Abdominalis
            Cavum abdominalis adalah rongga batang tubuh yang terdapat diantara diaphragma dan apertura pelvis superior. Cavum abdominalis merupakan rongga yang terbesar dari ketiga rongga tubuh yang terdiri atas cavum cranii, cavum thoracalis, dan cavum pelvicum. Cavum abdominalis dibatasi oleh :
·         Kranial         : diaphragma
·         Ventrolateral : otot dinding perut dan m. Illiacus
·         Dorsal          : columna vertebralis
                                   m. psoas major
                                   m. psoas minor
                                   m. quadratuslumborum
·         Kaudal         : apertura pelvis superior mencakup pelvis major
Cavum abdominalis tidak sesuai dengan batas tulang yang membatasinya karena :
1.      Diaphragma berbentuk kubah dan menjorok ke dalam cavum thoracalis sampai setinggi costa V (di kanan) sedangkan di kiri kira – kira 2,5 cm lebih rendah.
2.      Dibagian kaudal cavum abdominalis juga menjorok sampai ke cavum pelvicum dan mencakup pelvis major.

Lapisan Dinding Abdomen
1.      Stratum superficialis (lapisan dangkal)
a.       Cutis
b.      Subcutis (fascia abdominalis superficialis)
·      Lamina superficialis (fascia camperi)
·      Lamina profunda (fascia scarpae)
2.      Stratum intermedius (lapisan tengah)
a.       Fascia abdominalis
b.      Otot – otot dinding perut
c.       Aponeurosis otot dinding perut
d.      Tulang
3.      Stratum profunda (lapisan dalam)
a.       Fascia transversalis
b.      Panniculus adiposus preperitonealis
c.       Peritoneum parietale

Otot-otot Dinding Perut
1.      Musculi anterolaterales
a.       mm. Obliqua (otot serong dinding anterior)
·         m. Obliqus externus abdominis
·         m. Obliqus internus abdominis
·         m. Transversus abdominis
b.      mm. Recti (otot lurus dinding anterior)
·         m. Rectus abdominis
·         m. Pyramidalis
2.      Musculi posteriores
a.       m. psoas major
b.      m. psoas minor
c.       m.iliacus
Actio otot – otot dinding perut :
1.      Fixatio organa viscerales abdominales
2.      Melakukan gerakan pada columna vertebralis, yaitu :
·      Anteflexio tubuh (m. Rectus abdominis)
·      Torsio batang tubuh (mm. Obliqus externus et internus abdominis)
3.      Membantu akhir ekspirasi (mm. laterales)
4.      Meningkatkan tekanan intra abdominal, misalnya pada pampat perut (buik-persen)

Vaskularisasi Dinding Abdomen
Pembuluh Nadi
Dinding abdomen diperdarahi oleh :
1.      Aa. Intercostales VII – XII
2.      Aa. Lumbales
3.      A. Epigastrica superior
4.      A. Epigastrica inferior
5.       Aa. Inguinales superficiales
6.      A. Circumflexa ilium profunda
            Aa. Intercostales dipercabangkan dari aorta thoracalis, lalu berjalan di dalam sulcus costae. Setelah keluar dari sulcus costae maka ke-6 Aa. Intercostales terletak diantara m. Transversus abdominis an m. Obliqus internus abdominis. Aa. Intercostales mempercabangkan :
a.       Rr. Posterior aa. Intercostales untuk otot punggung
b.      Rr. Laterales aa. Intercostales 
c.       Rr. Anterior aa. Intercostales, mengurus dan memasuki vagina m. Rectus abdominis
            Aa. Lumbales, biasanya empat pasang, dipercabangkan dari Aorta abdominalis setinggi vertebrae lumbales I – IV. Aa. Lumbales berjalan ke lateral pada corpora vertebrae lumbales di sebelah dorsal truncus symphaticus.
            A. epigastrica superior merupakan salah satu cabang akhir A. mammaria interna (A. thoracica interna), dipercabangkan setinggi spatium intercostales VI. Setelah meninggalkan cavum thoracis, A. epigastrica superior memasuki vagina m. Rectus abdominis di sebelah dorsal cartilago costae VIII. Mula – mula terletak dorsal terhadap m. Rectus abdominis lalu menembus otot tersebut untuk beranastomosis dengan A. epigastrica inferior.
            A. epigastrica inferior (A. epigastrica profunda) dipercabangkan dari A. iliaca externa tepat kranial ligamentum inguinale Pouparti, lalu berjalan ke arah ventral di dalam jaringan subperitoneal. Selanjutnya A. epigastrica inferior berjalan miring ke kranial di sepanjang tepi medial annulus inguinalis profundus.
            Setelah menembus fascia transversalis, A. epigastrica inferior berjalan di sebelah ventral linea semicircularis Douglasi ke arah kranial di antara m. Rectus abdominis dan lamina posterior vagina m. Rectus abdominis. Kranial terhadap umbilicus, A. epigastrica superior dan Aa. Intercostales.
A.epigastrica inferior mempercabangkan :
·      cremasterica (A. spermatica externa)
·      R. pubicus a. epigastrica inferior
·      Rr. Musculares


