Defensive/ Passive Medicine
Oleh : Herry Setya
Yudha Utama
Dalam
sejarah beribu-ribu tahun yang lalu, pernah ada kejadian seorang yahudi
terkapar pingsan dijalanan. Saat itu, banyak khafilah/orang yang berlalu lalang
lewat ke tempat orang yahudi yang terkapar tersebut. Tak ada satupun yang mau
menolong bukan karena mereka tidak kasihan, bukan karena mereka orang jahat,
tetapi karena mereka tidak ingin dituduh terlibat dalam kasus tersebut. Mereka
hanya melirik lalu berlalu. Datanglah seorang warga Samariyah yang dianggap
warga Negara kelas dua pada saat itu. Warga Samariyah lewat dan melihat, lalu
dia terenyuh dan ditolonglah orang yahudi tersebut dan bermaksud untuk dirawat
dirumahnya. Sesampainya di rumah, ternyata orang yahudi tersebut tidak
tertolong dan meninggal dunia. Warga dan penguasa setempat menuduh orang
Samariyah sebagai penyebab kematian orang yahudi Dan sampai berabad – abad
orang tidak mau menolong orang yang kesusahan karena takut tertuduh. Hingga di
barat ber abad abad orang acuh tak acuh,
karena orang yang menolong itu bisa
dikenakan hukuman, sehingga banyak sekali korban – korban. Banyak korban yang
seharusnya mendapat pertolongan menjadi tidak dapat pertolongan. Oleh karena
itu, di Amerika munculah undang – undang “Good
Samaritan’s Law”. Untuk melindungi
barang siapa yang menolong seseorang dalam kesusahan, orang tersebut tidak akan
dituduh dan dihukum terutama dibidang kedokteran. Tapi sosialisasi Good Samatiran’s
Law sangat alot di Negara – Negara yang sudah majupun. Apalagi, aparat hukum
banyak yang tidak mengerti akan hukum kesehatan kedokteran.
Sebenarnya,
kalau dilihat dari kacamata kedokteran orang itu meninggal 99,9% atau 2000%
tidak berhubungan dengan yang menolong. Tapi berhubungan dengan perjalanan
penyakit dan 0,001% berhubungan dengan penolong itupun karena resiko medik yang
melekat pada perjalanan pasien tersebut dan resiko itu harus dipahami oleh
pasien dan keluarganya kalau dia memutuskan bahwa suatu tindakan medis itu
dilakukan dan mempunyai resiko. Jangan pasien atau keluarga pasien beranggapan
bahwa semua tindakan medis harus 100% berhasil. Karena perikatan pelayanan
medis itu adalah perikatan ikhtiar (inspanding perbentenist) bukan perikatan
hasil (result perbentenist).
Jadi kalau pasien meninggal dan tindakan operasi gagal, dokter tidak bisa
dikriminalkan. Dokter tidak boleh dianggap melakukan perbuatan kriminal.
Seorang dokter tidak boleh dan tidak akan menjanjikan kesembuhan, dia hanya
perikatan ikhtiar dimana dia berusaha melakukan tindakan sesuai dengan standart
pelayanan medis atau Standart Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku ditempat
dia bekerja dimana sudah disesuaikan dengan keadaan dan fasilitas yang dimiliki
oleh fasilitas kesehatan (Rumah Sakit)
sesuai dengan kompetensinya. Kematian dan
kegagalan tidak sepenuhnya dokter menjadi penyebabnya dan dokter tidak langsung
dimintakan pertanggung jawaban secara hukum. Jikalau
kematian di Rumah Sakit itu yang dipersalahkan hanya
dokter, maka seluruh dokter didunia harus dipenjara karena hampir semua dokter
pernah menangani pasiennya dan pasiennya
meninggal. Hampir seluruh Rumah Sakit dimanapun di dunia ini pasti pernah ada
pasiennya yang meninggal dunia dirumah sakit. Tidak pernah ada Rumah sakit yang
mempunyai rekor zero death. Ini yang belum dipahami oleh aparat hukum di negeri
kita. Ternyata dari mulai aparat yang paling bawah yaitu dari mulai polisi
sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, hakim sebagai pembuat keputusan dan
Mahkamah Agung/Hakim Agung sebagai pembuat keputusan akhir (Inkrach) belum
sepenuhnya memahami tentang ilmu hukum kesehatan dan kedokteran. Sebagaimana
kita ketahui, ilmu kedokteran begitu dalam dan luas sehingga tidak mudah bagi
seorang yang tidak belajar ilmu kedokteran memahami ilmu kedokteran dengan
jelas sehingga tidak cukup hanya dengan membaca diinternet atau membaca buku.
