"A Man can't make a mistake can't make anything"

Monday 11 March 2013

MENGENAL ANESTESI UMUM ( GENERAL ANESTHESI)


BAB I
PENDAHULUAN

A.     definisi
Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer. (2)
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum (NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. (1)
Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu : (1)
·      Hipnosis (tidur)
·      Analgesia (bebas dari nyeri)
·      Relaksasi otot
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran, sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Obat-obat tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau analgesia, sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur, analgesia dan relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak mengganggu dan lambat (meskipun aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.  Obat-obat opium seperti morfin dan petidin akan menyebabkan analdesia dengan sedikit perubahan pada tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi ini harus dipilih yang paling sesuai untuk pasien. (1)
Tujuan Anastesi Umum adalah Anestesi umum menjamin hidup pasien, yang memungkinkan operator melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan menghilakan rasa nyeri.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    DEFINISI ANESTESI UMUM
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri : hipnotik, analgesia, relaksasi otot.(1)
B.    JENIS ANESTETIK UMUM
Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu ; (2)
1.     Anestetik Inhalasi
2.     Anestetik Intravena

1.     ANESTETIK INHALASI
Obat anastetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu pembedahan ialah N2O. Dalam dunia modern, anastetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. (3) Agen ini dapat diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli). (2) Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut. (3)
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) atau MAC (Minimum Alveolar Concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95% pasien, jika kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai KAM. Dalam keadaan seimbang tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat.(3) Keterbatasan lain bahwa konsep MAC hanya membandingkan tingkat anestesi saja dan tidak dapat memperkirakan efek fisiologis pada sistem organ penting seperti fungsi kardiovaskular dan ginjal, terutama pada pasien berpenyakit menahun.(5)
Konsentrasi uap anestetik dlaam alveoli selama induksi ditentukan oleh (3) :
a.     Konsentrasi inspirasi
Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tidak terjadi depresi nafas atau kejang laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
b.     Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi, dan sebaliknya.
c.     Koefisien gas / darah
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah konsntrasi dalam alveoli, dan sebaliknya.
d.     Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung, makin cepat uap diambil darah.
e.     Hubungan ventilasi – perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik.
Sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi oleh paru-paru. Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.(3)

                    i.         N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair, dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm. Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesi lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10 menit. (3)
                  ii.         Halotan
Merupakan turunan etan, berbau enak dan tak merangsang jalan nafas. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%. Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi. (3)
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak. (3)
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi reflex baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.(3)
Kombinasi dengan adrenalin sering menyababkan disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan pengenceran 1:200.000 (5ug/ml) dan maksimal penggunaannya 2 ug/kg.(3)
Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterus akan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin, meninggikan kadar gula darah.(3)
Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif menjadi komponen bromine, klorin, dan asam trikoloro asetat. Secara reduktif menjadi komponen fluoride dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan indikasi kontra pada penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang tiga bulan atau pada pasien kegemukan. Pasca pemberian halotan sering menyebabkan pasien menggigil.(3)


                iii.         Enfluran
Merupakan halogenasi eter dan cepat poluer setelah ada kecurigaan gangguan fungsi hepar setelah pengunaan ulang oleh halotan. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan. Di metabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non volatil yang dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan. (3)
                 iv.         Isofluran
Merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau sub anestetik dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak. (3)
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsive jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.(3)


                   v.         Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia. (3)


N2O
Halotan
Enfluran
Isofluran
Desfluran
Sevofluran
Kardiovaskular
Tekanan darah
TB
¯¯
¯¯
¯¯
¯¯
¯
Laju nadi
TB
¯
­
­
TB atau ­
TB
Tahanan vascular
TB
TB
¯
¯¯
¯¯
¯
Curah jantung
TB
¯
¯¯
TB
TB atau  ¯
¯
Respirasi
Volum tidal
¯
¯¯
¯¯
¯¯
¯
¯
Laju napas
­
­­
­­
­
­
­
PaCO2  Istirahat
TB
­
­­
­
­­
­
‘Challenge’
­
­
­­
­
­­
­
Serebral