Pembuluh Balik Dinding Abdomen
1.      Vv. Superfcialies (pembuluh balik dangkal).
Membentik anyaman pembuluh balik yang luas di jaringan subkutis lalu bermuara ke dalam :
·         V. epigastrica superficialis, yang selanjutnya bermuara ke V. Femoralis
·         V. thoraco-epigastrica, bermuara ke dalam V. Axillaris
            Disekita umbilikus terdapat pembuluh balik dangkal yang dinamakan Vv. Paraumbilikalis Sappeyi dan berjalan disepanjang ligamentum teres hepatis mulai dari umbilikus sampai ke dalam sisa V. Umbilikalis yang masih terbuka. Bila terjadi bendungan pada V. Porta (misalnya pada hipertensi portal), Vv. Paraumbilikalis Sappeyi mengalami varises dan membentuk gambaran yang dinamakan Caput Medussae.  
2.      Vv. Profundi, biasanya mengikuti pembuluh nadinya

Persarafan Dinding Abdomen
1.      Nn. Thoracales VII – XII
            Rr.ventrales nn thoracales VII – XII (Nn intercostales) berjalan diantara m. Obliqus internus abdominis dan m. Transversus abdominis. Rr. Cutanei anteriores dipercabangkan setelah menembus vagina M. Rectus abdominis, sedangkan RR cutanei laterales dipercabangkan sekitar umbilikus.
            Nn thoracales VII –XII juga mempersarafi m. Rectus abdominis sehingga kerusaka saraf tersebut dapat menimbulkan kelumpuhan m. Rectus abdominis.
            Nn thoracalis VII mempersarafi kulit dinding abdomen setinggi proc. xiphoideus, Nn thoracales VIII – IX antara proc. xiphoideus dan umbilikus, N.thoracalis X setingi umbilikus sedangkan N. Thoracalis XII mengurus pertengahan antara umbilikus dan symphisis osseus pubis.

2.      N. Lumbales I
N lumbalis I berjalan sejajar dengan Nn thoracales dan mempercabangkan :
·         N. iliohypogastricus
·         N. Iloinguinalis
            Nn. Iliohypogastricus et ilioinguinales berjalan diantara m. Obliqusinternus abdominis dan m. Transversus abdominis sampai spina iliaca anterior superior. Kira – kira 2,5 cm disebelah kranial annulus inguinalis superficialis, Nn. Iliohypogastricus menembus aponeurosis otot serong dinding perut dan berubah menjadi saraf kulit.
            N. Iloinguinalis berjalan di kanalis inguinalis lal mempersarafi kulit disekitar radix penis, bagian ventral scrotum dan kulit tungkai atas didekatnya.
            N thoracalis XII (N subcostalis) dan N lumbalis I merupakan saraf yang paling penting karena keduanya mempersarafi alat – alat penting di bagian kaudal dinding abdomen.

II.2  TRAUMA ABDOMEN
Definisi
            Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera. Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. Trauma penetrasi dan Trauma non penetrasi.
1)      Trauma penetrasi
 a. Luka tembak
 b. Luka tusuk
2)      Trauma non-penetrasi
 a. Kompresi
 b. Hancur akibat kecelakaan
 c. Sabuk pengaman
 d. Cedera akselerasi

Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :
1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.

            Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.

Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997) terdiri dari:
1.Perforasi organ viseral intraperitoneum
  Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen
2.Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
  Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3.Cedera thorak abdomen
   Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi.
Etiologi
1. Penyebab trauma penetrasi
    - Luka akibat terkena tembakan
    - Luka akibat tikaman benda tajam
    - Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
    - Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
    - Hancur (tertabrak mobil)
    - Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
    - Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
Patofisiologi
            Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.
            Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan.
Manifestasi Klinis
            Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :
- Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
- Terjadi perdarahan intra abdominal.
- Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena)
- Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
- Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.
Ø

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
- Terdapat luka robekan pada abdomen
- Luka tusuk sampai menembus abdomen
- Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan
- Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

Diagnosa
            Pada penderita hipotensi, tujuan sang dokter adalah secepatnya menentukan apakah ada cedera abdomen dan apakah itu penyebab hipotensinya. Penderita yang normal hemodinamiknya tanpa tanda – tanda peritonitis dapat dilakukan evaluasi yang lebih teliti untuk menentukan cedera fisik yang ada (trauma tumpul).
A.    Riwayat trauma
            Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera organ intra-abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.
B.     Pemeriksaan fisik
            Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif , harus direkam dengan teliti dalam catatan medis.
            Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal
1.      Inspeksi
            Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati – hati untuk mempermudah pemeriksaan lengkap.
2.      Auskultasi
            Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur berdektan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.
3.      Perkusi
            Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.
4.      Palpasi
            Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitjan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba – tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Dengan palpasi juga dapat ditentukan uterus yang membesar dan diperkirakan umur janin.

