Bersama ini saya downloadkan KODEKI dari website IDI mudah-mudahkan bisa bermanfaat bagi sejawat sekalian dalam memahami KODEKI KEDOKTERAN.
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
DAN
PEDOMAN PELAKSANAAN
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
(MKEK)
IKATAN DOKTER INDONESIA (IDI )
Jl. Dr. Samratulangi No. 29
Telp. 3150679 – 3900277; Fax 3900473
Jakarta 10350
Jakarta, Januari 2002
MKEK Pusat
Bilahit Taufiq Walhidayah,
Jakarta, Januari 2002
Ketua Umum PB IDI
Prof. DR. Dr. M. Ahmad Djojosugito, Sp.BO, MHA.
NPA-IDI: 6.094
Menetapkan : Keputusan IDI tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia
Pertama : Mencabut KODEKI hasil Rakernas MKEK-MP2A tahun 1993
Kedua : Menetapkan penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) hasil Mukernas Etik
Kedokteran III tahun 2001 sebagai pedoman etik bagi dokter dalam menjalankan profesi
kedokteran.
Ketiga : Dengan penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagaimana butir kedua tersebut,
maka semua dokter yang menjalankan profesi kedokterannya wajib berpegang teguh pada
KODEKI tersebut.
Keempat : Seluruh Pengurus Wilayah, Cabang dan Badan Kelengkapan organisasi IDI lainnya wajib
menyebar luaskan KODEKI tersebut kepada seluruh dokter di wilayah kerjanya
masing-masing.
Kelima : Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila ternyata dikemudian hari
terdapat kekeliruan dalam pembuatannya akan diperbaiki sesuai dengan keperluannya.
Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,
Prof. DR. Dr. M. Ahmad Djojosugito, MHA. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.
NPA. IDI : 6.09 NPA. IDI : 32.552
3. Keluhuran budi
4. Kerendahan hati.
5. Kesungguhan kerja
6. Integritas ilmiah dan sosial.
kewajiban terhadap pasien.
9. Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan danpernyataan terima kasih yang selayaknya.
10. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara sekandung.
11. Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
12. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
(3) Kertas resep, seperti halnya dengan papan pengenal praktek (papan nama) yang dibenarkan oleh Kode Etik Kedokteran ialah :
Ukuran maksimum 1/4 folio (10,5 x 16,5 cm) Mencantumkan nama gelar yang sah, jenis pelayanan sesuai SIP, No. SID/SP, alamat praktek, nomor telepon dan waktu praktek.
Seandainya tempat praktek berlainan dengan tempat tinggal dapat ditambah alamat rumah dan nomor teleponnya.
Juga tidak dibenarkan mencantumkan keterangan lain terutama yang bersifat iklan dan tidak ada hubungannya dengan jenis pelayanan dokter tersebut.
Penjelasan dan pedoman pelaksanaannya.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
30
Sebagai pimpinan tim/unit kerja seorang dokter merupakan titik sentral dan
koordinator yang harus bertindak secara bijaksana agar dapat
menggerakkan potensi yang ada untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Sebagai pimpinan tim, tiap anggota tim harus memperoleh perhatian dan
penghargaan yang sama dari dirinya.
Instruksi hendaknya diberikan secara jelas dan tertulis supaya tidak
menimbulkan salah pengertian.
Dalam bekerja dengan masyarakat, dokter perlu melakukan pendekatan
kepada tokoh masyarakat untuk menggerakkan mereka berpartisipasi aktif
dalam berbagai kegiatan pembangunan kesehatan.
Dokter dalam peranan ini tidak hanya dituntut mampu memberi bimbingan
di bidang medik/kesehatan, tetapi sebagai sarjana ia akan dimintai
nasehat dan bimbingan pula dibidang kehidupan lain. Oleh karena itu,
dokter yang bertugas di daerah dan ekonomi masyarakat dan bersedia
bekerjasama dengan masyarakat.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka alas
persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
a. Sikap
Bersikap tulus ikhlas sangat diperlukan dalam menolong pasien karena
sikap ini memberikan ketenangan dan kejernihan dalam berfikir dan teliti
dalam bertindak. Sikap ini juga berpengaruh menenangkan bagi pasien
yang ditolong.
Sikap tulus ikhlas disertai dengan keramah tamahan dalam menyambut
pasien, akan memberi kesan yang baik terhadap pasien, sehingga ia akan
secara sukarela dan spontan menyerahkan dirinya untuk diperiksa oleh
dokter dan akan bersedia akan menjawab secara terbuka hal-hal yang
perlu diketahui oleh dokter dalam menunjang penegakan diagnosa dan
terapi yang tepat.
31
Sikap ikhlas didasari sikap profesional, akan menegakkan wibawa dokter
dalam menghadapi ataupun melakukan persuasi agar pasien bersikap
kooperatif terhadap tindakan pemeriksaan maupun pengobatan yang
diberikan oleh dokter.
Sikap profesional dalam hal ini berarti mempertahankan mutu tindakan
berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan profesional yang dimilikinya.
Sikap ikhlas juga perlu disertai dengan tindakan yang selalu
memperhatikan tata sopan santun dan tata susila yang berlaku di
masyarakat tempat dokter yang bersangkutan berpraktek atau
melaksanakan tugas profesionalnya. Hal ini terutama perlu diperhatikan
dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasien lawan
jenis.
Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan, maka dalam
melakukan pemeriksaan perlu ada orang ketiga, yakni petugas kesehatan
pembantu praktek atau salah seorang keluarga pasien.
Telah ada kasus "pemerasan" (blackmailing) yang terjadi, bahkan
berakibat fatal bagi dokter.
Tindakan pencegahan ini diperlukan untuk menghindari diri. dari tuduhan
melakukan sesuatu yang tidak senonoh. Tindakan ini sifatnya wajib dalam
rangka menghadapi risiko jabatan yang mungkin timbul dengan akibat fatal
dan dapat menurunkan martabat korps dokter seluruhnya.
Meskipun demikian dalam kasus tertentu misalnya psikoterapi. Orang
ketiga dapat menganggu jalannya pemeriksaan dan pengobatan, bahkan
dianggap melangar etik kedokteran, sehingga untuk kasus-kasus psikiatri,
tindakan pencegahan sebagaimana disebutkan di atas tidak diwajibkan.
Keikhlasan dalam memberikan pertolongan kepada pasien diperlihatkan
pula pada intensitas perhatian dokter. Oleh karena itu tidaklah benar
dokter melakukan pemeriksaan sekaligus pada saat yang sama lebih dari
seorang pasien. Hal ini selain mengganggu "privacy" pasien, juga akan
mengurangi ketelitian pemeriksaan.
Perhatian terhadap pasien hendaknya menyeluruh terhadap pribadi
seseorang manusia yang selain mempunyai unsur jasmani ia juga memiliki
unsur spiritual, mental dan sosial (Iingkungan). Pandangan dokter
terhadap pasien sebagai manusia seutuhnya akan membantu menemukan
latar belakang kelainan kesehatan pasien secara lebih tepat. Diagnosa
yang tepat akan mengarah pada pengobatan/tindakan yang tepat pula.
Pengobatan dalam hal ini tidak hanya berorientasi pada pemberian obat
(drug) saja, tetapi juga bantuan non fisik yang diperlukan berdasarkan
pengetahuan dokter tentang latar belakang penyakit sebagaimana telah
disebutkan diatas.
32
b. Rujukan pasien
IImu kedokteran sebagaimana ilmu pengetahuan umumnya, dalam abad
ke-21 ini telah maju dengan pesat. Penemuan-penemuan baru dalam
bidang diagnostik dan terapi bertubi-tubi diumumkan.
Perkembangan yang mengagumkan ini luar biasa cepatnya. Tidak
mengherankan kalau segala sesuatu itu tidak dapat diikuti oleh seorang
dokter umum yang siang dan malam sibuk dengan pekerjaannya dan
persoalannya. Sebab itu lahirlah berturut-turut berbagai spesialisasi dan
sub spesialisasi.
Dokter umum harus mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang tersedia
dalam spesialisasi dan subspesialisasi itu, meskipun tidak akan dapat
menguasai dan mempraktekkannya. Sebagai kelakar pernah dikatakan :
“A general practitioner is someone, who knows something about
everything, a specialist is someone who knows everything about
something", yang berarti kira-kira : seorang dokter umum adalah dokter
yang mengetahui serba sedikit tentang segala sesuatu dan seorang dokter
spesialis mengetahui seluruhnya dari sesuatu hal saja".
Seorang dokter umum atau spesialis harus benar-benar sadar akan batas
pengetahuan dan kemampuannya. Pada suatu ketika ia akan berada di
perbatasan itu, maka pada saat itulah dokter yang ahli dalam penyakit
yang sedang dihadapinya. Sebaliknya di kota-kota besar dimana terdapat
aneka ragam spesialis berpraktek, seorang dokter umum harus berusaha
jangan menjadi perantara saja antara pasien dengan dokter spesialis.
Dengan begitu, tibalah kita pada seal konsultasi dan hubungan antara
dokter umum dan dokter spesialis.
c. Konsultasi
Soal konsultasi ialah soal yang sangat penting dalam hubungan antara
kolega/sejawat. Pada kesempatan tersebut tampak kepribadian dan budi
seorang dan kesetiaannya, serta sifat persaudaraannya terhadap teman
sejawat. Tidak jarang pada waktu itu terjadi kesalah-pahaman dan timbul
perasaan tersinggung.
Untuk memperkecil kemungkinan tersebut baiklah diperhatikan hal-hal
berikut :
(1) Sebagaimana diterangkan di atas, usul untuk mengadakan konsultasi
sebaiknya datang dari dokter yang pertama-tama menangani
penyakitnya, terdorong oleh keinsyafan atas batas kemampuan atau
karena merasa pasien atau keluarganya menginginkan konsultasi.
Untuk dapat merasakan yang demikian diperlukan pengetahuan
psikologik tentang mentalitas pasien yang dihadapi, sedikitnya ban yak
ketidak puasan timbul kalau pasien sendiri menghendaki dan
33
mengusulkan konsultasi. Bagaimanapun juga adalah hak pasien,
untuk memilih sendiri konsulen yang disukai.
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pemeriksaan oleh konsulen di rumah pasien sebaliknya dihadiri oleh
dokter pertama yang terlebih dahulu memberikan keterangan dan
pendapatnya mengenai pasien.
Sesudah melakuan pemeriksaan, kedua dokter tersebut mencari
tempat tersendiri untuk pertukaran pendapat dan musyawarah.
Konsulen melanggar ketentuan etik kalau secara terbuka ataupun
dengan isyarat menyalahkan apa yang telah diperbuat dokter pertama.
Perselisihan pendapat harus dikemukakan dengan secara demikian
sehingga tidak menguncangkan kepercayaan pasien terhadap dokter
pertamanya.
Yang lebih banyak terjadi, ialah seorang pasien dikirim kepada
spesialis di tempat prakteknya untuk konsultasi. Pengiriman seperti itu
harus disertai surat dokter dalam sampul tertutup yang berisi
keterangan yang cukup mengenai pasien. Tidak dibenarkan
menyampaikan keterangan lisan melalui pasien sendiri.
Dokter spesialis konsulen mengirimkan kembali pasien disertai
pendapatnya secara tertulis dalam sampul tertutup pula, kecuali jikalau
telah disepakati bahwa konsulen akan meneruskan pengobatannya
sampai sembuh.
Tidak dibenarkan konsulen memberitahukan kepada pasien secara
langsung ataupun tidak tentang kekeliruan yang dibuat dokter
pertama. Segala pendapat dan nasihat disampaikan secara tertulis
dan terserah kepada dokter pengobat untuk membicarakan dengan
pasien.
Konsulen menetapkan dan menagih sendiri imbalan jasanya, kalau
perlu setelah bermusyawarah dengan dokter pertama.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Kehidupan manusia selain menyangkut
aspek jasmani, juga
menyangkut aspek mental, spiritual dan sosial. Nilai dan norma yang dianut
serta kepercayaan yang diyakini menentukan reaksi/tanggapan seseorang
terhadap suatu kejadian/ungkapan.
Dokter dalam menghadapi pasien perlu mengetahui/memahami latar belakang
kehidupan pasien itu.
34
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dapat dibuktikan
bahwa nilai agama serta ikatan keluarga sangat kuat di masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, hal ini perlu dihormati oleh dokter.
Dokter berkewajiban atau wajib menghormati agama dan kepercayaan
pasien serta adat istiadat yang dihormati masyarakat setempat, khususnya
yang tidak bertentangan dengan ketentuan agama, perundang-undangan yang
berlaku dan ketentuan di bidang kesehatan.
Adanya peraturan tentang waktu kunjungan bagi pasien membatasi
keluarga pasien untuk selalu mendampingi pasien.
Namun demikian bila ada alasan yag kuat dari pasien agar
keluarganya harus mendampinginya, maka permintaan tersebut hendaklah
dapat diluluskan.
Adakalanya pula pasien menghendaki orang lain, misalnya seorang
penasehat dalam beribadah yang mungkin secara psikis dapat menolongnya.
Dalam soal ini janganlah dihalangi-halangi bahkan dibantu.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Kewajiban memegang teguh rahasia jabatan merupakan isyarat yang
senantiasa dipenuhi, untuk menciptakan suasana percaya mempercayai yang
mutlak di perlukan dalam hubungan dokter pasien.
Soal ini dibahas secara mendalam disini dan isinya hampir seluruhnya
diambil dari uraian anggota "Dewan Pelindung Susila Kedokteran" Prof.
Sutomo Tjokronegoro.
Sejak dahulu kala terdapat beberapa jabatan tertentu yang
mewajibkan para pejabatnya untuk merahasiakan segala sesuatu yang
bersangkutan dengan pekerjaan mereka. Kewajiban tersebut berdasarkan
baik pada kepentingan umum maupun kepentingan perorangan. Termasuk ke
dalam golongan pejabat tertentu ialah pejabat tinggi negara, pejabat militer,
pendeta, pengacara dan beberapa pejabat dalam dunia kedokteran seperti
dokter, dokter gigi, ahli farmasi, bidan dan perawat.
Pada umumnya, kewajiban seorang pejabat untuk merahasiakan hal-
hal yang diketahuinya adalah karena tanggung jawabnya mengharuskannya
demikian. Untuk itu, setiap pelantikan dalam jabatan senantiasa dilakukan
pengambilan sumpah antara lain berintikan kesanggupan untuk menyimpan
rahasia jabatan, karena kebocoran rahasia jabatan dapat mengakibatkan
gangguan stabilitas ataupun kerugian dipihak lain, yang dapat dituntut dalam
pengadilan militer dan sebagainya tergantung dari peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya.
35
Kebocoran rahasia dalam jabatan dokter dapat berakibat kerugian
pihak berkepentingan dan mungkin dapat berakibat tuntutan kepengadilan,
terlebih dalam masyarakat yang telah maju, menyebabkan seorang kehilangan
pekerjaannya.
Tinjauan lebih lanjut tentang rahasia jabatan dokter
Sudah sejak jaman kuno, norma-norma kesusilaan yang menjadi
pegangan para dokter ialah sumpah yang diciptakan oleh "Bapak IImu
Kedokteran" Hippocrates (469 - 377 S.M).
Sumpah Hippocrates yang umurnya telah berabad-abad itu, maknanya
tersimpul dalam "segala sesuatu yang kulihat dan kudengar dalam melakukan
praktekku, akan kusimpan sebagai rahasia".
Untuk memahami soal rahasia jabatan dan Sumpah Dokter yang akan
diuraikan lebih lanjut sebaiknya dibaca Sumpah Hippocrates selengkapnya
yang telah dialih-bahasakan ke dalam bahasa Inggris.
Berikut ini dicantumkan hanya salah satu pasal tentang rahasia
jabatan Dokter yang bunyinya sebagai berikut: "Saya tidak akan menyebarkan
segala sesuatu yang mungkin saya dengar atau yang mungkin saya lihat
dalam kehidupan pasien-pasien saya, baik waktu menjalankan tugas jabatan
saya maupun di luar waktu menjalankan tugas jabatan itu. Semua itu akan
saya pelihara sebagai rahasia".
Norma-norma kesusilaan yang bersumber pad a Sumpah Hippocrates
tersebut diatas, kemudian dianggap tidak mencukupi karena banyaknya
kelakukan dan tabiat perseorangan, yang sudah barang tentu sangat
berbedabed a dan tidak selalu baik.
Oleh karena itu, di berbagai negeri ditegakkan norma-norma hukum. Norma-
norma hukum itu pada umumnya disusun untuk memperkokoh kedudukan
rahasia jabatan sehingga dapat menjamin kepentingan masyarakat.
Setiap anggota masyarakat, di negeri manapun juga menghendaki
agar mempunyai derajat kesehatan yang baik. Derajat kesehatan yang baik
dapat tercapai jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan bebas dapat
mengunjungi dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan
tentang penderitaannya, baik jasmani maupun rohani agar mendapat
pengobatan yang sesuai. Rangkaian tersebut di atas hanya mungkin terjadi,
bila setiap pasien di atas hanya menaruh kepercayaan sepenuhya kepada
dokter yang memeriksanya, tanpa perasaan takut atau khawatir, bahwa dokter
tersebut akan memberitahukan hal-hal mengenai penyakit kepada orang lain.
Jika kepercayaan itu tidak ada, maka tidak mustahil bahwa orang yang
sakit akan segan pergi ke dokter, karena khawatir bahwa penyakitnya yang
mungkin sama sekali mereka sembunyikan, kelak diketahui oleh umum.
Perasaan takut dan khawatir itu dapat menjadi salah satu penyebab penting
dari tingginya angka sakit di masyarakat. Oleh karena itu, rahasia jabatan
36
dokter berarti sendi utama bagi tercapainya keadaan sehat bagi setiap
anggota masyarakat. Berdasarkan pikiran tersebut di alas, norma-norma
kesusilaan yang telah ada dikuatkan dengan norma-norma hukum, yang
kemudian dicantumkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Salah satu diantara peraturan itu diwujudkan dalam sumpah atau janji dokter,
yang harus diucapkan oleh setiap mahasiswa kedokteran waktu ia lulus ujian
dokternya dan menerima ijazah. Karena sumpah Hippocrates telah
mengandung norma kesusilaan yang selayaknya dan yang bermutu tinggi,
maka mudahlah dipahami bahwa dengan sendirinya maknanya dimasukkan ke
dalam lafal sumpah dokter atau janji yang harus diucapkan itu.
Walaupun di berbagai negara lafal atau janji ini berbeda-beda dan tidak sama
bunyinya, dalam garis besarnya berpokok sama yaitu mengandung makna
sumpah Hippocrates.
Sebelum kita tinjau satu persatu seluruh peraturan dan undang-
undang yang menentukan norma-norma hukum rahasia jabatan pada
umumnya dan norma-norma hukum rahasia jabatan dokter khususnya, dari
permulaan harus kita insyafi akan satu hak asasi yang sangat penting. Hak
asasi yang sangat penting itu, sayang sekali tidak diketahui atau disadari, tidak
hanya di luar, melainkan di dalam dunia kedokteran sendiri.
Hak asasi itu, yang telah ditegaskan pada permulaan uraian ini, ialah
bahwa "kewajiban untuk menyimpan rahasia pokoknya adalah kewajiban
moral, yang telah lama ada sebelum diadakan peraturan atau undang-undang
yang mengatur soar ini".
Oleh karena itu tidaklah mungkin bila rahasia jabatan itu didasarkan pada
sumpah atau janji. Dari mula-mula harus sudah kita insyafi bahwa rahasia
jabatan dokter terutama berpokok pada kewajiban moril yang sekali-kali tidak
perlu didasarkan pada sumpah atau janji apapun.
Rahasia jabatan dokter ialah suatu hal yang secara intrinsik bertalian
dengan segala pekerjaan yang bersangkutan dengan ilmu kedokteran
seluruhnya. Oleh karena itu kita harus insyafi pula bahwa semua orang yang
dalam pekerjaannya bergaul atau sedikit-dikitnya mengetahui keadaan pasien,
tetapi tidak atau belum mengucapkan sumpah/janji secara resmi, sudah
selayaknya berkewajiban juga untuk menunjung tinggi rahasia jabatan itu.
Mereka itu antara lain mahasiswa kedokteran, perawat dan karyawan
bidang kesehatan lainnya. Selanjutnya yang ditinjau norma-norma hukum
yang bersangkutan dengan rahasia jabatan. Pelanggaran norma-norma
kesusilaan, seperti telah diuraikan di alas, tidak diancam oleh hukum, kecuali
mungkin dihukum oleh masyarakat. Sedangkan pelanggaran norma hukum
berakibat ancaman hukuman.
Hukuman umumnya dijatuhkan oleh hakim setelah soal yang
bersangkutan menjadi perkara pengadilan dan terbukti adanya pelanggaran
hukum. Cara mengadakan dan mengatur norma-norma hukum itu dalam
37
berbagai negara berbeda-beda sehingga ada yang menimbulkan kebingungan
pada yang berkepentingan. Hal itu disebabkan oleh susunan peraturan atau
undang-undang yang bersangkutan dapat ditafsirkan berlainan dengan yang
sebenarnya.
Hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim, dapat berupa hukuman
pidana dan atau hukum perdata.
Untuk memahami seal rahasia jabatan yang ditinjau dari sudut hukum ini, ada
baiknya kita bagi perilaku dokter dalam :
a. Perilaku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari.
b. Perilaku dalam keadaan khusus
Ad.a Perilaku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari.
Dalam hal ini perlu diperhatikan ialah :
1. Pasal 322 Kitab Udang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(a) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpan karena jabatan atau pencariannya, baik sekarang
maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus
rupiah.
(b) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut diatas pengaduan orang itu.
Undang-undang ini sudah selayaknya berlaku untuk setiap orang,
yang alas pekerjaannya wajib menyimpan rahasia, bukan hanya
untuk dokter pemerintah, dokter praktek swasta, maupun dokter
yang telah pensiun dan atau tidak praktek lagi.
Seorang dokter yang dikenal sebagai pembuka rahasia mungkin
sekali prakteknya makin lama makin merosot sebagai akibat
hukuman masyarakat.
Ayat b pasal 322 KUHP ini panting terutama berkenaan dengan
rahasia jabatan dokter. Menurut ayat ini, seorang dokter yang
"membuka rahasia" tentang pasiennya tidak dengan sendirinya
akan dituntut di muka pengadilan, melainkan hanya sesudah
terhadapnya diadakan pengaduan oleh pasien yang
bersangkutan.
2. Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian, mengganti kerugian tersebut.
Seorang dokter berbuat salah kalau tanpa disadari "membuka
rahasia" tentang penderitaannya yang kebetulan terdengar oleh
majikan pasien itu, selanjutnya majikan itu melepaskan pegawai
38
tersebut karena takut penyakitnya akan menulari pegawai-pegawai
lainnya.
Dengan demikian dokter dapat diajukan ke pengadilan karena
pengaduan pasien itu.
Selain hukum karena tindak pidana menurut pasal 322 KUH pidana,
dokter itu dapat pula dihukum perdata dengan diwajibkan mengganti
rugi.
Pada hakekatnya adanya ancaman hukuman perdata ini
menimbulkan berbagai goal yang sulit yang dapat terjadi dalam
pekerjaan dokter sehari-hari. Tentang hal ini kelak akan diuraikan
lebih lanjut.
3. Sumpah (janji) dokter
Sumpah dokter yang lafalnya sebagai pengganti pasal 36 Reglement
F.D. VG., Pemerintah No. 26 tahun 1960 dan diundangkan pada
tanggal 2 Juni 1960. Sumpah ini sesuai dengan pernyataan Geneva
tahun 1948 yang dimuat dengan asas Etik Kedokteran yang
bersumber pada sumpah Hippocrates, ditambah dengan beberapa
asas baru yang ditegakkan atas dasar pengalaman tentang
kejahatan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Dengan berlakunya sumpah dokter baru itu, dapat dihapus segala
pertentangan yang menjadi kekurangan utama lafal sumpah yang
lama dalam Pasal 36 Reglement D.V.G., dan tidak lagi menimbulkan
kebimbangan para dokter yang tidak menguasai asas rahasia
jabatan.
Selanjutnya Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran di Jakarta
tahun 1981 telah mengusulan kepada pemerintah penyempurnaan
lafal Sumpah Dokter tersebut.
4. Dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 tentang Wajib
Simpan Rahasia Kedokteran, Menteri Kesehatan dapat mengambil
tindakan administratif terhadap pelanggaran wajib simpan rahasia itu,
yang dapat dihukum menurut KUHP.
Ad.b Perilaku dalam keadaan khusus
Menurut hukum, setiap wama negara dapat dipanggil untuk didengar
sebagai saksi. Selain itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat juga
dipanggil sebagai saksi ahli. Maka dapat terjadi bahwa seorang yang
mempunyai keahlian umpamanya seorang dokter dipanggil sebagai
saksi, sebagai ahli atau sekaligus sebagai saksi (expert witness).
Sebagai saksi atau saksi ahli, mungkin sekali ia diharuskan memberi
keterangan tentang seseorang (umpamanya terdakwa) yang sebelum itu
telah pernah menjadi pasien yang ditanganinya. Ini berarti ia seolah-oleh
melanggar rahasia jabatannya.
39
Kejadian yang bertentangan ini dapat dihindarkan karena adanya hak
undur diri dimana ia mendapat perlindungan hukum berdasarkan :
Menurut Pasal 170 KUHP
i. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang
dipercayakan kepada mereka.
ii. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut, maka pengadilan negeri memutuskan apakah
alasan yang dikemukakan oleh saksi atau saksi ahli untuk tidak
berbicara itu, layak dan dapat diterima atau tidak.
Penegakan hak undur diri dapat dianggap sebagai pengakuan para ahli
hukum, bahwa kedudukan jabatan itu harus dijamin sebaik-baiknya. Hal
tersebut membebaskan seorang dokter untuk menjadi saksi ahli dan
kewajibannya untuk membuka rahasia jabatan, namun pembebasan itu
tidak selalu datang dengan sendirinya.
Dalam hal ini mungkin sekali timbul pertentangan keras antara pendapat
dokter dengan pendapat hakim, yakni bila hakim tidak dapat menerima
alasan yang dikemukakan oleh dokter untuk menggunakan hak undur
dirinya, karena ia berkeyakinan bahwa keterangan yang harus diberikan
itu melanggar rahasia jabatannya. Bagi dokter, pedoman yang harus
menentukan sikapnya tetap ialah bahwa rahasia jabatan dokter itu
pertamatama dan terutama adalah kewajiban moril yakni alasan untuk
melepaskan rahasia jabatan dan pertimbangan sehat atas ada atau tidak
adanya kepentingan hukum.
Umpamanya seorang dokter sebagai saksi harus memberikan
keterangan mengenai seseorang yang telah diperiksa dan diobatinya
karena menderita luka-luka. Pada sidang pengadilan diketahui bahwa
ternyata pasien itu adalah seorang penjahat besar yang melakukan
tindakan pidananya. Keterangan dokter itu sangat diperlukan oleh
pengadilan agar rangkaian bukti menjadi lengkap. Kita mudah mengerti
bahwa dalam hal demikian dokter itu wajib memberi keterangan, agar
masyarakat dapat dihindarkan dari kejahatan-kejahatan yang lain yang
mungkin dilakukan bila ia dibebaskan.
Pada peristiwa seperti tersebut di atas, kita harus sadar bahwa rahasia
jabatan dokter bukanlah maksud untuk melindungi kejahatan.
Golongan yang berpendirian mutlak-mutlakan, yang juga dalam hal
serupa tidak sudi melepaskan rahasia jabatannya, bukan saja
bertentangan dengan tujuan yaitu menjamin kepentingan umum,
malahan sebaliknya membahayakannya.
Untuk mengetahui apakah juga ada penyelenggaraan pasal 322 KUHP
yang dapat dibebaskan dari ancaman hukuman, perlu kita tinjau
40
beberapa pasal dalam KUHP yang semuanya termasuk pelanggaran
undangundang yang tidak dihukum.