Seharusnya, dalam proses malpraktek medik aparat hukum harus meminta fatwa
terlebih dahulu apakah suatu peristiwa itu merupakan malpraktek medik atau
bukan ke IDI/Kolegium/Konsil Kedokteran Indonesia yang insyaallah jujur apa
adanya. Seharusnya dalam memutus terutama di Mahkamah Agung, Majelis Hakim
harus ada Hakim Anggota Adhoc yang
mengerti hukum kesehatan dan kedokteran sehingga membuat keputusan yang seadil
– adilnya dan seakurat – akuratnya.
Memang
disebutkan dalam undang- undang prakk
kedokteran no. 29 tahun 2004 pasal 45 ayat 1- 6
bahwa dokter dalam melakukan tindakan medik, diharuskan membuat Informed Consent. Dimana menginformasikan tentang tindakan yang
akan dilakukan. Consent itu bisa saja lisan untuk kasus – kasus tertentu dan
tertulis (written
consent) untuk kasus – kasus yang cukup berat. Khusus untuk anak, informed
consent dengan orang tuanya. Untuk yang dewasa, dengan pribadi pasien dan
diperbolehkan ada saksi. Untuk pasien tak sadar, pingsan/penurunan kesadaran
atas persetujuan keluarga dan wali/curator. Pasien yang sudah menikah, pasien
tersebut yang mempunyai hak memberikan consent. Informed consent pada pasien emergency, tetap
penting tetapi bukan prioritas walaupun penting, pelaksanaan informed consent
pada kasus emergency tidak boleh menjadi penghambat atau penghalang bagi
dilakukannya Emergency Care. Permenkes Nomor 585 bahwa dalam keadaan emergency
tidak dilakukan informed consent. Berbagai yurisprudensi dinegara negara maju mempunyai
persamaan prinsip bahwa tindakan emergency care dapat dilakukan tanpa informed
consent dan Negara menjamin serta melindungi petugas kesehatan yang disumpah untuk melakukan
tindakan emergency. Walaupun
Permenkes ini tidak termasuk hirarki perundang – undangan dikita. Tetapi
Permenkes ini bisa menjadi petunjuk tekhnis dalam perundang – undangan yang
berlaku di Indonesia. Sebenarnya setelah ada Undang – Undang Praktek Kedokteran
No. 29 Tahun 2004 yang mengatur seluk beluk Praktek Dokter dan Dokter Gigi di
Indonesia diundangkan dan dicantumkan dalam lembaran Negara maka aparat hukum
wajib mempedomani Undang – Undang ini dalam kasus – kasus Praktek Kedokteran.
Sayangnya aparat – aparat hukum kita banyak yang tidak memahami Undang – Undang
ini sehingga kalau ada kasus malpraktek medik mereka menggunakan hukum
pidana/perdata Ansich
yang umum. Misalkan, memakai Pasal 359 – 361 KUHP bahwa barang siapa yang
melakukan kelalaian dan menyebabkan kematian terhadap orang lain dihukum pidana.
Ini ketentuan umum, dimana pasal ini adalah pasal karet dan pasal keranjang
sampah. Kenapa aparat hukum masih menggunakan Perundang – undangan yang umum.