C.    Pemeriksaan penunjang
            Selanjutnya, luka retroperitoneal dan panggul tidak dapat dikesampingkan hanya didasarkan pada temuan fisik. Kami menganggap bahwa evaluasi abdomen yang objektif diperlukan dan harus didapatkan dengan memanfaatkan salah satu modalitas diagnostik yang tersedia di samping pemeriksaan fisik. Tes pilihan akan tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien dan keparahan cedera terkait.
Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai dievaluasi oleh studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil prioritas dan pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum evaluasi perut objektif. Dalam kasus seperti itu, peritoneal lavage diagnostik biasanya dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen dan memerlukan eksplorasi bedah segera. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi, jika tersedia, atau dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen sebagai sumber hilangnya darah dan hipotensi.

Pemeriksaan Rontgen
            Pemeriksaaan ronsen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik normal maka pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk mengetahui uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparatomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal.

Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
                        Diagnostik peritoneal lavage merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk mengid            entifikasi cedera intra-abdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi atau tidak responsif tanpa indikasi yang jelas untuk eksplorasi abdomen.
Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat penderita dengan hemodinamik abnormal dan menderita multitrauma, teristimewa kalau terdapat situasi sebagai berikut :
·         Perubahan sensorium – cedera kepala,intoksikasi alkohol, penggunaan obat terlarang.
·         Perubahan perasaan – cedera jaringan saraf tulang belakang.
·         Cedera pada struktur berdekatan – tulang iga bawah, panggul, tulang belakang dari pinggang bawah (lumbar spine).
·         Pemeriksaan fisik yang meragukan.
·         Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan pasien