Beberapa Pasal itu adalah :
i. Pasal 48 KUHP Siapapun tak terpidana, jika melakukan peristiwa
karena terdorong oleh keadaan terpaksa.
ii. Pasal 50 KUHP
Siapapun tak terpidana, jika peristiwa itu dilakukan untuk
menjalankar ketentuan perundang-undangan.
iii. Pasal 51 KUHP
(1) Siapapun tak terpidana jika melakukan peristiwa untuk
menjalankan sesuatu perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang untuk itu.
(2) Perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang
tidak membebaskan dari keadaan terpidana, kecuali denga
itikad baik pegawai yang dibawahnya itu menyangka bahwa
penguasa itu berwenang untuk memberi perintah itu dan
perintah menjalankan terletak dalam lingkungan kewajiban
pegawai yang diperintah itu.
Mengenai pasal 48 KUHP yang dalam bahasa Belanda yang asli:
"Artikel 48 wet boek van strafrecht is hij, die een fait begaat waartoe hij door
overmacht is gedwongen" .
Sayang sekali pasal yang sangat penting untuk tafsiran banyak soal
yang sulit mengenai rahasia jabatan dokter ini belum ada terjemahannya yang
tepat ke dalam bahasa Indonesia terutama mengenai kata "overmacht". Dalam
buku Engelbrecht, kitab undang-undang dan peraturan-peraturan serta
undangundang dasar sementara terbitan 1954, kata "overmacht"
diterjemahkan dengan "berat lawan". Dalam kitab Himpunan Perundang-
Undangan Negara Republik Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1956 oleh
Kementerian Penerangan "Overmacht" diterjemahkan sebagai "suatu sebab
paksaan". Untuk sementara dipergunakan kala yang dianggap tepat, yakni "adi
paksa" yang didapat dari saudara Mr. Moedigdo Moeliono, pimpinan Lembaga
Kriminologi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas
Indonesia Jakarta.
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dalam pasal 48
KUHP ini bukanlah "adi paksa mutlak" (absolut overmachf).
Seorang mengalami adi paksa mutlak bila ia dihadapkan kepada
kekerasan atau tekanan jasmani atau rohani sedemikan, hingga ia tidak
berdaya lagi dan kehilangan kehendak (willoos) untuk tindakan pidana yang
melakukan pelanggaran hukum.
Pada kenyataan adi paksa nisbi, yang kebanyakan terjadi karena
adanya tekanan rohani, timbulnya keadaan terpaksa atau darurat, sehingga
41
yang bersangkutan berbuat sesuatu yang pasti tidak akan diperbuatnya, jika
keadaan terpaksa atau darurat itu tidak ada. Keadaan serupa ini menjadi
sebab timbulnya pertentangan dalam jiwa orang yang bersangkutan (konflik)
yang hanya dapat diatasi bila ia melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Hal ini biasa berarti pengorbanan kepentingan pihak lain.
Beberapa contoh praktek dari pertentangan serupa adalah :
(1) Seorang pengemudi yang menderita penyakit ayan (epilepsi) yang
bilamana mendapatkan bangkitan serangan penyakitnya pada waktu ia
sedang melakukan tugasnya pasti sangat membahayakan keselamatan
umum.
(2) Seorang guru yang menderita penyakit tuberkulosis dan menimbulkan
bahaya akan menulari murid-muridnya pad a waktu ia mengajar.
Justru pada persoalan seperti digambarkan dalam keadaan contoh
tersebut di atas, terdapat pertentangan tajam antara golongan penganut
aliran mutlak dan golongan penganut aliran nisbi. Dalam kedua soal itu,
golongan mutlak menganggap rahasia jabatan dokter sebagai faktor
terpenting. Tidak perlu diadakan pertimbangan apakah dengan
memperhatikan rahasia secara mutlak itu, ada kemungkinan bahwa
kepentingan yang lain yang hakikatnya lebih utama dirugikan atau
dikorbankan.
Sebaliknya golongan nisbi berdasarkan kenyataan bahwa rahasia jabatan
dokter berarti juga sendi utama bagi kepentingan masyarakat. Selalu
mempertimbangkan hal itu agar dapat diambil sikap yang terbaik yang
sesuai dengan makna rahasia jabatan dokter. Dalam perkembangannya,
sebagian dokter cenderung menganut "adi paksa nisbi".
Dalam hal demikian berbagai alas an yang dipergunakan untuk melepas
rahasia jabatan harus kokoh dan kuat, sehingga dapat menyakinkan orang
lain, termasuk hakim. Kalau berbagai alasan itu memang kuat dan
menyakinkan, maka akhirnya atas kekuatan pasal 48 KUHP, dokter yang
bersangkutan akan dibebaskan dari ancaman hukuman pasal 322 KHUP.
Sebelum mengambil tindakan, sebaiknya dokter yang bersangkutan
berusaha agar risiko dari tindakannya menjadi seminimal mungkin.
Sebagai contoh, pasien dengan penyakit yang sukar disembuhkan dapat
diberi cuti terlebih dahulu sampai sembuh. Bila penyakitnya ternyata tidak
dapat disembuhkan dan tetap merupakan bahaya bagi orang lain, maka
sebelum membuka rahasia jabatan, dokter hendaknya memberikan
penjelasan tentang penyakitnya dan akibatnya bagi orang lain sehingga
pasien memahami keadaannya dan hubungannya dengan pekerjaannya.
Bila rahasia jabatan terpaksa harus diungkapkan setelah segala ikhtiar
dilakukan tanpa hasil, maka untuk pegawai negeri, hal ini hendaknya
dokter tersebut mengirimkan surat rahasia kepada atasan pegawai negeri
42
yang bersangkutan, kemudian atasan pegawai yang bersangkutan
meminta pertimbangan Majelis Penguji Kesehatan (MPK). Dalam keadaan
adipaksa serupa itu, kewajiban dokter ialah memberitahukan kepada
majikan pasien bahwa ia menggangap pasien perlu diperiksa
kesehatannya lebih lanjut. Dengan jalan ini MPK yang menurut
UndangUndang, tugasnya menguji kesehatan pegawai negeri, dapat
melaporkan pendapat secara bebas. Tanpa melanggar KUHP pasal 322
KUHP maka keterangan tentang penyakit yang diuji itu, dapat diteruskan
kepada majikannya.
Diagnosa penyakit dari seorang karyawan tidak perlu diberitahukan
kepada majikan karyawan tersebut. Cukuplah bila dokter yang
bersangkutan menerangkan atas sumpah jabatan, bahwa karyawan yang
dimaksud menderita penyakit yang tidak memungkinkan untuk bekerja
terus menerus atau sementara, karena penyakitnya dapat menular,
membahayakan orang lain maupun dirinya sendiri. Misalnya seorangl (4
pengemudi yang menderita epilepsi dapat membahayakan diri maupun
orang lain. Dokter juga menasehatkan agar pegawai yang bersangkutan
dibebaskan dari pekerjaannya yang saat ini dikerjakan, sesuai peraturan
yang berlaku.
Dalam kedudukan sebagai dokter Majelis Penguji Kesehatan, seorang
Dokter dapat mengalami konflik kejiwaan. Hal ini dapat terjadi bila pasien
yang diperiksanya juga merupakan pasien dalam praktek swasta yang
dilakukan oleh dokter itu.
Bila dokter tersebut memasukkan seluruh data yang diketahuinya tentang
pasien, maka berarti ia melanggar rahasia jabatannya, sebaliknya bila
tidak memasukkan secara lengkap, laporannya tidak sesuai dengan
kebenarannya.
Oleh karena itu hanya ada satu jalan yang dapat ditempuhnya, yaitu
menolak untuk menguji setiap orang yang pernah menjadi pasiennya dan
menyerahkannya kepada dokter lain.
Seorang dokter yang meminta konsultasi mengenai seorang pasien, pada
asasnya melanggar rahasia jabatan.
Demikian juga tiap pengajar klinik pada fakultas kedokteran, dalam setiap
pertemuan klinik yang disertai dengan demonstrasi pasien, pada asasnya
melanggar rahasia jabatan. Hal ini biasanya tidak kita sadari karena kita
anggap sudah selayaknya.
Oleh karena itu, dalam pendidikan atau pertemuan klinik, seperti juga pada
konsultasi, sebaiknya pasien diberitahu lebih dahulu dan dimintakan
persetujuannya.
Pelanggaran rahasia jabatan yang terjadi pada saat tersebut sebenarnya
adalah hal-hal yang termasuk dalam keadaan adipaksa karena dalam hal
ini tidak hanya menyangkut kepentingan yang lebih luas dan lebih besar.
43
Tujuan akhir dari pendidikan dan pertemuan klinik tidak lain adalah untuk
membina dan memajukan ilmu kedokteran yang sebenarnya berorientasi
kepada masyarakat yang lebih luas.
(3) Pasal 50 KUHP
Pasal 50 KUHP berbunyi :
"Tidak boleh di hu~um barang siapa melakukan perbuatan untuk
menjalankan urusan undang-undang".
Pasal 50 KUHP ini sering dikaitkan dengan kewajiban seorang dokter
untuk melaporkan kelahiran, kematian dan penyakit menular. Kewajiban
melapor penyakit menular di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.
6 tahun 1962 tentang wabah, diundangkan pada tanggal 5 Mare! 1962
yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Wabah No. 4: tahun
1980.
Mengenai hal ini dapat dibaca pasal-pasal yang mengatur kewajiban
masyarakat dan tenaga kesehatan serta aparatur Pemerintah Daerah
untuk melaporkan kejadian luar biasa dalam waktu yang singkat.
4) Pasal 51 KUHP
Pasal 51 KUHP berbunyi .
"Tidak boleh di hukum barang siapa melakukan perbuatan atau
menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh pembesar yang berhak
untuk itu".
Pasal 51 KUHP terutama penting bagi seorang dokter yang mempunyai
jabatan rangkap seperti dokter TNI/Polri yang juga menjabat sebagai
anggota Majelis Penguji Kesehatan.
Selaku seorang dokter, seorang dokter angkatan bersenjata wajib
menyimpan rahasia jabatan dokter, namun di lain pihak sebagai seorang
anggota TNI/Polri ia harus tunduk pada disiplin TNI/Polri dan taat perintah
atasannya.
Konflik tentang wajib simpan rahasia jabatan dapat terjadi misalnya pada
keadaan sebagai berikut :
la diperintah oleh atasannya untuk menyusun daftar nama perwira yang
menderita penyakit sifilis. Kalau diantara perwira yang harus dicantumkan
namanya dalam daftar ternyata juga pernah menjadi pasien yang
diperiksanya, maka ia harus memilih antara 2 jalan berikut :
a. Menjunjung tinggi rahasia jabatan sebagai dokter tetapi tidak taat pada
perintah militer; atau
b. Taat kepada perintah militer tetapi melepaskan rahasia jabatan
sebagai dokter.
Dalam hal yang demikian, yang dapat dijadikan pegangan ialah perhitungan
dan pertimbangan yang matang untuk menentukan apa yang harus
diutamakan.
44
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tuga
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan
lebil mampu memberikannya.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan :
Hak seorang dokter untuk melakukan praktek dokter tidak terbatas
pada suatu bidang ilmu kedokteran. la berhak dan berkewajiban menolong
pasien, apapun yang dideritanya. Batas tindakan yang diambilnya terletak
pada rasa tanggung jawab yang didasarkan pada ketrampilan dan
keahliannya.
Banyak dokter di negeri kita bertugas jauh dari pusat ilmu kedokteran
kadang-kadang beratus-ratus kilometer terpisah dari teman sejawat terdekat.
Mereka hidup dan bekerja di tempat terpencil dengan sarana komunikasi yang
terbatas. Selain itu sarana pelayanan medis tidak cukup tersedia walau dalam
keadaan demikian ia tetap harus menyelamatkan seorang pasien.
Setiap orang wajib memberikan pertolongan kepada siapapun yang
mengalami kecelakaan, apalagi seorang dokter.
Di beberapa negara banyak dokter yang enggan melakukan karena
sering terjadi, bahwa dokter yang menolong justru dituntut untuk mengganti
kerugian. Pertolongan yang diberikannya dianggap mengakibatkan cacat, atau
memperlambat proses penyembuhan. Di negara kita, pengaduan seperti itu
diharapkan tidak terjadi. Meskipun demikian kemungkinan adanya pengaduan
harus diperhitungkan. Sebab itu, segala tindakan harus dapat dipertanggung
jawabkan dan kalau memungkinkan perlu meminta persetujuan dari pasien
atau keluarganya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWATNYA
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Kawan-kawan seperjuangan merupakan suatu kesatuan aksi dibawah
panjil perikemanusiaan untuk memerangi penyakit yang merupakan salah satu
pengganggu keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sejarah ilmu kedokteran penuh dengan peristiwa kejujuran, ketekunan
dan pengabdian yang mengharukan. Penemuan dan pengalaman yang baru
45
dijadianl milik bersama. Panggilan suci yang menjiwai hidup dan perbuatan
telah mempersatukan mereka dan menempatkan dokter pada satu kedudukanl
terhormat dalam masyarakat
Berhubungan dengan itu, maka Etik Kedokteran mengharuskan setiap
dokter memelihara hubungan baik dengan teman sejawatnya sesuai makna
atau butir dari lafal sumpah dokter yang mengisyaratkan perlakuan terhadap
sejawatnya sebagai berikut :
"Saya akan perlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin
diperlakukan" .
Hubungan antara teman sejawat dapat menjadi buruk bukan karena
perbedaan pendapat tentang cara penanganan pasien, perselisihan mengenai
cara mewakili teman sejawat yang cuti, sakit dan sebagainya. Kejadian
tesebut hendaknya diselesaikan secara musyawarah antar sejawat.
Kalau dengan cara demikian juga tidak terselesaikan, maka dapat
diminta pertolongan pengurus Ikatan Dokter Indonesia atau Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran untuk menjelaskannya. Harus dihindarkan
campur tangan dari pihak luar. Perbuatan sangat tidak kolegial ialah mengejek
teman sejawat dan mempergunjingkannya dengan pasien atau orang lain
tentang perbuatannya yang dianggap kurang benar. Mencermarkan nama baik
teman sejawat berarti mencemarkan nama baik sendiri, seperti kata pribahasa
: "Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri". Sejawat senior wajib
membimbing sejawat yang lebih muda, terutama yang berada di bawah
pengawasannya. Janganlah sekalipun juga mengatakan di muka umum,
bahwa ia baru lulus dan tidak mengetahui itu peraturan.
Pada umumnya masyarakat kita belum begitu memahami tentang
hubungan yang begitu erat antar dokter dengan dokter, sehingga mereka
kadang-kadang melakukan sesuatu yang cenderung mengadu domba. Tidak
jarang terjadi seorang pasien mengunjungi dua atau tiga dokter untuk
penyakitnya, dan pada akhirnya memilih dokter yang dalam ucapan dan
perbuatannya sesuai dengan selera dan harapannya.
Dengan sendirinya seorang dokter yang mengetahui kejadian tersebut
harus menasehatinya untuk tidak berbuat demikian, karena dapat merugikan
kepentingan sendiri dan dapat membahayakan kesehatannya. Janganlah
sekali-kali diberi kesempatan kepadanya untuk menjelekkan nama teman
sejawat yang lebih dulu menolongnya. Seorang dokter harus ikut mendidik
masyarakat dalam cara menggunakan jasa pelayanan kedokteran.
Seandainya seorang teman sejawat membuat kekeliruan dalam pekerjaannya,
maka teman sejawat yang mengetahui hal itu seyogyanya menasehatinya.
Dokter yang keliru harus menerima nasehat ataupun teguran dengan lapang
dada asal disampaikan dalam suasana persaudaraan. Jangan sekali-kali
menjatuhkan seorang sejawat dari kedudukannya apalagi menggunakan pihak
lain. Sewaktu berhadapan dengan si sakit, seorang dokter tidak boleh
46
memperlihatkan bahwa ia tidak sepaham dengan teman sejawatnya dengan
menyindir, atau dengan sikap yang menjurus kearah demikian.
Untuk menjalin dan mempererat hubungan baik antara para teman sejawat,
maka wajib memperlihatkan hal-hal berikut :
a. Dokter yang baru menetap di suatu tempat mengunjungi teman sejawat
yang telah berada di situ. Hal ini tidak perlu dilakukan di kota-kota besar
dimana banyak dokter yang berpraktek, tetapi cukup dengan
pemberitahuan tentang pembukaan praktek baru itu kepada teman
sejawat yang tinggal berdekatan.
b. Setiap dokter menjadi anggota Ikatan Dokter Indonesia yang setia dan aktif.
Dengan menghadiri pertemuan sosial dan klinik yang diselenggarakan,
akan terjadi kontak pribadi sehingga timbul rasa persaudaraan dapat
berkembang dan penambahan ilmu pengetahuan.
Terjalinnya hubungan baik antara teman sejawat membawa manfaat
tidak saja kepada dokter yang bersangkutan, tetapi juga kepada para
pasiennya. Rasa persaudaraan harus dibina sejak masa mahasiswa agar
menjadi bekal yang berharga.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Biasanya kalau seseorang sudah percaya pada seorang dokter maka
dokter tersebut akan dicari terus walaupun jauh dari rumahnya.
Di kota besar perkembangan pengetahuan umum masyarakat maju
dengan pesat. Penyakit dengan pengobatan bukan rahasia bagi umum yang
benar-benar mempelarinya. Juga karena diburu oleh keinginan untuk lebih
efisien, orang ingin segera sembuh. Oleh karena itu, banyak pasien yang
walaupun baru berobat 1 hari tapi belum sembuh, pada hari ke 2 telah ke
dokter yang lain. Dalam hal seperti ini dokter ke 2 yang menerima tidak dapat
dikatakan merebut pasien dari dokter pertama.
Seseorang yang telah kehilangan kepercayaan pada seorang dokter,
tidak dapat dipaksa untuk kembali mempercayainya. Dan kita paham akan hal
ini.
Oleh karena itu, dokter lain yang kemudian menerima pasien yang
bersangkutan harus menasehatinya agar kembali ke dokter yang diperoleh
dari dokter pertama untuk tiga hari dan mengamati hasilnya. Sangatlah etis
bila dokter yang kedua bila menerima pasien sebagai pasiennya (sesuai hak
asasinya) memberitahu dokter pertama.
47
Sangat tercela kalau kita malahan mengganti obat dari dokter pertama
dan mencela pengobatan dokter pertama di hadapan pasien, padahal belum
sempat diamati efeknya dan karena semata mendengar keluhan pasien yang
tidak sabar dan terburu waktu.
Penggantian atau penghentian obat dapat dilakukan bila kita yakini
bahwa pengobatan dari dokter pertama memang nyata-nyata keliru,
menimbulkan efek sampingan atau tidak diperlukan lagi dan bijaksana jika
dasarnya dikemukakan.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Seperti diketahui, dokter pada umumnya bekerja sangat keras. Pagi
dan atau siang bekerja di rumah sakit poliklinik/lembaga kesehatan lainnya
atau lembaga pendidikan, sedangkan pada sore dan/atau malam hari masih
melakukan praktek atau jaga malam.
Dokter umumnya bekerja keras dengan motivasi membangun praktek
pribadi yang ramai untuk meningkatkan pendapatan keluarga atau semata-
mata berdedikasi pada profesinya. Tanpa dirasa, praktek yang sukses dan
ramai telah mendorong dokter yang bersangkutan untuk tetap bekerja keras
pagi sampai malam.
Keadaan ini sering menyebabkan dokter kurang memperhatikan
keadaan kesehatan dirinya. Disamping itu, karena enggan menganggu teman
sejawat yang diketahui juga sibuk, maka bila ia sakit, tidak memeriksakan diri
ke dokter lain, tetapi mencoba mengobati diri sendiri.
Hindari mengobati diri sendiri, karena biasanya kurang tuntas.
Laksanakan tindakan perlindungan diri. Kalau ada wabah untuk
pencegahan penularan diperlukan immunisasi, maka dokter harus melakukan
imunisasi terhadap dirinya dahulu. Kalau bertugas di klinik yang
memungkinkan penularan melalui udara, pakailah masker. Cuci tangan setiap
selesai memeriksa pasien, dan prosedur-prosedur pencegahan lainnya.
Dokter wajib menjadi teladan dalam pelaksanaan perilaku sehat.
Siapa yang akan melakukan pengobatan bila dokternya sakit.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.
48
ilmu
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
IImu pengetahuan dan teknologi kedokteran berkembang terus
dengan pesat. Seorang dokter harus mengikuti perkembangan tersebut baik
untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pasiennya. Dengan majunya
ilmu pengetahuan pada umumnya, akan makin meningkatkan pula kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan yang memadai atau lebih baik sesuai
dengan kemajuan.
Peningkatan pengetahuan dan penguasaan teknologi kedokteran baru
dapat dilakukan melalui membaca berbagai literatur dalam buku, majalah
ilmiah, brosur dan sebagainya. Selain itu, dapat pula dilakukan melalui keikut
sertaan dalam simposium, seminar, lokakarya, latihan dan sebagainya. Dalam
kaitan ini IDI melakukan berbagai kegiatan ilmiah yang berakreditasi IDI dalam
bentuk satuan Kredit Partisipasi (SKP) IDI. Hendaklah para dokter mengikuti
acara ilmiah IDI ini, disamping pertemuan-pertemuan berakreditasi IDI.
Biasanya pada waktu muda dokter sudah mempunyai cita-cita menjadi
pengajar/peneliti tetapi waktu permulaan karir tidak sempat dilaksanakan,
misalnya karena ditempatkan di daerah terpencil. Walaupun demikian
janganlah cita-cita ini dilupakan, karena masih dapat dilakukan dengan
mengaitkannya pada tugas rutinnya misalnya penelitian yang berpengaruh
setempat atau melakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat
setempat.
Kegemaran olah raga, musik dan lain-lain tetap dipertahankan dapat
dikembangkan, sebagai dokter yang setidak-tidaknya mempunyai
pengetahuan yang lebih dari masyarakat setempat, dapat menjadi penggerak
masyarakat atau pakar dalam pengembangan bidang-bidang tersebut.
49
Addendum 1:
Penjelasan Khusus Untuk Beberapa Pasal dari Revisi KODEKI Hasil
Mukernas Etika Kedokteran III, April 2001.
a.
Sejarah Etika Kedokteran (Oleh: Prof. Dr. R.S. Samil, SpOG)
Profesi kedokteran mempunyai sejarah mengenai Kode Etik yang bermula
sedikitnya kira-kira 2000 SM. Dalam Kode Etik oleh Hammurabi, telah
disusun bermacam-macam sistem/peraturan mengenai para dokter.
Terdapat pula beberapa bagian mengenai norma-norma tinggi
moral/akhlak dan tanggung jawab rang diharapkan harus dimiliki oleh para
dokter serta petunjuk-petunjuk mengenai hubungan antar dokter dengan
pasien; dan beberapa masalah lain.
Etika Kedokteran mempunyai 3 (tiga) azas pokok, yaitu :
1. Otonomi
a. Hal ini membutuhkan orang-orang yang kompeten, dipengaruhi oleh
kehendak-kehendak dan keinginannya sendiri, dan kemampuan
(kompetensi) ini dianggap dimiliki oleh seorang remaja maupun orang
dewasa, yang memiliki pengertian yang adekuat pada tiap-tiap kasus
yang dipersoalkan dan memiliki kemampuan untuk menanggung
konsekwensi dari keputusan yang secara otonomi atau secara mandiri
telah diambil.
b. Melindungi mereka rang lemah, berarti bahwa kita dituntut untuk
memberikan perlindungan dalam pemeliharaan, perwalian,
pengasuhan kepada anak-anak, para remaja, dan orang dewasa yang
berada dalam kondisi yang lemah dan tidak mempunyai kemampuan
otonomi (mandiri).
2.
Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik
Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada
negatif;
Primum Non Nocere (janganlah berbuat merugikan/salah).
Hendaknya kita bernada positif dengan berbuat baik, dan apabila perlu kita
mulai dengan kegiatan-kegiatan rang merupakan awal kesejahteraan para
individu dan masyarakat.
3. Keadilan
Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan
perlakuan antar manusia, umpamanya mulai mengusahakan peningkatan
keadilan terhadap si individu dan masyarakat dimana mungkin terjadi
risiko dan imbalan yang tidak wajar dan bahwa segolongan manusia
janganlah dikorbankan untuk kepentingan golongan lain.
50
Dewasa ini para dokter mungkin terlibat dalam praktek-praktek yang
sungguh membahayakan terhadap umat manusia. Sejarah yang menyedihkan
ini telah menciptakan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nuremberg
Code, yang merumuskan kembali etika kedokteran dan kode-kode
internasional lainnya seperti Deklarasi Helsinki mengenai penelitian terhadap
manusia yang merupakan dasar bioetika.
Etika adalah usaha mengadakan refleksi yang tertib mengenai
gerakan atau instuisi moral dan pilihan moral yang seseorang putuskan. Etika
kedokteran dapat diartikan sebagai kewajiban berdasarkan akhlak/moral yang
menentukan praktek kedokteran. Selama beberapa dasawarsa terakhir ini,
masalah-masalah etik kedokteran merupakan masalah yang paling penting
daripada kesadaran masyarakat, dengan keprihatinan yang terfokus pada
beberapa masalah utama. Masyarakat saat ini telah mempermasalahkan
secara agresif mengenai bagaimana dan kepada siapa pelayanan kesehatan
diberikan. Perhatian masyarakat mengenai masalah etik kedokteran telah
membawa profesi kedokteran kepada kebutuhan yang meningkat mengenai
pandanganpandangan masyarakat ini, tidak hanya yang berkenaan dengan
hubungan antara dokter dengan pasien, tetapi juga mengenai bagaimana
kemajuan dalam ilmu dan teknologi kedokteran mempengaruhi masalah hak-
hak asasi manusia, susunan masyarakat dan kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam hal pelayanan kesehatan.
Tidak jarang diharapkan bahwa pakar etika mampu memecahkan
begitu saja masalah moral yang dihadapi. Harapan itu diperkuat lagi oleh
kecenderungan untuk meminta jasa ahli etika sebagai konsultan. Bantuan
konsultasi di bidang teknik atau finansial, umpamanya. Ahli-ahli terakhir ini
menunjukkan jalan ke luar konkret bagi masalah yang dihadapi. Di bidang
moral, keputusan etis harus diambil oleh pelaku moral sendiri. Hal itu tidak
bisa diserahkan kepada orang lain. Ahli filsafat Inggris CB. Broad sudah
menegaskan: It is no part of the professional business of moral philosophers to
tell people what they ought or ought not to do ... Moral philosophers as such,
have no special information to the general public about what is right and what
is wrong.
Keputusan tentang perbuatan dan tentang kualitas moral perbuatan
terletak dalam tangan si pelaku moral sendiri. Dalam konteks profesi hal itu
lebih mendesak lagi, karena si profesional mengerti lebih baik implikasi etis
masalahnya dan cara efisien untuk mengatasinya. Ahli etika hanya bisa
membantu dalam mempersiapkan keputusan itu atau dalam mengevaluasi
keputusan yang sudah diambil. Secara konkret bantuan yang bisa diberikan
ahli etika barangkali dapat disingkatkan sebagai berikut: Menganalisis suatu
masalah moral dengan memperlihatkan semua implikasinya dan menjelaskan
konsep-konsep yang berperan di dalamnya. Masalah itu sendiri dan konsep-
konsep yang dipakai harus jelas dulu sebelum kita dapat memikirkan suatu
51
pemecahan yang beralasan. Diskusi tentang euthanasia, umpamanya, sering
menjadi kacau karena kurang jelas apa yang diartikan dengan istilah itu. Hal
yang sama dapat dikatakan tentang hak milik intelektual, hak asasi manusia,
keadilan sosial dan banyak diskusi aktual lainnya. Analisis konseptual
masalahnya dapat memperlihatkan kompleksitasnya dan menghindari
terjadinya pemecahan yang terlalu cepat dan berat sebelah.
Keadaan dunia kita sekarang membutuhkan refleksi etis.
Perkembangan ilmu dan teknologi, globalisasi ekonomi, perubahan radikal
dalam masyarakat; semua faktor ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
moral yang tidak dapat dihindarkan.