Aliran darah
­
­­
­
­
­
­
Tekanan Intrakranial
­
­­
­­
­
­
­
Laju metabolism
­
¯
¯
¯¯
¯¯
¯¯
‘Seizure’
¯
¯
­
¯
¯
¯
Blokade
Pelumpuh otot non depolarisasi
­
­­
­­­
­­­
­­­
­­
Ginjal
Aliran darah
¯¯
¯¯
¯¯
¯¯
¯
¯
Laju filtrasi glomerulus
¯¯
¯¯
¯¯
¯¯
?
?
Output urin
¯¯
¯¯
¯¯
¯¯
?
?
Hepar
Aliran darah
¯
¯¯
¯¯
¯
¯
¯
Metabolisme
0.004 %
15-20%
2-5%
0.2%
<0.1%
2-3%
Tabel 1. Farmakologi Klinik Anestetik Inhalasi (halaman 53)(3)


2.     ANESTETIK INTRAVENA (Anestetik Parenteral)
Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang perasaan klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.(5)
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-kadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidak-stabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang memadai dan dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang optimum.(5)
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia, induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan propofol.(2,3) Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol.(3) Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.(2)

                    i.         Barbiturate
Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting).(6) Bekerja menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.(2)
Tiopental dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam aquades steril sampai kepekatan 2,5 % (1 ml = 25 mg). (3)
Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikkan perlahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. (3)
Tiopental akan menyebabkan sedasi, hipnosis, anestesia, atau depresi nafas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti analgesi. (3)
Tiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya dalam bentuk bebas. Sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi. Tiopental jarang digunakan untuk anestesia intravena total. (3)

                  ii.         Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).(3) Onset cepat, lama kerja pendek. Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat.(6) Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.(3) Efek hipnotik 1,8 kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.(6)
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek negatif inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah induksi IV. Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat menurunkan metabolisme O2 ­­di otak, aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial.(6)
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.(3)
                iii.         Ketamin
Ketamine adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mekanisme kerja ketamin berinteraksi dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), reseptor opioid, reseptor monoaminergik, reseptor muskarinik, dan saluran voltage sensitive ion calcium. Daya larut dalam lemak tinggi membuat transfer obat ini melewati sawar darah otak danmenghasilkan anestesi. Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit. (6)
Ketamin kurang digemari untuk induksi anestesia, karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midazolam atau diazepam dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. (3)
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg). (3)
                 iv.         Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.(3)
                   v.         Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional.(1) Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil. (2)
a)    Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml.
Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit. Efek farmakologik dengan meningkatnya fungsi saluran ion klorida yang menyebabkan hiperpolarisasi pada membran sel melalui neurotransmiter inhibitor GABA. Tereksposnya midazolam pada pH darah menyebabkan perubahan strukturnya, dari yang larut dalam air menjadi larut pada lemak yang mampu menembus sawar darah otak. Kontraindikasi pemberian pada pasien dengan hipersensitivitas, insufisiensi paru-paru akut, depresi pernafasan, dan kehamilan 3 bulan pertama.
Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer. Efek depresi pernafasan minimal. Juga menurunkan metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV. (6)
b)    Diazepam
Adalah obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi dan amnesia. Ikatan dan metabolitnya pada protein plasma sangat tinggi (98%), menembus sawar darah otak dan sawar plasenta serta ditemukan dalam ASI. Diazepam diubah menjadi nordiazepam, hydroxydiazepam dan oxazepam yang aktif secara farmakologi. Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver. Eliminasi 70% dalam urine dalam bentuk bebas atau konjugasi. Konsentrasi maksimal di plasma dicapai lebih lama. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama. (6)
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit kardiovaskular. Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.(2) Kontraindikasi pemberian obat terhadap pasien dengan hipersensitivitas, insufisiensi pulmonal akut, depresi nafas, keadaan phobia atau obsesi, psikosis kronis, glaukoma sudut sempit akut dan lebar. (6)
Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe. (6)

