PENDAHULUAN
Dibawakan pada Seminar Trauma 26 Oktober 2013 di Rumah Sakit Mitra Plumbon Cirebon
I.I
Latar Belakang
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan
cedera. Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. Trauma penetrasi
dan Trauma non penetrasi.
Pukulan langsung,
misalnya kena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang masuk (intruded) pada
tabrakan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan cedera tekanan atau tindasan
pada isi abdomen. Kekuatan ini merusak bentuk organ padat atau berongga dan
dapat mengakibatkan ruptur, khususnya pada organ yang menggembung (misalnya
uterus yang hamil), dengan perdarahan sekunder dan peritonitis. Shearing
injuries pada organ isi abdomen merupakan bentuk trauma yang dapat terjadi bila
suatu alat penahan (seperti sabuk pengaman jenis lap belt atau komponen sabuk
bahu)dipakai dengan cara yang salah.
Penderita yang cedera
dalam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat menderita cedera deceleration
karena gerakan yang berbeda dari bagian badan yang bergerak dan yang tidak
bergerak, pada hati dan limpa yang sering terjadi (organ bergerak) ditempat
jaringan pendukung (struktur tetap) pada tabrakan tersebut. Pada penderita yang
dilakukan laparatomi oleh karena trauma tumpul (blun injury), organ yang paling
sering cedera, adalah limpa (40 – 55%), hati (35 – 45%)dan hematoma
retroperitoneum (15%).
I.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang
anatomi abdomen, definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, dan
penatalaksanaan trauma abdomen.
I.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan referat ini
adalah:
1.
Memahami
mengenai anatomi abdomen.
2.
Memahami mengenai trauma abdomen.
3.
Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di
dalam bidang kedokteran khususnya bagian ilmu bedah.
4.
Memenuhi salah satu syarat kelulusan
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
YARSI dan RSUD Arjawingaun.
I.4 Metode
Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan
pustaka dengan mengacu kepada beberapa literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
“TRAUMA ABDOMEN”
II.1 ANATOMI ABDOMEN
Cavum
Abdominalis
Cavum
abdominalis adalah rongga batang tubuh yang terdapat diantara diaphragma dan
apertura pelvis superior. Cavum abdominalis merupakan rongga yang terbesar dari
ketiga rongga tubuh yang terdiri atas cavum cranii, cavum thoracalis, dan cavum
pelvicum. Cavum abdominalis dibatasi oleh :
·
Kranial : diaphragma
·
Ventrolateral
: otot dinding perut dan m. Illiacus
·
Dorsal : columna vertebralis
m. psoas major
m. psoas minor
m. quadratuslumborum
·
Kaudal : apertura pelvis superior mencakup
pelvis major
Cavum abdominalis tidak sesuai dengan batas
tulang yang membatasinya karena :
1. Diaphragma berbentuk kubah dan menjorok ke dalam
cavum thoracalis sampai setinggi costa V (di kanan) sedangkan di kiri kira –
kira 2,5 cm lebih rendah.
2. Dibagian kaudal cavum abdominalis juga menjorok
sampai ke cavum pelvicum dan mencakup pelvis major.
Lapisan Dinding Abdomen
1. Stratum superficialis (lapisan dangkal)
a. Cutis
b. Subcutis (fascia abdominalis superficialis)
· Lamina superficialis (fascia camperi)
· Lamina profunda (fascia scarpae)
2. Stratum intermedius (lapisan tengah)
a. Fascia abdominalis
b. Otot – otot dinding perut
c. Aponeurosis otot dinding perut
d. Tulang
3. Stratum profunda (lapisan dalam)
a. Fascia transversalis
b. Panniculus adiposus preperitonealis
c. Peritoneum parietale
Otot-otot Dinding Perut
1. Musculi anterolaterales
a. mm. Obliqua (otot serong dinding anterior)
·
m. Obliqus
externus abdominis
·
m. Obliqus
internus abdominis
·
m.
Transversus abdominis
b. mm. Recti (otot lurus dinding anterior)
·
m. Rectus
abdominis
·
m.
Pyramidalis
2. Musculi posteriores
a. m. psoas major
b. m. psoas minor
c. m.iliacus
Actio otot – otot dinding perut :
1. Fixatio organa viscerales abdominales
2. Melakukan gerakan pada columna vertebralis, yaitu
:
· Anteflexio tubuh (m. Rectus abdominis)
· Torsio batang tubuh (mm. Obliqus externus et
internus abdominis)
3. Membantu akhir ekspirasi (mm. laterales)
4. Meningkatkan tekanan intra abdominal, misalnya
pada pampat perut (buik-persen)
Vaskularisasi Dinding Abdomen
Pembuluh Nadi
Dinding abdomen diperdarahi oleh :
1. Aa. Intercostales VII – XII
2. Aa. Lumbales
3. A. Epigastrica superior
4. A. Epigastrica inferior
5. Aa.
Inguinales superficiales
6. A. Circumflexa ilium profunda
Aa.
Intercostales dipercabangkan dari aorta thoracalis, lalu berjalan di dalam
sulcus costae. Setelah keluar dari sulcus costae maka ke-6 Aa. Intercostales
terletak diantara m. Transversus abdominis an m. Obliqus internus abdominis.
Aa. Intercostales mempercabangkan :
a. Rr. Posterior aa. Intercostales untuk otot
punggung
b. Rr. Laterales aa. Intercostales
c. Rr. Anterior aa. Intercostales, mengurus dan
memasuki vagina m. Rectus abdominis
Aa.