Dalam Garis Besar Haluan Negara sudah lama ditekankan bahwa
pembangunan tidak merupakan suatu soal material saja, tetapi bahwa segi
spiritual harus diikutsertakan pula. Etika justru termasuk segi non-material itu.
Waktu dan tenaga yang kita keluarkan untuk etika tidak dipakai dengan sia-
sia, tetapi justru akan meningkatkan kualitas pembangunan kita.
Good business, tidak boleh dimengerti semata-mata sebagai bisnis
yang membawa untung banyak. Pelayanan kesehatan yang baik tidak saja
berarti pelayanan medis yang lulus dalam cost-benefit analysis. Yang baik itu
mempunyai arti lebih mendalam lagi, arti moral. Yang baik dalam arti itulah
merupakan dimensi paling fundamental dalam kehidupan manusia. Yang baik
dalam arti moral memberi nilai terdalam kepada semua kegiatan dan usaha
kita. Dalam etika kita memfokuskan dimensi fundamental itu. Memang benar,
kita tidak mempunyai kepastian akan memperoleh hasil yang nyata, namun
kita yakin juga mencari sesuatu yang berarti dan bertanggung jawab.
Di negara-negara industri-pun dana untuk sistem pelayanan seperti
yang sekarang diterapkan secara tepat tidak seimbang dengan sumber-
sumber yang ada dan dengan demikian juga tidak dimungkinkan setiap warga
negara memperoleh pelayanan kesehatan yang diharapkan.
Sudah jelas, bahwa kita harus meralat ketidak seimbangan antara
pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan sosial, dan bahwa kita
harus mengadakan penilaian untung ruginya.
Masalah yang menonjol dalam dunia kedokteran dalam dasawarsa
akhir-akhir ini adalah akibat tekanan dari spesialisasi dalam bidang kedokteran
yang terus meningkat, dan membawa kita memberi prioritas kepada sarana-
sarana pelayanan kesehatan yang sangat canggih dan berlokasi sentral, yang
sering tidak ada hubungannya dengan kebutuhan masyarakat. Kita mengerti,
bahwa keadaan yang kompleks dari ilmu dan teknologi telah membawa kita ke
spesialisasi yang meningkat dan konsentrasi pada era yang semakin sempit.
Akibat yang positif dari hal di atas adalah terlihat dari berkembangnya dengan
pesat ilmu pengetahuan dan bagaimana para peneliti memperdalam
penemuannya lebih dalam lagi.
52
Kerugiannya ialah, bahwa secara kiasan, jika kita gali makin dalam,
makin sukar kita dapat melihat lingkungan kita. Sebagai akibat, terjadilah
kurangnya kontak antara spesialis-spesialis kedokteran dan ketidakmampuan
dalam profesi medis umumnya untuk dapat melihat bahwa dampak terhadap
kesehatan masyarakat dari praktek kedokteran kuratif adalah hanya satu
faktor dari sekian banyak faktor sosio-ekonomi, politik dan kultura/ yang
menetapkan derajat kesehatan da/am suatu masyarakat.
Dalam mengamalkan protesinya, setiap dokter akan berhubungan
dengan manusia yang sedang mengharapkan pertolongan dalam suatu
hubungan kesepakatan terapeutik.
Agar dalam hubungan ini dapat dijaga keenam sifat dasar di bawah ini,
maka disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia yang merupakan kesepakatan
dokter Indonesia bagi pedoman pelaksanaan protesi.
Kode Etik Kedokteran Indonesia didasarkan pada asas-asas hidup
bermasyarakat yaitu Pancasila yang telah sama-sama diakui oleh bangsa
Indonesia sebagai falsafah hidup bangsa.
Keluhuran dan kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 (enam) sifat dasar yang harus
ditunjukkan oleh setiap dokter yaitu:
1. Sifat ketuhanan,
2. Keluhuran budi,
3. Kemurnian niat,
4. Kesungguhan kerja,
5. Kerendahan hall, serta
6. Integritas ilmiah dan sosial
Dokter mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan saja terhadap
manusia lain dan hukum, tetapi terpenting adalah terhadap keinsyatan
batinnya sendiri, dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pasien dan
keluarganya akan menerima hasil usaha dari seorang dokter, kalau ia percaya
akan keahlian dokter itu dan kesungguhannya, sehingga mereka tidak
menganggap menjadi masalah bila usaha penyembuhan yang dilakukan
gagal. Perlu diperhatikan bahwa perbuatan setiap dokter, mempengaruhi
pendapat orang banyak terhadap seluruh "corps" dokter.
Pelayanan yang diberikan kepada pasien yang dirawat hendaknya
adalah seluruh kemampuan sang dokter dalam bidang ilmu pengetahuan dan
perikemanusiaan.
Masa kini adalah masa pembangunan dimana pertumbuhan ekonomi
sedang diusahakan. Kehidupan agraris mulai berubah ke arah industrialisasi
dimana efisiensi dan upaya mencapai peningkatan perekonomian pribadi
sangat menonjol. Masyarakat mulai merasa bahwa dengan uang, segala yang
dikehendaki dapat diraih. Masyarakat menjadi kritis, jeli dan makin pandai.
Termasuk di dalam kekecewaan atas pelayanan protesi kedokteran yang
53
mudah terjadi. Sedikit saja kelemahan dokter, akan dipakai untuk mengadu ke
pengadilan. Masyarakat semakin sadar akan haknya untuk memperoleh
pelayanan yang baik dan bermutu.
Masyarakat dokterpun tidak luput dari perubahan tersebut, sehingga
kemungkinan pelanggaran Kode Etik ini sangat besar. Profesi kedokteran
menuntut budi pekerti yang luhur. Tuhan Yang Maha Esa telah membuka
kesempatan bagi umatnya khususnya dokter untuk secara nyata menolong
meringankan penderitaan sesamanya. Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Negara, Bangsa dan kemanusiaan kita mempertanggung jawabkan
pelaksanaan pengamalan profesi dokter.
b. Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Penjelasan khusus yang terkait dengan promosi terhadap komoditas yang
berhubungan dengan praktik dokter (diadopsi dari hasil Keputusan Muktamar
XXIII IDI tahun 1997, tentang promosi obat, kosmetika, alat dan sarana
kesehatan, makanan dan minuman serta perbekalan kesehatan rumah
tangga).
Pendahuluan
Kehidupan di era global merupakan kehidupan yang amat dinamik.
Keperluan terhadap barang, jasa dan informasi dirasakan amat mendesak.
Demikian pula dinamika arus obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan,
makanan minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Salah satu pola
dinamika terhadap pelbagai komoditi tersebut adalah melalui sarana
komunikasi yang untuk efektif dan efisiennya memerlukan upaya-upaya
promosi, baik langsung maupun tidak langsung yang tertuju ke masyarakat
luas. Aktivitas tersebut antara lain berbentuk iklan di pelbagai media massa
dan elektronik, baik iklan biasa layanan masyarakat, pelbagai tampilan lainnya
dalam arti luas yang bersifat promosi suatu kepentingan, penyuluhan maupun
sekedar hiburan.
Pribadi dokter merupakan salah satu daya tarik tersendiri terhadap
aktivitas promosi pelbagai hal di atas sehingga telah banyak upaya-upaya
untuk melibatkan dokter sebagai pemerannya, baik langsung maupun tidak
langsung. Hal ini mungkin terjadi mengingat bahwa dalam hubungan dokter -
pasien, kedudukan dokter yang relatif lebih stabil dan menguntungkan
dibandingkan dengan kondisi (masyarakat) pasien yang relatif sedang
menderita sehingga kurang memiliki altematif logis dalam menentukan pilihan
54
yang rasional. Seorang dokter dalam kegiatan tersebut jelas akan
meningkatkan daya saing dan sekaligus daya jual pelbagai komoditi tersebut.
Sedangkan pada sisi lainnya, profesi kedokteran tetap merupakan profesi
pengabdian kepada sesama dengan penuh kasih sayang untuk kepentingan
kemanusiaan yang keberadaannya dibatasi oleh rambu-rambu etika
kedokteran yang universal.
Bahwa industri kesehatan makin berkembang dan adanya persaingan
yang ketat, apalagi kalau sudah masuk pada masa pasar terbuka. Bahwa
ketatnya persaingan telah menyeret beberapa dokter sebagai bagian dari
upaya-upaya memenangkan persaingan. Bentuk-bentuk upaya yang
melibatkan dokter telah muncul dalam berbagai pemberitaan media massa
yang telah meresahkan masyarakat maupun kalangan dokter. Karena itu pula
dibuat panduan atau standar yang lebih tegas yang dapat dijadikan pedoman
bagi para anggota IDI dalam bersikap dan bertindak atau bekerja sama
dengan pihak-pihak lain. Bahwa terdapat keluhan masyarakat umum maupun
kedokteran terhadap hal-hal yang dapat menurunkan citra dan martabat
profesi kedokteran seperti; dugaan kolusi oknum dokter dengan industri
farmasi, iklan promosi di media elektronik yang melibatkan sosok dokter,
informasi tentang pengobatan baru atau alternatif yang belum teruji, dan
terkesan mempromosikan diri sehingga dapat menyesatkan masyarakat.
Berdasarkan sumpah dokter, KODEKI dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat maka berkaitan dengan promosi obat, kosmetika, alat dan sarana
kesehatan, makanan minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga,
Muktamar IDI menyatakan hal-hal sebagai berikut;
1. Pada dasarnya dokter sama sekali tidak boleh melibatkan diri dalam
pelbagai kegiatan promosi segala macam komoditi tersebut di atas,
termasuk barang-barang jasa dan informasinya mengingat dokter adalah
profesi yang berdasarkan pada pengabdian tulus, panggilan hati nurani
dan bertradisi luhur membaktikan dirinya untuk kepentingan kemanusiaan,
sementara promosi selalu terkait kepada kepentingan-kepentingan rang
seringkali bertentangan atau tidak menunjang tugas mulia kedokteran.
2. Wahana promosi yang melibatkan sosok dokter pada hakekatnya adalah
wahana ilmiah kedokteran yang lazim seperti pelbagai temu ilmiah, jurnal
serta wacana ilmiah lainnya.
3. Pada prinsipnya dokter praktek tidak diperkenankan menerima komisi dari
hasil penjualan suatu produk kedokteran yang berkaitan dengan kegiatan
pelayanan kedokterannya, karena hal tersebut dapat menghilangkan
kebebasan profesinya.
Oleh karena itu hal-hal tersebut dibawah ini dilarang dilakukan oleh dokter
praktek:
55
a. Menerima komisi atas penulisan resep obat/alat kedokteran dari
industri farmasi/alat kedokteran tertentu.
b. Melakukan "penekanan" kepada industri farmasi, seperti pernyataan
tidak akan menuliskan resep obat-obat dari pabrik farmasi tertentu jika
tidak memberi imbalan tertentu untuk kepentingan pribadinya.
c. Mendapat atau meminta komisi dari sarana penunjang medis (misal
laboratorium, radiologi dsb), atas pasien yang dirujuknya ke sarana
tersebut.
4.
5.
6.
7.
Promosi dalam bentuk iklan berbagai komoditi tersebut di atas yang
melibatkan seorang dokter sebagai pemerannya harus senantiasa
dipandang sebagai berpeluang membahayakan dan menurunkan harkat
kemanusiaan apabila diterima oleh masyarakat awam yang tidak terdidik
dan tidak kritis karena mereka menganggap hal itu selalu benar. Apalagi
khususnya pasien yang kondisinya seringkali tidak mampu lagi berpikir
jernih dan sulit melihat alternatif logis.
Perbuatan dokter sebagai pemeran mandiri dan langsung suatu iklan
promosi komoditi tersebut di atas yang dimuat media massa dan elektronik
sebagai iklan atau yang dapat ditafsirkan sebagai iklan merupakan
perbuatan tercela karena tidak bisa menyingkirkan penafsiran adanya
suatu niat lain untuk memuji diri sendiri sebagaimana yang telah
ditentukan dalam kode etik kedokteran. Walau bagaimanapun baiknya,
aktivitas promosi itu dibatasi oleh ketidakmampuan media tersebut
sebagai wahana komunikasi ilmiah kedokteran sebagaimana ciri-ciri utama
suatu profesi.
Perbuatan dokter rang langsung menyebut, menulis atau hal-hal yang bisa
dikaitkan dengan penyebutan dan penulisan nama dagang dan atau
sebutan khas produk/komoditi tersebut merupakan perbuatan tercela.
Apalagi dengan menyebutkan jati dirinya sebagai dokter.
Perbuatan dokter sebagai pemeran tidak langsung sosok dokter sebagai
iklan layanan masyarakat, features, kolom/acara display, kolom/acara
hiburan, kolom/acara dialog, film dokumenter, film singkat, sinetron dan
lain-lain merupakan perbuatan tercela apabila dilakukan dengan itikad
memuji diri sendiri, atau menyebutkan jati dirinya bahwa ia seorang dokter,
atau ditayangkan atau diterbitkan berulang-ulang, baik sebagian atau
keseluruhan terbitan atau tayangan tersebut, atau karena oleh kalangan
rata-rata sejawat dokter lainnya ditafsirkan sebagai adanya anjuran untuk
memilih atau membela kepentingan komoditi tersebut dan atau oleh
mereka dianggap adanya iklan terselubung. Apalagi misi yang dibawakan
hanyalah masalah yang sehari-hari, yang remeh-remeh atau hanya
mencerminkan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu yang terbatas.
Perkecualian adalah bahwa untuk memerankan hal itu tidak ada
seorangpun artis non dokter atau mahasiswa kedokteran rang sanggup
56
menjalankannya atau keberadaan sosok dokter akan sangat membantu
memberikan informasi bagi keadaan yang benar-benar amat penting bagi
jalan keluar dari masalah kesehatan masyarakat, atau keamanan bangsa
dan negara Indonesia.
8.
9.
10.
11.
12.
Perbuatan dokter sebagai pemeran langsung promosi komoditi tertentu
kendatipun dalam wahana ilmiah kedokteran merupakan perbuatan tercela
bila bertentangan dengan kepentingan kemanusiaan dan tujuan
kedokteran itu sendiri, tidak berlandaskan pengetahuan kedokteran
tertinggi dalam bidangnya, belum diyakini sebagai produk yang layak
diberikan kepada manusia yang sedang sakit, dan hal itu tidak akan
dilakukan kepada dirinya sendiri maupun sanak keluarganya bila
mengalami hal yang sama. Apalagi hal itu semata-mata hanya dilakukan
berdasarkan adanya kepentingan memperoleh imbalan, fasilitas atau
bantuan yang patut diduga akan diperoleh dari pihak lain atau pihak
manapun juga, karena hal ini benar-benar bertentangan dengan otonomi
profesi rang bertanggung jawab.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengecam segenap perbuatan dari pihak
manapun dalam hal kegiatan promosi suatu produk atau komoditi yang
berupaya atau ditafsirkan sebagai upaya untuk menurunkan keluhuran
profesi kedokteran, apalagi hal itu dilakukan dengan sengaja, dengan
itikad tidak baik, hanya untuk kepentingan segelintir kelompok dalam
masyarakat tertentu, hanya merupakan masalah yang sesaat, remeh dan
tidak menyelesaikan kedudukan dokter sebagai sosok yang dihormati
masyarakat
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghimbau kepada pihak pers dan media
massa serta periklanan dan masyarakat luas untuk menghormati norma
sikap dan perilaku etis kedokteran dari semua dokter Indonesia
sebagaimana yang telah dibakukan dalam lafal sumpah dokter dan Kode
Etik Kedokteran Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghimbau kepada pelbagai pihak agar
terlebih dahulu mengikutsertakan dan mempertimbangkan pandangan,
kalangan profesi kedokteran dalam setiap upaya promosi semua komoditil
yang melibatkan sosok dokter sebagai pemerannya.
Perbuatan dokter yang menyiarkan, mempromosikan cara-cara
pengobatan "alternatif" yang belum diterima kesahihannya dalam ilmu
kedokteran baik pada media cetak atau media elektronik merupakan
perbuatan tercela karena hal tersebut dapat menyesatkan masyarakat:
pengguna jasa pelayanan kesehatan.
57
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Penjelasan khusus yang terkait dengan "Surat Keterangan Medis". (Oleh: Dr.
Budi Sampurno, Sp.F, SH)
Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh
dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas
permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan persetujuan
pasien.
Surat keterangan medis harus dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
medis yang secara teknis medis relevan, memadai dan benar; serta
diinterpretasikan dengan menggunakan ilmu pengetahuan kedokteran yang
telah diterima pada saat itu (state-of-the-art).
Dokter pembuat surat keterangan medis tersebut harus dapat
membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta. Dengan kalimat
"memeriksa sendiri kebenarannya" sebagaimana tercantum dalam pasal ini
berarti bahwa dokter tersebut menginterpretasikan hasil-hasil pemeriksaan
medis yang telah diyakini kebenarannya, baik yang dilakukannya sendiri
maupun yang dilakukan oleh sejawatnya atau hasil konsultasinya.
Surat keterangan sehat diberikan untuk memenuhi keperluan tertentu.
Perlu diingat bahwa, sehat untuk suatu keperluan tertentu membutuhkan
tingkat kesehatan yang tertentu pula. Tingkat kesehatan untuk membuat sural
izin mengemudi (SIM) berbeda dengan tingkat kesehatan untuk masuk
sekolah atau perguruan tinggi, menjadi tentara, menjadi pilot dll. Oleh karena
itu surat keterangan sehat harus menyebutkan tujuannya, apakah untuk
membuat SIM, mendaftar sekolah atau perguruan tinggi, dan sebagainya.
Surat keterangan sakit atau istirahat sakit harus dibuat berkaitan
dengan suatu keadaan sakit tertentu (pathology, impairment, disability dan
handicap) dan ditujukan sebagai salah satu upaya penyembuhan penyakit
tersebut. Keterangan ini tidak menyebutkan diagnosis penyakitnya, melainkan
hanya menyebutkan bahwa pasien sedang sakit dan membutuhkan istirahat
selama jumlah hari tertentu. Namun, pada umumnya pembedan istirahat sakit
lebih dari 14 (empat belas) hari mengharuskan disebutnya diagnosis penyakit
pasien tersebut.
Surat keterangan medis yang dibuat atas permintaan resmi penyidik
yang berwenang tentang hasil pemeriksaan medis atas seseorang manusia,
baik sewaktu hidup ataupun setelah meninggal, yang dibuat berdasarkan
sumpah dan menggunakan ilmu pengetahuan kedokterannya serta ditujukan
untuk kepentingan peradilan pada umumnya, disebut sebagai visum et
repertum. Namun demikian terdapat pula keterangan yang tidak disebut
sebagai visum et repertum meskipun ditujukan untuk kepentingan peradilan,
58
seperti surat keterangan sakit untuk tidak dapat menghadiri persidangan,
keterangan sakit untuk tidak diperiksa/diinterogasi, keterangan sakit bagi
tahanan dan terpidana, dan keterangan tentang kelayakan untuk disidangkan
(fitness to stand trial). Keterangan-keterangan seperti ini sebaiknya dibuat oleh
dokter yang bukan sebagai dokter pengobat orang tersebut. .
Pada hakekatnya seseorang yang membutuhkan perawatan inap di
rumah sakit dapat dinyatakan sebagai sakit dan tidak dapat dimasukkan ke
dalam tahanan (kecuali dalam rumah sakit tahanan) ataupun diajukan ke
sidang pengadilan.
Selain itu, seseorang yang memiliki gangguan mental tertentu dapat
dinyatakan sebagai "tidak layak diajukan ke pengadilan". Kelayakan seseorang
diajukan ke pengadilan itu harus diputuskan oleh psikiater dan diperoleh dari
suatu pemeriksaan psikiatris yang adekuat, serta melalui prosedur hukum
yang berlaku.
Seorang tahanan ataupun terpidana bukanlah orang yang memiliki hak
sipil yang penuh, sehingga ia tidak memiliki kebebasan penuh dalam memilih
dokter atau rumah sakit tempat ia akan dirawat. Dengan pertimbangan
keamanan, penyidik atau jaksa penuntut umum berwenang menentukan
tempat perawatan tahanan setelah berkonsultasi dengan dokter. Dokter
diharapkan untuk tidak dengan mudah merujuk pasiennya yang berstatus
tahanan atau terpidana ke sarana kesehatan di luar negeri tanpa berkonsultasi
terlebih dahulu dengan pihak yang berwenang.
Keterangan dokter dapat juga diberikan tidak dalam bentuk tertulis,
misalnya penjelasan kepada pasien dalam rangka pemenuhan hak pasien
atas informasi medisnya atau dalam rangka memperoleh informed consent.
Dalam hal ini dokter diharapkan memberikan informasi yang benar, jujur,
lengkap, dan sejelas-jelasnya sehingga pasien dapat memahami dan
membuat keputusan dengan bebas.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Penjelasan khusus yang terkait dengan "Uraian Hak-hak Pasien dan Hak-
hak Dokter". (Oleh: Dr. Budi Sampurno, Sp.F, SH)
Hak-hak pasien telah diatur dalam beberapa ketentuan, yaitu di dalam:
a. Declaration ot Lisbon (1991)
b. Penjelasan pasal 53 UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
c. Surat Edaran (SE) Ditjen Yanmed Depkes RI No YM.02.04.3.5.2504
tentang Pedoman Hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit.
d. Deklarasi Muktamar IDI 2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan
dokter
59
Dalam Deklarasi Lisabon (1991) hak-hak pasien tersebut adalah :
a. Hak memilih dokter
b. Hak dirawat dokter yang "bebas"
c. Hak menerima/menolak pengobatan setelah menerima informasi
d. Hak atas kerahasiaan
e. Hak mati secara bermartabat
f. Hak atas dukungan moral/spiritual
Sedangkan dalam UU Kesehatan disebutkan antara lain:
a. Hak atas informasi
b. Hak atas "second opinion"
c. Hak memberikan persetujuan pengobatan/tindakan medis
d. Hak atas kerahasiaan
e. Hak pelayanan kesehatan
Selanjutnya hak-hak pasien secara rinci juga diuraikan dalam SE
Ditjen Yanmed Depkes RI. No. YM.02.04.3.5.2504 dan dalam Deklarasi
Muktamar IDI 2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan dokter. Lebih jauh
tentang hak-hak pasien dapat dilihat di buku 'The Rights ot Patients in Europe"
(Leenen dkk, 1993) dan "Etika Kedokteran Indonesia" (Samil, 2001).
Dokter harus menghormati hak sejawatnya, yang pada prinsipnya
terdiri dari hak protesi dan hak perdata. Sejawat berhak memperoleh
kesempatan untuk mempraktekkan profesinya dengan bebas, etis dan
bermartabat, serta berhak mengembangkan sikap protesionalismenya.
Demikian pula tenaga kesehatan lainnya juga memiliki hak-hak profesi serupa
yang harus dihormati oleh dokter.
Selain hak profesi di atas, dokter juga harus menghormati hak-hak
sipil/ perdata yang dimiliki oleh setiap orang dalam diri para sejawatnya dan
tenaga kesehatan lainnya.
Menjaga kepercayaan pasien dilakukan dengan cara melakukan
segala sesuatu dengan ramah, sopan, penuh empati dan belas kasihan. Tentu
saja tanpa melupakan sikap etis, bertindak sesuai standar profesi dan tidak
melakukan tindakan yang tercela atau melanggar hukum.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makluk insani
a. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Keikutsertaan Dokter dalam
Eksekusi Pidana Mati, termasuk Penyiksaan" (Oleh: Dr. Budi
Sampurna, Sp.F, SH).
60
Profesi kedokteran adalah satu-satunya atau setidaknya profesi yang
pertama kali menyatakan dalam sumpah profesinya untuk bekerja membela
peri-kemanusiaan, tidak akan melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peri-kemanusiaan, dan melindungi kehidupan manusia. pernyataan ini
pula yang merupakan salah satu alasan yang menjadikan profesi kedokteran
menjadi profesi yang luhur dan bermartabat.
Kata-kata "sejak saat pembuahan" yang ada dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia sebelumnya telah dihilangkan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
a. Bahwa esensi kewajiban dokter untuk melindungi hidup insani adalah
sejak awal kehidupan hingga akhir kehidupan.
b. Bahwa alat kontrasepsi IUD yang telah diterima dalam masyarakat
Indonesia sebenarnya bekerja bukan dengan cara mencegah konsepsi
(pembuahan) melainkan dengan cara mencegah nidasi atau berarti
konsepsi telah terjadi, sehingga norma penghormatan hidup insani sejak
saat pembuahan menjadi tidak tepat lagi.
c. Bahwa perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah memungkinkan
dilakukannya pembuahan in-vitro (bayi tabung) yang berdampak adanya
hasil konsepsi yang tidak ditanam di uterus.
d. Bahwa atas pertimbangan di atas pula maka dalam persidangan World
Medical Association Assembly ke-35 di Venice tahun 1983, maka text
International Code of Medical Ethics tidak mencantumkan lagi kata "sejak
saat pembuahan".
Konsekuensi dari sikap menghormati kehidupan makluk insani ini
adalah bahwa setiap tindakan dokter yang melemahkan atau menghentikan
atau tidak berupaya mempertahankan suatu kehidupan manusia tanpa alasan
yang dapat dibenarkan, dianggap sebagai tindakan yang tidak etis.
Deklarasi Tokyo adalah pernyataan dari World Medical Association
pada tahun 1975 dalam persidangannya ke 29 di Tokyo. Dalam preambul
deklarasi ini dinyatakan bahwa dokter wajib tetap menghormati kehidupan
insani meskipun dalam keadaan diancam serta tidak menggunakan ilmu
kedokteran untuk tujuan yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Deklarasi Tokyo melarang dokter turut serta atau berpartisipasi dalam
tindakan penyiksaan atau tindakan lain yang brutal, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia. Dokter dilarang menyediakan cara, alat,
bahan atau pengetahuannya guna memudahkan terjadinya penyiksaan,
termasuk mengevaluasi kesehatan seseorang sebelum, selama dan sesudah
penyiksaan guna kepentingan berjalannya penyiksaan itu; bahkan hadir di
tempat terjadinya penyiksaan pun dilarang. Dalam hal ini penyiksaan diartikan
sebagai setiap tindakan kesengajaan yang sistematik atau ketidak hati-hatian,
yang merusak fisik atau mengakibatkan;
61
penderitaan mental seseorang, yang dilakukan oleh satu orang atau lebih
yang, bertindak sendiri atau atas perintah pihak yang berwenang, untuk
memaksa seseorang guna memperoleh informasi, pengakuan atau untuk tu
juan lain. WMA juga meresolusikan suatu sikap bahwa adalah tidak etis bagi
dokter yang turut serta atau berpartisipasi dalam suatu eksekusi hukuman
mati, dengan cara apapun, dan dalam tahap apapun dalam proses eksekusi
tersebut (Resolusi WMA tahun 1981 dan 2000).
b. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Letting Die Naturally Dan
Minimal Treatment Versus Euthanasia". (Oleh: Dr. Iman Hilman,
Sp.Rad, MPH)
Pasal 7d yang mengharuskan dokter untuk "senantiasa melindungi
hidup makhluk insani", bersumber dari "Sumpah Dokter" (yang berlaku
sampai saat ini, yaitu hasil penyempurnaan Rakernas MKEK-MP2A tahun
1993), khususnya fatal sumpah yang ke-6, 7 dan 8, ialah:
6. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan dokter saya untuk sesuatu
yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
7. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
8. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien.
Dalam mengamalkan kewajiban "melindungi hidup makhluk insani" ini seorang
dokter harus senantiasa mengingat hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa hidup mati seseorang adalah merupakan kekuasaan Tuhan, dan
bahwa pada hakekatnya manusia dalam menghadapi permasalahan hidup
dan mati ini harus berpedoman pada agama yang dianutnya masing-
masing.