C.   MACAM-MACAM OBAT KESEIMBANGAN ANESTESI
Terlepas dari cara penggunaanya, suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek hipnotik, efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi juga penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter.(2)
     Obat-obat tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau analgesia, sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur, analgesia dan relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak mengganggu dan lambat (meskipun aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.  Obat-obat opium seperti morfin dan petidin akan menyebabkan analgesia dengan sedikit perubahan pada tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi ini harus dipilih yang paling sesuai untuk pasien. (1)
             I.         Efek Hipnotik
*Efek Hipnotik dijelaskan pada Bmengenai jenis anestetik umum.
           II.         Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan.
Metoda menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang sering digunakan dan paling digemari ialah intramuscular opioid.
Metoda regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg, petidin 20-60 mg, fentanil 25-100ug) atau intraspinal opioid (untuk dewasa morfin 0,1-0,3 mg, petidin 10-30 mg, fentanil 5-25 ug).
Kadang-kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi.(3)
OPIOID
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan jantung. Opium ialah getah candu. Opiate ialah obat yang dibuat dari opium. Narkotik ialah istilah tidak spesifik untuk semua obat yang dapat menyebabkan tidur.(3)
Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (met-enkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.Opioid digolongkan menjadi:
1.     Agonis
Mengaktifkan reseptor.
Contoh: morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.


2.     Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor.
Contoh: nalokson, naltrekson.
3.     Agonis-antagonis
Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin.

Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
 
Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
Terhadap Sistem Saraf Pusat, mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal, konvulsi, dan sekresi hormone antidiuretik (ADH).
Terhadap Sistem Jantung-Sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan beralkibat bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik pada dewasa sehat normal tidur terlentang hamper tidak mengganggu sistem jantung-sirkulasi. Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik.
Terhadap Sistem Respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan histamine, sehingga menyababkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di indikasi-kontrakan pada kasus asma dan bronchitis kronis.
Terhadap Sistem Saluran Cerna morfin mrnyababkan kejang otot usus, sehingga terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak dianjurkan digunakan pada gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai serangan jantung, sehingga untuk membedakannya diberikan antagonis opioid.
Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-buli yang berakibat retensio urin.
Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1.     Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut dalam air.
2.     Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3.     Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.
4.     Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih ringan.
5.     Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Morfin tidak.
6.     Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.

Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.
Efek depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.

Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB.

Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat besar. Mula kerjanya cepat. Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.

Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat diberikan  dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

ANTAGONIS
Nalokson
Naloksom ialah antagonis murni opioid dan bekerja oada reseptor mu, delta, kappa, dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin akan terlihat laju napas meningkat, kantuk menghilang, pupil mataa dilatasi, tekanan darah kalu sebelumnya rendah akan meningkat.
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 ug/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosisi lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis intramuscular 2x dosis intravena.pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per-infus dosis 3-10ug/kgBB.
Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10 ug/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.

Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan per oral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paro plasma 8-12 jam. Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa menghilangkan efek analgesinya.

         III.         Efek Relaksasi Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf terbatas penggunaannya.
Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, analgesinya dapat diberikan opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Ketiga kombinasi ini dikenal sebagai trias anesthesia “the triad of anesthesia” dan ada yang memasukkan ventilasi kendali.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot. Pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular.
Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion kalsium memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi.(3)
a)    Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma, pseudo-kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase. (3)
Dampak samping suksini ialah(3) :
1.     Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria.
2.     Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3.     Penigkatan tekanan intracranial.
4.     Peningkatan tekanan intragastrik.
5.     Peningkatan kadar kalium plasma.
6.     Aritmia jantung
Berupa bradikardi atau ‘ventricular premature beat’.
7.     Salviasi
Akibat efek muskarinik.
8.     Alergi, anafilaksis
Akibat efek muskarinik.

b)    Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
   Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan menjadi :
1.     Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium, mivakurium.
2.     Steroid : pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3.     Eter-fenolik : gallamin.
4.     Nortoksiferin : alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek. Gallamin ada yang memasukkan sebagai panjang yang lainnya kerja sedang. (3)

Dosis Awal (mg/kg)
Dosis Rumatan (mg/kg)
Durasi (menit)
Efek samping
Nondepol long-acting
1. D-tubikurarin (tubarin)
2. Pnkuronium
3. Metakurin
4. Pipekuronium
5. Doksakurium
6. Alkurium (alloferin)

0.40-0.60
0.08-0.12
0.20-0.40
0.05-0.12
0.02-0.08
0.15-0.30

0.10
0.15-0.020
0.05
0.01-0.015
0.005-0.010
0.05

30-60
30-60
40-60
40-60
45-60
40-60

Histamine +, hipotensi, natural
Vagolitik, takikardi, tensi ≥
Histamine -, hipotensi
Kardiovaskular stabil
Kardiovaskular stabil
Vagolitik, takikardia
Nondepol intermediate acting
1. Gallamin (flaxedil)
2. Atrakurium (tracurium)
3. Vekuronium (norcuron)
4. Rokuronium (esmeron)
5. Cistacuronium

