"A Man can't make a mistake can't make anything"

Monday, 24 October 2011

DAMPAK UUPK 29/ 2004 TERHADAP DOKTER DAN RUMAH SAKIT, / MEDICAL LAW IMPACT


DAMPAK UU PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP RUMAH SAKIT DAN DOKTER.

Oleh

Herry S Yudha Utama,dr,SpB,FInaCS



             Ketentuan hukum praktik kedokteran,  sudah banyak diatur dalam berbagai produk perundang-undangan; antara lain UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, PP No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan . Disamping itu masih ada lagi peraturan dalam bentuk Permenkes, yang sering dipersoalkan dari aspek yuridisnya karena Perme(kes) tidak termasuk khierargi perundang undangan Indonesia . Akan tetapi ”lucu”nya Undang undang Praktektek kedokteran ( UUPK )Nomor 29 tahun 2004 mengamanahi agar dilengkapi oleh permen( pasal 43 UUPK) sehingga muncullah permen(kes) nomor 1419/menkes/per/X/2005 tentang Penyelenggaraan (harusnya pelaksanaan ) Praktik Dokter dan dokter gigi yang sekaligus menghapus permenkes nomor 916/menkes/per/VII/1997,Ke”lucu”an ini mungkin  merupakan salah satu celah kekaburan dalam pelaksanaannya nanti. Tetapi walaupun begitu karena UUPK sudah disahkan dan diundangkan melalui Lembaran negara RI no 116 tahun 2004 maka mau tidak mau sudah mengikat pada para pihak dengan segala kekurangan dan kelebihannya.  Salah satu kekurangan dari peraturan-peraturan tersebut diatas adalah belum mampu menjawab semua tantangan dan persoalan yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan praktek kedokteran, masih belum terintegrasi dengan baik, serta belum jelas bentuk pengaturan serta pengawasannya dan belum optimal dalam memberdayakan potensi profesi serta institusi yang terkait.
Bagaimanakah pelaksanaan UUPK nantinya?
 Sering hukum ketinggalan oleh keadaan subjek dan objek yang di urusnya.  Masyarakat sekarang menurut dr. Sofwan :
1.    Semakin memahami hak-haknya, namun sayangnya kurang diimbangi oleh peningkatan pemahaman mengenai logika medis dan logika hukum, sehingga akibatnya semua bentuk adverse event  digeneralisasi sebagai kasus malpraktek. (Adverse event adalah kejadian tak sesuai harapan yang lebih disebabkan oleh intervensi medis daripada oleh penyakitnya sendiri dan bersifat injury).
2.    Semakin litigious (gemar menuntut dan menggugat rumah sakit atau dokter).
3.    Smakin memandang dokter bukan sebagai partnership dalam mengatasi problem kesehatannya.
4.    Semakin menerima konsep Hak Asasi Manusia sebagai acuan bagi penentuan kebijakan dibidang sosial dan hukum
6.    Semakin tinggi penghargaannya terhadap  prinsip-prinsip konsumeris-me, antara lain prinsip “he who pays the piper calls the tune” (siapa membayar pengamen suling maka dialah yang menentukan nadanya atau lagunya).

Dunia kedokteran sendiri, dalam beberapa dekade belakangan ini, juga mengalami berbagai perubahan yang cukup berarti, antara lain :(dr.Sofwan) .

1.  Bertambah  pesatnya  kemajuan  ilmu dan teknologi  (sebagai  akibat berubahnya dunia kedokteran menjadi research oriented) sehingga  memunculkan medical paradoxes (yaitu apa yang dahulu mustahil sekarang menjadi mungkin dan apa yang dahulu dianggap asymptomatic medical condition dan risk sekarang dianggap sebagai penyakit sehingga akibatnya semakin sulit membedakan illnesses dan non-illnesses) serta munculnya technological compulsion (“if we can do, let do it”).
2.    Terjadi pergeseran nilai akibat conceptual transformation dari teknologi maju serta munculnya “the slippery slope argument”  guna dijadikan alasan pembenar bagi tindakan medis yang ethically questionable.
3.    Sikap paternalistik dalam hubungan terapetis mengalami degradasi.
4.    Adanya intervensi konsep-konsep hukum dalam praktek kedokteran.
5.    Prinsip-prinsip konsumerisme mulai mengganggu otonomi profesi.