2. Bahwa betapapun majunya dan tingginya ilmu dan teknologi (iptek)
kedokteran yang telah kita capai namun semua ini memiliki keterbatasan,
hingga pada batas tertentu seorang dokter harus mengakui bahwa dia
tidak lagi akan dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan sepenuhnya
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
3. Bahwa perkembangan dan kemajuan IPTEK khususnya di bidang,
kedokteran, di samping telah membawa banyak manfaat bagi kehidupan
manusia, di pihak lain telah membawa persoalan baru yang terutama
sangat erat kaitannya dengan permasalahan moral, diantaranya telah
membuat kaburnya batas-batas antara hidup dan mati, dan bahwa tugas
dokter dalam melakukan intervensi medik terhadap pasiennya bukan
hanya sekedar bertujuan untuk "mempertahankan hidup dan
memperpanjang usia" tetapi juga harus mempertimbangkan "kwalitas
hidup", yaitu "hidup yang bagaimana" yang harus kita pertahankan itu.
62
4. Bahwa nilai-nilai moral dan agama lebih merupakan pedoman bagi
seorang dokter dalam bersikap dan bertindak sesuai kebenaran yang
diyakininya, dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada hati
nuraninya sendiri dan Tuhan yang sesuai dengan keyakinannya masing-
masing, sehingga lebih bersifat subyektif. Sementara yang lebih obyektif
ialah sumber hukum berupa perundang-undangan yang mengatur
permasalahan "hidup mati" seseorang, khususnya yang berkaitan dengan
saat-saat kritis dalam rangkaian pengembangan di masa mendatang.
Demikian pula bahwa Kode Etik Kedokteran sering tidak berdaya lagi
dalam menghadapi isu-isu baru sebagai akibat perubahan yang cepat dan
drastis dari iptek kedokteran.
Maka dalam menghadapi semua kenyataan ini, pertama-pertama
seorang dokter sejak awal harus menjalin hubungan yang baik dengan pihak
keluarga pasien. Setiap pengambilan keputusan baik untuk tujuan diagnostik,
terapi maupun berbagai tindakan lainnya, harus selalu dengan persetujuan
pasien dan atau keluarganya.
Dalam mengamalkan pasal 7d KOOEKI, yang berbunyi "Setiap dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani", maka yang jelas dilarang baik oleh Kode Etik Kedokteran, juga
dilarang oleh Agama maupun Undang-Undang Negara adalah perbuatan-
perbuatan:
1. Mengugurkan kandungan (abortus) tanpa indikasi yang benar.
2. Mengakhiri kehidupan seseorang pasien dengan alasan bahwa menurut
ilmu kedokteran penyakit rang dideritanya tidak mungkin lagi bisa
disembuhkan (euthanasia).
Tindakan aborsi yang dibenarkan oleh undang-undang sampai saat
ini, y.i. sebagaimana termuat dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
Pasal 15, hanya dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa
ibu hamil.
Dan inipun hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan rang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk ini, serta berdasarkan pertimbangan tim ahli,
dan harus ada persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya, dan harus dilakukan di sarana kesehatan tertentu (rumah sakit).
(Dan inipun PP-nya masih belum keluar). Tindakan aborsi atas indikasi-
indikasi lain seperti sosial, humaniter dan eugenetik, seperti di negara-negara
lain, yang bukan hanya untuk menolong si ibu, melainkan juga dengan
pertimbangan demi keselamatan si anak, baik jasmaniah maupun
rohaniyahnya, sampai saat ini di Indonesia belum ada undang-undangnya.
Memang dengan alasan kemajuan dalam bidang diagnostik prenatal, dengan
dapat ditemukannya berbagai penyakit bawaan yang berat dan penyakit
genetik yang tidak memungkinkan bayinya dapat hidup normal, sudah banyak
63
tuntutan untuk dibuat undang-undang yang memperbolehkan dilakukannya
tindakan aborsi dengan indikasi yang lebih luas. Dengan kemajuan iptek di
bidang kesehatan reproduksi dan fertilitas, juga banyak permasalahan yang
tidak lagi bisa terjangkau oleh Kode Etik Kedokteran; demikian pula yang ada
dalam UU No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan, masih terbatas pada
"kehamilan di luar cara alami" ("bayi tabung”), yaitu sebagaimana diuraikan
dalam pasal 16 yang terdiri dari tiga ayat. Dalam pasal 16 ini hanya
menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alami hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang syah, dan hasil pembuahan sperma
dan ovum dari suami istri tersebut ditanamkan dalam rahim istri dari mana
pembuahan sperma dan ovum berasal, dan harus dilakukan, oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, serta
dilakukan di sarana kesehatan tertentu (rumah sakit). Dalam pasal 16 dari UU
No. 23 tahun 1992 ini, jelas bahwa "sewa rahim" (surrogate motherhood) tidak
diperbolehkan di Indonesia. sementara mengenai perlakuan terhadap sisa
kelebihan embryo, penyimpanan embryo dan lain-lainnya yang berkaitan
dengan ini masih belum diatur. Kemungkinan akan dijabarkan pengaturannya
dalam PP yang masih belum dibuat.
Mengenai "euthanasia" akhir-akhir ini banyak menarik perhatian,
khususnya sehubungan dengan dampak dari perkembangan dan kemajuan
IPTEK Kedokteran. Di satu sisi ini mempunyai ni/ai negatif karena istilah ini
mempunyai arti sebagai "pembunuhan tanpa penderitaan" (mercy killing)
terhadap pasien yang tidak dapat diharapkan lagi untuk disembuhkan, namun
di pihak lain ini dapat dianggap sebagai bagian dari tindakan menghormati
kehidupan insani, karena ini juga dapat diartikan "mengakhiri atau tidak
memperpanjang penderitaan pasien" yang secara medis sudah tidak mungkin
lagi dapat disembuhkan. Pada dasarnya "euthanasia" dibedakan menjadi dua,
ialah :
1. Euthanasia aktif yaitu berupa tindakan "mengakhiri kehidupan", misalnya
dengan memberikan obat dengan dosis lethal kepada pasien.
2. Euthanasia pasif, yaitu tindakan atau perbuatan "membiarkan pasien
meninggal", dengan cara misalnya tidak melakukan intervensi medik atau
menghentikannya seperti pemberian infus, makanan liwat sonde, alat
bantu pernafasan, tidak melakukan resusitasi, penundaan operasi dan lain
sebagainya.
Mengenai euthanasia aktif, banyak negara yang menentangnya
sekalipun pada kenyataannya sudah banyak negara yang mentolerir tindakan
ini, di Amerika Serikat "euthanasia" lebih populer dengan istilah "physician
assisted suicide". Negara yang telah memberlakukan diperbolehkannya
euthanasia lewat Undang-Undang adalah Negeri Belanda, dan di Amerika
Serikat baru ada satu negara bagian yang memperbolehkan euthanasia
(assisted suicide) ialah negara bagian Oregon. Di Indonesia sebagai negara
64
yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan "euthanasia aktif'.
Mengenai "euthanasia pasif", adalah merupakan suatu "daerah
kelabu" karena memiliki nilai yang bersifat "ambigu", yaitu di satu sisi bisa
dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain bisa dianggap sebagi
perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau guna
mengakhiri penderitaan pasien, dengan lebih membiarkan penyakit yang
diderita pasien berjalan secara alamiah.
Bahwa dalam menghadapi pasien di akhir hayatnya, dimana ilmu dan
teknologi kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan
kesembuhan, hendaknya berpegang kepada pedoman sebagai berikut:
1. Sampaikan kepada pasien dan atau keluarganya keadaan yang
sebenarnya dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien.
2. Dalam keadaan dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat
lagi diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan
pasien bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan
harus lebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan
penderitaan.
3. Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya,
tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun
demikian dokter wajib untuk terus merawatnya, sekalipun pasien dipindah
ke fasilitas lainnya.
4. Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus diusahakan
seringan mungkin; dan apabila pasien meninggal dunia, seyogyanya
bantuan diberikan kepada keluarganya yang ditinggal.
5. Bahwa apabila pasien dan atau keluarga pasien menghendaki menempuh
cara "pengobatan alternatif', tidak ada alasan untuk melarangnya selama
tidak membahayakan bagi dirinya.
6. Bahwa dalam menghadapi pasien yang seeara medis tidak
memungkinkan lagi untuk disembuhkan, termasuk penderita "dementia"
lanjut, disarankan untuk memberikan "Perawatan Hospis" (Hospice Care).
Selanjutnya pedoman yang lebih rinci dan lebih teknis, adalah
merupakan tugas dari Komite Medik di setiap Rumah Sakit untuk
menyusunnya.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/kesehatan.
a. Penjelasan khusus yang terkait dengan klonasi/cloning (diadopsi dari hasil
Keputusan Muktamar XXIII IDI tahun 1997, tentang Klonasi (Cloning)
65
Pendahuluan
Reproduksi (kembang biak) manusia memang dianjurkan atau
mungkin diperintahkan oleh Tuhan. Dan melaksanakan anjuran/perintah
Tuhan tersebut adalah idaman setiap manusia yang mengaku beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan telah memberi petunjuknya, yaitu melalui
pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan kembang
biak (reproduksi) yang terjadi dari pernikahan merupakan hasil kerja-sama
antara kedua orang yang menikah tersebut. Secara rinci kerja-sama tersebut
berupa persatuan antara sel mani (sel sperma) dari si laki-laki dengan sel telur
(ovum) dari si perempuan, yang dari sudut kedokteran (biologi) dikenal
sebagai fertilisasi. Lebih dalam lagi persatuan kedua sel tersebut merupakan
persatuan materi genetik dari si laki-laki (calon ayah) dan dari si perempuan
(calon ibu). Materi genetik yang diturunkan dari ayah dan dari ibu, merupakan
'nasab' seseorang, yang tidak akan dapat dipungkiri dan tidak akan dapat
ditiadakan. Setiap manusia memiliki 'nasab' atau hubungan genetik dengan
kedua orangtuanya (ayah dan ibunya).
Klonasi, merupakan cara reproduksi salah satu makluk hidup yaitu
bakteri, yang sangat sederhana. Bakteri 'membentuk' salinan dirinya (copy),
yang dapat dinilai kembarannya karena memiliki materi genetik yang sama
dengan bakteri asalnya. Melalui cara 'reproduksi' ini, bakteri memperbanyak
diri, dari 1 menjadi 2, lalu menjadi 4 dan kemudian menjadi 16 dst. Proses
tersebut dalam mikrobiologi dikenal sebagai 'cloning', yang walapun
merupakan cara reproduksi (pada bakteri), pada dasarnya berbeda dari
reproduksi pada organisme (makluk hidup) tingkat lebih tinggi seperti
umpamanya kodok, ikan, burung, sapi apalagi manusia. Reproduksi (kembang
biak) cara bakteri dikenal secara umum sebagai reproduksi aseksual . Pada
berbagai makluk hidup bukan bakteri, reproduksinya secara umum serupa
dengan manusia, yaitu ada pertemuan antara sel kelamin dari induk jantan
dan sel kelamin dari induk betina, dan dikenal sebagai reproduksi seksual .
Pada reproduksi seksual dikenal adanya induk jantan dan induk
betina, tetapi pada klonasi (reproduksi aseksual) tidak terdapat induk jantan
dan induk betina. Secara alami, reproduksi aseksual merupakan upaya
reproduksi makluk hidup tingkat rendah.
Klonasi sel/jaringan pada manusia sebenarnya bukan hal baru karena
bio-teknologi ini dapat dimanfaatkan di bidang kedokteran. Penelitian dan
pengembangan antigen dan zat anti monoklonal, yang dapat digunakan dalam
segi diagnosis dan pengobatan penyakit tertentu memang telah dilakukan.
Klonasi hewan yang sekarang ini terbukti dapat dilakukan di masa
mendatang akan membuka era baru dalam bidang embriologi. Melalui klonasi
hewan akan dapat dilakukan penelitian klonasi organ, yaitu membuat
reproduksi organ tertentu, tanpa melalui reproduksi hewan secara
66
utuh/lengkap. Penelitian semacam ini akan sangat bermanfaat, dalam upaya
untuk menyediakan organ tertentu, yang nantinya dapat ditransplantasikan
kepada orang yang memang memerlukan transplantasi organ tubuh tertentu.
Klonasi pada manusia secara teoritik akan dapat saja dilakukan pada
masa mendatang. Setelah keberhasilan melakukan pengklonan pada domba.
Melalui upaya tersebut, manusia direproduksi tanpa menyatukan sel
kelamin/materi genetik dari ayah (laki-laki) dan sel kelamin/materi genetik dari
ibu (perempuan).
Seandainya klonasi manusia dilakukan, manusia hasil klonasi tersebut tidak
memiliki ayah dan ibu. Keadaan tsb. jelas berbeda dari manusia lain yang
normal. Manusia hasil klonasi tersebut memiliki hubungan genetik hanya
dengan manusia sumber klonasi. Dan karenanya manusia hasil klonasi (yang
merupakan cara reproduksi/kembang-biak bakteri), dapat dinilai 'sederajat
atau setingkat' dengan bakteri.
Berdasarkan kenyataan yang diuraikan seperti tersebut di atas, upaya
reproduksi manusia dengan cara klonasi, akan sangat menurunkan derajat
dan martabat manusia, sampai dapat disamakan dengan derajat-martabat
bakteri. Oari sudut sosial dan hukum, upaya reproduksi secara klonasi juga
akan mengacaukan sistem/pranata sosial dan hukum manusia, karena
manusia hasil klonasi tersebut tidak memiliki ayah dan ibu.
Ikatan Dokter Indonesia melalui Muktamar yang ke XXIII tahun 1997 di
Padang, menyatakan sebagai berikut ;
1. Menolak
dilakukannya klonasi pada manusia, karena upaya itu
mencerminkan penurunan derajat serta martabat manusia sampai
setingkat dengan bakteri, menghasilkan manusia yang tidak memiliki ayah
dan ibu alami maupun genetik, yang lebih lanjut akan merusak
sistem/pranata hukum dan sosial manusia. Dalam kaitan dengan
penolakan tersebut, menghimbau para ilmuwan khususnya dokter, agar
tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia.
2. Mendorong ilmuwan untuk tetap memanfaatkan bio-teknologi klonasi ;
2.1 pada sel/jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
melalui al. pembuatan zat anti atau antigen monoklonal, yang dapat
digunakan dalam banyak bidang kedokteran baik aspek diagnosis
maupun aspek pengobatan.
2.2 pada sel atau jaringan hewan dalam upaya penelitian kemungkinan
melakukan klonasi organ, serta penelitian lebih lanjut kemungkinan
diaplikasikannya klonasi organ manusia untuk dirinya sendiri.
67
Addendum 2:
Penjelasan Khusus yang Terkait dengan Proses Implementasi KODEKI
(Hasil Mukernas Etika Kedokteran III), April 2001.
I. PENDAHULUAN
Profesi dokter sejak awalnya merupakan profesi yang luhur dan mulia
yang ditunjukkan oleh adanya 6 sifat dasar yang harus dimiliki oleh setiap
dokter yang terdiri dari :
1. Sifat ketuhanan.
2. Kemurnian niat.
3. Keluhuran budi
4. Kerendahan hati.
5. Kesungguhan kerja
6. Integritas ilmiah dan sosial.
Kode etik kedokteran disusun agar 6 sifat dasar tersebut dapat
dilaksanakan pada pengamalan profesi kedokteran. Kita menyadari, pada
saat ini banyak kritik masyarakat terhadap implementasi Etik Kedokteran. Hal
tersebut tentunya tidak terlepas dari 6 sifat dasar yang membuktikan keluhuran
dan kemuliaan profesi dokter tersebut diatas. Tiga sifat terakhir yaitu
kesungguhan kerja, kerendahan hati, integritas ilmiah dan sosial dapat
disaksikan masyarakat secara kasat mata dan obyektif yang bisa disebutkan
sebagai dimensi sosial, tetapi sifat dasar lainnya, seperti kemurnian niat
merupakan dimensi transcendental yang hanya dirasakan oleh yang
bersangkutan sehingga bersifat subyektif dan hanya diketahui oleh yang
bersangkutan dan Tuhan.
Sejalan hal tersebut diatas, dalam rangka meningkatkan pelaksanaan
Kode Etik Kedokteran pada pengamalan profesi kedokteran, dirasa perlu
adanya Proses Implementasi Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
II. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KODEKI
Etika tidak bisa dilepaskan dari moral yang berarti sikap, kebiasaan yang
terbentuk dari sebuah proses yang lama dalam suatu masyarakat yang bisa
mempengaruhi pad a implementasi etika, dan hal tersebut tentunya berlaku
pula untuk implementasi KODEKI.
Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi KODEKI adalah, sebagai
berikut:
2.1. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Pada umumnya para dokter mengetahui pertama kali tentang Kode Etik
Kedokteran adalah pada waktu kuliah di Fakultas Kedokteran. Oleh
karena salah satu mata kuliah di Fakultas Kedokteran adalah Etik Profesi.
Namun dengan belum adanya standarisasi penyelenggaraan Fakultas
68
Kedokteran yang berkaitan dengan KODEKI maka pemahaman KODEKI
oleh para dokter menjadi tidak sama. Di lain pihak pengenalan dan
pemahaman KODEKI perlu dilakukan berkesinambungan, dengan belum
terstandarisasinya kursus etik profesi maka berdampak pula terhadap
pengenalan dan pemahaman KODEKI terhadap para dokter saat ini.
Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan dan pelatihan berpengaruh
terhadap implementasi KODEKI.
2.2. FAKTOR INTRINSIK INDIVIDU
Di atas telah diuraikan bahwa etika tidak bisa dilepaskan dari moral yang
berarti sikap, kebiasaan yang terbentuk dari sebuah proses lama yang
bisa menunjukkan sikap yang baik dan sikap yang buruk. Dan kita ketahui
sikap dan kebiasaan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor instrinsik
individu.
2.3. UNGKUNGAN SOSIAL, EKONOMI, BUDAYA, HUKUM
Seorang dokter dalam mengimplementasikan KODEKI dapat dipengaruhi
oleh lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Oleh karena
perubahan lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan hukum akan merubah
pula sistem nilai, yang pad a akhirnya akan berdampak pula terhadap
implementasi KODEKI.
2.4. PENGAWASAN
Belum berfungsinya pengawasan secara optimal, mempengaruhi
implementasi KODEKI. Lemahnya pengawasan telah menyebabkan
KODEKI tidak dilaksanakan dengan baik dan malahan ada yang
melanggarnya. Oleh karena itu, pengawasan memegang peran panting
dalam implementasi KODEKI.
2.5. PENEGAKAN BAGI PELANGGAR
Lemahnya pengawasan yang berdampak terhadap pelanggaran KODEKI
perlu ditindaklanjuti dengan penegakan bagi pelanggar. Dengan adanya
penegakan bagi pelanggar diharapkan implementasi KODEKI dapat
berjalan dengan baik.
2.6. HUBUNGAN DENGAN PROFESI KESEHATAN DAN INSTANSI TERKAIT
Para dokter dalam melaksanakan kegiatannya dapat berhubungan
dengan profesi kesehatan lainnya dan dapat pula berhubungan dengan
instansi terkait. Hubungan tersebut tentunya akan mempengaruhi para
dokter dalam mengeimplementasikan KODEKI.
III. PROGRAM IMPLEMENTASI KODEKI
Perubahan sosio-ekonomi masyarakat yang diikuti dengan
meningkatnya pendidikan masyarakat telah merubah sistem nilai dan perilaku
di masyarakat. Perubahan sistem nilai dan perilaku para dokter yang pada
69
gilirannya telah mengurangi pengamalan profesi kedokteran. Hal tersebut
terlihat bahwa pada saat ini banyak kritik masyarakat terhadap implementasi
KODEKI. Kritik masyarakat terhadap implementasi KODEKI tersebut tentunya
tidak terlepas dari adanya enam sifat dasar yang harus membuktikan
keluhuran dan kemurnian profesi dokter yaitu ketuhanan, keluhuran budi,
kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati dan integritas ilmiah dan
sosial. Oleh karena itu program implementasi KODEKI sangatlah penting.
Dengan adanya program implementasi diharapkan adanya kejelasan arah dan
tujuan implementasi KODEKI yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan
citra dokter Indonesia yang pada saat ini sedang menurun.
Proses implementasi KODEKI terdiri dari :
3.1. FASE PERSIAPAN
Pada fase persiapan ini yang diperlukan adalah standarisasi dan
pedoman.
Fase persiapan ini diharapkan dilaksanakan di Pengurus Besar IDI (IDI
Pusat) dan IDI Wilayah. Langkah-langkah yang dilakukan pada fase
persiapan sebagai berikut:
3.1.1. Pengurus Besar IDI melalui MKEK Pusat diharapkan dapat
menyusun standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang
berkaitan dengan KODEKI. Dengan adanya standarisasi
diharapkan semua mahasiswa Kedokteran di Indonesia mendapat
bekal KODEKI yang sama sehingga dalam melakukan
implementasi juga sama.
Standarisasi pendidikan tersebut meliputi :
•
•
•
•
•
•
Sillabi etik profesi
Buku ajar KODEKI dan Keprofesian
Sillabi kursus
Buku pedoman untuk kursus
Kualifikasi tenaga pengajar
Modul etik
3.1.2. mengingat budaya masing-masing wilayah tidak sama maka
standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang berkaitan
dengan KODEKI perlu ditindaklanjuti oleh IDI Wilayah untuk
membuat pedoman-pedoman yang disusun oleh IDI Wilayah
diharapkan dapat membantu dan memperjelas implementasi
KODEKI di wilayah.
3.2. FASE PELAKSANAAN
Agar dapat melaksanakan implementasi KODEKI dengan baik maka harus
dimulai sejak menjadi mahasiswa kedokteran sampai menjadi dokter dan
70
melaksanakan kegiatan sebagai profesi dokter. Berdasarkan hal tersebut,
pelaksanaan implementasi KODEKI sebagai berikut :
3.2.1.
Pendidikan under graduate
di Fakultas Kedokteran (S1)
Pengenalan, penghayatan dan pemahaman KODEKI perlu
dilakukan sedini mungkin, yaitu melalui pendidikan under graduate
di Fakultas Kedokteran. Dengan dimulainya pengenalan dini
diharapkan para dokter dapat mengetahui, memahami,
menghayati dan mengamalkan 6 sifat dasar yang membuktikan
keluruhan dan kemuliaan profesi dokter.
3.2.2.
3.2.3.
3.2.4.
3.2.5.
3.2.6.
Kursus terstruktur, tatap muka dan jarak jauh oleh Lembaga
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) IDI. Agar KODEKI
dapat terus diingat oleh para dokter maka perlu ada
pelatihan/kursus yang terstruktur mengenai KODEKI. Kursus
dapat menggunakan sistem tatap muka tetapi juga dapat dengan
sistem jarak jauh. Dengan sistem jarak jauh diharapkan cakupan
pesertanya dapat lebih banyak dan dengan hasil yang tidak
berbeda dengan sistem tatap muka. Misalnya melalui Tele
Conference, Tele Seminar.
Kuliah etik pada tiap PKB/Pertemuan ilmiah Tak dipungkiri PB IDI
maupun IDI Wilayah sering mengadakan pertemuan ilmiah atau
menyelenggarakan PKB. Pertemuan ilmiah dan PKB tersebut
dapat merupakan wahana yang baik untuk melakukan sosialisasi
KODEKI secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
Disarankan atau agar dibuat kebijakan oleh PB IDI bahwa
sebelum PKB/pertemuan IImiah dilaksanakan perlu diawali
dengan Kultum (Kuliah Tujuh Menit) mengenai KODEKI.
Kursus Etik bagi anggota MKEK Di dalam struktur organisasi IDI,
MKEK mempunyai pengenalan, penghayatan dan pemahaman
yang sama mengenai KODEKI maka anggota MKEK wajib
mengikuti Kursus Etik. Disarankan MKEK Pusat membuat Kursus
Etik bagi MKEK Wilayah, sedangkan MKEK Wilayah membuat
Kursus Etik bagi MKEK Cabang.
Melaksanakan dan mengembangkan fungsi-fungsi dalam struktur
organisasi MKEK.
Pemberdayaan panitia etik/Komite Etik di rumah sakit dalam
membuat kebijakan.
Untuk menangani masalah etik di rumah sakit, maka setiap rumah
sakit wajib mempunyai panitia etik/komite etik. Kewajiban ini telah
tertuang dalam standar akreditasi rumah sakit. Harus diakui
panitia etik/komite etik di Rumah Sakit (AS) pada saat ini belum
berfungsi optimal dan kurang diberdayakan. Agar implementasi
71
KODEKI di AS dapat berjalan dengan baik maka pengawasan
secara berkesinambungan perlu dilakukan. Panitia etik/komite di
AS diharapkan dapat melaksanakan kegiatan tersebut.
3.2.7.
Koordinasi dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait.
Implementasi KODEKI sangatlah dipengaruhi oleh profesi
kesehatan lain dan institusi lain terkait oleh karena itu dalam
melaksanakan implementasi KODEKI perlu melakukan koordinasi
dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait. Sebagai
contoh kerja sama dokter dengan perusahaan farmasi dapat
diantisipasi dengan melakukan koordinasi dengan profesi farmasi,
dengan dilaksanakan kode etik kedokteran dan kode etik farmasi
diharapkan dapat meminimalkan pelanggaran etik profesi tersebut.
Di lain pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
menganggap kerja sama dokter dan perusahaan farmasi bukanlah
merupakan pelanggaran etika tetapi merupakan pelanggaran
hukum, IDI dan ISFI harus melakukan koordinasi dengan institusi
terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
3.3.
PENGAWASAN/EVALUASI
Sudah menjadi sifat manusia, apabila tidak diawasi maka berani
melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, implementasi KODEKI perlu
diikuti dengan sistem pengawasan/evaluasi yang berkesinambungan
dan berkelanjutan.
Hal-hal yang perlu dilakukan pada pengawasan/evaluasi adalah sebagai
berikut :
a. MKEK melaksanakan pengawasan secara aktif dan pasif Agar ada
kejelasan siapa, kapan dan bagaimana melakukan pengawasan
evaluasi maka PB IDI melalui MKEK Pusat diharapkan dapat
membuat pedoman pengawasan/evaluasi yang merupakan acuan
umum, sedangkan IDI Wilayah melalui MKEK Wilayah membuat
petunjuk teknis pengawasan/evaluasi yang merupakan penjabaran
pedoman yang disusun PB IDI melalui MKEK Pusat sesuai dengan
budaya, situasi dan kondisi wilayah.
b. Panitia Etik RS sebagai pemantau di RS Seperti disebutkan diatas
bahwa RS wajib mempunyai panitia etik maka panitia etik di RS ini
diharapkan dapat secara optimal melakukan pengawasan secara
aktif maupun pasif implementasi KODEKI. Oleh karena itu panitia
etik RS diharapkan mempunyai prosedur tetap pengawasan/
evaluasi KODEKI serta pencatatan dan pelaporan masalah etik.
c. Perlu adanya pelaporan kasus etik secara berkala dan berjenjang.
Perlu dikembangkan format laporan kasus etik dan tata cara
pelaporan secara berkala dan berjenjang.
72
3.4. PENEGAKAN IMPLEMENTASI ETIK
Penegakan implementasi etik dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
3.4.1. Panitia etik RS memecahkan masalah etik di rumah sakit
3.4.2. Panitia etik RS merujuk pelanggaran etik yang tidak bisa
diselesaikan di RS ke MKEK/MAKERSI (Majelis Kehormatan Etika
Rumah Sakit).
3.4.3. MKEK menangani kasus etik pengaduan dari masyarakat.
3.4.4. Dalam penanganan masalah etik harus memperhatikan ketentuan
hukum dan etika lain yang berlaku.
3.5. ORGANISASI MKEK
Yang paling panting dalam organisasi MKEK adalah kedudukan MKEK
dengan IDI. Mengacu kedudukan MKEK Pusat, maka MKEK Wilayah
diharapkan berkedudukan sejajar dengan IDI Wilayah dan dapat bekerja
secara otonom.
IV. LAIN-LAIN
4.1. Pengurus Besar IDI melalui MKEK Pusat agar membuat tatwa
mengenai kasus terminal state
4.2. IDI, PERSI, GP Farmasi dan ISFI agar membuat "guidelines" yang
jelas tentang ketentuan promosi obat, alat kesehatan dan kosmetik
dan sekaligus membuat badan penyelesaiannya.