Lumbales, biasanya empat pasang, dipercabangkan dari Aorta abdominalis setinggi
vertebrae lumbales I – IV. Aa. Lumbales berjalan ke lateral pada corpora
vertebrae lumbales di sebelah dorsal truncus symphaticus.
A.
epigastrica superior merupakan salah satu cabang akhir A. mammaria interna (A.
thoracica interna), dipercabangkan setinggi spatium intercostales VI. Setelah
meninggalkan cavum thoracis, A. epigastrica superior memasuki vagina m. Rectus
abdominis di sebelah dorsal cartilago costae VIII. Mula – mula terletak dorsal
terhadap m. Rectus abdominis lalu menembus otot tersebut untuk beranastomosis
dengan A. epigastrica inferior.
A.
epigastrica inferior (A. epigastrica profunda) dipercabangkan dari A. iliaca
externa tepat kranial ligamentum inguinale Pouparti, lalu berjalan ke arah
ventral di dalam jaringan subperitoneal. Selanjutnya A. epigastrica inferior
berjalan miring ke kranial di sepanjang tepi medial annulus inguinalis
profundus.
Setelah
menembus fascia transversalis, A. epigastrica inferior berjalan di sebelah
ventral linea semicircularis Douglasi ke arah kranial di antara m. Rectus
abdominis dan lamina posterior vagina m. Rectus abdominis. Kranial terhadap
umbilicus, A. epigastrica superior dan Aa. Intercostales.
A.epigastrica inferior mempercabangkan :
· cremasterica (A. spermatica externa)
· R. pubicus a. epigastrica inferior
· Rr. Musculares
Pembuluh Balik Dinding Abdomen
1. Vv. Superfcialies (pembuluh balik dangkal).
Membentik anyaman pembuluh balik yang luas di
jaringan subkutis lalu bermuara ke dalam :
·
V.
epigastrica superficialis, yang selanjutnya bermuara ke V. Femoralis
·
V.
thoraco-epigastrica, bermuara ke dalam V. Axillaris
Disekita
umbilikus terdapat pembuluh balik dangkal yang dinamakan Vv. Paraumbilikalis
Sappeyi dan berjalan disepanjang ligamentum teres hepatis mulai dari umbilikus
sampai ke dalam sisa V. Umbilikalis yang masih terbuka. Bila terjadi bendungan
pada V. Porta (misalnya pada hipertensi portal), Vv. Paraumbilikalis Sappeyi
mengalami varises dan membentuk gambaran yang dinamakan Caput Medussae.
2. Vv. Profundi, biasanya mengikuti pembuluh nadinya
Persarafan Dinding Abdomen
1. Nn. Thoracales VII – XII
Rr.ventrales
nn thoracales VII – XII (Nn intercostales) berjalan diantara m. Obliqus
internus abdominis dan m. Transversus abdominis. Rr. Cutanei anteriores
dipercabangkan setelah menembus vagina M. Rectus abdominis, sedangkan RR
cutanei laterales dipercabangkan sekitar umbilikus.
Nn
thoracales VII –XII juga mempersarafi m. Rectus abdominis sehingga kerusaka saraf
tersebut dapat menimbulkan kelumpuhan m. Rectus abdominis.
Nn
thoracalis VII mempersarafi kulit dinding abdomen setinggi proc. xiphoideus, Nn
thoracales VIII – IX antara proc. xiphoideus dan umbilikus, N.thoracalis X
setingi umbilikus sedangkan N. Thoracalis XII mengurus pertengahan antara
umbilikus dan symphisis osseus pubis.
2. N. Lumbales I
N lumbalis I berjalan sejajar dengan Nn
thoracales dan mempercabangkan :
·
N.
iliohypogastricus
·
N.
Iloinguinalis
Nn.
Iliohypogastricus et ilioinguinales berjalan diantara m. Obliqusinternus
abdominis dan m. Transversus abdominis sampai spina iliaca anterior superior.
Kira – kira 2,5 cm disebelah kranial annulus inguinalis superficialis, Nn.
Iliohypogastricus menembus aponeurosis otot serong dinding perut dan berubah
menjadi saraf kulit.
N.
Iloinguinalis berjalan di kanalis inguinalis lal mempersarafi kulit disekitar
radix penis, bagian ventral scrotum dan kulit tungkai atas didekatnya.
N
thoracalis XII (N subcostalis) dan N lumbalis I merupakan saraf yang paling penting
karena keduanya mempersarafi alat – alat penting di bagian kaudal dinding
abdomen.
II.2
TRAUMA ABDOMEN
Definisi
Trauma adalah cedera fisik dan
psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera. Trauma pada abdomen dapat di bagi
menjadi dua jenis. Trauma penetrasi dan Trauma non penetrasi.
1)
Trauma penetrasi
a. Luka tembak
b. Luka tusuk
a. Luka tembak
b. Luka tusuk
2)
Trauma non-penetrasi
a. Kompresi
b. Hancur akibat kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi
a. Kompresi
b. Hancur akibat kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi
Trauma
pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :
1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya
atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi
sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal
berbagai organ.
Trauma
abdomen pada isi abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997) terdiri dari:
1.Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen
2.Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3.Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi.
1.Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen
2.Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3.Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi.
Etiologi
1. Penyebab trauma penetrasi
- Luka akibat terkena tembakan
- Luka akibat tikaman benda tajam
- Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
- Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
- Hancur (tertabrak mobil)
- Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
- Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
1. Penyebab trauma penetrasi
- Luka akibat terkena tembakan
- Luka akibat tikaman benda tajam
- Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
- Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
- Hancur (tertabrak mobil)
- Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
- Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
Patofisiologi
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.
Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan.
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.
Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan.
Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :
- Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
- Terjadi perdarahan intra abdominal.
- Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena)
- Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
- Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.Ø
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
- Terdapat luka robekan pada abdomen
- Luka tusuk sampai menembus abdomen
- Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan
- Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :
- Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
- Terjadi perdarahan intra abdominal.
- Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena)
- Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
- Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.Ø
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
- Terdapat luka robekan pada abdomen
- Luka tusuk sampai menembus abdomen
- Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan
- Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.
Diagnosa
Pada
penderita hipotensi, tujuan sang dokter adalah secepatnya menentukan apakah ada
cedera abdomen dan apakah itu penyebab hipotensinya. Penderita yang normal
hemodinamiknya tanpa tanda – tanda peritonitis dapat dilakukan evaluasi yang
lebih teliti untuk menentukan cedera fisik yang ada (trauma tumpul).
A.
Riwayat
trauma
Mekanisme peristiwa trauma sangat
penting dalam menentukan kemungkinan cedera organ intra-abdomen. Semua
informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme
cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam
kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda
vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.
B.
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan
dengan cara yang teliti dan sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi,
perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif , harus direkam dengan
teliti dalam catatan medis.
Pada saat kedatangan ke rumah sakit,
mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya akurat dalam menentukan cedera
intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun
terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan perdarahan
intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang terkompensasi
dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal
1.
Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi.
Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan
perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing yang tertancap
serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati – hati untuk
mempermudah pemeriksaan lengkap.
2.
Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah
bising usus ada atau tidak. Darah intraperitoneum yang bebas atau kebocoran
(ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi
usus. Cedera pada struktur berdektan seperti tulang iga, tulang belakang,
panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen
dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera
intra-abdominal.
3.
Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan
peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan.
Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di
kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.
4.
Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan
dinding abdomen (voluntary guarding)
dapat menyulitjan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang
handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya dan
menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri
lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba –
tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau
isi usus. Dengan palpasi juga dapat ditentukan uterus yang membesar dan
diperkirakan umur janin.
C.
Pemeriksaan
penunjang
Selanjutnya, luka retroperitoneal
dan panggul tidak dapat dikesampingkan hanya didasarkan pada temuan fisik. Kami
menganggap bahwa evaluasi abdomen yang objektif diperlukan dan harus didapatkan
dengan memanfaatkan salah satu modalitas diagnostik yang tersedia di samping
pemeriksaan fisik. Tes pilihan akan tergantung pada stabilitas hemodinamik
pasien dan keparahan cedera terkait.
Pasien
hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai dievaluasi
oleh studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil prioritas dan
pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum evaluasi perut objektif. Dalam kasus
seperti itu, peritoneal lavage diagnostik biasanya dilakukan di ruang operasi
untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen dan memerlukan eksplorasi bedah
segera. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus
dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi, jika tersedia, atau dengan lavage
peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen sebagai sumber hilangnya
darah dan hipotensi.
Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaaan ronsen servikal
lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus
dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik
normal maka pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri
(sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk mengetahui uadara
ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang
keduanya memerlukan laparatomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas
shadow) juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak
dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan
foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
intraperitoneal.
Diagnostik
Peritoneal Lavage (DPL)
Diagnostik peritoneal
lavage merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk mengid entifikasi cedera intra-abdomen
setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi atau tidak responsif tanpa indikasi
yang jelas untuk eksplorasi abdomen.
Pemeriksaan
ini harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat penderita dengan hemodinamik
abnormal dan menderita multitrauma, teristimewa kalau terdapat situasi sebagai
berikut :
·
Perubahan sensorium – cedera kepala,intoksikasi
alkohol, penggunaan obat terlarang.
·
Perubahan perasaan – cedera jaringan saraf tulang
belakang.
·
Cedera pada struktur berdekatan – tulang iga
bawah, panggul, tulang belakang dari pinggang bawah (lumbar spine).
·
Pemeriksaan fisik yang meragukan.
·
Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan
pasien
Pemeriksaan
fisik awal abdomen sering gagal untuk mendeteksi cedera abdomen yang signifikan
dalam konteks trauma multisistem. Penundaan dalam mendiagnosis menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan kematian, rawat inap berkepanjangan, dan
akhirnya, biaya kesehatan lebih besar. Pengenalan Diagnostik Peritoneal
Lavagediagnostik (DPL) pada tahun 1965 memberikan metode yang aman dan murah
untuk dengan cepat mengidentifikasi ancaman cedera intraperitoneal. Meskipun
popularitas yang luas biasa dari CT scan di Amerika Serikat dan ultrasonografi
di Eropa dan Jepang, kami percaya DPL tetap merupakan bagian integral dari
evaluasi pasien trauma abdomen.
Ada
tiga metode dasar memasukkan kateter DPL ke dalam rongga peritoneal. Pendekatan
tertutup terdiri dari memasukkan kateter dalam motode blind percutaneus.