Harusnya memakai perundang – undangan yang spesial sesuai dengan konteksnya. Bukankah “Lex Speciale Derogate Lex Generale”
ketentuan Undang – Undang yang khusus / spesial
menghapus ketentuan Undang – Undang yang umum.
Menurut
Goldstein, Freud dan Solnit berpendapat bahwa tindakan medik emergency dapat
dilakukan bila :
- Tindakan
medik teurapetic bukan eksperimental,
- Tindakan
medik tersebut bisa menyebabkan kematian bila tidak dilakukan,
- Tindakan
medik memberikan harapan untuk hidup
dan KUHP Pasal 531 mengatakan bahwa barang siapa ketika
menyaksikan orang dalam keadaan bahaya maut tidak memberi pertolongan yang
dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya maupun
orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau denda paling banyak……………………….
Di Amerika berlaku Good Samaritan’s Law, yaitu undang
undang yang memberikan immunitas dari tuntutan hukum bila dokter melakukan
kesalahan yang tidak seberapa besar (bukan gross negligent)
Adapun tindakan medis yang memerlukan informed
consent menurut (Roach, Chernoff, Esley, 1986) adalah:
- Major
or minor invasive surgery.
- All
procedures that involve more than slight risk of harm.
- All
forms of radiological therapy.
- Electro-convulsive
therapy
- All
experimental procedures.
- All
procedures for which consent forms are required by statute or regulation.
Dan semua itu bisa gugur bila dalam keadaan
emergency.
Menurut World Medical Association 1992
Medical malpractice involves the physician’s failure
to conform to the standard of care for treatment of the patient’s
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient.
Menurut Undang – Undang Praktek Kedokteran Nomer 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tentang Hak Dokter
- Memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional.
- Memberikan
pelayanan medis menuntut standar profesi dan standar prosedur operasional.
- Memperoleh
informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya, dan
- Menerima
imbalan jasa.
Maka
dari itu, dokter harus dilindungi dalam menjalankan tugas pelayanan medisnya,
karena kalau tidak terlindungi dan dianggap kriminal, maka dokter itu akan
tidak percaya diri dan ragu – ragu dalam menjalankan profesinya, dan tidak
ingin melakukan karena dapat merugikan diri sendiri. Kalau tidak maka akan
muncul Defensive/Passive Medicine dimana dunia kedokteran, dokternya lebih
memilih mencari aman dan hanya mengerjakan kasus – kasus yang resikonya kecil
supaya dia tidak terkena pidana (ASA 1 & ASA 2 dalam klasifikasi Anestesi).
Bentuk Defensive Medicine juga berbentuk dokter mogok dalam melakukan tindakan
medis sehingga dunia kedokteran tidak akan berkembang malah akan mundur. Dan
masyarakat itu sendiri akan rugi akibat defensive medicine. Disinilah tugas
Negara untuk menjamin suatu profesi berlaku semestinya tanpa harus dibayang –
bayangi oleh ancaman hukuman. Suatu putusan pengadilan harus berdampak positif
bukan berdampak negative. Adapun
penyimpangan – penyimpangan malpraktek dokter harus diawasi ketat oleh komite
mediknya sehingga bisa ditentukan apakah dokter memang melakukan kesalahan atau
hanya perjalanan penyakitnya (Adverse Event). Kalau kejadian tragedi medik ini
di Rumah Sakit dan pelaksananya adalah calon dokter spesialis (PPDS) dalam masa
pendidikan maka institusi Rumah Sakit dan institusi pendidikan juga ikut
bertanggung jawab bukan hanya pribadi dokter itu sendiri. Lagipula menurut
Undang - Undang ada beberapa kewajiban Rumah Sakit yang harus terpenuhi
sehingga pasien dan dokter sama – sama aman.