4.3. Pelanggaran ketentuan promosi agar tidak dijadikan sebagai produk
hukum tetapi sebagai masalah etika.
4.4. IDI/MKEK dan PERSI/MAKERSI agar bersama-sama membuat
model untuk terciptanya Hospital By Laws.
4.5. IDI dan ISFI agar terlibat langsung dalam audit dan sertitikasi obat
tradisional.
4.6. Agar IDI membuat tim tetap penguji kesehatan pejabat tinggi negara
sambil menunggu dikeluarkan ketentuan perundangan.
4.7. IDI dan pejabat kesehatan setempat melakukan pengawasan
terhadap penggunaan tenaga dokter asing di wilayah masing-
masing.
V. PENUTUP
Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
kewajiban dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban kepada pasien,
kewajiban kepada diri sendiri dan teman sejawatnya. Keharusan
mengamalkan kode etik disebutkan dalam lafal sumpah dokter yang
didasarkan pada PP No. 26 tahun 1960. Ini berarti terbuka kemungkinan
memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar kode etik.
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
DAN
PEDOMAN PELAKSANAAN
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
(MKEK)
IKATAN DOKTER INDONESIA (IDI )
Jl. Dr. Samratulangi No. 29
Telp. 3150679 – 3900277; Fax 3900473
Jakarta 10350
PEDOMAN PELAKSANAAN KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
PENGANTAR
Muktamar IDI XXI Tahun 1991 di Yogyakarta menetapkan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan pedoman pelaksanaan KODEKI yang isinya merupakan hasil seminar tertulis penyempurnaan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang diselenggarakan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat dan beberapa penyempurnaan oleh Muktamar. Dengan demikian KODEKI yang semula terdiri dari Pasal-Pasal dan penjelasannya maka sesuai dengan ketetapan Muktamar XXI disusun menjadi:
1. KODEKI
Berisi pasal dan penjelasan ringkas.
2. Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Berisi penjelasan dan petunjuk serta contoh pelaksanaan KODEKI.
Pada hakikatnya kedua buku tersebut bukan dua hal terpisah, namun harus dilihat sebagai satu kesatuan.
Melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Etika Kedokteran III Tahun 2001, dilakukan revisi terhadap pasal-pasal dan penjelasan KODEKI guna menyesuaikan dengan tantangan permasalahan yang ada. Dalam KODEKI Revisi Tahun 2001 ini, dimasukkan addendum penjelasan khusus dari beberapa pasal dan addendum khusus permasalahan implementasi KODEKI untuk memperkaya wacana dari berbagai persoalan yang berkembang pada Pedoman Pelaksanaan KODEKI. Jumlah pasal pada KODEKI juga disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Untuk selanjutnya Mukernas Etika Kedokteran III menganjurkan agar permasalahan - permasalahan yang berhubungan dengan etik dimana sifatnya sangat dinamis dapat selalu dibahas melalui rapat-rapat rutin MKEK, untuk sementara dimasukkan dalam addendum terlebih dahulu sambil menunggu ketetapan yang secara organisasi dapat lebih dipertanggungjawabkan KODEKI bersifat lebih langgeng, sedangkan pedoman pelaksanaan KODEKI dapat berubah sesuai perubahan tata nilai, serta keadaan yang dipengaruhi oleh adat istiadat dan tata nilai setempat. Semoga buku ini dapat menjadi pedoman bagi profesi kedokteran dalam mengamalkan profesinya secara baik.
Jakarta, Januari 2002
MKEK Pusat
SAMBUTAN KETUA UMUM
PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
Puji syukur kami persembahkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang menantiasa memberikan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita dalam menjalankan tugas-tugas keprofesian.
Salah satu upaya untuk mencapai Indonesia Sehat 2010 adalah melalui profesionalisme dibidang kesehatan berupa upaya untuk meningkatkan dan memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dimaksud, tentu saja belum cukup bila tidak didukung dengan penerapan nilai-nilai moral dan etika profesi yang tinggi. Demikian halnya pelayanan dibidang kedokteran pelaksanaan nilai-nilai luhur profesi yaitu etik kedokteran mutlak diperlukan.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menyambut gembira atas terbitnya buku "Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia." Buku terbaru ini merupakan hasil revisi dari edisi sebelumnya yang dilakukan pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Etika Kedokteran III Tahun 2001. Revisi dilakukan dalam rangka mengantisipasi perkembangan iptek kedokteran dan sekaligus untuk memperkaya wacana dari berbagai persoalan yang berkembang sekitar Pedoman Pelaksanaan KODEKI.
Dilakukannya revisi, membuktikan bahwa Kode Etik Kedokteran Indonesia tidak statis, melainkan sangat dinamis, sehingga menjadi keharusan bagi masyarakat kedokteran Indonesia untuk senantiasa memonitor dan
mengevaluasinya. Harapan kami, semoga buku ini dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya dan dijadikan pegangan oleh para dokter dalam penyelenggaraan praktik profesi kedokteran. Begitu pula kepada para calon dokter yang sementara belajar di Fakultas Kedokteran, mudah-mudahan buku ini dapat dijadikan sebagai
salah satu referensi dalam mempelajari etika kedokteran.
Selanjutnya kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas penyempurnaan dan penerbitan buku ini, semoga segala usaha dan kesungguhannya bernilai ibadah di sisi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,
Amin.
Bilahit Taufiq Walhidayah,
Jakarta, Januari 2002
Ketua Umum PB IDI
Prof. DR. Dr. M. Ahmad Djojosugito, Sp.BO, MHA.
NPA-IDI: 6.094
IKATAN DOKTER INDONESIA
(THE INDONESIAN MEDICAL ASSOCIATION)
PENGURUS BESAR
JI. Dr. G.S.S.Y. Ratulangie No. 29 - Telp. 3150679 - 3900277 - 3926910 - Fax. 3900473
Email: pbidi@idola.net.id - Jakarta 10350
SURAT KEPUTUSAN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
NO. 221/PB/A.4/04/2002
TENTANG
PENERAPAN KODE ETlK KEDOKTERAN INDONESIA
PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
Menimbang : 1. Bahwa dalam menjalankan profesi kedokteran diperlukan adanya suatu kode etik yang
digunakan sebagai pedoman.
2. Bahwa Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) merupakan pedoman bagi dokter
Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek kedokteran.
3. Bahwa KODEKI yang ada saat ini perlu disesuaikan lagi dengan situasi kondisi yang
berkembang sesuai dengan pesatnya kemajuan Iptekdok dan dinamika etika global
yang ada.
4. Bahwa KODEKI sebagaimana pada butir 3 diatas dalam rangka penerapannya perlu
ditetapkan melalui surat keputusan.
Mengingat :1. Anggaran Dasar IDI Bab III pasal 5, 6 dan 7
2. Ketetapan Muktamar IDI No. 10/Muk. 101 XXIV/10/2000
3. SK PB IDI No.001/PB/A.4/00 tanggal 20 November 2000
Memperhatikan : Hasil Mukernas Etik Kedokteran III yang diselenggarakan pada tanggal 21 - 22 April 2001
di Jakarta
MEMUTUSKAN
Menetapkan : Keputusan IDI tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia
Pertama : Mencabut KODEKI hasil Rakernas MKEK-MP2A tahun 1993
Kedua : Menetapkan penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) hasil Mukernas Etik
Kedokteran III tahun 2001 sebagai pedoman etik bagi dokter dalam menjalankan profesi
kedokteran.
Ketiga : Dengan penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagaimana butir kedua tersebut,
maka semua dokter yang menjalankan profesi kedokterannya wajib berpegang teguh pada
KODEKI tersebut.
Keempat : Seluruh Pengurus Wilayah, Cabang dan Badan Kelengkapan organisasi IDI lainnya wajib
menyebar luaskan KODEKI tersebut kepada seluruh dokter di wilayah kerjanya
masing-masing.
Kelima : Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila ternyata dikemudian hari
terdapat kekeliruan dalam pembuatannya akan diperbaiki sesuai dengan keperluannya.
Ditetapkan : Jakarta
Pada tanggal : 19 April 2002
Prof. DR. Dr. M. Ahmad Djojosugito, MHA. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.
NPA. IDI : 6.09 NPA. IDI : 32.552
MUKADIMAH
Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter dan penderita (pasien) yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
Sejak terwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui adanya beberapa sifat mendasar (fundamental) yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan yang tidak diragukan.
Inhotep dari Mesir, Hippocrates dari Yunani, Galenus dari Roma, merupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi-sendi permulaan untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan organisasi kedokteran yang tampil ke forum internasional, kemudian mereka bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut alas suatu etik profesional. Etik tersebut, sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat serta demi keselamatan dan kepentingan penderita. Etik ini sendiri memuat prinsip-prinsip, yaitu: beneficence, non maleficence, autonomy dan justice.
Etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan alas norma-norma etik yang mengatur hubungan manusia umumnya, dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia, asas itu adalah Pancasila yang sama-sama kita akui sebagai landasan Idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan struktural.
Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, kami para dokter Indonesia baik yang tergabung secara profesional dalam Ikatan Dokter Indonesia, maupun secara fungsional terikat dalam organisasi bidang pelayanan, pendidikan serta penelitian kesehatan dan kedokteran, dengan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa, telah merumuskan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yang diuraikan dalam pasal-pasal berikut:
KODE ETIK
KEDOKTERAN INDONESIA
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.
PENJELASAN
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Sumpah dokter di Indonesia telah diakui dalam PP No. 26 Tahun 1960. Lafal ini terus disempurnakan sesuai dengan dinamika perkembangan internal dan eksternal protesi kedokteran baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Penyempurnaan dilakukan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II, tahun 1981, pada Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pembinaan dan Pembelaan Anggota (MP2A), tahun 1993, dan pada Musyawarah KerjaNasional Etik Kedokteran III, tahun 2001.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan protesi kedokteran mutakhir, yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat.
Pasal 3
Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik :
1. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan ketrampilan kedokteran dalam segala
bentuk.
2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan
pengetahuan dan atau kehendak pasien.
3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat
kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter.
4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat atau bahan lain guna
kepentingan dan keuntungan pribadi dokter.
Pasal 4
Seorang dokter harus sadar bahwa pengetahuan dan ketrampilan profesi yang dimilikinya adalah karena karunia dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa semata. Dengan demikian imbalan jasa yang diminta harus didalambatas-batas yang wajar.
Hal-hal berikut merupakan contoh yang dipandang bertentangan dengan Etik:
a. Menggunakan gelar yang tidak menjadi haknya.
b. Mengiklankan kemampuan, atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik lisan maupun dalam tulisan.
Pasal 5
Sebagai contoh, tindakan pembedahan pada waktu operasi adalah tindakan demi kepentingan pasien.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan mengumumkan ialah menyebarluaskan baik secara ligan, tulisan maupun melalui cara lainnya kepada orang lain atau masyarakat.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 7a
Cukup jelas.
Pasal 7b
Cukup jelas.
Pasal 7c
Cukup jelas.
Pasal 7d
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut adalah dokter yang mempunyai kompetensi keahlian di bidang tertentu menurut dokter yang waktu itu sedang menangani pasien.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Kewajiban ini sering disebut sebagai kewajiban memegang teguh rahasia jabatan yang mempunyai aspek hukum dan tidak bersifat mutlak.
Pasal 13
Kewajiban ini dapat tidak dilaksanakan apabila dokter tersebut terancam jiwanya
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Secara etik seharusnya bila seorang dokter didatangi oleh seorang pasien yang diketahui telah ditangani oleh dokter lain, maka ia segera memberitahu dokter yang telah terlebih dahulu melayani pasien tersebut. Hubungan dokter-pasien terputus bila pasien memutuskan hubungan tersebut. Dalam hal ini dokter yang bersangkutan seyogyanya tetap memperhatikan kesehatan pasien yang bersangkutan sampai dengan saat pasien telah ditangani oleh dokter lain.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
PEDOMAN PELAKSANAAN
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
MUKADIMAH
Mukadimah KODEKI menunjukkan bahwa profesi dokter sejak perintisannya telah membuktikan sebagai profesi yang luhur dan mulia. Keluhuran dan kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 sifat dasar yang harus ditunjukkan oleh setiap dokter yaitu :
1. Sifat ketuhanan.
2. Kemurnian niat.3. Keluhuran budi
4. Kerendahan hati.
5. Kesungguhan kerja
6. Integritas ilmiah dan sosial.
Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan berhubungan dengan manusia yang sedang mengharapkan pertolongan dalam suatu hubungan kesepakatan terapeutik.
Agar dalam hubungan tersebut keenam sifat dasar di atas dapat tetap terjaga, maka disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia yang merupakan kesepakatan dokter Indonesia bagi pedoman pelaksanaan profesi.
Kode Etik Kedokteran Indonesia didasarkan pada asas-asas hidup bermasyarakat, yaitu Pancasila yang telah sama-sama diakui oleh Bangsa Indonesia sebagai falsafah hidup bangsa.
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Penjelasan dan pedoman pelaksanaan
Sebagai hasil Muktamar Ikatan Dokter Sedunia (WMA) di Geneva pada bulan September 1948, dikeluarkan suatu pernyataan yang kemudian diamandir di Sydney bulan Agustus 1968.
Pernyataan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Sya'ra Departemen Kesehatan RI dan Panitia Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Indonesia, kemudian
dikukuhkan oleh Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 dan disempurnakan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II yang diselengarakan pada tanggal 14-16 Desember 1981 di Jakarta dan diterima sebagai lafal Sumpah Dokter Indonesia. Lafal ini disempurnakan lagi pada Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pertimbangan dan Pembelaan Anggota (MP2A), 20-22 Mei, 1993.
Perkembangan mendasar terjadi pada WMA General Assembly di Stockholm yang ke 46, September 1994, terutama yang berkaitan dengan butir sumpah yang menyatakan "Saya akan menjaga, memelihara dan menghormati setiap hidup insani mulai dari ........ (saat pembuahan atau awal kehidupan). Lokakarya Ratifikasi Amandemen Deklarasi Geneva tentang sumpah dokter ini untuk dokter di Indonesia telah dilakukan oleh MKEK pada bulan Oktober 2000, dengan merekomendasikan mengganti kalimat saat pembuahan yang selama ini dipergunakan dalam angkat sumpah dokter Indonesia, menjadi awal kehidupan. Pertentangan tentang penggaritian kalimat pada butir ini muncul pada saat Muktamar IDI XXIV Tahun 2000, sehingga mengamanatkan PB IDI periode kepengurusan 2000-2003, untuk menyelenggarakan pertemuan Khusus untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Melalui Mukernas Etika Kedokteran Ill, Mei 2001, permasalahan ini masih belum dapat diselesaikan, sehingga diputuskan tetap memakai lafal sumpah sebagaimana yang tertera di bawah ini (sambil menunggu hasil referendum dari anggota IDI untuk memilih a). apakah pasal ini dihapuskan saja; b). Saya akan menjaga, memelihara dan menghormati setiap hidup insani ... mulai saat pembuahan; c). Saya akan menjaga, memelihara dan menghormati setiap kehidupan insani ...; d). Saya akan menjaga, memelihara dan menghormati setiap hidup insani ... mulai dari awal kehidupan).
Demi Allah saya bersumpah, bahwa :
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
2. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
3. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran.
4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprotesian saya.
5. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan dokter saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusian, sekalipun di ancam.
6. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikankewajiban terhadap pasien.
9. Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan danpernyataan terima kasih yang selayaknya.
10. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara sekandung.
11. Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
12. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
Pengambilan Sumpah Dokter :
Pengambilan sumpah dokter merupakan saat yang sangat penting artinya bagi seorang dokter, karena pada kesempatan ini ia berikrar bahwa dalam mengamalkan protesinya, ia akan selalu mendasarinya dengan kesanggupan yang telah diucapkannya sebagai sumpah. Oleh karena itu upacara pengambilan sumpah hendaknya dilaksanakan dalam suasana yang hikmat.
Suasana hikmat dapat diwujudkan bila upacara pengambilan sumpah dilaksanakan secara khusus, mendahului acara pelantikan dokter. Untuk yang beragama Islam, "Demi Allah saya bersumpah". Untuk penganut agama lain mengucapkan lafal yang diharuskan sesuai yang ditentukan oleh agama masing-masing. Sesudah itu lafal sumpah di ucapkan secara bersama-sama dan semua peserta pengambilan sumpah. Bagi mereka yang tidak mengucapkan sumpah, perkataan sumpah diganti dengan janji.
Yang wajib mengambil sumpah.
- Semua dokter Indonesia.
- Lulusan pendidikan dalam negeri maupun luar negeri wajib mengambil sumpah dokter.
- Mahasiswa asing yang belajar di Perguruan Tinggi Kedokteran Indonesia juga diharuskan mengambil sumpah Dokter Indonesia.
- Dokter aging tidak harus diambil sumpahnya karena tamu, ia menjadi tanggung jawab instansi yang memperkerjakannya. Dokter asing yang memberi pelayanan langsung kepada masyarakat Indonesia, harus tunduk pada KODEKI.
Penjelasan beberapa hal yang berkaitan dengan lafal sumpah dokter
Beberapa kata dalam sumpah dokter, yang memerlukan penjelasan antara lain:
a. Dalam pengertian "Guru-guru saya", termasuk juga mereka yang pernah menjadi guru/dosennya.
b. Dalam ikrar sumpah yang keempat, dikemukakan bahwa dalam menjalankan tugas seorang dokter akan mengutamakan kepentingan masyarakat.
Dalam pengertian ini tak berarti bahwa kepentingan individu pasien dikorbankan demi kepentingan masyarakat tetapi harus ada keseimbangan pertimbangan antara keduanya.
Contoh ekses yang dapat timbul :
Seorang dokter melakukan eksperimen pada pasiennya tanpa memperhatikan keselamatan pasien tersebut demi kepentingan masyarakat (Neurenberg trial).
Pelayanan KB massal kadang-kadang menyampingkan kepentingan individu demi kepentingan masyarakat luas. Dalam perang dibenarkan adanya korban prajurit demi kepentingan negara.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan.
Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran adalah yang sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia, kemampuan pasien, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama.
IImu kedokteran yang menyangkut segala pengetahuan dan ketrampilan yang telah diajarkan dan dimiliki harus dipelihara dan dipupuk, sesuai dengan fitrah dan kemampuan dokter tersebut. Etika umum dan etika kedokteran harus diamalkan dalam melaksanakan profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap sesama manusia, serta penampilan tingkah laku, tutur kata dan berbagai sifat lain yang terpuji, seimbang dengan martabat jabatan dokter.
Ijazah yang dimiliki seseorang, merupakan persyaratan untuk memperoleh ijin kerja sesuai profesinya (SID (Surat Ijin Dokter)/SP (Surat Penugasan)). Untuk melakukan pekerjaan profesi kedokteran, wajib dituruti peraturan perundang-undangan yang berlaku (SIP, yaitu: Surat Ijin Penugasan).
Dokter mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan saja terhadap manusia lain dan hukum, tetapi terpenting adalah terhadap keinsyafan bathinnya sendiri, dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pasien dan keluarganya akan menerima hasil usaha dari seorang dokter, kalau ia percaya akan keahlian dokter itu dan kesungguhannya, sehingga mereka tidak menganggap menjadi masalah bila usaha penyembuhan yang dilakukan gagal. Dengan demikian seorang dokter harus menginsyafi betapa beratnya tanggung jawab dokter. Perlu diperhatikan bahwa perbuatan setiap dokter, mempengaruhi pendapat orang banyak terhadap seluruh dokter.
Pelayanan yang diberikan kepada pasien yang dirawat hendaknya adalah seluruh kemampuan sang dokter dalam bidang ilmu pengetahuan dan perikemanusiaan.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan.
Seluruh Kode Etik Kedokteran Indonesia mengemukakan betapa luhur pekerjaan profesi dokter. Meskipun dalam melaksanakan pekerjaan profesi, dokter memperoleh imbalan, namun hal ini tidak dapat disamakan dengan usaha penjualan jasa lainnya.
Pelaksanaan profesi kedokteran tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi lebih didasari sikap perikemanusiaan dan mengutamakan kepentingan pasien.
1. Hal-hal berikut dilarang :
a. Menjual contoh obat (free sample) yang diterima cuma-cuma dari perusahaan farmasi.
b. Menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.
c. Mengijinkan penggunaan nama dan profesi sebagai dokter untuk kegiatan pelayanan kedokteran kepada orang yang tidak berhak, misalnya dengan namanya melindungi balai pengobatan yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah.
d. Melakukan tindakan kedokteran yang tidak perlu atau tanpa indikasi yang jelas, karena ingin menarik pembayaran yang lebih banyak.
e. Kunjungan ke rumah pasien atau kunjungan pasien ke kamar praktek hendaklah seperlunya saja supaya jangan menimbulkan kesan seolaholah dimaksudkan untuk memperbanyak imbalan jasa. Hal ini
perlu diperhatikan terutama oleh dokter perusahaan yang dibayar menurut banyaknya konsultasi.
f. Melakukan usaha untuk menarik perhatian umum dengan maksud supaya praktek lebih dikenal orang lain dan pendapatannya bertambah. Misalnya mempergunakan iklan atau mengizinkan orang lain mengumumkan namanya dan atau hasil pengobatannya dalam surat kabar atau media massa lain.
g. Meminta dahulu sebagian atau seluruh imbalan jasa perawatan/pengobatan, misalnya pada waktu akan diadakan pembedahan atau pertolongan obstetri.
h. Meminta tambahan honorarium untuk dokter-dokter ahli bedah/kebidanan kandungan, setelah diketahui kasus yang sedang ditangani ternyata sulit, dimana pasien yang bersangkutan berada pada situasi yang sulit.
i. Menjual nama dengan memasang papan praktek di suatu tempat padahal dokter yang bersangkutan tidak pernah atau jarang datang ke tempat tersebut, sedangkan yang menjalankan praktek sehari-harinya dokter lain bahkan orang yang tidak mempunyai keahlian yang sama dengan dokter yang namanya terbaca pada papan praktek.
j. Mengekploitasi dokter lain, dimana pembagian prosentasi imbalan jasa tidak adil.
k. Merujuk pasien ke tempat sejawat kelompoknya, walaupun di dekat tempat prakteknya ada sejawat lain yang mempunyai keahlian yang diperlukan.
2. Secara sendiri atau bersama menerapkan pengetahuan dan ketrampilan kedokteran dalam segala bentuk :
a. Merendahkan jabatan kalau dokter bekerjasama dengan orang atau badan yang tidak berhak melakukan praktek dokter. Dengan demikian ia melindungi perbuatan orang/badan yang bersangkutan.
b. Rujukan dokter umum ke dokter ahli harus ben ar-benar ditaati, yang disediakan memang benar pelayanan rujukan dokter spesialis, bukan pelayanan dokter umum atau dokter umum yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi.
3. Menerima imbalan selain dari pada jasa yang layak sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau kehendak pasien.
a. Seorang yang memberikan jasa keahlian dan tenaganya untuk keperluan orang lain, berhak menerima upah. Demikian pula seorang dokter, meskipun sifat hubungan dokter dan pasien tidak dapat
sepenuhnya disamakan dengan itu. Pada zaman purbakala, orang mempersembahkan korban pada sang
pengobat, sebagai penangkis setan, iblis yang menyebabkan sakit. Sekarangpun masih berlaku kebiasaan pasien memberikan sesuatu kepada dukunnya seperti ayam, beras ketan dan sebagainya. Jadi, imbalan jasa yang diberikan kepada dokter sebetulnya lanjutan dari pada kebiasaan tersebut.
Pertolongan dokter terutama didasarkan pada perikemanusiaan, diberikan tanpa perhitungan terlebih dahulu tentang untung ruginya. Setiap pasien harus diperlakukan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Meskipun demikian hasil dari pekerjaan itu hendaknya juga dapat memenuhi keperluan hid up sesuai kedudukan dokter dalam masyarakat. Perumahan yang layak yang berarti tempat hidup berkeluarga yang cukup higienis, serta tempat praktek harus mempunyai ruangan tempat menerima pasien dengan aman dan tenang.
Alat kedokteran seperlunya, kendaraan, pustaka sederhana, santapan rohani, kewajiban sosial dan lain-lain, semua itu memerlukan anggaran belanja. Jadi sudah selayaknya kalau dokter menerima imbalan jasa untuk pengabdian profesinya. Di kota besar seperti Jakarta, tempat praktek sering terpisah dari rumah dan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Karena sifat perbuatannya yang mulia maka uang yang diterimanya tidak diberi nama upah atau gaji, melainkan honorarium atau imbalan jasa. Besarnya imbalan tergantung pada beberapa faktor yaitu keadaan tempat, kemampuan pasien, lama dan sifatnya pertolongan yang diberikan dan sifat pelayanan umum atau spesialistik.
b. Pedoman dasar imbalan jasa dokter adalah sebagai berikut :
(1) Imbalan jasa dokter disesuaikan dengan kemampuan pasien. Kemampuan pasien dapat diketahui dengan bertanya langsung dengan mempertimbangkan kedudukan/mata pencaharian, rumah sakit dan kelas dimana pasien dirawat.
(2) Dari segi medik, imbalan jasa dokter ditetapkan dengan mengingat karya dan tanggung jawab dokter.
(3) Besarnya imbalan jasa dokter dikomunikasikan dengan jelas kepada pasien. Khususnya untuk tindakan yang diduga memerlukan biaya banyak, besarnya imbalan jasa dapat dikemukakan kepada pasien sebelum tindakan dilakukan, dengan mempertimbangkan keadaan pasien. Pemberitahuan ini harus dilakukan secara bijaksana agar tidak menimbulkan rasa cemas atau kebingungan pasien.
(4) Imbalan jasa dokter sifatnya tidak mutlak dan pada dasarnya tidak dapat diseragamkan. Imbalan jasa dapat diperingan atau sama sekali dibebaskan, misalnya:
- Jika ternyata bahwa biaya pengobatan seluruhnya terlalu besar untuk pasien.
- Karena penyulit-penyulit yang tidak terduga, biaya pengobatan jauh di luar perhitungan semula.
Dalam hal pasien dirawat di rumah sakit dan jika biaya pengobatan seluruhnya menjadi terlalu berat, maka imbalan jasa dapat diperingan atau dibebaskan sama sekali. Keringanan biaya rumah sakit diserahkan kepada kebijaksanaan pengelola rumah sakit.
(5) Bagi pasien yang mengalami musibah akibat kecelakaan, pertolongan pertama lebih diutamakan dari pada imbalan jasa.
(6) Seorang pasien dapat mengajukan permohonan untuk
- Keringanan imbalan jasa dokter langsung pada dokter yang merawat.
- Jika perlu dapat melalui Ikatan Dokter Indonesia setempat.
(7) Dalam hal ada ketidak serasian mengenai imbalan jasa dokter yang diajukan kepada Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia akan mendengarkan kedua belah pihak sebelum
menetapkan keputusannya.
(8) Imbalan dokter spesialis yang lebih besar bukan saja didasarkan atas kelebihan pengetahuan dan ketrampilan spesialis, melainkan juga atas kewajiban/keharusan spesialis menyediakan alat kedokteran khusus untuk menjalankan tugas spesialisasinya.
(9) Imbalan jasa dapat ditambah dengan biaya perjalanan jika dipanggil ke rumah pasien.
(10)Selanjutnya, jasa yang diberikan pada malam hari atau waktu libur dinilai lebih tinggi dari biaya konsultasi biasa. Imbalan jasa dokter, disesuaikan dengan keadaan, maka ketentuan imbalan jasa ini
dapat berubah. Tentu saja segala sesuatu mengenai uang jasa sama sekali tidak mutlak sifatnya. Dokter harus mempertimbangkan kemampuan keuangan pasien yang kurang atau tidak mampu, dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari pembayaran.
Dalam hal tersebut, ikutilah perasaan perikemanusiaan. Janganlah menuntut imbalan jasa yang lebih besar dari pada yang disanggupi pasien karena keuntungan dari penderitaan orang lain. Adalah tidak sesuai dengan martabat jabatan kalau seorang dokter menerima imbalan jasa yang besarnya jauh melebihi dari pada lazimnya. Menerima yang berlebih-lebih itu, sedikit banyak mengurangi wibawa dan kebebasan bertindak dokter tersebut terhadap pasien.
