"A Man can't make a mistake can't make anything"

Thursday 28 November 2013

DOKTER BUKAN PENJAHAT ,,STOP KRIMINALISASI PROFESI KEDOKTERAN

Defensive/ Passive Medicine
Oleh : Herry Setya Yudha Utama
Dalam sejarah beribu-ribu tahun yang lalu, pernah ada kejadian seorang yahudi terkapar pingsan dijalanan. Saat itu, banyak khafilah/orang yang berlalu lalang lewat ke tempat orang yahudi yang terkapar tersebut. Tak ada satupun yang mau menolong bukan karena mereka tidak kasihan, bukan karena mereka orang jahat, tetapi karena mereka tidak ingin dituduh terlibat dalam kasus tersebut. Mereka hanya melirik lalu berlalu. Datanglah seorang warga Samariyah yang dianggap warga Negara kelas dua pada saat itu. Warga Samariyah lewat dan melihat, lalu dia terenyuh dan ditolonglah orang yahudi tersebut dan bermaksud untuk dirawat dirumahnya. Sesampainya di rumah, ternyata orang yahudi tersebut tidak tertolong dan meninggal dunia. Warga dan penguasa setempat menuduh orang Samariyah sebagai penyebab kematian orang yahudi Dan sampai berabad – abad orang tidak mau menolong orang yang kesusahan karena takut tertuduh. Hingga di barat  ber abad abad orang acuh tak acuh,  karena orang yang menolong itu bisa dikenakan hukuman, sehingga banyak sekali korban – korban. Banyak korban yang seharusnya mendapat pertolongan menjadi tidak dapat pertolongan. Oleh karena itu, di Amerika munculah undang – undang “Good Samaritan’s Law”.  Untuk melindungi barang siapa yang menolong seseorang dalam kesusahan, orang tersebut tidak akan dituduh dan dihukum terutama dibidang kedokteran. Tapi sosialisasi Good Samatiran’s Law sangat alot di Negara – Negara yang sudah majupun. Apalagi, aparat hukum banyak yang tidak mengerti akan hukum kesehatan kedokteran.