                        Pemeriksaan fisik awal abdomen sering gagal untuk mendeteksi cedera abdomen yang signifikan dalam konteks trauma multisistem. Penundaan dalam mendiagnosis menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan kematian, rawat inap berkepanjangan, dan akhirnya, biaya kesehatan lebih besar. Pengenalan Diagnostik Peritoneal Lavagediagnostik (DPL) pada tahun 1965 memberikan metode yang aman dan murah untuk dengan cepat mengidentifikasi ancaman cedera intraperitoneal. Meskipun popularitas yang luas biasa dari CT scan di Amerika Serikat dan ultrasonografi di Eropa dan Jepang, kami percaya DPL tetap merupakan bagian integral dari evaluasi pasien trauma abdomen.
                        Ada tiga metode dasar memasukkan kateter DPL ke dalam rongga peritoneal. Pendekatan tertutup terdiri dari memasukkan kateter dalam motode blind percutaneus. Masalah utama dengan pendekatan ini adalah kedalaman penetrasi tidak dapat terukur, yang membuat struktur intraperitoneal atau retroperitoneal mengalami risiko perforasi. Sayangnya, teknik Seldinger wire pada orang dewasa  masih kurang optimal karena kurangnya pengembalian lavage. Prosedur terbuka, melintasi dinding perut dengan visualisasi langsung, lebih aman, tapi menghabiskan lebih banyak waktu, dan udara dapat masuk ke dalam rongga peritoneum. Kami lebih suka teknik semiopen dilakukan pada cincin infraumbilical sebagai solusinya, pendekatan ini cepat, mudah, dan sangat dapat diandalkan. Prosedur yang sama dapat digunakan pada pasien dengan fraktur panggul karena hematoma yang membesar di anterior dibatasi oleh cincin infraumbilical. Sebelum memperkenalkan kateter dan DPL, kandung kemih yang membesar didekompresi dengan NGT dan kateter Foley. Daerah periumbilikalis dicukur, disiapkan dengan solusi povidone-iodida, dan dibungkus secara steril. Daerah ini di anestesi dengan anestesi lokal (1% tanpa epinefrin Xylocaine). Sebuah sayatan melengkung dibuat untuk satu sisi umbilikus, pada tingkat cincin infraumbilical. Keuntungan dari membuat sayatan pada daerah ini adalah vaskularitas yang relatif sedikit, kurangnya lemak preperitoneal, dan dinding dari peritoneum yang tidak keras karena dihasilkan dari sisa-sisa arteri umbilikalis dan urachus. Sayatan dilakukan ke linea alba, sambil memastikan hemostasis pasien secara teliti. Sebuah sayatan 5mm dibuat di linea alba, dan ujung-ujung bebasnya difiksir dengan klem. Sementara meninggikan dinding perut dengan traksi pada klem, kateter dialisis standar dengan trocar kemudian dimasukkan ke dalam rongga peritoneum ke arah panggul. Setelah kateter dimasukkan ke dalam peritoneum, trocar ditarik dan kateter diarahkan ke panggul
                        Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage efluen berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari 100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan. Indikasi dan kontraindikasi untuk peritoneal lavage tercantum dalam Kotak 20-3. Tes ini sangat sensitif terhadap adanya darah intraperitoneal, namun, spesifisitas yang rendah dan karena tes positif mendorong eksplorasi bedah, sejumlah besar eksplorasi akan nontherapeutic. Luka signifikan juga mungkin terlewatkan oleh peritoneal lavage diagnostik. trauma diafragma, hematoma retroperitoneal, dan ginjal, pankreas, kandung kemih luka duodenum, usus kecil, dan sering kurang terdiagnosis oleh peritoneal lavage saja. Komplikasi jarang terjadi dan sebagian besar terkait dengan cedera iatrogenik disebabkan selama penyisipan kateter ke dalam rongga perut. Sebuah teknik semi-terbuka atau terbuka menjadi metode yang disukai untuk menghindari atau mengurangi timbulnya komplikasi tersebut.
                        Diagnostik hasil lavage peritoneum dapat menyesatkan dengan adanya patah tulang panggul. Hasil positif palsu diharapkan karena perdarahan dari retroperitoneum ke dalam rongga peritoneal. Luka perut dan sisi anterior dapat secara akurat dievaluasi oleh peritoneal lavage. Hasil positif palsu sering terjadi setelah peritoneal lavage karena perdarahan dari dinding perut, sehingga meningkatkan jumlah eksplorasi negatif. Kelemahan lain peritoneal lavage potensi adalah akurasi rendah dalam diagnosis cedera viskus berongga. Masih ada perdebatan mengenai kriteria positif yang paling tepat untuk menentukan ambang batas untuk eksplorasi bedah setelah menusuk luka perut. Jika jumlah sel darah merah 1000/mm3 dianggap, jumlah eksplorasi negatif mungkin di atas 20%. Jika hitungan 100.000 / mm3 dianggap, tingkat cedera terjawab akan mendekati 5%. Tidak ada konsensus mengenai hal ini, meskipun pusat-pusat trauma yang paling menggunakan ambang rendah (jumlah sel antara 1000 dan 5000/mm3) untuk eksplorasi.
            Diagnosis luka tusuk abdomen penetrasi perut anterior dapat dievaluasi dengan diagnostik peritoneal lavage dalam upaya untuk menentukan apakah pasien berada dalam keadaan gawat darurat atau tidak. Pasien dengan hemodinamik stabil disertai pemeriksaan fisik yang normal diperiksa dan dievaluasi dengan peritoneal lavage tertutup. Jika jumlah sel darah merah dalam cairan lavage lebih besar dari 1000/mm3, pasien dirawat untuk observasi. Pasien dengan hemodinamik stabil disertai eviserasi tapi tanpa nyeri perut harus diobservasi di ugd. Pada 44 pasien jumlah sel darah merah kurang dari 1000/mm3, 34 dipulangkan ke rumah, dan tidak diperlukan laparotomi. Tiga puluh delapan pasien diamati karena jumlah sel darah merah lebih besar dari 1000/mm3. Dari delapan pasien yang menunjukkan tanda-tanda peritoneal dan menjalani laparotomi eksplorasi, ada lima pasien yang positif. Penulis menyimpulkan bahwa pasien yang mempertahankan luka tusukan dapat pulang dengan aman ke rumah jika jumlah sel darah merah kurang dari 1000/mm3, asalkan hemodinamik stabil dan tidak memiliki indikasi yang jelas, berdasarkan pemeriksaan fisik, dan untuk intervensi operatif. Tetapi pendekatan ini memerlukan validasi lebih lanjut.


Kriteria untuk trauma abdomen yang positif DPL berikut tumpul
Index
Positive
Equivocal
Aspirate


Blood
>10 mL
-
Fluid
Enteric contents
-
Lavage


Red blood cells
>1.000.000 / mm3
>20.000 / mm3
White blood cells
>1.000.000 / mm3
>500 / mm3
Enzyme
Amylase >20 IU/L and alkaline phosphatase >3 IU/L
Amilase >20 IU/L or alkaline phosphatase >3 IU/L
Bile
Confirmed biomechanically
-


 