Lain halnya dan tidak bertentangan dengan etik, kalau seorang pasien sebagai kenang-kenangan dan tanda terima kasih dengan ikhlas memberikan sesuatu kepada dokternya.
(11) Tidak dibenarkan memberikan sebagian dari imbalan jasa kepada teman sejawatnya yang mengirimkan pasien untuk konsultasi (dichotomi) atau komisi untuk orang yang langsung ataupun tidak menjadi perantara dalam hubungannya dengan pasien. Misalnya pengusaha hotel, bidan, perawat dan sebagainya yang
mencarikan pasien (calo).
(12) lmbalan jasa dokter yang bertugas memelihara kesehatan para karyawan atau pekerja suatu perusahaan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu banyaknya karyawan dan keluarganya, frekuensi kunjungan kepada perusahaan tersebut dan sebagainya. Tidak jarang tidak mengunjungi perusahaan secara berkala, hanya menerima karyawan yang sakit ditempat prakteknya. Ada imbalan yang tetap besarnya (fixum) tiap bulan, ada yang menurut banyaknya konsultasi atau kombinasi dari kedua cara tersebut.
(13) lmbalan jasa pertolongan darurat dan pertolongan sederhana tidak diminta dari :
- Korban kecelakaan
- Teman sejawat termasuk dokter gigi dan apoteker serta keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
- Mahasiswa kedokteran, bidan dan perawat.
- Dan siapapun yang dikehendakinya.
Biaya-biaya bahan alat terbuang yang cukup mahal serta rawatan yang ditentukan kemudian setelah pertolongan selesai diberikan.
(14) Ancer-ancer imbalan jasa dokter ditentukan bersama oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan/Dinas Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia setempat.
Pasal 4
Setiap Dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Seorang dokter harus sadar bahwa pengetahuan dan ketrampilan prafesi yang dimilikinya adalah karena karunia dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu memuji diri adalah tidak patut.
a. Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri.
(1) Mempergunakan gelar kesarjanaan yang dimiliki tidak menurut undang-undang berarti melanggar Etik Kedokteran. PP No. 30 tahun 1990 mengatur tentang gelar akademik dan gelar profesi.
Setiap gelar dokter hendaknya mengindahkan peraturan ini. Apabila seorang dokter mempunyai lebih dari satu gelar, maka gelar yang dicantumkan pada papan praktek adalah yang sesuai dengan jasa atau prakteknya.
(2) Tidak dibenarkan seorang dokter mengadakan wawancara dengan pers atau menulis karangan dalam majalah/harian untuk memperkenalkan dan mempromosikan cara ia mengobati sesuatu penyakit, karena orang awam yang membacanya tidak dapat menilai kebenarannya.
(3) Satu-satunya tempat untuk mengumumkan sesuatu yang dianggap bermanfaat dalam bidang kedokteran ialah majalah kedokteran sehingga akan terbukti nanti apakah yang dikemukakan itu tahan kritik sesama ahli. Namun demikian, wawancara dan tulisan ilmiah yang berorientasi kepada masyarakat dan bersifat penyuluhan serta berdasarkan kejujuran ilmiah malahan sangat diharapkan dari seorang dokter.
(4) Masyarakat harus diberikan penerangan tentang berbagai kemungkinan yang tersedia dalam ilmu kedokteran, untuk mencegah pasien datang terlambat kepada dokter atau pergi ke tukang obat ("quacks").
Penerangan ini dapat dilakukan melalui ruangan (rubrik) kesehatan majalah/surat kabar harian.
Hampir setiap majalah mempunyai ruang mengenai kesehatan, biasanya ruangan ini diasuh oleh seorang dokter. Tujuan rubrik tersebut ialah memberi penerangan kepada masyarakat supaya mereka dapat membantu usaha pemerintah mempertinggi derajat kesehatan.
(5) Setiap dokter yang menulis karangan yang bersifat mendidik ini, berjasa terhadap masyarakat. Tulisan itu akan bertentangan dengan Etik Kedokteran kalau dengan sengaja dibubuhi berbagai cerita tentang hasil pengobatan sendiri, karena menjadi iklan buat diri sendiri.
(6) Kode Etik tidak mengijinkan dokter memberi kesempatan kepada orang awam untuk menghadiri pembedahan atau menyiarkan foto pembedahan dengan maksud memperkenalkan diri kepada khalayak
ramai. Supaya jangan menyalahi etik, laporan foto tersebut hendaklah dimaksudkan sebagai cara memberikan penerangan kepada rakyat, bukan sebagai iklan dokter bedahnya.
(7) Sedapat-dapatnya dokter mencegah orang lain untuk menyiarkan nama dan hasil pengobatannya dalam surat kabar.
b. Dibenarkan Etik Kedokteran :
(1) Memasang iklan yang wajar dalam harian pada waktu praktek dimulai, maksimal ukurannya dua kolom x 10 cm. Iklan dapat dipasang 3-4 kali pada permulaan praktek dan satu kali sewaktu praktek ditutup karena cuti dan satu kali sewaktu praktek dibuka kembali. Teks iklan ini sama dengan yang tercantum pada papan nama ditambah dengan alamat rumah dan telepon.
(2) Menggantungkan atau memancangkan papan nama di depan ruangan/tempat praktek. Papan nama berukuran 40x60 cm, tidak boleh melebihi 60x90 cm, cat putih dengan huruf hitam. Nama gelar yang sah dan jenis pelayanan sesuai dengan surat ijin praktek dan waktu praktek. Papan tersebut tidak boleh dihiasi warna atau penerangan yang bersifat iklan.
Seandainya tempat praktek berlainan dengan tempat tinggal, dapat ditambah alamat rumah dan nomor telepon. Tidak dibenarkan dicantumkan di bawah nama, bermacam-macam keterangan seperti: "praktek umum terutama untuk anak-anak dan wanita, atau "tersedia pemeriksaan dan pengobatan sinar", dan sebagainya. Segala penjelasan seperti itu bersifat iklan dan tidak perlu, karena pada kata dokter tersimpul bahwa pemilik gelar itu ialah ahli dalam ilmu kedokteran yang cukup berpengetahuan untuk memberikan pengobatan atau nasehat kepada pasien penyakit apapun (lihat bagian konsultasi).
Hanya dalam hal-hal tertentu saja, papan nama seseorang dokter dapat dipasang di persimpangan jalan yang menuju ke rumahnya dengan gambar tanda panah menunjukkan ke tempat praktek, dengan alasan untuk kemudahan mencari alamatnya. Kamar tunggu jangan berlebih-lebihan, boleh disediakan majalah, akan tetapi tidak perlu dengan minuman untuk menarik seperti tukang cukur menyediakan rokok dan sirup.
Adalah suatu keinginan yang wajar apabila seorang dokter berusaha untuk hidup layak, tetapi hendaknya tetap menjaga dan mempertahankan martabatnya dalam menjalankan profesinya.(3) Kertas resep, seperti halnya dengan papan pengenal praktek (papan nama) yang dibenarkan oleh Kode Etik Kedokteran ialah :
Ukuran maksimum 1/4 folio (10,5 x 16,5 cm) Mencantumkan nama gelar yang sah, jenis pelayanan sesuai SIP, No. SID/SP, alamat praktek, nomor telepon dan waktu praktek.
Seandainya tempat praktek berlainan dengan tempat tinggal dapat ditambah alamat rumah dan nomor teleponnya.
Juga tidak dibenarkan mencantumkan keterangan lain terutama yang bersifat iklan dan tidak ada hubungannya dengan jenis pelayanan dokter tersebut.
Ketentuan-ketentuan pada kertas resep juga berlaku untuk surat keterangan dokter, amplop dokter, kwitansi dokter dan lain sebagainya.Perlu dijaga supaya kertas resep dan surat keterangan dokter jangan sampai digunakan orang lain, sebagaimana kadang-kadang terjadi. Kertas resep para dokter kadang-kadang mudah ditiru, sehingga perlu pengamanan agar kita tidak terlibat dalam pemberian resep dan keterangan yang palsu yang dilakukan orang lain.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Penjelasan dan pedoman pelaksanaannya.
Seorang dokter berusaha menyembuhkan pasien dari penyakitnya dan memulihkan kembali kesehatannya. Hubungan fisik dan psikis/mental seseorang adalah erat. Oleh karena itu, cara menyembuhkan penyakit merupakan variasi dari pokok-pokok usaha dibawah ini yang dilaksanakan secara simultan (berbarengan) .
Pokok-pokok usaha itu adalah :
a. Menimbulkan dan mempertebal kepercayaan dan keyakinan pasien bahwa ia dapat sembuh. Mengalihkan perhatiannya ke hal yang bersifat memberi harapan. Optimisme perlu dipelihara.
b. Mengusahakan tindakan yang digolongkan dalam usaha peningkatan kesehatan berdasarkan kenyataan bawa badan manusia mempunyai kekuatan sendiri untuk menangkis dan menyembuhkan penyakit.
Oleh karena itu, perlu diciptakan dan dipelihara suasana dan keadaan yang menunjang kekuatan tersebut.
c. Menggunakan farmaka dan tindakan medis lain seperti pembedahan, penyinaran sinar X, sinar laser, dan sebagainya.
Obat yang relatif baru seperti antibiotika, analgetik steroid, dan lain-lain cenderung mendorong dokter untuk menggunakan terapi kausal saja dengan hanya memberikan obat paten. Dengan demikian kurang memperhatikan usaha tersebut pada butir a dan b di atas yang sebenarnya tidak boleh ditinggalkan.
Memberikan obat perangsang atau sebaliknya hipnotik atau analgetik pada umumnya dapat melemahkan daya tahan pasien. Oleh karena itu, hanya diberikan atas indikasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Harus dijaga
supaya seorang pasien jangan menjadi pencandu obat.
Keadaan psikis/mental pasien harus diperhatikan sehingga penjelasan tentang penyakit pasien, harus dapat menimbulkan rasa percaya diri bahwa penyakitnya dapat sembuh atau gejala penyakit dapat berkurang.
Kepercayaan itu dapat berkurang bila uraian tentang penyakit misalnya, keganasan, penyakit jantung, penyakit tekanan darah tinggi dan lain-lain tidak disertai uraian tentang penyembuhannya. Penjelasan tentang penyakit pasien, tidak selalu perlu diberikan, tetapi bila diberikan harus diberitahukan dengan kadar yang sesuai dengan keadaan psikis mental pasien. Penjelasan harus menumbuhkan/menunjang kepercayaan diri pasien bahwa ia dapat sembuh atau tidak akan bertambah parah.
Selanjutnya harus diingat bahwa "KATA YANG TEPAT DIBERIKAN PADA WAKTU YANG TEPAT PULA" merupakan salah satu obat yang mujarab.
Pasal 6
Setiap dokter senantiasa berhati-hati dalam mengumuinkan dan menerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya serta hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Umumnya seorang dokter yang berpraktek tidak berkesempatan menguji khasiat suatu obat (baru). Sebab itu, lebih aman mempergunakan obat dan cara pengobatan yang telah diakui manfaatnya oleh dunia kedokteran.
Tentang berbagai penemuan baru, hendaknya dipelajari lebih dahulu segala pendapat dari pusat ilmu kedokteran tentang segala sifatnya. Kode etik melarang mempergunakan usaha dari hasil orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Menyiarkan karangan orang lain seolah-olah pendapat sendiri sangat bertentangan dengan etik pengarang. Ini namanya plagiat dan dilarang. Pengumuman/penyebarluasan suatu penemuan juga harus berhati-hati, terutama yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
Contoh:
Pengumuman seorang pakar tentang perilaku seksual remaja dan suami yang diumumkan di media massa telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Hampir setiap hari kepada seorang dokter diminta keterangan tertulis
mengenai bermacam-macam hal antara lain, tentang :
a. Cuti sakit
b. Kelahiran dan kematian
c. Cacat
d. Penyakit menular
e. Visum et repertum (pro justicia)
f. Keterangan kesehatan untuk asuransi jiwa, untuk lama ran kerja, untuk
kawin dan sebagainya.
g. lain-lain.
Hal yang perlu diperhatikan oleh seorang dokter pada waktu memberikan :
a. Keterangan cuti sakit dan keterangan tentang tingkat cacat.
Waspadalah terhadap sandiwara ("simulasi") melebih-lebihkan ("aggravi") mengenai sakit atau kecelakaan kerja. Berikan pendapat yang objektif dan legis serta dapat diuji kebenarannya.
b. Keterangan kelahiran dan kematian Agar keterangan mengenai kelahiran/kematian diisi sesuai keadaan yang sebenarnya. Seorang dokter sesuai dengan Undang-Undang Wabah berkewajiban melaporkan adanya penyakit menular walaupun kadang-kadang keluarga tidak menyukainya.
c. Visum et repertum (pro justicia) Kepolisian dan kejaksaan sering meminta visum et repertum kepada seorang dokter dalam hal perkara penganiayaan dan pembunuhan sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Visum agar dibuatkan dengan teliti dan mudah dipahami berdasarkan apa yang dilihat. Selain itu visum et repertum haruslah objektif tanpa pengaruh dari yang berkepentingan dalam perkara itu.
d. Laporan pengujian kesehatan untuk asuransi jiwa.
(1) laporan dokter harus objektif jangan dipengaruhi oleh keinginan dari agen perusahaan asuransi yang bersangkutan atau calon yang bersangkutan.
(2) Sebaiknya jangan menguji kesehatan seorang calon yang masih atau pernah menjadi pasiennya sendiri, untuk menghindarkan timbulnya kesukaran dalam mempertahankan rahasia jabatan.
(3) Jangan diberitahukan kepada calon tentang kesimpulan dari hasil pemeriksaan medik. Serahkan hal itu kepada perusahaan asuransi jiwa itu sendiri.
(4) Penyerahan informasi medik dari peserta asuransi jiwa dapat diserahkan kepada perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan bila ada persetujuan tertulis dari peserta asuransi yang bersangkutan.
e. Keterangan mengenai kebaikan bahan makanan paten dan khasiat suatu obat. Seorang dokter boleh memberitahukan keterangan tentang bahan makanan paten dan kasiat suatu obat kalau segala syarat ilmiah sudah dipenuhi. Pemeriksaan dan keterangan mengenai suatu bahan makanan atau obat, sebaiknya diserahkan kepada lembaga pemerintah.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan alas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga ke percayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makluk insani.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Segala perbuatan dokter terhadap pasien bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiannya. Dengan sendirinya ia harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia.
Kadang-kadang dokter terpaksa harus melakukan operasi atau cara pengobatan tertentu yang membahayakan. Hal ini dapat dilakukan asal tindakan ini diambil setelah mempertimbangkan masak-masak bahwa tidak ada jalan/cara lain untuk menyelamatkan jiwa selain pembedahan. Sebelum operasi dimulai, perlu dibuat persetujuan tertulis lebih dahulu atau dari keluarga (informed consent). Sesuai peraturan Menteri Kesehatan tentang informed consent, batas umur yang dapat memberi informed consent adalah 18 tahun.
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan seseorang yang pada suatu waktu akan menemui ajalnya. Tidak seorang dokterpun, betapapun pintarnya akan dapat mencegahnya.
Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berpikir dan mengumpulkan pengalamannya, sehingga dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua usaha tersebut merupakan tugas seorang dokter. la harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa baik menurut agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan :
a. Mengugurkan kandungan (abortus provocatus) b
b. Mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Sudah banyak buah pikiran dan pendapat tentang abortus provocatus yang diumumkan oleh berbagai ahli dalam berbagai macam bidang seperti agama, kedokteran, sosial, hukum, eugenetika dan sebagainya. Ikatan Dokter Indonesia sendiri telah mengadakan simposium tentang abortus yang meninjau masalah dari berbagai sudut.
Pada umumnya, setiap negara mempunyai undang-undang yang melarang abortus provokatus (pengguguran kandungan). Abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai pengobatan, apabila merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maul (abortus provocatus therapeuticus). Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, diperjelas tentang hal ini.
Indikasi medik ini dapat berubah-ubah menu rut perkembangan ilmu kedokteran. Beberapa penyakit seperti hipertensi, tuberkulosis dan sebagainya tidak lagi dijadikan indikasi untuk melakukan abortus.
Sebaliknya ada pula negara yang membenarkan indikasi sosial, humaniter dan eugenetik, seperti misalnya di Swedia dan Swiss yaitu bukan semata-mata untuk menolong ibu, melainkan juga mempertimbangkan demi keselamatan anak, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Keputusan untuk melakukan abortus provocatus therapeuticus harus dibuat oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dari wanita hamil yang bersangkutan, suaminya dan atau keluarganya yang terdekat. Hendaknya dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana untuk melakukannya.
Menurut penyelidikan, abortus provocatus paling sering terjadi pada golongan wanita bersuami, yang telah sering melahirkan, keadaan sosial dan keadaan ekonomi rendah. Ada harapan abortus provocatus di kalangan wanita bersuami ini akan berkurang jika program keluarga berencana sudah dipraktekkan dengan tertib. Setiap dokter perlu berperan serta untuk membantu suksesnya program keluarga berencana ini.
Mengenai euthanasia, ternyata dapat digunakan dalam tiga arti, yaitu :
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang beriman dengan nama Allah di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maul) penderitaan pasien diperingan dengan memberi obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Pada suatu saat seorang dokter mungkin menghadapi penderitaan yang tidak tertahankan, misalnya karena kanker dalam keadaan yang menyedihkan, kurus kering bagaikan tulang di bungkus kulit, menyebarkan bau busuk, menjerit-jerit kesakitan dan sebagainya. Orang yang berpendirian pro euthanasia dalam butir c, akan mengajukan supaya pasien di beri saja morphin dalam dosis lethal, supaya ia bebas dari penderitaan yang berat itu. Di beberapa negara Eropa dan Amerika sudah banyak terdengar suara yang pro-euthanasia. Mereka mengadakan gerakan yang mengukuhkannya dalam undang-undang.
Sebaliknya mereka yang kontra euthanasia berpendirian bahwa tindakan demikian sama dengan pembunuhan.
Kita di Indonesia sebagai umat yang beragama dan berfalsafah/berazaskan Pancasila percaya pada kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang diciptakannya serta penderitaan yang dibebankan kepada makhluknya mengandung makna dan maksud tertentu. Dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Demikian pula percobaan pada binatang, kalau perlu dikorbankan, harus dihindari sedapat mungkin penderitaan sakitnya. Percobaan pada binatang harus mengikuti petunjuk dalam kode etik penelitian Deklarasi Helsinki.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Mengenai pengutamaan kepentingan masyarakat (lihat penjelasan pasal 1). Kita semua sebagai warga negara Republik Indonesia harus menyadari tanggung jawab kita untuk mewujudkan secara nyata tujuan nasional yang disebut dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu tujuan tersebut adalah memajukan kesejahteraan bangsa. Memajukan kesejahteraan, berarti memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup yang meliputi sandang, papan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan memperoleh nafkah yang layak, ketentraman hidup serta, bebas dari tekanan.
Derajat kesehatan rakyat dipengaruhi oleh faktor-faktor keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan (fisik, sosial, ekonomi dan budaya). Faktor perilaku merupakan faktor terbesar yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan. Sedangkan lingkungan adalah faktor kedua terbesar, oleh karena itu upaya meningkatkan derajat kesehatan rakyat menangani kedua faktor tersebut, dan dua faktor lainnya, yang dilaksanakan dalam sistem kesehatan nasional.
Kegiatan peningkatan derajat kesehatan rakyat ini dilakukan melalui pembangunan nasional dibidang kesehatan yang dilaksanakan melalui, baik pembangunan lima tahunan maupun pembangunan jangka panjang.
Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan tingkat kesehatan masyarakat yang optimal. Dari uraian diatas, tampak bahwa tanggung jawab untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal berada ditangan seluruh masyarakat Indonesia, yaitu pemerintah, swasta maupun masyarakat pada umumnya.
Dokter adalah tenaga profesi yang mempunyai kemampuan untuk mengerakkan potensi yang ada bagi terwujudnya tujuan kesehatan individu, tetapi juga berperan dalam intervensi terhadap berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap derajat kesehatan sebagaimana telah disebutkan terdahulu.
Pelayanan yang diberikan hendaknya bersifat menyeluruh, mencakup aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam aspek promotif, seorang dokter dapat bertindak sebagai pengerak upaya masyarakat yang dapat mendukung terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang opti mal, seperti: peningkatan gizi masyarakat,penyehatan lingkungan hidup, upaya peningkatan pendapatan keluarga, dan sebagainya.
Untuk itu kegiatan penyuluhan yang mencakup unsur-unsur informasi komunikasi dan edukasi merupakan cara pendekatan yang dapat digunakan, khususnya dalam proses pemecahan masalah kesehatan masyarakat yang
melibatkan secara aktif masyarakat.
Dalam bidang preventif, kuratif dan rehabilitatif, setiap dokter harus selalu berusaha menyegarkan pengetahuan tentang perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan dan kedokteran serta penerapannya yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat maupun sesuai kebijaksanaan yang berlaku.
Dokter merupakan tenaga ahli yang dapat membantu masyarakat melalui pemberian pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat pada tingkat kontak profesional pertama sampai dengan pada tingkat rujukannya lebih lanjut (pelayanan rujukan antara lain melalui pelayanan AS).
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan, maka makin disadari bahwa suatu masalah di bidang kesehatan tidak dapat ditangani oleh satu disiplin ilmu saja, bahkan di bidang kedokteran sendiri muncul berbagai percabangan ilmu yang memerlukan jenis kemampuan profesi tersendiri.
Oleh karena itu di bidang pelayanan kesehatan diperlukan berbagai jenis tenaga kesehatan yang bekerja sama dalam tim untuk dapat mewujudkan derajat kesehatan rakyat yang optimal. Jika mengamati berbagai faktor kesehatan, sebagaimana telah dikemukakan dalam penjelasan pasal 8, maka selain antara berbagai jenis tenaga kesehatan, kerjasama ini perlu pula dilakukan dengan tenaga lain diluar disiplin kedokteran/kesehatan.
Dokter dalam melaksanakan tugas profesi dapat melaksanakan perannya secara perorangan, kelompok dalam suatu tim ataupun sebagai pimpinan suatu unit kerja atau tim.
Beberapa hal di bawah ini perlu memperoleh perhatian agar dapat diwujudkan kerjasama yang harmonis.
a. Dalam pelaksanaan peran perorangan Seorang dokter yang melaksanakan praktek dokter swasta perorangan akan memerlukan kerjasama dengan perawat pembantunya (bila ada), apoteker maupun teman sejawat lain/ahli kesehatan lainnya. Teguran kepada perawat yang membantu praktek hendaknya tidak dilakukan di depan pasien. Peringatan kepada apoteker bila diperlukan, jangan dilakukan melalui pasien tetapi harus langsung baik melalui surat, telepon ataupun pribadi. Hal sebaliknya, juga berlaku bagi apoteker,
kesalahan penulisan resep hendaknya tidak dibicarakan dengan pasien, tetapi langsung antara apoteker dan dokter.
Dalam melakukan konsultasi hendaknya ditempuh dengan cara yang
benar yaitu mencakup :
- Permintaan konsultasi yang jelas.
- Disertai dengan informasi tentang pasien yang jelas pula, termasuk
riwayat pemeriksaan, tindakan dan pengobatan yang diberikan.
Demikian pula dokter yang menerima konsultasi, harus menjawab dengan
benar dan jelas isi maupun tulisannya. Seorang dokter hendaknya tidak
membuka praktek di beberapa tempat dengan meninggalkan resep
kosong yang telah ditanda tangani, sehingga perawat/orang lain dapat
menggantikan dokter menulis resep sekehendak mereka yang dapat
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan.
Praktek semacam ini merupakan penyelewengan dari ketentuan
pelaksanaan kegiatan di bidang kesehatan yang seharusnya ditangani
oleh profesi kedokteran.
b. Dalam peranannya sebagai pimpinan tim/unit kerja.
Sebagai pimpinan tim/unit kerja seorang dokter merupakan titik sentral dan
koordinator yang harus bertindak secara bijaksana agar dapat
menggerakkan potensi yang ada untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Sebagai pimpinan tim, tiap anggota tim harus memperoleh perhatian dan
penghargaan yang sama dari dirinya.
Instruksi hendaknya diberikan secara jelas dan tertulis supaya tidak
menimbulkan salah pengertian.
Dalam bekerja dengan masyarakat, dokter perlu melakukan pendekatan
kepada tokoh masyarakat untuk menggerakkan mereka berpartisipasi aktif
dalam berbagai kegiatan pembangunan kesehatan.
Dokter dalam peranan ini tidak hanya dituntut mampu memberi bimbingan
di bidang medik/kesehatan, tetapi sebagai sarjana ia akan dimintai
nasehat dan bimbingan pula dibidang kehidupan lain. Oleh karena itu,
dokter yang bertugas di daerah dan ekonomi masyarakat dan bersedia
bekerjasama dengan masyarakat.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka alas
persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
a. Sikap
Bersikap tulus ikhlas sangat diperlukan dalam menolong pasien karena
sikap ini memberikan ketenangan dan kejernihan dalam berfikir dan teliti
dalam bertindak. Sikap ini juga berpengaruh menenangkan bagi pasien
yang ditolong.
Sikap tulus ikhlas disertai dengan keramah tamahan dalam menyambut
pasien, akan memberi kesan yang baik terhadap pasien, sehingga ia akan
secara sukarela dan spontan menyerahkan dirinya untuk diperiksa oleh
dokter dan akan bersedia akan menjawab secara terbuka hal-hal yang
perlu diketahui oleh dokter dalam menunjang penegakan diagnosa dan
terapi yang tepat.
31
Sikap ikhlas didasari sikap profesional, akan menegakkan wibawa dokter
dalam menghadapi ataupun melakukan persuasi agar pasien bersikap
kooperatif terhadap tindakan pemeriksaan maupun pengobatan yang
diberikan oleh dokter.
Sikap profesional dalam hal ini berarti mempertahankan mutu tindakan
berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan profesional yang dimilikinya.
Sikap ikhlas juga perlu disertai dengan tindakan yang selalu
memperhatikan tata sopan santun dan tata susila yang berlaku di
masyarakat tempat dokter yang bersangkutan berpraktek atau
melaksanakan tugas profesionalnya. Hal ini terutama perlu diperhatikan
dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasien lawan
jenis.
Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan, maka dalam
melakukan pemeriksaan perlu ada orang ketiga, yakni petugas kesehatan
pembantu praktek atau salah seorang keluarga pasien.
Telah ada kasus "pemerasan" (blackmailing) yang terjadi, bahkan
berakibat fatal bagi dokter.
Tindakan pencegahan ini diperlukan untuk menghindari diri. dari tuduhan
melakukan sesuatu yang tidak senonoh. Tindakan ini sifatnya wajib dalam
rangka menghadapi risiko jabatan yang mungkin timbul dengan akibat fatal
dan dapat menurunkan martabat korps dokter seluruhnya.
Meskipun demikian dalam kasus tertentu misalnya psikoterapi. Orang
ketiga dapat menganggu jalannya pemeriksaan dan pengobatan, bahkan
dianggap melangar etik kedokteran, sehingga untuk kasus-kasus psikiatri,
tindakan pencegahan sebagaimana disebutkan di atas tidak diwajibkan.
Keikhlasan dalam memberikan pertolongan kepada pasien diperlihatkan
pula pada intensitas perhatian dokter. Oleh karena itu tidaklah benar
dokter melakukan pemeriksaan sekaligus pada saat yang sama lebih dari
seorang pasien. Hal ini selain mengganggu "privacy" pasien, juga akan
mengurangi ketelitian pemeriksaan.
Perhatian terhadap pasien hendaknya menyeluruh terhadap pribadi
seseorang manusia yang selain mempunyai unsur jasmani ia juga memiliki
unsur spiritual, mental dan sosial (Iingkungan). Pandangan dokter
terhadap pasien sebagai manusia seutuhnya akan membantu menemukan
latar belakang kelainan kesehatan pasien secara lebih tepat. Diagnosa
yang tepat akan mengarah pada pengobatan/tindakan yang tepat pula.