DOKTER TIDAK KEBAL HUKUM DAN BUKAN INGIN DI BEDAKAN TETAPI KALAU LAGI MENJALANKAN PROFESI YANG MENYEREMPET MENYREMPET BAHAYA NYAWA HARUS DILINDUNGI KARENA NIATNYA MENOLONG , KALO ADA DOKTER YANG TERBUKTI BERNIAT MEMBUNUH PASEN SILAHKAN DIHUKUM.
dokter yang melakukan kesalahan dalam menjalankan profesi harus ditindak tetapi tindakan dan hukumannya bukan berupa kurungan badan(penjara) karena di uupk no 29 sudah dihapus kurungan badan (judicial review) jadi hakim yang memutus kurungan badanuntuk kasus praktek kedokteran pasti tidak update. salut untuk hakim di PN yang lebih update dari pada seniornya di mahkamah agung. Jadi
dokter bisa dipidana kalau melanggar SOP dirumah sakit tersebut dan melakukan
pelanggaran – pelanggaran yang tidak ada hubungannya dengan praktek kedokteran.
Merujuk kasus meninggalnya Michael Jackson, dokternya dihukum dikarenakan dia
menyuntikkan obat Anestesi sejenis Propofol yang seharusnya prosedurnya hanya
boleh disuntikkan di Rumah Sakit. Sedangkan keputusan Mahkamah Agung Nomor 365K/pid/2013 yang
menyatakan bahwa dokter dipersalahkan dan mendapat hukuman kurungan adalah
tidak berdasarkan Undang – Undang Praktek Kedokteran yang sudah dilakukan
yudisial review dimana dokter tidak ada hukuman kurungan badan untuk kasus –
kasus praktek kedokteran. Sehingga dengan adanya keputusan itu Dokter dengan
Dokter Gigi di Indonesia menjadi resah karena merasa dikriminalisasi.
Maka
kasus mengenai dokter SPOG di Manado banyak kejanggalan – kejanggalan dan perlu
pengusutan lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi.
Kesimpulan dan Saran
- Penegakkan
hukum pada kasus – kasus malpraktik
medik, harus mempertimbangkan Undang – Undang praktek Kedokteran daripada
Undang – Undang kitab hukum pidana yang general dan seharusnya IDI dan Kolegium
lebih aktif lagi dalam menangani kasus – kasus praktik kedokteran sehingga bisa
dipilah mana yang betul pidana mana yang pelanggaran etika maupun pelanggaran
administrasi. Karena pelanggaran malpraktik medik itu tidak ada kurungan badan
atau penjara.
- Aparat
penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, terutama hakim agung harus lebih mengenal
lagi hukum kesehatan kedokteran dan istilah – istilah medis supaya tidak salah
tafsir sehingga bisa menegakkan keadilan hukum yang lebih baik lagi dan
sebaiknya penanganan malpraktik medik itu dilakukan diperadilan khusus dimana
sebenarnya pihak pengadilan atau Mahkamah Agung memasukkan hakim anggota secara
Adhoc yang mengerti tentang hukum kesehatan kedokteran sehingga keputusannya
lebih tepat.
- Negara
berkewajiban memberikan perlindungan hukum kepada tenaga medis dan tenaga
kesehatan lainnya bila sedang menjalankan tugas profesi kedokteran yang sesuai
dengan standart pelayanan medis dan standart operasional prosedur.
- Untuk
kasus SPOG di Manado sebagai orang yang taat hukum kita harus mengikuti upaya
hukum yang bisa dilaksanakan, adalah minta Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah
Agung dan karena ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun penjara maka
sebaiknya dokter itu bisa tidak ditahan sampai putusan PK.
mudah mudahan dr ayu ,dr hendri simanjuntak dan dr hendri siagian tabah dan bersabar
Penulis : Dr.
Herry Setya Yudha Utama, Sp.B,
MH.Kes,
FinaCS,
ICS adalah seorang
dokter Spesialis Bedah dan Magister Hukum
Kesehatan bertempat tinggal di Cirebon, merupakan staff pengajar/dosen tamu
dibeberapa perguruan tinggi.
No comments:
Post a Comment