           Ultrasound diagnostik (USG)
                        USG telah sering digunakan dalam beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen. Tujuan evaluasi USG untuk mencari cairan intraperitoneal bebas. Hal ini dapat dilakukan secepatnya, dan ini sama akuratnya dengan diagnostik peritoneal lavage untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa meskipun tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di intrapreitoneal. Mesin portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa menunda tindakan resusitasi pada pasien tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal lavage adalah USG merupakan tindakan yang non-invasif. Tidak diperlukan adanya tindakan lebih lanjut setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Hasil CT dari abdomen biasanya sama dengan USG bila hasilnya positif pada pasien yang stabil. Keuntungan dan kerugian dari USG perut terdapat dalam Kotak 20-4. Sensitivitas berkisar dari 85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%.
                        Penggunaan USG untuk evaluasi trauma tembus abdomen dilaporkan terbatas. Baru-baru ini, sebuah studi prospektif dilakukan untuk mengevaluasi kegunaan USG sebagai tes skrining pada trauma tembus dan pada trauma tumpul. Penelitian ini melibatkan luka tusuk serta luka tembak. Sensitivitas USG keseluruhan adalah 46% dan spesifisitas adalah 94%. Studi ini menunjukkan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti pada trauma tumpul. Jika USG positif, pasien harus dioperasi. Jika negatif, pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan.

            Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen)
                        CT adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma abdomen tumpul yang stabil. Retroperitoneum dapat dievaluasi dengan baik oleh CT. Indikasi dan kontraindikasi CT perut tercantum dalam Kotak 20-5. Kelemahan dari CT adalah bahwa pasien harus dibawa ke ruangan radiologi, dan mahal dibandingkan dengan tes lainnya. CT juga mengevaluasi cedera organ padat, dan pada pasien stabil dengan USG positif itu diindikasikan cedera organ dan perlu untuk evaluasi dengan menggunakan ekstravasasi kontras. Jika ekstravasasi media kontras terlihat, bahkan dalam trauma hepar atau trauma limpa, maka suatu laparotomi eksplorasi atau, yang lebih baru lagi yaitu angiografi dan embolisasi harus dilakukan. Indikasi lain untuk CT adalah dalam evaluasi pasien dengan cedera organ padat yang awalnya dirawat dengan keadaan non-operatif yang disertai adanya penurunan nilai hematokrit. Kekurangan CT yang paling utama adalah ketidakmampuan untuk mendiagnosa cederal organ viskus berongga (Kotak 20-6). Biasanya, adanya cairan bebas pada CT abdomen tanpa cedera organ padat harus diwaspadai adanya cedera pada mesenterika, usus, atau kandung kemih, dan laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan.

                        Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma tumpul abdomen oleh CT adalah apa yang harus dilakukan ketika ditemukan adanya cairan bebas tanpa tanda-tanda organ padat atau cedera mesenterika. Ditambah dengan sensitivitas yang relatif kurang bagi CT untuk mendiagnosa cedera viskus berongga, itu menciptakan dilema bagi dokter bedah. Pilihan yang baik untuk pasien adalah pembedahan eksplorasi abdomen dan menerima tingkat resiko yang signifikan pada laparotomi nontherapeutic atau untuk mengamati dan "bertindak" ketika tanda-tanda peritoneal berkembang, mengingat bahwa keterlambatan dalam diagnosis cedera usus adalah fatal. Sebuah survei terbaru dari dokter bedah trauma yang ditanya apa yang akan menjadi penatalaksanaan yang tepat pasien dalam keadaan ini menunjukkan berbagai tanggapan: 42% akan melakukan diagnostik peritoneal lavage, 28% akan mengamati pasien, 16% laparotomy eksplorasi, dan 12% akan mengulangi CT perut. Keakuratan CT berkisar antara 92% sampai 98% dengan tingkat positif palsu dan negatif palsu yang rendah.
                        Meskipun penggunaan CT abdomen dalam evaluasi trauma tembus abdomen telah dibatasi karena sensitivitas rendah dalam mendiagnosis cedera usus dan cedera diafragma, teknologi baru (CT spiral) telah dievaluasi dalam situasi ini dan dengan demikian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan penatalaksanaan nonoperative pada kasus tertentu. Manajemen nonoperative luka tusukan di perut anterior telah ditekankan karena tingkat morbiditas tinggi setelah laparotomi nontherapeutic. Dalam satu studi, triple kontras heliks CT dievaluasi sebagai alat diagnostik pada cedera tembus abdomen. Penulis menyimpulkan bahwa CT akurat untuk memprediksi kebutuhan laparotomi pada 95% pasien.



DPL VERSUS ULTRASOUND VERSUS CT SCAN PADA TRAUMA TUMPUL


DPL
USG
CT
Indikasi
Menentukan adanya perdarahan bila ↓ BP
Menentukan cairan bila ↓ BP
Menentukan organ cedra bila BP normal
Keuntungan
Diagnostik cepat dan sensitif, akurasi 98%
Diagnosis cepat, tidak invasif dan dapat diulang, akurasi 86 – 97%
Paling spesifik untuk cedera, akurasi 92 – 98%
Kerugian
Invasif, gagal mengetahui cedera diafragma atau cedera retroperitoneum
Tergantung operator distorsi gas usus dan udara dibawah kulit, gagal mengetahui cedera diafragma usus, dan pankreas
Membutuhkan biaya dan waktu yang lebih lama, tidak mengetahui cedera diafragma,pankreas dan usus