  kehadiran UU Praktek Kedokteran patut disambut dengan terbuka (walaupun masih banyak kekurangan-kekurangannya) mengingat fungsinya yang amat penting dalam menciptakan praktik kedokteran yang berkualitas, aman, tertib dan teratur sehingga diharapkan mampu melindungi semua pihak. Masyarakat sebagai pengguna layanan medis ;yang tentunya awam tentang masalah kedokteran harus dilindungi kepentingan serta hak-haknya(how to protect patient) dan dokter sebagai pemberi layanan kesehatan juga perlu dilindungi martabat, kehormatan dan sekaligus hak-haknya. Kesemuanya ini akan dapat terwujud apabila UU Praktik Kedokteran itu sendiri mampu menghadirkan nilai-nilai yang dapat memberi efek perlindungan bagi semua pihak; antara lain nilai keadilan, keseimbangan, kejujuran, moralitas, kepastian, kemanfaatan dan sebagainya.

Sejauh ini penafsiran terhadap UU Praktik Kedokteran yang baru disahkan pemberlakuannya 6 0ktober 2005 tersebut memenuhi nilai-nilai tadi, ada baiknya kita kaji kembali secara seksama, sebab banyak kalangan LSM Kesehatan yang menilai UU Praktek Kedokteran lebih banyak menguntungkan para dokter dan dokter gigi ketimbang masyarakat Benarkah penilaian mereka? Apakah justru tidak sebaliknya, yakni sangat merugikan para dokter dan dokter gigi? Lalu bagaimana halnya dengan pelaku pengobatan alternatif (kedokteran tradisional) yang samasekali tidak tersentuh oleh UU Praktek Kedokteran (baik dari aspek pengaturan, pengawasan dan pembinanaannya) sehingga undang-undang ini terkesan menganakemaskan mereka dan menganaktirikan kalangan medis?

Sebenarnya dengan diundangkannya UU Praktek Kedokteran ini maka  sebenarnya merupakan preseden buruk mengingat ide ketika UU Kesehatan dirancang adalah untuk menyatukan berbagai aturan di bidang kesehatan yang tersebar (diversifikasi) di berbagai produk perundang-undangan (UU Tentang Pokok-Pokok Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, UU Kesehatan Jiwa, UU Farmasi, UU Kesehatan Kerja, UU Higiene dan Sanitasi, UU Wabah dan masih banyak lagi). Mestinya tentang praktek kedokteran (juga tentang Sarana Kesehatan termasuk rumah sakit) diatur saja dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh UU Kesehatan. Dengan diundang-kannya UU Praktek Kedokteran (rencananya juga UU Rumah Sakit) sehingga sebelumnya sudah berhasil disatukan kedalam UU Kesehatan, malah dipecah-pecah lagi seperti sebelumnya.

Sebenarnya UU Praktek Kedokteran (juga UU Kesehatan) menyatakan bahwa orang yang hendak melakukan praktik berlandaskan ilmu kedokteran harus memiliki kewenangan (  maka sebenarnya hal ini merupakan subject matter dari hukum publik karena ada kepentingan publik yang perlu dilindungi. Tetapi jika dokter sudah memiliki kewenangan (baca:  memilik Lisensi atau STR) dan bermaksud bekerja sebagai profesional di salah satu rumah sakit maka mestinya ia tidak perlu lagi meminta ijin kepada otoritas kesehatan daerah (public bureaucrat) dalam bentuk SIP mengingat masalah hubungan antara dokter dan rumah sakit tersebut merupakan subject matter  dari hukum privat. Dengan ada sanksi pidana jelas mengaburkan masalah administrasi jadi masalah kriminal sehingga terjadi kriminalisasi urusan praktik kedokteran ini secara berlebihan.

SELAYANG  UU PRAKTIK KEDOKTERAN
PRAKTIK KEDOKTERAN :
R
ANGKAIAN KEGIATAN YANG DILAKUKAN DOKTER TERHADAP PASIEN DALAM MELAKSANAKAN UPAYA KESEHATAN
PROFESI KEDOKTERAN : PEKERJAAN KEDOKTERAN YANG DILAKSANAKAN BERDASARKAN KEILMUAN, KOMPETENSI YANG DIPEROLEH MELALUI PENDIDIKAN BERJENJANG, KODE ETIK YANG BERSIFAT MELAYANI MASYARAKAT.  Ps. 1 (11) UU No. 29 Th. 2004
Kewajiban dokter dan dokter gigi  punya STR  (ps 29 ) . PELAKSANAAN PRAKTIK dan kewenangan dokter  ( pasal 35)  . Dokter harus punya SIP ( pasal 36 ).