Masalah utama dengan pendekatan ini adalah kedalaman penetrasi tidak dapat
terukur, yang membuat struktur intraperitoneal atau retroperitoneal mengalami
risiko perforasi. Sayangnya, teknik Seldinger wire pada orang dewasa masih kurang optimal karena kurangnya pengembalian
lavage. Prosedur terbuka, melintasi dinding perut dengan visualisasi langsung,
lebih aman, tapi menghabiskan lebih banyak waktu, dan udara dapat masuk ke
dalam rongga peritoneum. Kami lebih suka teknik semiopen dilakukan pada cincin
infraumbilical sebagai solusinya, pendekatan ini cepat, mudah, dan sangat dapat
diandalkan. Prosedur yang sama dapat digunakan pada pasien dengan fraktur
panggul karena hematoma yang membesar di anterior dibatasi oleh cincin
infraumbilical. Sebelum memperkenalkan kateter dan DPL, kandung kemih yang
membesar didekompresi dengan NGT dan kateter Foley. Daerah periumbilikalis
dicukur, disiapkan dengan solusi povidone-iodida, dan dibungkus secara steril.
Daerah ini di anestesi dengan anestesi lokal (1% tanpa epinefrin Xylocaine).
Sebuah sayatan melengkung dibuat untuk satu sisi umbilikus, pada tingkat cincin
infraumbilical. Keuntungan dari membuat sayatan pada daerah ini adalah
vaskularitas yang relatif sedikit, kurangnya lemak preperitoneal, dan dinding
dari peritoneum yang tidak keras karena dihasilkan dari sisa-sisa arteri
umbilikalis dan urachus. Sayatan dilakukan ke linea alba, sambil memastikan
hemostasis pasien secara teliti. Sebuah sayatan 5mm dibuat di linea alba, dan
ujung-ujung bebasnya difiksir dengan klem. Sementara meninggikan dinding perut
dengan traksi pada klem, kateter dialisis standar dengan trocar kemudian
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum ke arah panggul. Setelah kateter
dimasukkan ke dalam peritoneum, trocar ditarik dan kateter diarahkan ke panggul
Kriteria standar untuk
lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage
efluen berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari 100.000 / mm3, sel
darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU /
dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan. Indikasi dan
kontraindikasi untuk peritoneal lavage tercantum dalam Kotak 20-3. Tes ini
sangat sensitif terhadap adanya darah intraperitoneal, namun, spesifisitas yang
rendah dan karena tes positif mendorong eksplorasi bedah, sejumlah besar eksplorasi
akan nontherapeutic. Luka signifikan juga mungkin terlewatkan oleh peritoneal
lavage diagnostik. trauma diafragma, hematoma retroperitoneal, dan ginjal,
pankreas, kandung kemih luka duodenum, usus kecil, dan sering kurang
terdiagnosis oleh peritoneal lavage saja. Komplikasi jarang terjadi dan
sebagian besar terkait dengan cedera iatrogenik disebabkan selama penyisipan
kateter ke dalam rongga perut. Sebuah teknik semi-terbuka atau terbuka menjadi
metode yang disukai untuk menghindari atau mengurangi timbulnya komplikasi
tersebut.
Diagnostik hasil lavage
peritoneum dapat menyesatkan dengan adanya patah tulang panggul. Hasil positif
palsu diharapkan karena perdarahan dari retroperitoneum ke dalam rongga
peritoneal. Luka perut dan sisi anterior dapat secara akurat dievaluasi oleh
peritoneal lavage. Hasil positif palsu sering terjadi setelah peritoneal lavage
karena perdarahan dari dinding perut, sehingga meningkatkan jumlah eksplorasi
negatif. Kelemahan lain peritoneal lavage potensi adalah akurasi rendah dalam
diagnosis cedera viskus berongga. Masih ada perdebatan mengenai kriteria
positif yang paling tepat untuk menentukan ambang batas untuk eksplorasi bedah
setelah menusuk luka perut. Jika jumlah sel darah merah 1000/mm3 dianggap,
jumlah eksplorasi negatif mungkin di atas 20%. Jika hitungan 100.000 / mm3
dianggap, tingkat cedera terjawab akan mendekati 5%. Tidak ada konsensus
mengenai hal ini, meskipun pusat-pusat trauma yang paling menggunakan ambang
rendah (jumlah sel antara 1000 dan 5000/mm3) untuk eksplorasi.
Diagnosis luka tusuk
abdomen penetrasi perut anterior dapat dievaluasi dengan diagnostik peritoneal
lavage dalam upaya untuk menentukan apakah pasien berada dalam keadaan gawat
darurat atau tidak. Pasien dengan hemodinamik stabil disertai pemeriksaan fisik
yang normal diperiksa dan dievaluasi dengan peritoneal lavage tertutup. Jika
jumlah sel darah merah dalam cairan lavage lebih besar dari 1000/mm3, pasien
dirawat untuk observasi. Pasien dengan hemodinamik stabil disertai eviserasi
tapi tanpa nyeri perut harus diobservasi di ugd. Pada 44 pasien jumlah sel
darah merah kurang dari 1000/mm3, 34 dipulangkan ke rumah, dan tidak diperlukan
laparotomi. Tiga puluh delapan pasien diamati karena jumlah sel darah merah
lebih besar dari 1000/mm3. Dari delapan pasien yang menunjukkan tanda-tanda
peritoneal dan menjalani laparotomi eksplorasi, ada lima pasien yang positif.
Penulis menyimpulkan bahwa pasien yang mempertahankan luka tusukan dapat pulang
dengan aman ke rumah jika jumlah sel darah merah kurang dari 1000/mm3, asalkan
hemodinamik stabil dan tidak memiliki indikasi yang jelas, berdasarkan
pemeriksaan fisik, dan untuk intervensi operatif. Tetapi pendekatan ini
memerlukan validasi lebih lanjut.