4-6
0.5-0.6
0.1-0.2
0.6-1.0
0.15-0.20

0.5
0.1
0.015-0.02
0.10-0.15
0.02

30-60
20-45
25-45
30-60
30-45

Histamine-+, hipotensi
Aman untuk hepar, ginjal


Isomer atrakurium
Nondepol short-acting
1.    Mivakurium (mivacron)
2.    Ropacuronium

0.20-0.25
1.5-2.0

0.05
0.3-0.5

10-15
15-30

Histamine +, hipotensi
Depol short-acting
1. Suksinilkolin (scolin)
2. Dekametonium

1.0


3-10

Lihat teks
Tabel 2. Pelumpuh Otot ("Penuntun Praktis Anestesiologi”, halaman 68) (3)
Pilihan pelumpuh otot(3) :
1.     Gangguan faal ginjal            : atrakurium, vekuronium
2.     Gangguan faal hati              : atrakurium
3.     Miasternia gravis                : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4.     Bedah singkat                     : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5.     Kasus obstetri                    : semua dapat digunakan, kecuali gallamin


Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot(3)
1.     Cegukan (hiccup).
2.     Dinding perut kaku.
3.     Ada tahanan pada inflasi paru.

PENAWAR PELUMPUH OTOT (3)
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Asetilkolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin), piridostigmin dan edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-oral.
Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan, bradikardia, kejang bronnkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.

D.   PERSIAPAN DAN PENILAIAN PRA ANESTESIA
         I.     Persiapan  Tindakan Anestesi
§  Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.
§  Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi (misalnya, lutut kanan).
§  Bertanya mengenai kapan pasien  makan terakhir kali.
§  Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
§  Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur tekanan darah yang tidak invasive, jalan masuk melalui vena, bila perlu: pengukur tekanan darah arteri. (7)
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.(3)
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA I           :  Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II         : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III        : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV        : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V         : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung karena regurgutasi  atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed concent).
       II.     Penilaian Pra-Bedah(3)
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan dioperasi.
1)    Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
2)    Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3)    Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
4)    Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
5)    Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
-      Kelas I   : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
-      Kelas II  : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Termasuk juga semua pasien yang berusia >80 tahun.
-      Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas.
-      Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas-
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat
-      Kelas V  : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan-
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan huruf E.
6)    Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang mengalami anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan diri masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anesthesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam.  Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dan dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
     III.     Premedikasi (3)
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia diantaranya:
1.     Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2.     Memperlancar induksi anesthesia.
3.     Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4.     Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5.     Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6.     Menciptakan amnesia.
7.     Mengurangi isi cairan lambung.
8.     Mengurangi reflex yang membahayakan.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapan membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuscular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg (zofran,narfoz).

E.    INDUKSI DAN RUMATAN ANESTESIA
             I.      INDUKSI ANESTESI UMUM(3)  
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke stadium pembedahan (stadium III Skala Guedel). Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan.
Ko-induksi adalah setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi anestesi. Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit sebelum induksi anestesi dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS:
S = Scope        Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung, Laringo-Scope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T = Tubes       Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A = Airway      Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape         Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokakkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C= Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia.
S = Suction     Penyedot lender, ludah dan lain-lainnya.
·      Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :
1)    Induksi Intravena (3)
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose. Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose ataupun maximal dose.
Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah (geriatri, pasien pre-syok).
2)    Induksi Inhalasi (3)
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk. Walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat pasien tertidur.
3)    Induksi Intramuskular (3)
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

4)    Induksi per rectal (3)
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
Induksi, pemeliharaan dan pulih dari anestesia umum pada eter lambat. Sehingga stadium anestesia yang disusun oleh Guedel pasien napas spontan dapat terlihat jelas. (3)
Stadium I            : Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar.
Stadium II          : Eksitasi, delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada stadium ini pasien batuk, mual-muntah, henti napas dan lain-lainnya.
Stadium III         : Anestesia bedah
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
Plana 1. Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
Plana 2. Mulai gerak bola mata berhenti sampai napas torakal lemah.
Plana 3. Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti.
Plana 4. Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti.
Stadium IV         : Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.