PS. 39 UU NO. 29 TH. 2004 :
PRAKTIK KEDOKTERAN DISELENGGARAKAN BERDASARKAN PADA KESEPAKATAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN DALAM UPAYA PEMELIHARAAN KESEHATAN, PENCEGAHAN PENYAKIT, PENINGKATAN KESEHATAN, PENGOBATAN PENYAKIT, DAN PEMULIHAN KESEHATAN
PIMPINAN SARANA PELAYANAN KESEHATAN DILARANG MENGIZINKAN DOKTER YANG TIDAK MEMILIKI SIP UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK KEDOKTERAN DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN TERSEBUT.(ps 42)
STANDAR PELAYANAN : PS. 44 : DOKTER DALAM MENYELENGGARAKAN PRAKTIK KEDOKTERAN WAJIB MENGIKUTI STANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN. PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
(INFORMED CONSENT)

PS. 45 :
SETIAP TINDAKAN KEDOKTERAN YANG AKAN DILAKUKAN OLEH DOKTER TERHADAP PASIEN HARUS MENDAPAT PERSETUJUAN.

PS. 50 : HAK DOKTER : MEMPEROLEH PERLINDUNGAN HUKUM SEPANJANG MELAKSANAKAN TUGAS SESUAI SP DAN SPO; MEMBERIKAN PELMED MENURUT SP DAN SPO; MEMPEROLEH INFORMASI LENGKAP & JUJUR DARI PASIEN DAN/ATAU KELUARGANYA;. MENERIMA IMBALAN JASA.
PS. 52 : HAK PASIEN : DAPAT PENJELASAN LENGKAP TTG TINDAKAN MEDIS; MINTA PENDAPAT DOKTER LAIN; DAPAT PELAYANAN SESUAI KEBUTUHAN MEDIS; TOLAK TINDAKAN MEDIS; DAPAT ISI REKAN MEDIS.
PS. 51 : KEWAJIBAN DOKTER : BERIKAN PELMED SESUAI SP, SPO, KEBUTUHAN MEDIS PASIEN;
RUJUK PASIEN KE DR LAIN YG PUNYA KEAHLIAN LBH BAIK; RAHASIAKAN TTG PASIEN , JUGA STLH MENINGGAL; LAKUKAN PERTLGAN DARURAT A.D KEMANUSIAAN; TAMBAH ILPENG & IKUTI PERKEMBGAN IL. KEDOKTR.
PS. 53  : KEWAJIBAN PASIEN : BERIKAN INFORM LKP & JJR TTG MSLH KESNYA; PATUHI NASIHAT & PETUNJUK DR; PATUHI KETENTUAN DI SARANA KESEHATAN; BERIKAN IMBALAN JASA..
Ps  75-80 : tentang ketentuan pidana.


IMPLIKASI UU PRAKTEK KEDOKTERAN

1. Terhadap Dokter.
UU Praktek Kedokteran menimbulkan implikasi serta memiliki sanksi yang berat sehingga harus direspon secara baik oleh setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran, baik di sarana kesehatan maupun diluar sarana kesehatan; antara lain:
1.  Harus memiliki sertifikat KOMPETENSI dari kolegium.
2.  Harus memiliki STR (LISENSI) dari Konsil Kedokteran Indonesia.
3.  Harus selalu MENJAGA kompetensinya dengan terus menerus mengi-                  
     kuti pendidikan berkelanjutan.
 4.harus memperbarui STR (LISENSI) yang habis masa berlakunya.
5.  Harus punya SIP jika ingin praktik swasta perorangan.     
6.         Dalam menjalankan praktik harus selalu:
                        a.  Memenuhi Standar Pelayanan yang berlaku.
                        b.  Menjalankan prosedur Informed Consent yang benar.
                        c.  Melaksanakan manajemen Rekam Medis dengan baik.
                        d.  Menjaga Rahasia Kedokteran.
                        e.  Menghormati semua Hak Pasien.
7. harus memasang plang praktek.

Seharusnya dari semua kewajiban diatas tidak perlu ada sangsi pidana. Harusnya sanksi administratif. Sayang di UUPK sudah terlanjur ada ketentuan pidana bagi urusan administratif’
            Sebagaimana kita ketahui,secara umum Kompetensi itu bisa diartikan sebagai kondisi atau persyaratan agar  dapat melaksanakan tugas dan menjalankan peran (the condition of being capable atau the capacity to perform task or role). Aspek-aspek yang harus dikuasai agar dapat melaksanakan tugas dan perannya sebagai seorang dokter menurut New South Wales Medical Board adalah:
1.     Clinical judgment.
2.     Medical knowledge.
3.     Clinical skill.
4.     Humanistic quality.
5.     Communication skill.