Kriteria untuk trauma abdomen yang positif DPL
berikut tumpul
Index
|
Positive
|
Equivocal
|
Aspirate
|
||
Blood
|
>10 mL
|
-
|
Fluid
|
Enteric
contents
|
-
|
Lavage
|
||
Red blood cells
|
>1.000.000
/ mm3
|
>20.000
/ mm3
|
White blood cells
|
>1.000.000
/ mm3
|
>500 /
mm3
|
Enzyme
|
Amylase
>20 IU/L and alkaline phosphatase >3 IU/L
|
Amilase
>20 IU/L or alkaline phosphatase >3 IU/L
|
Bile
|
Confirmed
biomechanically
|
-
|
Ultrasound diagnostik (USG)
USG telah sering digunakan dalam beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen. Tujuan evaluasi USG untuk mencari cairan intraperitoneal bebas. Hal ini dapat dilakukan secepatnya, dan ini sama akuratnya dengan diagnostik peritoneal lavage untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa meskipun tujuan USG adalah untuk mencari cairan
bebas di intrapreitoneal. Mesin portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa menunda tindakan resusitasi pada pasien tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal lavage adalah USG merupakan tindakan yang non-invasif. Tidak diperlukan adanya tindakan lebih lanjut setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Hasil CT dari abdomen biasanya sama dengan USG bila hasilnya positif
pada pasien yang stabil. Keuntungan dan kerugian dari USG perut terdapat dalam Kotak 20-4. Sensitivitas berkisar dari 85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%.
Penggunaan USG untuk evaluasi trauma tembus abdomen dilaporkan terbatas. Baru-baru ini, sebuah studi prospektif dilakukan untuk mengevaluasi kegunaan USG sebagai tes skrining pada trauma tembus dan pada trauma tumpul. Penelitian ini melibatkan luka tusuk serta luka tembak. Sensitivitas USG keseluruhan adalah 46% dan spesifisitas adalah 94%. Studi ini menunjukkan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti pada trauma tumpul. Jika USG positif, pasien harus dioperasi. Jika negatif, pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan.
Computed Tomography Abdomen (CT
Scan Abdomen)
CT adalah metode yang
paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma abdomen tumpul
yang stabil. Retroperitoneum dapat dievaluasi dengan baik oleh CT. Indikasi dan
kontraindikasi CT perut tercantum dalam Kotak 20-5. Kelemahan dari CT adalah
bahwa pasien harus dibawa ke ruangan radiologi, dan mahal dibandingkan dengan
tes lainnya. CT juga mengevaluasi cedera organ padat, dan pada pasien stabil
dengan USG positif itu diindikasikan cedera organ dan perlu untuk evaluasi
dengan menggunakan ekstravasasi kontras. Jika ekstravasasi media kontras
terlihat, bahkan dalam trauma hepar atau trauma limpa, maka suatu laparotomi
eksplorasi atau, yang lebih baru lagi yaitu angiografi dan embolisasi harus
dilakukan. Indikasi lain untuk CT adalah dalam evaluasi pasien dengan cedera
organ padat yang awalnya dirawat dengan keadaan non-operatif yang disertai
adanya penurunan nilai hematokrit. Kekurangan CT yang paling utama adalah
ketidakmampuan untuk mendiagnosa cederal organ viskus berongga (Kotak 20-6).
Biasanya, adanya cairan bebas pada CT abdomen tanpa cedera organ padat harus
diwaspadai adanya cedera pada mesenterika, usus, atau kandung kemih, dan
laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan.
Salah satu masalah yang
paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma tumpul abdomen oleh CT adalah
apa yang harus dilakukan ketika ditemukan adanya cairan bebas tanpa tanda-tanda
organ padat atau cedera mesenterika. Ditambah dengan sensitivitas yang relatif
kurang bagi CT untuk mendiagnosa cedera viskus berongga, itu menciptakan dilema
bagi dokter bedah. Pilihan yang baik untuk pasien adalah pembedahan eksplorasi
abdomen dan menerima tingkat resiko yang signifikan pada laparotomi
nontherapeutic atau untuk mengamati dan "bertindak" ketika tanda-tanda
peritoneal berkembang, mengingat bahwa keterlambatan dalam diagnosis cedera
usus adalah fatal. Sebuah survei terbaru dari dokter bedah trauma yang ditanya
apa yang akan menjadi penatalaksanaan yang tepat pasien dalam keadaan ini
menunjukkan berbagai tanggapan: 42% akan melakukan diagnostik peritoneal
lavage, 28% akan mengamati pasien, 16% laparotomy eksplorasi, dan 12% akan
mengulangi CT perut. Keakuratan CT berkisar antara 92% sampai 98% dengan
tingkat positif palsu dan negatif palsu yang rendah.
Meskipun penggunaan CT
abdomen dalam evaluasi trauma tembus abdomen telah dibatasi karena sensitivitas
rendah dalam mendiagnosis cedera usus dan cedera diafragma, teknologi baru (CT
spiral) telah dievaluasi dalam situasi ini dan dengan demikian diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan penatalaksanaan nonoperative pada kasus tertentu.
Manajemen nonoperative luka tusukan di perut anterior telah ditekankan karena
tingkat morbiditas tinggi setelah laparotomi nontherapeutic. Dalam satu studi,
triple kontras heliks CT dievaluasi sebagai alat diagnostik pada cedera tembus
abdomen. Penulis menyimpulkan bahwa CT akurat untuk memprediksi kebutuhan
laparotomi pada 95% pasien.