Penatalaksanaan
Table 20-10--Liver Injury Scale 9 (1994 Revision)
GRADE[*]
TYPE OF INJURY
DESCRIPTION OF INJURY
I
Hematoma
Subcapsular, <10% surface area

Laceration
Capsular tear, <1 cm in parenchymal depth
II
Hematoma
Subcapsular, 10%-50% surface area; intraparenchymal, <10 cm in diameter

Laceration
Capsular tear, 1-3 cm in parenchymal depth; <10 cm in length
III
Hematoma
Subcapsular, >50% surface area of ruptured subcapsular or parenchymal hematoma; intraparenchymal hematoma, >10 cm or expanding

Laceration
3 cm in parenchymal depth
IV
Laceration
Parenchymal disruption involving 25%-75% of the hepatic lobe or 1-3 Couinaud segments
V
Laceration
Parenchymal disruption involving >75% of the hepatic lobe or >3 Couinaud segments within a single lobe

Vascular
Juxtahepatic venous injuries, i.e., retrohepatic vena cava/central major hepatic veins
VI
Vascular
Hepatic avulsion

Manajemen nonoperatif
            Pada pasien cedera tumpul hepatik dengan hemodinamik stabil tanpa indikasi lain untuk eksplorasi penanganan yang terbaik adalah dengan pendekatan konservatif nonoperatif. Pasien yang stabil tanpa tanda-tanda peritoneal lebih baik dievaluasi dengan menggunakan USG, dan jika ditemukan kelainan, CT scan dengan kontras harus dilakukan. Dengan tidak adanya ekstravasasi kontras selama fase arteri CT scan, cedera yang ada dapat ditangani secara nonoperatif. Kriteria klasik untuk penanganan nonoperative pada trauma hepar diantaranya adalah stabilitas hemodinamik, status mental normal, tidak adanya indikasi yang jelas untuk laparotomi seperti tanda peritoneum, trauma hepar kelas rendah (kelas I-III), dan kebutuhan transfusi kurang dari 2 unit darah. Baru-baru ini, kriteria ini telah ditantang dan indikasi yang lebih luas untuk manajemen nonoperative telah digunakan. Telah menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang dipantau hematokritnya secara serial dan tanda-tanda vital bukan oleh pemeriksaan abdomen serial, yang merupakan alasan mengapa status mental yang utuh bukan sine qua non untuk manajemen nonoperative. Selanjutnya, jika hematokrit turun, sebagian besar pasien akan menjalani CT scan ulang untuk mengevaluasi dan mengukur hemoperitoneum tersebut. Keberhasilan melaporkan keseluruhan manajemen nonoperative cedera tumpul hati sebesar 90%. Tingkat keberhasilan penanganan nonoperatif dari nilai cedera I hingga III sekitar 95%, sedangkan untuk cedera kelas IV dan V tingkat keberhasilan menurun menjadi 75% sampai 80%. Dengan menggunakan angiografi dan embolisasi superselective pada pasien dengan perdarahan yang persisten, tingkat keberhasilan mungkin sebenarnya lebih tinggi.
            Embolisasi angiografik telah ditambahkan ke protokol untuk manajemen nonoperative trauma hepar di beberapa institusi dalam upaya untuk mengurangi kebutuhan untuk transfusi darah dan jumlah operasi.
            Pasien dirawat di unit perawatan intensif untuk dipantau tanda-tanda vital dan hematokritnya. Biasanya, setelah 48 jam pasien dipindahkan ke unit perawatan intermediate, di mana mereka mulai diet oral, namun mereka tetap istirahat sampai hari ke 5 post-injury. Aktivitas fisik dapat normal kembali setelah 3 bulan dari waktu cedera.
Sebuah studi multicenter baru-baru ini mencoba untuk menentukan faktor risiko dini morbiditas setelah manajemen nonoperative pada trauma tumpul hepar yang parah (kelas III-V). Para penulis melaporkan tingkat komplikasi dari masing-masing trauma hepar kelas III, IV dan V yaitu 5%, 22%, dan 52%
            Saat ini, tidak ada kriteria seleksi tunggal dapat memprediksi pasien akan gagal dalam manajemen nonoperatif.
            Croce dan rekan melakukan analisa prospektif pada 112 pasien yang dirawat secara nonoperatif selama periode 22-bulan. Mereka melaporkan tingkat kegagalan 11% (12 pasien), dengan lima kegagalan yang terkait hati. Tidak ada hubungan antara kelas cedera dan meningkatnya tingkat kegagalan. Para penulis menyimpulkan bahwa manajemen nonoperative aman terlepas dari keparahan cedera pada pasien hemodinamik stabil; itu mengakibatkan lebih rendah terjadinya komplikasi septik perut dan kebutuhan transfusi menurun. Mereka juga membandingkan 70 pasien dengan grade III-V ditangani nonoperatif dengan 50 pasien yang menjalani intervensi bedah. Transfusi darah pada 48 jam terdiri dari 2,2 dan 5,8 unit, dan kematian adalah 7% dan 4% untuk kontrol nonoperative dan operasi. Meskipun kebutuhan transfusi sedikit lebih rendah pada kelompok nonoperative, tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal mortalitas.
            Manajemen pasien dengan ekstravasasi kontras selama fase arteri CT masih diperdebatkan. Fang dan rekan mengusulkan sistem klasifikasi berdasarkan lokasi dan karakter ekstravasasi dan penyatuan bahan kontras dari laserasi hati pada CT. Pada tipe 1, ada kontras ekstravasasi ke rongga peritoneum. Semua pasien dalam kategori ini yang dibutuhkan intervensi operasi. Tipe 2 terdiri dari hemoperitoneum dan ekstravasasi bahan kontras dalam parenkim hati. Para penulis merekomendasikan bahwa pasien dalam kategori ini menjalani angiografi dengan embolisasi, meskipun beberapa akan memerlukan intervensi operasi. Tipe 3 ditandai dengan tidak hemoperitoneum dan ekstravasasi bahan kontras dalam parenkim hati.
            Angiografi diperlukan dalam subkelompok pasien, dan hasilnya biasanya baik.
Ciraulo dan rekan kerja dianalisis kelompok dari 11 pasien yang membutuhkan resusitasi cairan yang terus menerus, dengan 7 embolisasi yang membutuhkan. Semua upaya embolisasi berhasil. Para penulis menyimpulkan bahwa hati embolisasi arteri merupakan alternatif dalam pengelolaan pasien dengan cedera hati yang berat yang memerlukan resusitasi cairan yang terus menerus, sehingga menjembatani pilihan terapeutik intervensi operatif dan nonoperative
            Perhatian yang paling penting dari manajemen nonoperative adalah potensi untuk cedera terjawab, terutama perforasi viskus berongga. Keterlambatan dalam mendiagnosis cedera viskus berongga dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan meningkat.