Dengan menguasai aspek-aspek tersebut diatas maka dokter akan dapat menjalankan perannya sebagai:
1.   Medical Expert.
2.   Professional.
3.   Communicator.
4.   Health Advocate.
5.   Scholar.
6.   Collaborator.
7.   Manager.

           
B.  Implikasi Terhadap Rumah Sakit.

             Ketentuan ketentuan UU Praktek Kedokteran juga memberikan implikasi kepada rumah sakit, antara lain:
1.  Hanya boleh mempekerjakan dokter berlisensi (STR).      
Guna menjaga mutu safety, Konsil  perlu  membatasi  jumlah  penggunaan STR  untuk  bekerja   di  berapa  Sarana  Kesehatan.    Tentunya   dengan  mempertimbangkan  berbagai  variabel   (misalnya  jenis  lisensi  yakni  dokter  umum  atau  spesialis, fungsinya yaitu sebagai consultant only  atau consultant  with management, kondisi daerah dan sebagainya).
2.  Memberikan Clinical Privilege sesuai kompetensi yang dimiliki dokter.
3. Memfasilitasi agar dokter selalu melaksanakan layanan kesehatan sesuai standar pelayanan.
4.  Melaksanakan :
                        a.  Manajemen Informed Consent yang benar.
                        b.  Manajemen Rekam Medik yang baik dan rapi.
                        c.  Manajemen Rahasia Kedokteran yang tertib.
                        d.  Manajemen Kendali Mutu (Audit Medik dsbnya).
           
5.  Memfasilitasi terlaksananya semua Hak Pasien.
6.  Melakukan tindakan korektif terhadap dokter yang pelanggaran.

dilapangan Dampak yang kemungkinan timbul terhadap intitusi kesehatan:
1 kekurangan relatif tenaga dokter dan dokter gigi secara umum.
2. kekurangan relatif tenaga dokter dan dokter gigi dengan kompetensi khusus (spesialis/super spesialis). Dalam hal ini permenekes  melalui pasal 7 memberi peluang  : untuk kepentingan kedinasan ,dinas kesehatan bisa menugaskan . selama 3 bulan dan dapat diperpanjang. Ada beberapa pendapat mengenai pasal ini ada yang berpendapat dinas kesehatan bisa langsung menunjuk dokter untuk bekerja di sarana kesehatan baik kepunyaan pemerintah maupun swasta. Tetapi ada yang berpandangan itu hanya untuk sarana kesehatan pemerintah karena ada kata ”untuk kepentingan kedinasan” yang artinya tidak boleh untuk urusan privat. Saran penulis untuk para pimpinan IDI dan dinas Kesehatan jangan terlalu berani dulu membuat surat tugas sebelum ada kepastian hukumnya. Karena dengan permenkes yang tidak jelas maka aparat hukum akan kembali ke pasal di undang-undangnya pasal 36 dan 42 tentang kewajiban mempunyai SIP dan pasal sanksi(pasal 75-80) Sehingga nantinya dokternya atau pimpinan rumah sakitnya yang akan jadi korban. 
3. perubahan dalam pengaturan penerimaan dokter dan pola pengendalian dokter dan dokter gigi di rumah sakit. Pemerataan akan bisa tercapai dengan keharusan kaderisasi  SDM dokter bila sarana kesehatan tidak ingin ketinggalan.
4. Diperlukannya penerapan prinsip-prinsip kehati-hatian di rumah sakit sehingga kalau berlebih akan menyebabkan pasive medicine
5. Dokter akan lebih konsen melaksanakan kegiatan menjaga mutu melalui audit medis dan penggunaan penunjang untuk diagnostik sehingga bisa menyebabkan naiknya biaya pengobatan.

Ketentuan mengenai pembatasan jumlah tempat praktik bisa berakibat positive dan negative, positivenya peluang digunakannya tenaga medis muda sehingga bisa berkembang dan perekrutan tenaga medis asing akan banyak dilirik rumah sakit, dokter di rumah sakit memiliki banyak waktu dalam menyelenggarakan pelayanan medis sehingga memungkinkan meningkatnya kualitas pelayanan dan waktu yang adapun bisa untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu yang dimilikinya (waktu tidak habis dijalan).
==============================================================
  
Penulis adalah seorang dokter specialis bedah, LULUSAN  program S2 Hukum kesehatan Univ. Soegija Pranata. Semarang. E-mail : herrysyu@gmail.com

No comments:

Post a Comment