Pengobatan dalam hal ini tidak hanya berorientasi pada pemberian obat
(drug) saja, tetapi juga bantuan non fisik yang diperlukan berdasarkan
pengetahuan dokter tentang latar belakang penyakit sebagaimana telah
disebutkan diatas.
32
b. Rujukan pasien
IImu kedokteran sebagaimana ilmu pengetahuan umumnya, dalam abad
ke-21 ini telah maju dengan pesat. Penemuan-penemuan baru dalam
bidang diagnostik dan terapi bertubi-tubi diumumkan.
Perkembangan yang mengagumkan ini luar biasa cepatnya. Tidak
mengherankan kalau segala sesuatu itu tidak dapat diikuti oleh seorang
dokter umum yang siang dan malam sibuk dengan pekerjaannya dan
persoalannya. Sebab itu lahirlah berturut-turut berbagai spesialisasi dan
sub spesialisasi.
Dokter umum harus mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang tersedia
dalam spesialisasi dan subspesialisasi itu, meskipun tidak akan dapat
menguasai dan mempraktekkannya. Sebagai kelakar pernah dikatakan :
“A general practitioner is someone, who knows something about
everything, a specialist is someone who knows everything about
something", yang berarti kira-kira : seorang dokter umum adalah dokter
yang mengetahui serba sedikit tentang segala sesuatu dan seorang dokter
spesialis mengetahui seluruhnya dari sesuatu hal saja".
Seorang dokter umum atau spesialis harus benar-benar sadar akan batas
pengetahuan dan kemampuannya. Pada suatu ketika ia akan berada di
perbatasan itu, maka pada saat itulah dokter yang ahli dalam penyakit
yang sedang dihadapinya. Sebaliknya di kota-kota besar dimana terdapat
aneka ragam spesialis berpraktek, seorang dokter umum harus berusaha
jangan menjadi perantara saja antara pasien dengan dokter spesialis.
Dengan begitu, tibalah kita pada seal konsultasi dan hubungan antara
dokter umum dan dokter spesialis.
c. Konsultasi
Soal konsultasi ialah soal yang sangat penting dalam hubungan antara
kolega/sejawat. Pada kesempatan tersebut tampak kepribadian dan budi
seorang dan kesetiaannya, serta sifat persaudaraannya terhadap teman
sejawat. Tidak jarang pada waktu itu terjadi kesalah-pahaman dan timbul
perasaan tersinggung.
Untuk memperkecil kemungkinan tersebut baiklah diperhatikan hal-hal
berikut :
(1) Sebagaimana diterangkan di atas, usul untuk mengadakan konsultasi
sebaiknya datang dari dokter yang pertama-tama menangani
penyakitnya, terdorong oleh keinsyafan atas batas kemampuan atau
karena merasa pasien atau keluarganya menginginkan konsultasi.
Untuk dapat merasakan yang demikian diperlukan pengetahuan
psikologik tentang mentalitas pasien yang dihadapi, sedikitnya ban yak
ketidak puasan timbul kalau pasien sendiri menghendaki dan
33
mengusulkan konsultasi. Bagaimanapun juga adalah hak pasien,
untuk memilih sendiri konsulen yang disukai.
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pemeriksaan oleh konsulen di rumah pasien sebaliknya dihadiri oleh
dokter pertama yang terlebih dahulu memberikan keterangan dan
pendapatnya mengenai pasien.
Sesudah melakuan pemeriksaan, kedua dokter tersebut mencari
tempat tersendiri untuk pertukaran pendapat dan musyawarah.
Konsulen melanggar ketentuan etik kalau secara terbuka ataupun
dengan isyarat menyalahkan apa yang telah diperbuat dokter pertama.
Perselisihan pendapat harus dikemukakan dengan secara demikian
sehingga tidak menguncangkan kepercayaan pasien terhadap dokter
pertamanya.
Yang lebih banyak terjadi, ialah seorang pasien dikirim kepada
spesialis di tempat prakteknya untuk konsultasi. Pengiriman seperti itu
harus disertai surat dokter dalam sampul tertutup yang berisi
keterangan yang cukup mengenai pasien. Tidak dibenarkan
menyampaikan keterangan lisan melalui pasien sendiri.
Dokter spesialis konsulen mengirimkan kembali pasien disertai
pendapatnya secara tertulis dalam sampul tertutup pula, kecuali jikalau
telah disepakati bahwa konsulen akan meneruskan pengobatannya
sampai sembuh.
Tidak dibenarkan konsulen memberitahukan kepada pasien secara
langsung ataupun tidak tentang kekeliruan yang dibuat dokter
pertama. Segala pendapat dan nasihat disampaikan secara tertulis
dan terserah kepada dokter pengobat untuk membicarakan dengan
pasien.
Konsulen menetapkan dan menagih sendiri imbalan jasanya, kalau
perlu setelah bermusyawarah dengan dokter pertama.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Kehidupan manusia selain menyangkut
aspek jasmani, juga
menyangkut aspek mental, spiritual dan sosial. Nilai dan norma yang dianut
serta kepercayaan yang diyakini menentukan reaksi/tanggapan seseorang
terhadap suatu kejadian/ungkapan.
Dokter dalam menghadapi pasien perlu mengetahui/memahami latar belakang
kehidupan pasien itu.
34
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dapat dibuktikan
bahwa nilai agama serta ikatan keluarga sangat kuat di masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, hal ini perlu dihormati oleh dokter.
Dokter berkewajiban atau wajib menghormati agama dan kepercayaan
pasien serta adat istiadat yang dihormati masyarakat setempat, khususnya
yang tidak bertentangan dengan ketentuan agama, perundang-undangan yang
berlaku dan ketentuan di bidang kesehatan.
Adanya peraturan tentang waktu kunjungan bagi pasien membatasi
keluarga pasien untuk selalu mendampingi pasien.
Namun demikian bila ada alasan yag kuat dari pasien agar
keluarganya harus mendampinginya, maka permintaan tersebut hendaklah
dapat diluluskan.
Adakalanya pula pasien menghendaki orang lain, misalnya seorang
penasehat dalam beribadah yang mungkin secara psikis dapat menolongnya.
Dalam soal ini janganlah dihalangi-halangi bahkan dibantu.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Kewajiban memegang teguh rahasia jabatan merupakan isyarat yang
senantiasa dipenuhi, untuk menciptakan suasana percaya mempercayai yang
mutlak di perlukan dalam hubungan dokter pasien.
Soal ini dibahas secara mendalam disini dan isinya hampir seluruhnya
diambil dari uraian anggota "Dewan Pelindung Susila Kedokteran" Prof.
Sutomo Tjokronegoro.
Sejak dahulu kala terdapat beberapa jabatan tertentu yang
mewajibkan para pejabatnya untuk merahasiakan segala sesuatu yang
bersangkutan dengan pekerjaan mereka. Kewajiban tersebut berdasarkan
baik pada kepentingan umum maupun kepentingan perorangan. Termasuk ke
dalam golongan pejabat tertentu ialah pejabat tinggi negara, pejabat militer,
pendeta, pengacara dan beberapa pejabat dalam dunia kedokteran seperti
dokter, dokter gigi, ahli farmasi, bidan dan perawat.
Pada umumnya, kewajiban seorang pejabat untuk merahasiakan hal-
hal yang diketahuinya adalah karena tanggung jawabnya mengharuskannya
demikian. Untuk itu, setiap pelantikan dalam jabatan senantiasa dilakukan
pengambilan sumpah antara lain berintikan kesanggupan untuk menyimpan
rahasia jabatan, karena kebocoran rahasia jabatan dapat mengakibatkan
gangguan stabilitas ataupun kerugian dipihak lain, yang dapat dituntut dalam
pengadilan militer dan sebagainya tergantung dari peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya.
35
Kebocoran rahasia dalam jabatan dokter dapat berakibat kerugian
pihak berkepentingan dan mungkin dapat berakibat tuntutan kepengadilan,
terlebih dalam masyarakat yang telah maju, menyebabkan seorang kehilangan
pekerjaannya.
Tinjauan lebih lanjut tentang rahasia jabatan dokter
Sudah sejak jaman kuno, norma-norma kesusilaan yang menjadi
pegangan para dokter ialah sumpah yang diciptakan oleh "Bapak IImu
Kedokteran" Hippocrates (469 - 377 S.M).
Sumpah Hippocrates yang umurnya telah berabad-abad itu, maknanya
tersimpul dalam "segala sesuatu yang kulihat dan kudengar dalam melakukan
praktekku, akan kusimpan sebagai rahasia".
Untuk memahami soal rahasia jabatan dan Sumpah Dokter yang akan
diuraikan lebih lanjut sebaiknya dibaca Sumpah Hippocrates selengkapnya
yang telah dialih-bahasakan ke dalam bahasa Inggris.
Berikut ini dicantumkan hanya salah satu pasal tentang rahasia
jabatan Dokter yang bunyinya sebagai berikut: "Saya tidak akan menyebarkan
segala sesuatu yang mungkin saya dengar atau yang mungkin saya lihat
dalam kehidupan pasien-pasien saya, baik waktu menjalankan tugas jabatan
saya maupun di luar waktu menjalankan tugas jabatan itu. Semua itu akan
saya pelihara sebagai rahasia".
Norma-norma kesusilaan yang bersumber pad a Sumpah Hippocrates
tersebut diatas, kemudian dianggap tidak mencukupi karena banyaknya
kelakukan dan tabiat perseorangan, yang sudah barang tentu sangat
berbedabed a dan tidak selalu baik.
Oleh karena itu, di berbagai negeri ditegakkan norma-norma hukum. Norma-
norma hukum itu pada umumnya disusun untuk memperkokoh kedudukan
rahasia jabatan sehingga dapat menjamin kepentingan masyarakat.
Setiap anggota masyarakat, di negeri manapun juga menghendaki
agar mempunyai derajat kesehatan yang baik. Derajat kesehatan yang baik
dapat tercapai jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan bebas dapat
mengunjungi dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan
tentang penderitaannya, baik jasmani maupun rohani agar mendapat
pengobatan yang sesuai. Rangkaian tersebut di atas hanya mungkin terjadi,
bila setiap pasien di atas hanya menaruh kepercayaan sepenuhya kepada
dokter yang memeriksanya, tanpa perasaan takut atau khawatir, bahwa dokter
tersebut akan memberitahukan hal-hal mengenai penyakit kepada orang lain.
Jika kepercayaan itu tidak ada, maka tidak mustahil bahwa orang yang
sakit akan segan pergi ke dokter, karena khawatir bahwa penyakitnya yang
mungkin sama sekali mereka sembunyikan, kelak diketahui oleh umum.
Perasaan takut dan khawatir itu dapat menjadi salah satu penyebab penting
dari tingginya angka sakit di masyarakat. Oleh karena itu, rahasia jabatan
36
dokter berarti sendi utama bagi tercapainya keadaan sehat bagi setiap
anggota masyarakat. Berdasarkan pikiran tersebut di alas, norma-norma
kesusilaan yang telah ada dikuatkan dengan norma-norma hukum, yang
kemudian dicantumkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Salah satu diantara peraturan itu diwujudkan dalam sumpah atau janji dokter,
yang harus diucapkan oleh setiap mahasiswa kedokteran waktu ia lulus ujian
dokternya dan menerima ijazah. Karena sumpah Hippocrates telah
mengandung norma kesusilaan yang selayaknya dan yang bermutu tinggi,
maka mudahlah dipahami bahwa dengan sendirinya maknanya dimasukkan ke
dalam lafal sumpah dokter atau janji yang harus diucapkan itu.
Walaupun di berbagai negara lafal atau janji ini berbeda-beda dan tidak sama
bunyinya, dalam garis besarnya berpokok sama yaitu mengandung makna
sumpah Hippocrates.
Sebelum kita tinjau satu persatu seluruh peraturan dan undang-
undang yang menentukan norma-norma hukum rahasia jabatan pada
umumnya dan norma-norma hukum rahasia jabatan dokter khususnya, dari
permulaan harus kita insyafi akan satu hak asasi yang sangat penting. Hak
asasi yang sangat penting itu, sayang sekali tidak diketahui atau disadari, tidak
hanya di luar, melainkan di dalam dunia kedokteran sendiri.
Hak asasi itu, yang telah ditegaskan pada permulaan uraian ini, ialah
bahwa "kewajiban untuk menyimpan rahasia pokoknya adalah kewajiban
moral, yang telah lama ada sebelum diadakan peraturan atau undang-undang
yang mengatur soar ini".
Oleh karena itu tidaklah mungkin bila rahasia jabatan itu didasarkan pada
sumpah atau janji. Dari mula-mula harus sudah kita insyafi bahwa rahasia
jabatan dokter terutama berpokok pada kewajiban moril yang sekali-kali tidak
perlu didasarkan pada sumpah atau janji apapun.
Rahasia jabatan dokter ialah suatu hal yang secara intrinsik bertalian
dengan segala pekerjaan yang bersangkutan dengan ilmu kedokteran
seluruhnya. Oleh karena itu kita harus insyafi pula bahwa semua orang yang
dalam pekerjaannya bergaul atau sedikit-dikitnya mengetahui keadaan pasien,
tetapi tidak atau belum mengucapkan sumpah/janji secara resmi, sudah
selayaknya berkewajiban juga untuk menunjung tinggi rahasia jabatan itu.
Mereka itu antara lain mahasiswa kedokteran, perawat dan karyawan
bidang kesehatan lainnya. Selanjutnya yang ditinjau norma-norma hukum
yang bersangkutan dengan rahasia jabatan. Pelanggaran norma-norma
kesusilaan, seperti telah diuraikan di alas, tidak diancam oleh hukum, kecuali
mungkin dihukum oleh masyarakat. Sedangkan pelanggaran norma hukum
berakibat ancaman hukuman.
Hukuman umumnya dijatuhkan oleh hakim setelah soal yang
bersangkutan menjadi perkara pengadilan dan terbukti adanya pelanggaran
hukum. Cara mengadakan dan mengatur norma-norma hukum itu dalam
37
berbagai negara berbeda-beda sehingga ada yang menimbulkan kebingungan
pada yang berkepentingan. Hal itu disebabkan oleh susunan peraturan atau
undang-undang yang bersangkutan dapat ditafsirkan berlainan dengan yang
sebenarnya.
Hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim, dapat berupa hukuman
pidana dan atau hukum perdata.
Untuk memahami seal rahasia jabatan yang ditinjau dari sudut hukum ini, ada
baiknya kita bagi perilaku dokter dalam :
a. Perilaku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari.
b. Perilaku dalam keadaan khusus
Ad.a Perilaku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari.
Dalam hal ini perlu diperhatikan ialah :
1. Pasal 322 Kitab Udang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(a) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpan karena jabatan atau pencariannya, baik sekarang
maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus
rupiah.
(b) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut diatas pengaduan orang itu.
Undang-undang ini sudah selayaknya berlaku untuk setiap orang,
yang alas pekerjaannya wajib menyimpan rahasia, bukan hanya
untuk dokter pemerintah, dokter praktek swasta, maupun dokter
yang telah pensiun dan atau tidak praktek lagi.
Seorang dokter yang dikenal sebagai pembuka rahasia mungkin
sekali prakteknya makin lama makin merosot sebagai akibat
hukuman masyarakat.
Ayat b pasal 322 KUHP ini panting terutama berkenaan dengan
rahasia jabatan dokter. Menurut ayat ini, seorang dokter yang
"membuka rahasia" tentang pasiennya tidak dengan sendirinya
akan dituntut di muka pengadilan, melainkan hanya sesudah
terhadapnya diadakan pengaduan oleh pasien yang
bersangkutan.
2. Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian, mengganti kerugian tersebut.
Seorang dokter berbuat salah kalau tanpa disadari "membuka
rahasia" tentang penderitaannya yang kebetulan terdengar oleh
majikan pasien itu, selanjutnya majikan itu melepaskan pegawai
38
tersebut karena takut penyakitnya akan menulari pegawai-pegawai
lainnya.
Dengan demikian dokter dapat diajukan ke pengadilan karena
pengaduan pasien itu.
Selain hukum karena tindak pidana menurut pasal 322 KUH pidana,
dokter itu dapat pula dihukum perdata dengan diwajibkan mengganti
rugi.
Pada hakekatnya adanya ancaman hukuman perdata ini
menimbulkan berbagai goal yang sulit yang dapat terjadi dalam
pekerjaan dokter sehari-hari. Tentang hal ini kelak akan diuraikan
lebih lanjut.
3. Sumpah (janji) dokter
Sumpah dokter yang lafalnya sebagai pengganti pasal 36 Reglement
F.D. VG., Pemerintah No. 26 tahun 1960 dan diundangkan pada
tanggal 2 Juni 1960. Sumpah ini sesuai dengan pernyataan Geneva
tahun 1948 yang dimuat dengan asas Etik Kedokteran yang
bersumber pada sumpah Hippocrates, ditambah dengan beberapa
asas baru yang ditegakkan atas dasar pengalaman tentang
kejahatan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Dengan berlakunya sumpah dokter baru itu, dapat dihapus segala
pertentangan yang menjadi kekurangan utama lafal sumpah yang
lama dalam Pasal 36 Reglement D.V.G., dan tidak lagi menimbulkan
kebimbangan para dokter yang tidak menguasai asas rahasia
jabatan.
Selanjutnya Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran di Jakarta
tahun 1981 telah mengusulan kepada pemerintah penyempurnaan
lafal Sumpah Dokter tersebut.
4. Dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 tentang Wajib
Simpan Rahasia Kedokteran, Menteri Kesehatan dapat mengambil
tindakan administratif terhadap pelanggaran wajib simpan rahasia itu,
yang dapat dihukum menurut KUHP.
Ad.b Perilaku dalam keadaan khusus
Menurut hukum, setiap wama negara dapat dipanggil untuk didengar
sebagai saksi. Selain itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat juga
dipanggil sebagai saksi ahli. Maka dapat terjadi bahwa seorang yang
mempunyai keahlian umpamanya seorang dokter dipanggil sebagai
saksi, sebagai ahli atau sekaligus sebagai saksi (expert witness).
Sebagai saksi atau saksi ahli, mungkin sekali ia diharuskan memberi
keterangan tentang seseorang (umpamanya terdakwa) yang sebelum itu
telah pernah menjadi pasien yang ditanganinya. Ini berarti ia seolah-oleh
melanggar rahasia jabatannya.
39
Kejadian yang bertentangan ini dapat dihindarkan karena adanya hak
undur diri dimana ia mendapat perlindungan hukum berdasarkan :
Menurut Pasal 170 KUHP
i. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang
dipercayakan kepada mereka.
ii. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut, maka pengadilan negeri memutuskan apakah
alasan yang dikemukakan oleh saksi atau saksi ahli untuk tidak
berbicara itu, layak dan dapat diterima atau tidak.
Penegakan hak undur diri dapat dianggap sebagai pengakuan para ahli
hukum, bahwa kedudukan jabatan itu harus dijamin sebaik-baiknya. Hal
tersebut membebaskan seorang dokter untuk menjadi saksi ahli dan
kewajibannya untuk membuka rahasia jabatan, namun pembebasan itu
tidak selalu datang dengan sendirinya.
Dalam hal ini mungkin sekali timbul pertentangan keras antara pendapat
dokter dengan pendapat hakim, yakni bila hakim tidak dapat menerima
alasan yang dikemukakan oleh dokter untuk menggunakan hak undur
dirinya, karena ia berkeyakinan bahwa keterangan yang harus diberikan
itu melanggar rahasia jabatannya. Bagi dokter, pedoman yang harus
menentukan sikapnya tetap ialah bahwa rahasia jabatan dokter itu
pertamatama dan terutama adalah kewajiban moril yakni alasan untuk
melepaskan rahasia jabatan dan pertimbangan sehat atas ada atau tidak
adanya kepentingan hukum.
Umpamanya seorang dokter sebagai saksi harus memberikan
keterangan mengenai seseorang yang telah diperiksa dan diobatinya
karena menderita luka-luka. Pada sidang pengadilan diketahui bahwa
ternyata pasien itu adalah seorang penjahat besar yang melakukan
tindakan pidananya. Keterangan dokter itu sangat diperlukan oleh
pengadilan agar rangkaian bukti menjadi lengkap. Kita mudah mengerti
bahwa dalam hal demikian dokter itu wajib memberi keterangan, agar
masyarakat dapat dihindarkan dari kejahatan-kejahatan yang lain yang
mungkin dilakukan bila ia dibebaskan.
Pada peristiwa seperti tersebut di atas, kita harus sadar bahwa rahasia
jabatan dokter bukanlah maksud untuk melindungi kejahatan.
Golongan yang berpendirian mutlak-mutlakan, yang juga dalam hal
serupa tidak sudi melepaskan rahasia jabatannya, bukan saja
bertentangan dengan tujuan yaitu menjamin kepentingan umum,
malahan sebaliknya membahayakannya.
Untuk mengetahui apakah juga ada penyelenggaraan pasal 322 KUHP
yang dapat dibebaskan dari ancaman hukuman, perlu kita tinjau
40
beberapa pasal dalam KUHP yang semuanya termasuk pelanggaran
undangundang yang tidak dihukum.
Beberapa Pasal itu adalah :
i. Pasal 48 KUHP Siapapun tak terpidana, jika melakukan peristiwa
karena terdorong oleh keadaan terpaksa.
ii. Pasal 50 KUHP
Siapapun tak terpidana, jika peristiwa itu dilakukan untuk
menjalankar ketentuan perundang-undangan.
iii. Pasal 51 KUHP
(1) Siapapun tak terpidana jika melakukan peristiwa untuk
menjalankan sesuatu perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang untuk itu.
(2) Perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang
tidak membebaskan dari keadaan terpidana, kecuali denga
itikad baik pegawai yang dibawahnya itu menyangka bahwa
penguasa itu berwenang untuk memberi perintah itu dan
perintah menjalankan terletak dalam lingkungan kewajiban
pegawai yang diperintah itu.
Mengenai pasal 48 KUHP yang dalam bahasa Belanda yang asli:
"Artikel 48 wet boek van strafrecht is hij, die een fait begaat waartoe hij door
overmacht is gedwongen" .
Sayang sekali pasal yang sangat penting untuk tafsiran banyak soal
yang sulit mengenai rahasia jabatan dokter ini belum ada terjemahannya yang
tepat ke dalam bahasa Indonesia terutama mengenai kata "overmacht". Dalam
buku Engelbrecht, kitab undang-undang dan peraturan-peraturan serta
undangundang dasar sementara terbitan 1954, kata "overmacht"
diterjemahkan dengan "berat lawan". Dalam kitab Himpunan Perundang-
Undangan Negara Republik Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1956 oleh
Kementerian Penerangan "Overmacht" diterjemahkan sebagai "suatu sebab
paksaan". Untuk sementara dipergunakan kala yang dianggap tepat, yakni "adi
paksa" yang didapat dari saudara Mr. Moedigdo Moeliono, pimpinan Lembaga
Kriminologi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas
Indonesia Jakarta.
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dalam pasal 48
KUHP ini bukanlah "adi paksa mutlak" (absolut overmachf).
Seorang mengalami adi paksa mutlak bila ia dihadapkan kepada
kekerasan atau tekanan jasmani atau rohani sedemikan, hingga ia tidak
berdaya lagi dan kehilangan kehendak (willoos) untuk tindakan pidana yang
melakukan pelanggaran hukum.
Pada kenyataan adi paksa nisbi, yang kebanyakan terjadi karena
adanya tekanan rohani, timbulnya keadaan terpaksa atau darurat, sehingga
41
yang bersangkutan berbuat sesuatu yang pasti tidak akan diperbuatnya, jika
keadaan terpaksa atau darurat itu tidak ada. Keadaan serupa ini menjadi
sebab timbulnya pertentangan dalam jiwa orang yang bersangkutan (konflik)
yang hanya dapat diatasi bila ia melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Hal ini biasa berarti pengorbanan kepentingan pihak lain.
Beberapa contoh praktek dari pertentangan serupa adalah :
(1) Seorang pengemudi yang menderita penyakit ayan (epilepsi) yang
bilamana mendapatkan bangkitan serangan penyakitnya pada waktu ia
sedang melakukan tugasnya pasti sangat membahayakan keselamatan
umum.
(2) Seorang guru yang menderita penyakit tuberkulosis dan menimbulkan
bahaya akan menulari murid-muridnya pad a waktu ia mengajar.
Justru pada persoalan seperti digambarkan dalam keadaan contoh
tersebut di atas, terdapat pertentangan tajam antara golongan penganut
aliran mutlak dan golongan penganut aliran nisbi. Dalam kedua soal itu,
golongan mutlak menganggap rahasia jabatan dokter sebagai faktor
terpenting. Tidak perlu diadakan pertimbangan apakah dengan
memperhatikan rahasia secara mutlak itu, ada kemungkinan bahwa
kepentingan yang lain yang hakikatnya lebih utama dirugikan atau
dikorbankan.
Sebaliknya golongan nisbi berdasarkan kenyataan bahwa rahasia jabatan
dokter berarti juga sendi utama bagi kepentingan masyarakat. Selalu
mempertimbangkan hal itu agar dapat diambil sikap yang terbaik yang
sesuai dengan makna rahasia jabatan dokter. Dalam perkembangannya,
sebagian dokter cenderung menganut "adi paksa nisbi".
Dalam hal demikian berbagai alas an yang dipergunakan untuk melepas
rahasia jabatan harus kokoh dan kuat, sehingga dapat menyakinkan orang
lain, termasuk hakim. Kalau berbagai alasan itu memang kuat dan
menyakinkan, maka akhirnya atas kekuatan pasal 48 KUHP, dokter yang
bersangkutan akan dibebaskan dari ancaman hukuman pasal 322 KHUP.
Sebelum mengambil tindakan, sebaiknya dokter yang bersangkutan
berusaha agar risiko dari tindakannya menjadi seminimal mungkin.
Sebagai contoh, pasien dengan penyakit yang sukar disembuhkan dapat
diberi cuti terlebih dahulu sampai sembuh. Bila penyakitnya ternyata tidak
dapat disembuhkan dan tetap merupakan bahaya bagi orang lain, maka
sebelum membuka rahasia jabatan, dokter hendaknya memberikan
penjelasan tentang penyakitnya dan akibatnya bagi orang lain sehingga
pasien memahami keadaannya dan hubungannya dengan pekerjaannya.
Bila rahasia jabatan terpaksa harus diungkapkan setelah segala ikhtiar
dilakukan tanpa hasil, maka untuk pegawai negeri, hal ini hendaknya
dokter tersebut mengirimkan surat rahasia kepada atasan pegawai negeri
42
yang bersangkutan, kemudian atasan pegawai yang bersangkutan
meminta pertimbangan Majelis Penguji Kesehatan (MPK). Dalam keadaan
adipaksa serupa itu, kewajiban dokter ialah memberitahukan kepada
majikan pasien bahwa ia menggangap pasien perlu diperiksa
kesehatannya lebih lanjut. Dengan jalan ini MPK yang menurut
UndangUndang, tugasnya menguji kesehatan pegawai negeri, dapat
melaporkan pendapat secara bebas. Tanpa melanggar KUHP pasal 322
KUHP maka keterangan tentang penyakit yang diuji itu, dapat diteruskan
kepada majikannya.
Diagnosa penyakit dari seorang karyawan tidak perlu diberitahukan
kepada majikan karyawan tersebut. Cukuplah bila dokter yang
bersangkutan menerangkan atas sumpah jabatan, bahwa karyawan yang
dimaksud menderita penyakit yang tidak memungkinkan untuk bekerja
terus menerus atau sementara, karena penyakitnya dapat menular,
membahayakan orang lain maupun dirinya sendiri. Misalnya seorangl (4
pengemudi yang menderita epilepsi dapat membahayakan diri maupun
orang lain. Dokter juga menasehatkan agar pegawai yang bersangkutan
dibebaskan dari pekerjaannya yang saat ini dikerjakan, sesuai peraturan
yang berlaku.