Manajemen operatif
            Rencana untuk melakukan operasi yang mendesak merupakan triage yang dilakukan di UGD dan keputusan untuk operasi dibuat oleh ahli bedah trauma. Ruang operasi di banyak rumah sakit tidak segera berdekatan dengan departemen gawat darurat dan dapat dihapus lebih lanjut jika pasien harus menjalani evaluasi di departemen radiologi. Jadi, waktu transportasi pasien ke ruang operasi sangat penting dan tergantung pada mekanisme cedera, status fisiologis pasien dan respon terhadap resusitasi, hasil studi diagnostik kritis dan konsultasi yang tepat, dan ketersediaan ruang operasi. Untuk pasien dengan syok refrakter menyusul luka tembak perut dapat dirawat dalam unit gawat darurat tinggal dalam waktu yang singkat (misalnya 10 sampai 15 menit), sedangkan pasien yang stabil dengan trauma tumpul multisistem mungkin dapat tetap dirawat dalam ruang unit gawat darurat atau departemen radiologi untuk beberapa waktu. Triase yang prematur untuk memasukkan pasien ke ruang operasi dapat mengakibatkan laparotomy yang  tidak perlu, penundaan dalam evaluasi keadaan pasien,  atau ancaman terhadap anggota tubuh sebagai cedera extra abdominal. Namun, penundaan di unit gawat darurat dapat mengakibatkan kerusakan fisiologis yang mengarah ke shock ireversibel dan koagulopati. Transfer ke ruang operasi harus dilakukan oleh personel yang berpengalaman siap mengelola keadaan darurat akut. Kesalahan umum meliputi manajemen jalan nafas yang tidak memadai, tabung oksigen,  garis aman, dan pemantauan pasien yang tidak baik. Setiap rumah sakit harus menetapkan protokol untuk memastikan transportasi pasien tepat waktu, efisien, dan aman dari ruang resusitasi gawat darurat menuju ke ruang operasi.
Rencana pengelolaan untuk pasien dengan trauma abdomen yang signifikan diuraikan pada Gambar 22-3.
            Pasien yang datang dengan tanda-tanda peritonitis atau massive hemoperitoneum adalah diintubasi, resusitasi cairan, dan ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi abdomen. Pasien yang mengalami cedera akibat transfer energi yang tinggi, seperti ketika mabuk atau dengan cedera kepala secara bersamaan, menjalani DPL sebagai evaluasi awal. DPL yang positif pada pasien yang memiliki resiko tinggi seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen yang segera. Pasien dengan hemodinamik yang stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar (20,000-100,000 RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen untuk menyingkirkan cedera organ utama yang solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa dieksplorasi dan cedera yang lebih ringan harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil mengalami cedera akibat dari transfer energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan diamati jika kelas <III cedera organ visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa pasien, DPL digunakan sebagai tes skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai dengan CT scan. Mereka yang hadir> 12 jam setelah trauma diamati atau dievaluasi dengan CT abdomen, tergantung pada pemeriksaan awal fisik dan cedera yang berhubungan. Algoritma diagnostik memberikan pedoman umum untuk evaluasi awal, sebagai informasi lebih lanjut, algoritma ini dimodifikasi sesuai kebutuhan dengan menyertakan intervensi tambahan atau terapeutik diagnostik. Intervensi ini mungkin termasuk (1) x-ray mempelajari tulang belakang, dada dan plevis, (2) CT scan kepala, (3) pyelography intravena, (4) cystourethrography retrograd, (5) duodenography kontras, atau (6) diagnostik atau terapi angiografi.
            Algoritma keputusan juga dimodifikasi untuk pasien hamil atau pasien anak. Kehamilan mengubah kedua kerentanan terhadap cedera tumpul dan respon fisiologis terhadap cedera. Uterus gravid menempati panggul dan perut bagian bawah dan, karenanya, rentan terhadap berbagai hasil dari pukulan langsung atau cedera sabuk pengaman. Ini menyebabkan hasil dalam spektrum cedera dari ringan jaringan lunak kontusio gangguan dinding rahim atau abrupsio plasental dan exsanguination potensial, serta keguguran janin. Dengan demikian, tata laksana cedera minor dari pasien wanita seperti ini harus segera dilakukan. Kami secara rutin menggunakan DPL (teknik terbuka) pada pasien hamil sekaligus mengevaluasi uterus gravid dengan USG, pemantauan janin invasif, atau amniosentesis.
            Ketidakstabilan hemodinamik, ruptur uterus, plasenta, gawat janin, dan amniosentesis berdarah indikasi untuk eksplorasi perut darurat dan evakuasi uterus, dengan kemungkinan terburuk adalah histerektomi.
            Evaluasi trauma pada pediatrik memberi tantangan khusus untuk para klinisi karena dengan ukuran dan fisiologi yang unik dari anak-anak. Elastisitas tulang rusuk yang lebih rendah dan ukuran dari rongga abdomen yang relatif besar meningkatkan kerentanan untuk mengalami cedera intra-abdominal. Di sisi lain, pola cedera ditemui pada populasi pediatrik dan potensi yang lebih besar untuk hemostasis spontan menjamin pendekatan yang lebih selektif. Hepar dan limpa merupakan cedera yang umum dan sering orang tua setuju untuk dilakukan tindakan non-operative, sedangkan fraktur pankreas merupakan kejadian yang sering dan perforasi usus jarang terjadi. Terlepas dari kenyataan ini, kami mempertahankan sikap agresif terhadap evaluasi abdomen karena keadaan fisiologis yang terbatas pada anak-anak. DPL terlalu positif pada anak-anak dengan hemodinamik stabil dievaluasi lebih lanjut dengan CT scan untuk memastikan cedera organ padat yang dapat dikelola. Namun, eksplorasi abdomen awal dilakukan pada pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil, kebutuhan untuk transfusi darah sedang berlangsung, dan lavage peritoneal positif oleh enzim.























BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
                                                                                        
III.1 Kesimpulan
            Pasien yang datang dengan tanda-tanda peritonitis atau massive hemoperitoneum adalah diintubasi, resusitasi cairan, dan ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi abdomen. Pasien yang mengalami cedera akibat transfer energi yang tinggi, seperti ketika mabuk atau dengan cedera kepala secara bersamaan, menjalani DPL sebagai evaluasi awal. DPL yang positif pada pasien yang memiliki resiko tinggi seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen yang segera. Pasien dengan hemodinamik yang stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar (20,000-100,000 RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen untuk menyingkirkan cedera organ utama yang solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa dieksplorasi dan cedera yang lebih ringan harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil mengalami cedera akibat dari transfer energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan diamati jika kelas <III cedera organ visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa pasien, DPL digunakan sebagai tes skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai dengan CT scan.

III.2 Saran
            Penegakan diagnosis secara dini pada trauma abdomen sangat penting sehingga perlu pengetahuan dan pemahaman mengenai trauma abdomen. Dengan demikian, penatalaksanaan dapat segera dilakuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut.  












DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat. 1997, Buku Ajar Bedah,EC, Jakarta.
Doenges. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6, EGC ; Jakarta.
Schwartz. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. EGC. Jakarta: 2000.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI : Media Aesculapius
http://health.groups.yahoo.com/group/indofirstaid/24,04,2008 12.29am
http://www.primarytraumacare.org/ptcmam/training/ppd/ptc_indo.pdf/ 04,24,2008 13.10am

http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/05/abdominal-trauma.html#more

No comments:

Post a Comment