DPL VERSUS ULTRASOUND VERSUS CT SCAN PADA TRAUMA TUMPUL
DPL
|
USG
|
CT
|
|
Indikasi
|
Menentukan adanya perdarahan bila ↓ BP
|
Menentukan cairan bila ↓ BP
|
Menentukan organ cedra bila BP normal
|
Keuntungan
|
Diagnostik cepat dan sensitif, akurasi 98%
|
Diagnosis cepat, tidak invasif dan dapat diulang, akurasi 86 – 97%
|
Paling spesifik untuk cedera, akurasi 92 – 98%
|
Kerugian
|
Invasif, gagal mengetahui cedera diafragma atau cedera
retroperitoneum
|
Tergantung operator distorsi gas usus dan udara dibawah kulit, gagal
mengetahui cedera diafragma usus, dan pankreas
|
Membutuhkan biaya dan waktu yang lebih lama, tidak mengetahui cedera
diafragma,pankreas dan usus
|
Penatalaksanaan
GRADE[*]
|
TYPE
OF INJURY
|
DESCRIPTION
OF INJURY
|
I
|
Hematoma
|
Subcapsular, <10% surface
area
|
Laceration
|
Capsular tear, <1 cm in
parenchymal depth
|
|
II
|
Hematoma
|
Subcapsular, 10%-50% surface
area; intraparenchymal, <10 cm in diameter
|
Laceration
|
Capsular tear, 1-3 cm in
parenchymal depth; <10 cm in length
|
|
III
|
Hematoma
|
Subcapsular, >50% surface
area of ruptured subcapsular or parenchymal hematoma; intraparenchymal
hematoma, >10 cm or expanding
|
Laceration
|
3 cm in parenchymal depth
|
|
IV
|
Laceration
|
Parenchymal disruption
involving 25%-75% of the hepatic lobe or 1-3 Couinaud segments
|
V
|
Laceration
|
Parenchymal disruption
involving >75% of the hepatic lobe or >3 Couinaud segments within a
single lobe
|
Vascular
|
Juxtahepatic venous injuries,
i.e., retrohepatic vena cava/central major hepatic veins
|
|
VI
|
Vascular
|
Hepatic avulsion
|
Manajemen nonoperatif
Pada pasien cedera tumpul hepatik dengan hemodinamik stabil tanpa indikasi lain untuk
eksplorasi penanganan yang terbaik adalah
dengan pendekatan konservatif
nonoperatif. Pasien yang stabil tanpa tanda-tanda peritoneal lebih baik
dievaluasi dengan menggunakan USG,
dan jika ditemukan kelainan, CT scan dengan kontras harus dilakukan.
Dengan tidak adanya ekstravasasi kontras selama
fase arteri CT scan, cedera yang ada dapat ditangani secara nonoperatif. Kriteria klasik untuk penanganan nonoperative pada trauma hepar diantaranya
adalah stabilitas hemodinamik,
status mental normal, tidak adanya indikasi yang jelas untuk laparotomi seperti
tanda peritoneum, trauma hepar kelas rendah (kelas I-III), dan kebutuhan transfusi
kurang dari 2 unit darah. Baru-baru ini, kriteria ini telah ditantang dan
indikasi yang lebih luas untuk manajemen nonoperative telah digunakan. Telah
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang dipantau hematokritnya secara serial dan tanda-tanda vital bukan oleh pemeriksaan
abdomen serial, yang merupakan alasan mengapa status mental yang utuh bukan sine qua non untuk manajemen
nonoperative. Selanjutnya, jika hematokrit turun, sebagian besar pasien akan
menjalani CT scan ulang untuk mengevaluasi dan mengukur hemoperitoneum
tersebut. Keberhasilan melaporkan keseluruhan manajemen nonoperative cedera
tumpul hati sebesar 90%. Tingkat keberhasilan penanganan nonoperatif dari nilai cedera I hingga III sekitar 95%, sedangkan untuk cedera kelas IV dan V tingkat
keberhasilan menurun menjadi 75% sampai 80%. Dengan menggunakan angiografi dan
embolisasi superselective pada pasien dengan perdarahan yang persisten, tingkat
keberhasilan mungkin sebenarnya lebih tinggi.
Embolisasi angiografik telah ditambahkan ke protokol
untuk manajemen nonoperative trauma hepar di beberapa institusi dalam upaya untuk mengurangi
kebutuhan untuk transfusi darah dan jumlah operasi.
Pasien dirawat di unit perawatan intensif untuk dipantau tanda-tanda vital dan hematokritnya. Biasanya, setelah 48 jam pasien dipindahkan ke unit
perawatan intermediate, di mana mereka mulai diet oral, namun mereka tetap istirahat sampai hari ke 5
post-injury. Aktivitas fisik dapat normal kembali setelah 3 bulan dari waktu cedera.
Sebuah studi multicenter
baru-baru ini mencoba untuk menentukan faktor risiko dini morbiditas setelah manajemen nonoperative pada
trauma tumpul hepar yang parah
(kelas III-V). Para penulis melaporkan tingkat komplikasi dari masing-masing trauma
hepar kelas III, IV dan V yaitu 5%,
22%, dan 52%.
Saat ini, tidak ada kriteria seleksi tunggal dapat
memprediksi pasien akan gagal dalam manajemen
nonoperatif.