Sebenarnya, kalau dilihat dari kacamata kedokteran orang itu meninggal 99,9% atau 2000% tidak berhubungan dengan yang menolong. Tapi berhubungan dengan perjalanan penyakit dan 0,001% berhubungan dengan penolong itupun karena resiko medik yang melekat pada perjalanan pasien tersebut dan resiko itu harus dipahami oleh pasien dan keluarganya kalau dia memutuskan bahwa suatu tindakan medis itu dilakukan dan mempunyai resiko. Jangan pasien atau keluarga pasien beranggapan bahwa semua tindakan medis harus 100% berhasil. Karena perikatan pelayanan medis itu adalah perikatan ikhtiar (inspanding perbentenist) bukan perikatan hasil (result perbentenist). Jadi kalau pasien meninggal dan tindakan operasi gagal, dokter tidak bisa dikriminalkan. Dokter tidak boleh dianggap melakukan perbuatan kriminal. Seorang dokter tidak boleh dan tidak akan menjanjikan kesembuhan, dia hanya perikatan ikhtiar dimana dia berusaha melakukan tindakan sesuai dengan standart pelayanan medis atau Standart Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku ditempat dia bekerja dimana sudah disesuaikan dengan keadaan dan fasilitas yang dimiliki oleh fasilitas kesehatan (Rumah Sakit) sesuai dengan kompetensinya. Kematian dan kegagalan tidak sepenuhnya dokter menjadi penyebabnya dan dokter tidak langsung dimintakan pertanggung jawaban secara hukum. Jikalau kematian di Rumah Sakit itu yang dipersalahkan hanya dokter, maka seluruh dokter didunia harus dipenjara karena hampir semua dokter pernah menangani pasiennya dan pasiennya meninggal. Hampir seluruh Rumah Sakit dimanapun di dunia ini pasti pernah ada pasiennya yang meninggal dunia dirumah sakit. Tidak pernah ada Rumah sakit yang mempunyai rekor zero death. Ini yang belum dipahami oleh aparat hukum di negeri kita. Ternyata dari mulai aparat yang paling bawah yaitu dari mulai polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, hakim sebagai pembuat keputusan dan Mahkamah Agung/Hakim Agung sebagai pembuat keputusan akhir (Inkrach) belum sepenuhnya memahami tentang ilmu hukum kesehatan dan kedokteran. Sebagaimana kita ketahui, ilmu kedokteran begitu dalam dan luas sehingga tidak mudah bagi seorang yang tidak belajar ilmu kedokteran memahami ilmu kedokteran dengan jelas sehingga tidak cukup hanya dengan membaca diinternet atau membaca buku. Seharusnya, dalam proses malpraktek medik aparat hukum harus meminta fatwa terlebih dahulu apakah suatu peristiwa itu merupakan malpraktek medik atau bukan ke IDI/Kolegium/Konsil Kedokteran Indonesia yang insyaallah jujur apa adanya. Seharusnya dalam memutus terutama di Mahkamah Agung, Majelis Hakim harus ada Hakim Anggota Adhoc yang mengerti hukum kesehatan dan kedokteran sehingga membuat keputusan yang seadil – adilnya dan seakurat – akuratnya.
Memang disebutkan dalam undang- undang prakk kedokteran no. 29 tahun 2004 pasal 45 ayat 1- 6 bahwa dokter dalam melakukan tindakan medik, diharuskan membuat Informed Consent.  Dimana menginformasikan tentang tindakan yang akan dilakukan. Consent itu bisa saja lisan untuk kasus – kasus tertentu dan tertulis (written consent) untuk kasus – kasus yang cukup berat. Khusus untuk anak, informed consent dengan orang tuanya. Untuk yang dewasa, dengan pribadi pasien dan diperbolehkan ada saksi. Untuk pasien tak sadar, pingsan/penurunan kesadaran atas persetujuan keluarga dan wali/curator. Pasien yang sudah menikah, pasien tersebut yang mempunyai hak memberikan consent.  Informed consent pada pasien emergency, tetap penting tetapi bukan prioritas walaupun penting, pelaksanaan informed consent pada kasus emergency tidak boleh menjadi penghambat atau penghalang bagi dilakukannya Emergency Care. Permenkes Nomor 585 bahwa dalam keadaan emergency tidak dilakukan informed consent. Berbagai yurisprudensi dinegara negara maju mempunyai persamaan prinsip bahwa tindakan emergency care dapat dilakukan tanpa informed consent dan Negara menjamin serta melindungi petugas kesehatan yang disumpah untuk melakukan tindakan emergency. Walaupun Permenkes ini tidak termasuk hirarki perundang – undangan dikita. Tetapi Permenkes ini bisa menjadi petunjuk tekhnis dalam perundang – undangan yang berlaku di Indonesia. Sebenarnya setelah ada Undang – Undang Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 yang mengatur seluk beluk Praktek Dokter dan Dokter Gigi di Indonesia diundangkan dan dicantumkan dalam lembaran Negara maka aparat hukum wajib mempedomani Undang – Undang ini dalam kasus – kasus Praktek Kedokteran. Sayangnya aparat – aparat hukum kita banyak yang tidak memahami Undang – Undang ini sehingga kalau ada kasus malpraktek medik mereka menggunakan hukum pidana/perdata Ansich yang umum. Misalkan, memakai Pasal 359 – 361 KUHP bahwa barang siapa yang melakukan kelalaian dan menyebabkan kematian terhadap orang lain dihukum pidana. Ini ketentuan umum, dimana pasal ini adalah pasal karet dan pasal keranjang sampah. Kenapa aparat hukum masih menggunakan Perundang – undangan yang umum. Harusnya memakai perundang – undangan yang spesial sesuai dengan konteksnya. Bukankah “Lex Speciale Derogate Lex Generale” ketentuan Undang – Undang yang khusus / spesial menghapus ketentuan Undang – Undang yang umum.
Menurut Goldstein, Freud dan Solnit berpendapat bahwa tindakan medik emergency dapat dilakukan bila :
  1. Tindakan medik teurapetic bukan eksperimental,
  2. Tindakan medik tersebut bisa menyebabkan kematian bila tidak dilakukan,
  3. Tindakan medik memberikan harapan untuk hidup
dan KUHP Pasal 531 mengatakan bahwa barang siapa ketika menyaksikan orang dalam keadaan bahaya maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya maupun orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak……………………….
Di Amerika berlaku Good Samaritan’s Law, yaitu undang undang yang memberikan immunitas dari tuntutan hukum bila dokter melakukan kesalahan yang tidak seberapa besar (bukan gross negligent)