TANDA REFLEKS PADA MATA
Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien mati.
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi. Apabila saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1 ataupun 2.
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita beri rangsangan cahaya.

TEKNIK ANESTESI UMUM
a.     Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
·      Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
·      Keadaan umum baik (ASA I – II)
·      Lambung harus kosong
Prosedur :
·      Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
·      Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
·      Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
·      Induksi
·      Pemeliharaan

b.     Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)

 Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS

Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat resusitasi )

Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :












c.     Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.
·      Teknik sama dengan diatas
·      Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
·      Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.


           II.      RUMATAN ANESTESIA (3)
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara+O2 atau N20+O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).

F.    MEMPERTAHANKAN ANESTESI DAN PENGAKHIRAN ANESTESI
             I.         Mempertahankan Anestesi(7)
§  Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG, pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi.
§  Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan opioid (misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi (misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total (TIVA) dengan opioid dan propofol.
§  Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).
§  Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1.     Peningkatan tekanan darah.
2.     Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3.     Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4.     Terdapat pergerakan.
5.     Berkeringat.
           II.         Pengakhiran Anestesia(7)
o   Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit).
o   FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
o   Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
o   Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
o   Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di dalam ruangan pasca-bedah.

G.   KONTRA INDIKASI ANESTESI UMUM
Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan (harus hindarkan pemakaian obat atau dosis dikurangi/diturunkan).
Ø  Hepar             : obat hepatotoksik/obat yang toksis terhadap hepar.
Ø  Jantung          : obat-obat yang mendepresi miokard/menurunkan aliran darah koroner.
Ø  Ginjal             : obat yang diekskresi di ginjal.
Ø  Paru                : obat yang merangsang sekresi paru/bronkus
Ø  Endokrin        : hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/ hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan peninggian gula darah. (7)

H.   KOMPLIKASI ANESTESI UMUM
Komplikasi (penyulit) kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Komplikasi dapat dicetuskan oleh tindakan anestesia sendiri atau kondisi pasien. Penyulit dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan (lebih dari 12 jam). (1)

Komplikasi Kardiovaskular
a)     Hipotensi : tekanan systole kurang dari 70mmHg atau turun 25% dari sebelumnya.
b)    Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika.
c)     Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin
d)    Payah Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV berlebihan.

Komplikasi Respirasi
o   Obstruksi jalan nafas
o   Batuk
o   Cekukan (hiccup)
o   Intubasi endobronkial
o   Apnoe
o   Atelektasis
o   Pneumotoraks
o   Muntah dan regurgitas

Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat

Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)

Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia

Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan suhu tubuh.


BAB III
KESIMPULAN

1.     Anestesi secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer.
2.     Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum (NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.
3.     Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu ;
§  Anastetik Inhalasi
§  Anastetik Intravena
4.     Terlepas dari cara penggunaanya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi juga penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter.

5.     Berbagai teknik Anestesi Umum
a)     Inhalasi dengan Respirasi Spontan
§  Sungkup wajah
§  Intubasi endotrakeal
§  Laryngeal Mask Airway (LMA)
b)    Inhalasi dengan Respirasi Kendali
§  Intubasi endotrakeal
§  Laryngeal Mask Airway (LMA)
c)     Anestesi Intravena Total (TIVA)
§  Tanpa intubasi endotrakeal
§  Dengan intubasi endotrakeal
6.     Obat anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya dibagi terdiri dari 3 golongan
                        i.         Obat anestetika yang menguap (volatile anesthetic inhalation) :
§  Halogen hydrocarbon (halothane)
§  Halogen ether : enflurane, isoflurane, desflurane, sevoflurane
                      ii.         Obat anestetika gas (gas anesthetic inhalation) :
Cyclopropane, N2O, ethylene.
                     iii.         Obat anestetika yang diberikan secara intravena (intravenous) :
Thiopental, Propofol, Ketamine, Etomidate, Diazepam, Midazolam


DAFTAR PUSTAKA

1.     Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta , 1994
2.     Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
3.     Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
4.     Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Appleton & Lange. Stamford, 1996
5.     Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1. EGC, Jakarta, 1995
6.     Soerasdi E., Satriyanto M.D., Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia Sehari-hari. Bandung, 2010
7.     Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010*

No comments:

Post a Comment