Croce dan rekan melakukan analisa prospektif
pada 112 pasien yang dirawat secara nonoperatif selama periode 22-bulan. Mereka melaporkan tingkat
kegagalan 11% (12 pasien), dengan lima kegagalan yang terkait hati. Tidak ada
hubungan antara kelas cedera dan meningkatnya tingkat kegagalan. Para penulis menyimpulkan bahwa manajemen nonoperative
aman terlepas dari keparahan cedera pada pasien hemodinamik stabil; itu mengakibatkan
lebih rendah terjadinya komplikasi septik perut dan kebutuhan transfusi
menurun. Mereka juga membandingkan 70 pasien dengan grade III-V ditangani nonoperatif dengan 50 pasien yang menjalani intervensi bedah.
Transfusi darah pada 48 jam terdiri dari 2,2 dan 5,8 unit, dan kematian adalah
7% dan 4% untuk kontrol nonoperative dan operasi. Meskipun kebutuhan transfusi sedikit lebih rendah pada kelompok
nonoperative, tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal
mortalitas.
Manajemen pasien dengan ekstravasasi kontras selama fase
arteri CT masih diperdebatkan. Fang dan rekan mengusulkan sistem klasifikasi
berdasarkan lokasi dan karakter ekstravasasi dan penyatuan bahan kontras dari
laserasi hati pada CT. Pada tipe 1, ada kontras ekstravasasi ke rongga
peritoneum. Semua pasien dalam kategori ini yang dibutuhkan intervensi operasi.
Tipe 2 terdiri dari hemoperitoneum dan ekstravasasi bahan kontras dalam
parenkim hati. Para penulis merekomendasikan bahwa pasien dalam kategori ini
menjalani angiografi dengan embolisasi, meskipun beberapa akan memerlukan
intervensi operasi. Tipe 3 ditandai dengan tidak hemoperitoneum dan
ekstravasasi bahan kontras dalam parenkim hati.
Angiografi diperlukan dalam subkelompok pasien, dan
hasilnya biasanya baik.
Ciraulo dan rekan kerja dianalisis kelompok dari 11 pasien yang membutuhkan resusitasi cairan yang terus menerus, dengan 7 embolisasi yang membutuhkan. Semua upaya embolisasi berhasil. Para penulis menyimpulkan bahwa hati embolisasi arteri merupakan alternatif dalam pengelolaan pasien dengan cedera hati yang berat yang memerlukan resusitasi cairan yang terus menerus, sehingga menjembatani pilihan terapeutik intervensi operatif dan nonoperative
Ciraulo dan rekan kerja dianalisis kelompok dari 11 pasien yang membutuhkan resusitasi cairan yang terus menerus, dengan 7 embolisasi yang membutuhkan. Semua upaya embolisasi berhasil. Para penulis menyimpulkan bahwa hati embolisasi arteri merupakan alternatif dalam pengelolaan pasien dengan cedera hati yang berat yang memerlukan resusitasi cairan yang terus menerus, sehingga menjembatani pilihan terapeutik intervensi operatif dan nonoperative
Perhatian yang paling penting dari manajemen nonoperative
adalah potensi untuk cedera terjawab, terutama perforasi viskus berongga.
Keterlambatan dalam mendiagnosis cedera viskus berongga dikaitkan dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan meningkat.
Manajemen
operatif
Rencana
untuk melakukan operasi yang mendesak merupakan triage yang dilakukan di UGD
dan keputusan untuk operasi dibuat oleh ahli bedah trauma. Ruang operasi di
banyak rumah sakit tidak segera berdekatan dengan departemen gawat darurat dan
dapat dihapus lebih lanjut jika pasien harus menjalani evaluasi di departemen
radiologi. Jadi, waktu transportasi pasien ke ruang operasi sangat penting dan
tergantung pada mekanisme cedera, status fisiologis pasien dan respon terhadap
resusitasi, hasil studi diagnostik kritis dan konsultasi yang tepat, dan
ketersediaan ruang operasi. Untuk pasien dengan syok refrakter menyusul luka
tembak perut dapat dirawat dalam unit gawat darurat tinggal dalam waktu yang singkat
(misalnya 10 sampai 15 menit), sedangkan pasien yang stabil dengan trauma
tumpul multisistem mungkin dapat tetap dirawat dalam ruang unit gawat darurat
atau departemen radiologi untuk beberapa waktu. Triase yang prematur untuk
memasukkan pasien ke ruang operasi dapat mengakibatkan laparotomy yang tidak perlu, penundaan dalam evaluasi keadaan
pasien, atau ancaman terhadap anggota
tubuh sebagai cedera extra abdominal. Namun, penundaan di unit gawat darurat
dapat mengakibatkan kerusakan fisiologis yang mengarah ke shock ireversibel dan
koagulopati. Transfer ke ruang operasi harus dilakukan oleh personel yang
berpengalaman siap mengelola keadaan darurat akut. Kesalahan umum meliputi
manajemen jalan nafas yang tidak memadai, tabung oksigen, garis aman, dan pemantauan pasien yang tidak
baik. Setiap rumah sakit harus menetapkan protokol untuk memastikan
transportasi pasien tepat waktu, efisien, dan aman dari ruang resusitasi gawat
darurat menuju ke ruang operasi.
Rencana pengelolaan untuk pasien dengan trauma
abdomen yang signifikan diuraikan pada Gambar 22-3.