Adapun tindakan medis yang memerlukan informed consent menurut (Roach, Chernoff, Esley, 1986) adalah:
  1. Major or minor invasive surgery.
  2. All procedures that involve more than slight risk of harm.
  3. All forms of radiological therapy.
  4. Electro-convulsive therapy
  5. All experimental procedures.
  6. All procedures for which consent forms are required by statute or regulation.
Dan semua itu bisa gugur bila dalam keadaan emergency.
Menurut World Medical Association 1992
Medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.
Menurut Undang – Undang Praktek Kedokteran Nomer 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tentang Hak Dokter
  1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
  2. Memberikan pelayanan medis menuntut standar profesi dan standar prosedur operasional.
  3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya, dan
  4. Menerima imbalan jasa.
Maka dari itu, dokter harus dilindungi dalam menjalankan tugas pelayanan medisnya, karena kalau tidak terlindungi dan dianggap kriminal, maka dokter itu akan tidak percaya diri dan ragu – ragu dalam menjalankan profesinya, dan tidak ingin melakukan karena dapat merugikan diri sendiri. Kalau tidak maka akan muncul Defensive/Passive Medicine dimana dunia kedokteran, dokternya lebih memilih mencari aman dan hanya mengerjakan kasus – kasus yang resikonya kecil supaya dia tidak terkena pidana (ASA 1 & ASA 2 dalam klasifikasi Anestesi). Bentuk Defensive Medicine juga berbentuk dokter mogok dalam melakukan tindakan medis sehingga dunia kedokteran tidak akan berkembang malah akan mundur. Dan masyarakat itu sendiri akan rugi akibat defensive medicine. Disinilah tugas Negara untuk menjamin suatu profesi berlaku semestinya tanpa harus dibayang – bayangi oleh ancaman hukuman. Suatu putusan pengadilan harus berdampak positif bukan berdampak negative.  Adapun penyimpangan – penyimpangan malpraktek dokter harus diawasi ketat oleh komite mediknya sehingga bisa ditentukan apakah dokter memang melakukan kesalahan atau hanya perjalanan penyakitnya (Adverse Event). Kalau kejadian tragedi medik ini di Rumah Sakit dan pelaksananya adalah calon dokter spesialis (PPDS) dalam masa pendidikan maka institusi Rumah Sakit dan institusi pendidikan juga ikut bertanggung jawab bukan hanya pribadi dokter itu sendiri. Lagipula menurut Undang - Undang ada beberapa kewajiban Rumah Sakit yang harus terpenuhi sehingga pasien dan dokter sama – sama aman. 
DOKTER TIDAK KEBAL HUKUM DAN BUKAN INGIN DI BEDAKAN TETAPI KALAU LAGI MENJALANKAN PROFESI YANG MENYEREMPET MENYREMPET BAHAYA NYAWA HARUS DILINDUNGI KARENA NIATNYA MENOLONG , KALO ADA DOKTER YANG TERBUKTI BERNIAT MEMBUNUH PASEN SILAHKAN DIHUKUM.
dokter yang melakukan kesalahan dalam menjalankan profesi harus ditindak tetapi tindakan dan hukumannya bukan berupa  kurungan badan(penjara) karena di uupk no 29  sudah dihapus kurungan badan (judicial review) jadi hakim yang memutus kurungan badanuntuk kasus praktek kedokteran pasti tidak update. salut untuk hakim di PN yang lebih update dari pada seniornya di mahkamah agung. Jadi dokter bisa dipidana kalau melanggar SOP dirumah sakit tersebut dan melakukan pelanggaran – pelanggaran yang tidak ada hubungannya dengan praktek kedokteran. Merujuk kasus meninggalnya Michael Jackson, dokternya dihukum dikarenakan dia menyuntikkan obat Anestesi sejenis Propofol yang seharusnya prosedurnya hanya boleh disuntikkan di Rumah Sakit. Sedangkan keputusan Mahkamah Agung Nomor 365K/pid/2013 yang menyatakan bahwa dokter dipersalahkan dan mendapat hukuman kurungan adalah tidak berdasarkan Undang – Undang Praktek Kedokteran yang sudah dilakukan yudisial review dimana dokter tidak ada hukuman kurungan badan untuk kasus – kasus praktek kedokteran. Sehingga dengan adanya keputusan itu Dokter dengan Dokter Gigi di Indonesia menjadi resah karena merasa dikriminalisasi.
Maka kasus mengenai dokter SPOG di Manado banyak kejanggalan – kejanggalan dan perlu pengusutan lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi.
Kesimpulan dan Saran
-    Penegakkan hukum pada kasus – kasus malpraktik medik, harus mempertimbangkan Undang – Undang praktek Kedokteran daripada Undang – Undang kitab hukum pidana yang general dan seharusnya IDI dan Kolegium lebih aktif lagi dalam menangani kasus – kasus praktik kedokteran sehingga bisa dipilah mana yang betul pidana mana yang pelanggaran etika maupun pelanggaran administrasi. Karena pelanggaran malpraktik medik itu tidak ada kurungan badan atau penjara.
-    Aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, terutama hakim agung harus lebih mengenal lagi hukum kesehatan kedokteran dan istilah – istilah medis supaya tidak salah tafsir sehingga bisa menegakkan keadilan hukum yang lebih baik lagi dan sebaiknya penanganan malpraktik medik itu dilakukan diperadilan khusus dimana sebenarnya pihak pengadilan atau Mahkamah Agung memasukkan hakim anggota secara Adhoc yang mengerti tentang hukum kesehatan kedokteran sehingga keputusannya lebih tepat.
-    Negara berkewajiban memberikan perlindungan hukum kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya bila sedang menjalankan tugas profesi kedokteran yang sesuai dengan standart pelayanan medis dan standart operasional prosedur.
-    Untuk kasus SPOG di Manado sebagai orang yang taat hukum kita harus mengikuti upaya hukum yang bisa dilaksanakan, adalah minta Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung dan karena ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun penjara maka sebaiknya dokter itu bisa tidak ditahan sampai putusan PK.
mudah mudahan dr ayu ,dr hendri simanjuntak dan dr hendri siagian tabah dan bersabar
Penulis : Dr. Herry Setya Yudha Utama, Sp.B, MH.Kes, FinaCS, ICS adalah  seorang dokter Spesialis Bedah dan Magister Hukum Kesehatan bertempat tinggal di Cirebon, merupakan staff pengajar/dosen tamu dibeberapa perguruan tinggi.

No comments:

Post a Comment