Pasien
yang datang dengan tanda-tanda peritonitis atau massive hemoperitoneum adalah
diintubasi, resusitasi cairan, dan ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi
abdomen. Pasien yang mengalami cedera akibat transfer energi yang tinggi,
seperti ketika mabuk atau dengan cedera kepala secara bersamaan, menjalani DPL
sebagai evaluasi awal. DPL yang positif pada pasien yang memiliki resiko tinggi
seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen yang segera. Pasien dengan
hemodinamik yang stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar (20,000-100,000
RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen untuk menyingkirkan cedera organ utama yang
solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa dieksplorasi dan cedera yang
lebih ringan harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil mengalami
cedera akibat dari transfer energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan
diamati jika kelas <III cedera organ visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika
CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa pasien, DPL digunakan sebagai tes
skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai dengan CT scan. Mereka
yang hadir> 12 jam setelah trauma diamati atau dievaluasi dengan CT abdomen,
tergantung pada pemeriksaan awal fisik dan cedera yang berhubungan. Algoritma
diagnostik memberikan pedoman umum untuk evaluasi awal, sebagai informasi lebih
lanjut, algoritma ini dimodifikasi sesuai kebutuhan dengan menyertakan
intervensi tambahan atau terapeutik diagnostik. Intervensi ini mungkin termasuk
(1) x-ray mempelajari tulang belakang, dada dan plevis, (2) CT scan kepala, (3)
pyelography intravena, (4) cystourethrography retrograd, (5) duodenography
kontras, atau (6) diagnostik atau terapi angiografi.
Algoritma
keputusan juga dimodifikasi untuk pasien hamil atau pasien anak. Kehamilan
mengubah kedua kerentanan terhadap cedera tumpul dan respon fisiologis terhadap
cedera. Uterus gravid menempati panggul dan perut bagian bawah dan, karenanya,
rentan terhadap berbagai hasil dari pukulan langsung atau cedera sabuk
pengaman. Ini menyebabkan hasil dalam spektrum cedera dari ringan jaringan
lunak kontusio gangguan dinding rahim atau abrupsio plasental dan
exsanguination potensial, serta keguguran janin. Dengan demikian, tata laksana
cedera minor dari pasien wanita seperti ini harus segera dilakukan. Kami secara
rutin menggunakan DPL (teknik terbuka) pada pasien hamil sekaligus mengevaluasi
uterus gravid dengan USG, pemantauan janin invasif, atau amniosentesis.
Ketidakstabilan
hemodinamik, ruptur uterus, plasenta, gawat janin, dan amniosentesis berdarah
indikasi untuk eksplorasi perut darurat dan evakuasi uterus, dengan kemungkinan
terburuk adalah histerektomi.
Evaluasi
trauma pada pediatrik memberi tantangan khusus untuk para klinisi karena dengan
ukuran dan fisiologi yang unik dari anak-anak. Elastisitas tulang rusuk yang
lebih rendah dan ukuran dari rongga abdomen yang relatif besar meningkatkan
kerentanan untuk mengalami cedera intra-abdominal. Di sisi lain, pola cedera
ditemui pada populasi pediatrik dan potensi yang lebih besar untuk hemostasis
spontan menjamin pendekatan yang lebih selektif. Hepar dan limpa merupakan
cedera yang umum dan sering orang tua setuju untuk dilakukan tindakan
non-operative, sedangkan fraktur pankreas merupakan kejadian yang sering dan
perforasi usus jarang terjadi. Terlepas dari kenyataan ini, kami mempertahankan
sikap agresif terhadap evaluasi abdomen karena keadaan fisiologis yang terbatas
pada anak-anak. DPL terlalu positif pada anak-anak dengan hemodinamik stabil
dievaluasi lebih lanjut dengan CT scan untuk memastikan cedera organ padat yang
dapat dikelola. Namun, eksplorasi abdomen awal dilakukan pada pasien dengan
keadaan hemodinamik yang tidak stabil, kebutuhan untuk transfusi darah sedang
berlangsung, dan lavage peritoneal positif oleh enzim.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III.1 Kesimpulan
Pasien
yang datang dengan tanda-tanda peritonitis atau massive hemoperitoneum adalah
diintubasi, resusitasi cairan, dan ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi
abdomen. Pasien yang mengalami cedera akibat transfer energi yang tinggi,
seperti ketika mabuk atau dengan cedera kepala secara bersamaan, menjalani DPL
sebagai evaluasi awal. DPL yang positif pada pasien yang memiliki resiko tinggi
seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen yang segera. Pasien dengan
hemodinamik yang stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar (20,000-100,000
RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen untuk menyingkirkan cedera organ utama yang
solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa dieksplorasi dan cedera yang
lebih ringan harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil mengalami
cedera akibat dari transfer energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan
diamati jika kelas <III cedera organ visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika
CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa pasien, DPL digunakan sebagai tes
skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai dengan CT scan.
III.2 Saran
Penegakan diagnosis
secara dini pada trauma abdomen sangat penting sehingga perlu pengetahuan dan
pemahaman mengenai trauma abdomen. Dengan demikian, penatalaksanaan dapat
segera dilakuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidayat.
1997, Buku Ajar Bedah,EC, Jakarta.
Doenges. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6, EGC ; Jakarta.
Doenges. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6, EGC ; Jakarta.
Schwartz.
Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. EGC. Jakarta: 2000.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI : Media Aesculapius
http://health.groups.yahoo.com/group/indofirstaid/24,04,2008 12.29am
http://www.primarytraumacare.org/ptcmam/training/ppd/ptc_indo.pdf/ 04,24,2008 13.10am
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI : Media Aesculapius
http://health.groups.yahoo.com/group/indofirstaid/24,04,2008 12.29am
http://www.primarytraumacare.org/ptcmam/training/ppd/ptc_indo.pdf/ 04,24,2008 13.10am
http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/05/abdominal-trauma.html#more
No comments:
Post a Comment