Dalam kedudukan sebagai dokter Majelis Penguji Kesehatan, seorang
Dokter dapat mengalami konflik kejiwaan. Hal ini dapat terjadi bila pasien
yang diperiksanya juga merupakan pasien dalam praktek swasta yang
dilakukan oleh dokter itu.
Bila dokter tersebut memasukkan seluruh data yang diketahuinya tentang
pasien, maka berarti ia melanggar rahasia jabatannya, sebaliknya bila
tidak memasukkan secara lengkap, laporannya tidak sesuai dengan
kebenarannya.
Oleh karena itu hanya ada satu jalan yang dapat ditempuhnya, yaitu
menolak untuk menguji setiap orang yang pernah menjadi pasiennya dan
menyerahkannya kepada dokter lain.
Seorang dokter yang meminta konsultasi mengenai seorang pasien, pada
asasnya melanggar rahasia jabatan.
Demikian juga tiap pengajar klinik pada fakultas kedokteran, dalam setiap
pertemuan klinik yang disertai dengan demonstrasi pasien, pada asasnya
melanggar rahasia jabatan. Hal ini biasanya tidak kita sadari karena kita
anggap sudah selayaknya.
Oleh karena itu, dalam pendidikan atau pertemuan klinik, seperti juga pada
konsultasi, sebaiknya pasien diberitahu lebih dahulu dan dimintakan
persetujuannya.
Pelanggaran rahasia jabatan yang terjadi pada saat tersebut sebenarnya
adalah hal-hal yang termasuk dalam keadaan adipaksa karena dalam hal
ini tidak hanya menyangkut kepentingan yang lebih luas dan lebih besar.
43
Tujuan akhir dari pendidikan dan pertemuan klinik tidak lain adalah untuk
membina dan memajukan ilmu kedokteran yang sebenarnya berorientasi
kepada masyarakat yang lebih luas.
(3) Pasal 50 KUHP
Pasal 50 KUHP berbunyi :
"Tidak boleh di hu~um barang siapa melakukan perbuatan untuk
menjalankan urusan undang-undang".
Pasal 50 KUHP ini sering dikaitkan dengan kewajiban seorang dokter
untuk melaporkan kelahiran, kematian dan penyakit menular. Kewajiban
melapor penyakit menular di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.
6 tahun 1962 tentang wabah, diundangkan pada tanggal 5 Mare! 1962
yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Wabah No. 4: tahun
1980.
Mengenai hal ini dapat dibaca pasal-pasal yang mengatur kewajiban
masyarakat dan tenaga kesehatan serta aparatur Pemerintah Daerah
untuk melaporkan kejadian luar biasa dalam waktu yang singkat.
4) Pasal 51 KUHP
Pasal 51 KUHP berbunyi .
"Tidak boleh di hukum barang siapa melakukan perbuatan atau
menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh pembesar yang berhak
untuk itu".
Pasal 51 KUHP terutama penting bagi seorang dokter yang mempunyai
jabatan rangkap seperti dokter TNI/Polri yang juga menjabat sebagai
anggota Majelis Penguji Kesehatan.
Selaku seorang dokter, seorang dokter angkatan bersenjata wajib
menyimpan rahasia jabatan dokter, namun di lain pihak sebagai seorang
anggota TNI/Polri ia harus tunduk pada disiplin TNI/Polri dan taat perintah
atasannya.
Konflik tentang wajib simpan rahasia jabatan dapat terjadi misalnya pada
keadaan sebagai berikut :
la diperintah oleh atasannya untuk menyusun daftar nama perwira yang
menderita penyakit sifilis. Kalau diantara perwira yang harus dicantumkan
namanya dalam daftar ternyata juga pernah menjadi pasien yang
diperiksanya, maka ia harus memilih antara 2 jalan berikut :
a. Menjunjung tinggi rahasia jabatan sebagai dokter tetapi tidak taat pada
perintah militer; atau
b. Taat kepada perintah militer tetapi melepaskan rahasia jabatan
sebagai dokter.
Dalam hal yang demikian, yang dapat dijadikan pegangan ialah perhitungan
dan pertimbangan yang matang untuk menentukan apa yang harus
diutamakan.
44
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tuga
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan
lebil mampu memberikannya.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan :
Hak seorang dokter untuk melakukan praktek dokter tidak terbatas
pada suatu bidang ilmu kedokteran. la berhak dan berkewajiban menolong
pasien, apapun yang dideritanya. Batas tindakan yang diambilnya terletak
pada rasa tanggung jawab yang didasarkan pada ketrampilan dan
keahliannya.
Banyak dokter di negeri kita bertugas jauh dari pusat ilmu kedokteran
kadang-kadang beratus-ratus kilometer terpisah dari teman sejawat terdekat.
Mereka hidup dan bekerja di tempat terpencil dengan sarana komunikasi yang
terbatas. Selain itu sarana pelayanan medis tidak cukup tersedia walau dalam
keadaan demikian ia tetap harus menyelamatkan seorang pasien.
Setiap orang wajib memberikan pertolongan kepada siapapun yang
mengalami kecelakaan, apalagi seorang dokter.
Di beberapa negara banyak dokter yang enggan melakukan karena
sering terjadi, bahwa dokter yang menolong justru dituntut untuk mengganti
kerugian. Pertolongan yang diberikannya dianggap mengakibatkan cacat, atau
memperlambat proses penyembuhan. Di negara kita, pengaduan seperti itu
diharapkan tidak terjadi. Meskipun demikian kemungkinan adanya pengaduan
harus diperhitungkan. Sebab itu, segala tindakan harus dapat dipertanggung
jawabkan dan kalau memungkinkan perlu meminta persetujuan dari pasien
atau keluarganya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWATNYA
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Kawan-kawan seperjuangan merupakan suatu kesatuan aksi dibawah
panjil perikemanusiaan untuk memerangi penyakit yang merupakan salah satu
pengganggu keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sejarah ilmu kedokteran penuh dengan peristiwa kejujuran, ketekunan
dan pengabdian yang mengharukan. Penemuan dan pengalaman yang baru
45
dijadianl milik bersama. Panggilan suci yang menjiwai hidup dan perbuatan
telah mempersatukan mereka dan menempatkan dokter pada satu kedudukanl
terhormat dalam masyarakat
Berhubungan dengan itu, maka Etik Kedokteran mengharuskan setiap
dokter memelihara hubungan baik dengan teman sejawatnya sesuai makna
atau butir dari lafal sumpah dokter yang mengisyaratkan perlakuan terhadap
sejawatnya sebagai berikut :
"Saya akan perlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin
diperlakukan" .
Hubungan antara teman sejawat dapat menjadi buruk bukan karena
perbedaan pendapat tentang cara penanganan pasien, perselisihan mengenai
cara mewakili teman sejawat yang cuti, sakit dan sebagainya. Kejadian
tesebut hendaknya diselesaikan secara musyawarah antar sejawat.
Kalau dengan cara demikian juga tidak terselesaikan, maka dapat
diminta pertolongan pengurus Ikatan Dokter Indonesia atau Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran untuk menjelaskannya. Harus dihindarkan
campur tangan dari pihak luar. Perbuatan sangat tidak kolegial ialah mengejek
teman sejawat dan mempergunjingkannya dengan pasien atau orang lain
tentang perbuatannya yang dianggap kurang benar. Mencermarkan nama baik
teman sejawat berarti mencemarkan nama baik sendiri, seperti kata pribahasa
: "Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri". Sejawat senior wajib
membimbing sejawat yang lebih muda, terutama yang berada di bawah
pengawasannya. Janganlah sekalipun juga mengatakan di muka umum,
bahwa ia baru lulus dan tidak mengetahui itu peraturan.
Pada umumnya masyarakat kita belum begitu memahami tentang
hubungan yang begitu erat antar dokter dengan dokter, sehingga mereka
kadang-kadang melakukan sesuatu yang cenderung mengadu domba. Tidak
jarang terjadi seorang pasien mengunjungi dua atau tiga dokter untuk
penyakitnya, dan pada akhirnya memilih dokter yang dalam ucapan dan
perbuatannya sesuai dengan selera dan harapannya.
Dengan sendirinya seorang dokter yang mengetahui kejadian tersebut
harus menasehatinya untuk tidak berbuat demikian, karena dapat merugikan
kepentingan sendiri dan dapat membahayakan kesehatannya. Janganlah
sekali-kali diberi kesempatan kepadanya untuk menjelekkan nama teman
sejawat yang lebih dulu menolongnya. Seorang dokter harus ikut mendidik
masyarakat dalam cara menggunakan jasa pelayanan kedokteran.
Seandainya seorang teman sejawat membuat kekeliruan dalam pekerjaannya,
maka teman sejawat yang mengetahui hal itu seyogyanya menasehatinya.
Dokter yang keliru harus menerima nasehat ataupun teguran dengan lapang
dada asal disampaikan dalam suasana persaudaraan. Jangan sekali-kali
menjatuhkan seorang sejawat dari kedudukannya apalagi menggunakan pihak
lain. Sewaktu berhadapan dengan si sakit, seorang dokter tidak boleh
46
memperlihatkan bahwa ia tidak sepaham dengan teman sejawatnya dengan
menyindir, atau dengan sikap yang menjurus kearah demikian.
Untuk menjalin dan mempererat hubungan baik antara para teman sejawat,
maka wajib memperlihatkan hal-hal berikut :
a. Dokter yang baru menetap di suatu tempat mengunjungi teman sejawat
yang telah berada di situ. Hal ini tidak perlu dilakukan di kota-kota besar
dimana banyak dokter yang berpraktek, tetapi cukup dengan
pemberitahuan tentang pembukaan praktek baru itu kepada teman
sejawat yang tinggal berdekatan.
b. Setiap dokter menjadi anggota Ikatan Dokter Indonesia yang setia dan aktif.
Dengan menghadiri pertemuan sosial dan klinik yang diselenggarakan,
akan terjadi kontak pribadi sehingga timbul rasa persaudaraan dapat
berkembang dan penambahan ilmu pengetahuan.
Terjalinnya hubungan baik antara teman sejawat membawa manfaat
tidak saja kepada dokter yang bersangkutan, tetapi juga kepada para
pasiennya. Rasa persaudaraan harus dibina sejak masa mahasiswa agar
menjadi bekal yang berharga.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Biasanya kalau seseorang sudah percaya pada seorang dokter maka
dokter tersebut akan dicari terus walaupun jauh dari rumahnya.
Di kota besar perkembangan pengetahuan umum masyarakat maju
dengan pesat. Penyakit dengan pengobatan bukan rahasia bagi umum yang
benar-benar mempelarinya. Juga karena diburu oleh keinginan untuk lebih
efisien, orang ingin segera sembuh. Oleh karena itu, banyak pasien yang
walaupun baru berobat 1 hari tapi belum sembuh, pada hari ke 2 telah ke
dokter yang lain. Dalam hal seperti ini dokter ke 2 yang menerima tidak dapat
dikatakan merebut pasien dari dokter pertama.
Seseorang yang telah kehilangan kepercayaan pada seorang dokter,
tidak dapat dipaksa untuk kembali mempercayainya. Dan kita paham akan hal
ini.
Oleh karena itu, dokter lain yang kemudian menerima pasien yang
bersangkutan harus menasehatinya agar kembali ke dokter yang diperoleh
dari dokter pertama untuk tiga hari dan mengamati hasilnya. Sangatlah etis
bila dokter yang kedua bila menerima pasien sebagai pasiennya (sesuai hak
asasinya) memberitahu dokter pertama.
47
Sangat tercela kalau kita malahan mengganti obat dari dokter pertama
dan mencela pengobatan dokter pertama di hadapan pasien, padahal belum
sempat diamati efeknya dan karena semata mendengar keluhan pasien yang
tidak sabar dan terburu waktu.
Penggantian atau penghentian obat dapat dilakukan bila kita yakini
bahwa pengobatan dari dokter pertama memang nyata-nyata keliru,
menimbulkan efek sampingan atau tidak diperlukan lagi dan bijaksana jika
dasarnya dikemukakan.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Seperti diketahui, dokter pada umumnya bekerja sangat keras. Pagi
dan atau siang bekerja di rumah sakit poliklinik/lembaga kesehatan lainnya
atau lembaga pendidikan, sedangkan pada sore dan/atau malam hari masih
melakukan praktek atau jaga malam.
Dokter umumnya bekerja keras dengan motivasi membangun praktek
pribadi yang ramai untuk meningkatkan pendapatan keluarga atau semata-
mata berdedikasi pada profesinya. Tanpa dirasa, praktek yang sukses dan
ramai telah mendorong dokter yang bersangkutan untuk tetap bekerja keras
pagi sampai malam.
Keadaan ini sering menyebabkan dokter kurang memperhatikan
keadaan kesehatan dirinya. Disamping itu, karena enggan menganggu teman
sejawat yang diketahui juga sibuk, maka bila ia sakit, tidak memeriksakan diri
ke dokter lain, tetapi mencoba mengobati diri sendiri.
Hindari mengobati diri sendiri, karena biasanya kurang tuntas.
Laksanakan tindakan perlindungan diri. Kalau ada wabah untuk
pencegahan penularan diperlukan immunisasi, maka dokter harus melakukan
imunisasi terhadap dirinya dahulu. Kalau bertugas di klinik yang
memungkinkan penularan melalui udara, pakailah masker. Cuci tangan setiap
selesai memeriksa pasien, dan prosedur-prosedur pencegahan lainnya.
Dokter wajib menjadi teladan dalam pelaksanaan perilaku sehat.
Siapa yang akan melakukan pengobatan bila dokternya sakit.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.
48
ilmu
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
IImu pengetahuan dan teknologi kedokteran berkembang terus
dengan pesat. Seorang dokter harus mengikuti perkembangan tersebut baik
untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pasiennya. Dengan majunya
ilmu pengetahuan pada umumnya, akan makin meningkatkan pula kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan yang memadai atau lebih baik sesuai
dengan kemajuan.
Peningkatan pengetahuan dan penguasaan teknologi kedokteran baru
dapat dilakukan melalui membaca berbagai literatur dalam buku, majalah
ilmiah, brosur dan sebagainya. Selain itu, dapat pula dilakukan melalui keikut
sertaan dalam simposium, seminar, lokakarya, latihan dan sebagainya. Dalam
kaitan ini IDI melakukan berbagai kegiatan ilmiah yang berakreditasi IDI dalam
bentuk satuan Kredit Partisipasi (SKP) IDI. Hendaklah para dokter mengikuti
acara ilmiah IDI ini, disamping pertemuan-pertemuan berakreditasi IDI.
Biasanya pada waktu muda dokter sudah mempunyai cita-cita menjadi
pengajar/peneliti tetapi waktu permulaan karir tidak sempat dilaksanakan,
misalnya karena ditempatkan di daerah terpencil. Walaupun demikian
janganlah cita-cita ini dilupakan, karena masih dapat dilakukan dengan
mengaitkannya pada tugas rutinnya misalnya penelitian yang berpengaruh
setempat atau melakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat
setempat.
Kegemaran olah raga, musik dan lain-lain tetap dipertahankan dapat
dikembangkan, sebagai dokter yang setidak-tidaknya mempunyai
pengetahuan yang lebih dari masyarakat setempat, dapat menjadi penggerak
masyarakat atau pakar dalam pengembangan bidang-bidang tersebut.
49
Addendum 1:
Penjelasan Khusus Untuk Beberapa Pasal dari Revisi KODEKI Hasil
Mukernas Etika Kedokteran III, April 2001.
a.
Sejarah Etika Kedokteran (Oleh: Prof. Dr. R.S. Samil, SpOG)
Profesi kedokteran mempunyai sejarah mengenai Kode Etik yang bermula
sedikitnya kira-kira 2000 SM. Dalam Kode Etik oleh Hammurabi, telah
disusun bermacam-macam sistem/peraturan mengenai para dokter.
Terdapat pula beberapa bagian mengenai norma-norma tinggi
moral/akhlak dan tanggung jawab rang diharapkan harus dimiliki oleh para
dokter serta petunjuk-petunjuk mengenai hubungan antar dokter dengan
pasien; dan beberapa masalah lain.
Etika Kedokteran mempunyai 3 (tiga) azas pokok, yaitu :
1. Otonomi
a. Hal ini membutuhkan orang-orang yang kompeten, dipengaruhi oleh
kehendak-kehendak dan keinginannya sendiri, dan kemampuan
(kompetensi) ini dianggap dimiliki oleh seorang remaja maupun orang
dewasa, yang memiliki pengertian yang adekuat pada tiap-tiap kasus
yang dipersoalkan dan memiliki kemampuan untuk menanggung
konsekwensi dari keputusan yang secara otonomi atau secara mandiri
telah diambil.
b. Melindungi mereka rang lemah, berarti bahwa kita dituntut untuk
memberikan perlindungan dalam pemeliharaan, perwalian,
pengasuhan kepada anak-anak, para remaja, dan orang dewasa yang
berada dalam kondisi yang lemah dan tidak mempunyai kemampuan
otonomi (mandiri).
2.
Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik
Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada
negatif;
Primum Non Nocere (janganlah berbuat merugikan/salah).
Hendaknya kita bernada positif dengan berbuat baik, dan apabila perlu kita
mulai dengan kegiatan-kegiatan rang merupakan awal kesejahteraan para
individu dan masyarakat.
3. Keadilan
Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan
perlakuan antar manusia, umpamanya mulai mengusahakan peningkatan
keadilan terhadap si individu dan masyarakat dimana mungkin terjadi
risiko dan imbalan yang tidak wajar dan bahwa segolongan manusia
janganlah dikorbankan untuk kepentingan golongan lain.
50
Dewasa ini para dokter mungkin terlibat dalam praktek-praktek yang
sungguh membahayakan terhadap umat manusia. Sejarah yang menyedihkan
ini telah menciptakan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nuremberg
Code, yang merumuskan kembali etika kedokteran dan kode-kode
internasional lainnya seperti Deklarasi Helsinki mengenai penelitian terhadap
manusia yang merupakan dasar bioetika.
Etika adalah usaha mengadakan refleksi yang tertib mengenai
gerakan atau instuisi moral dan pilihan moral yang seseorang putuskan. Etika
kedokteran dapat diartikan sebagai kewajiban berdasarkan akhlak/moral yang
menentukan praktek kedokteran. Selama beberapa dasawarsa terakhir ini,
masalah-masalah etik kedokteran merupakan masalah yang paling penting
daripada kesadaran masyarakat, dengan keprihatinan yang terfokus pada
beberapa masalah utama. Masyarakat saat ini telah mempermasalahkan
secara agresif mengenai bagaimana dan kepada siapa pelayanan kesehatan
diberikan. Perhatian masyarakat mengenai masalah etik kedokteran telah
membawa profesi kedokteran kepada kebutuhan yang meningkat mengenai
pandanganpandangan masyarakat ini, tidak hanya yang berkenaan dengan
hubungan antara dokter dengan pasien, tetapi juga mengenai bagaimana
kemajuan dalam ilmu dan teknologi kedokteran mempengaruhi masalah hak-
hak asasi manusia, susunan masyarakat dan kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam hal pelayanan kesehatan.
Tidak jarang diharapkan bahwa pakar etika mampu memecahkan
begitu saja masalah moral yang dihadapi. Harapan itu diperkuat lagi oleh
kecenderungan untuk meminta jasa ahli etika sebagai konsultan. Bantuan
konsultasi di bidang teknik atau finansial, umpamanya. Ahli-ahli terakhir ini
menunjukkan jalan ke luar konkret bagi masalah yang dihadapi. Di bidang
moral, keputusan etis harus diambil oleh pelaku moral sendiri. Hal itu tidak
bisa diserahkan kepada orang lain. Ahli filsafat Inggris CB. Broad sudah
menegaskan: It is no part of the professional business of moral philosophers to
tell people what they ought or ought not to do ... Moral philosophers as such,
have no special information to the general public about what is right and what
is wrong.
Keputusan tentang perbuatan dan tentang kualitas moral perbuatan
terletak dalam tangan si pelaku moral sendiri. Dalam konteks profesi hal itu
lebih mendesak lagi, karena si profesional mengerti lebih baik implikasi etis
masalahnya dan cara efisien untuk mengatasinya. Ahli etika hanya bisa
membantu dalam mempersiapkan keputusan itu atau dalam mengevaluasi
keputusan yang sudah diambil. Secara konkret bantuan yang bisa diberikan
ahli etika barangkali dapat disingkatkan sebagai berikut: Menganalisis suatu
masalah moral dengan memperlihatkan semua implikasinya dan menjelaskan
konsep-konsep yang berperan di dalamnya. Masalah itu sendiri dan konsep-
konsep yang dipakai harus jelas dulu sebelum kita dapat memikirkan suatu
51
pemecahan yang beralasan. Diskusi tentang euthanasia, umpamanya, sering
menjadi kacau karena kurang jelas apa yang diartikan dengan istilah itu. Hal
yang sama dapat dikatakan tentang hak milik intelektual, hak asasi manusia,
keadilan sosial dan banyak diskusi aktual lainnya. Analisis konseptual
masalahnya dapat memperlihatkan kompleksitasnya dan menghindari
terjadinya pemecahan yang terlalu cepat dan berat sebelah.
Keadaan dunia kita sekarang membutuhkan refleksi etis.
Perkembangan ilmu dan teknologi, globalisasi ekonomi, perubahan radikal
dalam masyarakat; semua faktor ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
moral yang tidak dapat dihindarkan.
Dalam Garis Besar Haluan Negara sudah lama ditekankan bahwa
pembangunan tidak merupakan suatu soal material saja, tetapi bahwa segi
spiritual harus diikutsertakan pula. Etika justru termasuk segi non-material itu.
Waktu dan tenaga yang kita keluarkan untuk etika tidak dipakai dengan sia-
sia, tetapi justru akan meningkatkan kualitas pembangunan kita.
Good business, tidak boleh dimengerti semata-mata sebagai bisnis
yang membawa untung banyak. Pelayanan kesehatan yang baik tidak saja
berarti pelayanan medis yang lulus dalam cost-benefit analysis. Yang baik itu
mempunyai arti lebih mendalam lagi, arti moral. Yang baik dalam arti itulah
merupakan dimensi paling fundamental dalam kehidupan manusia. Yang baik
dalam arti moral memberi nilai terdalam kepada semua kegiatan dan usaha
kita. Dalam etika kita memfokuskan dimensi fundamental itu. Memang benar,
kita tidak mempunyai kepastian akan memperoleh hasil yang nyata, namun
kita yakin juga mencari sesuatu yang berarti dan bertanggung jawab.
Di negara-negara industri-pun dana untuk sistem pelayanan seperti
yang sekarang diterapkan secara tepat tidak seimbang dengan sumber-
sumber yang ada dan dengan demikian juga tidak dimungkinkan setiap warga
negara memperoleh pelayanan kesehatan yang diharapkan.
Sudah jelas, bahwa kita harus meralat ketidak seimbangan antara
pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan sosial, dan bahwa kita
harus mengadakan penilaian untung ruginya.
Masalah yang menonjol dalam dunia kedokteran dalam dasawarsa
akhir-akhir ini adalah akibat tekanan dari spesialisasi dalam bidang kedokteran
yang terus meningkat, dan membawa kita memberi prioritas kepada sarana-
sarana pelayanan kesehatan yang sangat canggih dan berlokasi sentral, yang
sering tidak ada hubungannya dengan kebutuhan masyarakat. Kita mengerti,
bahwa keadaan yang kompleks dari ilmu dan teknologi telah membawa kita ke
spesialisasi yang meningkat dan konsentrasi pada era yang semakin sempit.
Akibat yang positif dari hal di atas adalah terlihat dari berkembangnya dengan
pesat ilmu pengetahuan dan bagaimana para peneliti memperdalam
penemuannya lebih dalam lagi.
52
Kerugiannya ialah, bahwa secara kiasan, jika kita gali makin dalam,
makin sukar kita dapat melihat lingkungan kita. Sebagai akibat, terjadilah
kurangnya kontak antara spesialis-spesialis kedokteran dan ketidakmampuan
dalam profesi medis umumnya untuk dapat melihat bahwa dampak terhadap
kesehatan masyarakat dari praktek kedokteran kuratif adalah hanya satu
faktor dari sekian banyak faktor sosio-ekonomi, politik dan kultura/ yang
menetapkan derajat kesehatan da/am suatu masyarakat.
Dalam mengamalkan protesinya, setiap dokter akan berhubungan
dengan manusia yang sedang mengharapkan pertolongan dalam suatu
hubungan kesepakatan terapeutik.
Agar dalam hubungan ini dapat dijaga keenam sifat dasar di bawah ini,
maka disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia yang merupakan kesepakatan
dokter Indonesia bagi pedoman pelaksanaan protesi.
Kode Etik Kedokteran Indonesia didasarkan pada asas-asas hidup
bermasyarakat yaitu Pancasila yang telah sama-sama diakui oleh bangsa
Indonesia sebagai falsafah hidup bangsa.
Keluhuran dan kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 (enam) sifat dasar yang harus
ditunjukkan oleh setiap dokter yaitu:
1. Sifat ketuhanan,
2. Keluhuran budi,
3. Kemurnian niat,
4. Kesungguhan kerja,
5. Kerendahan hall, serta
6. Integritas ilmiah dan sosial
Dokter mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan saja terhadap
manusia lain dan hukum, tetapi terpenting adalah terhadap keinsyatan
batinnya sendiri, dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pasien dan
keluarganya akan menerima hasil usaha dari seorang dokter, kalau ia percaya
akan keahlian dokter itu dan kesungguhannya, sehingga mereka tidak
menganggap menjadi masalah bila usaha penyembuhan yang dilakukan
gagal. Perlu diperhatikan bahwa perbuatan setiap dokter, mempengaruhi
pendapat orang banyak terhadap seluruh "corps" dokter.
Pelayanan yang diberikan kepada pasien yang dirawat hendaknya
adalah seluruh kemampuan sang dokter dalam bidang ilmu pengetahuan dan
perikemanusiaan.
Masa kini adalah masa pembangunan dimana pertumbuhan ekonomi
sedang diusahakan. Kehidupan agraris mulai berubah ke arah industrialisasi
dimana efisiensi dan upaya mencapai peningkatan perekonomian pribadi
sangat menonjol. Masyarakat mulai merasa bahwa dengan uang, segala yang
dikehendaki dapat diraih. Masyarakat menjadi kritis, jeli dan makin pandai.
Termasuk di dalam kekecewaan atas pelayanan protesi kedokteran yang
53
mudah terjadi. Sedikit saja kelemahan dokter, akan dipakai untuk mengadu ke
pengadilan. Masyarakat semakin sadar akan haknya untuk memperoleh
pelayanan yang baik dan bermutu.
Masyarakat dokterpun tidak luput dari perubahan tersebut, sehingga
kemungkinan pelanggaran Kode Etik ini sangat besar. Profesi kedokteran
menuntut budi pekerti yang luhur. Tuhan Yang Maha Esa telah membuka
kesempatan bagi umatnya khususnya dokter untuk secara nyata menolong
meringankan penderitaan sesamanya. Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Negara, Bangsa dan kemanusiaan kita mempertanggung jawabkan
pelaksanaan pengamalan profesi dokter.
b. Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Penjelasan khusus yang terkait dengan promosi terhadap komoditas yang
berhubungan dengan praktik dokter (diadopsi dari hasil Keputusan Muktamar
XXIII IDI tahun 1997, tentang promosi obat, kosmetika, alat dan sarana
kesehatan, makanan dan minuman serta perbekalan kesehatan rumah
tangga).
Pendahuluan
Kehidupan di era global merupakan kehidupan yang amat dinamik.
Keperluan terhadap barang, jasa dan informasi dirasakan amat mendesak.
Demikian pula dinamika arus obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan,
makanan minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Salah satu pola
dinamika terhadap pelbagai komoditi tersebut adalah melalui sarana
komunikasi yang untuk efektif dan efisiennya memerlukan upaya-upaya
promosi, baik langsung maupun tidak langsung yang tertuju ke masyarakat
luas. Aktivitas tersebut antara lain berbentuk iklan di pelbagai media massa
dan elektronik, baik iklan biasa layanan masyarakat, pelbagai tampilan lainnya
dalam arti luas yang bersifat promosi suatu kepentingan, penyuluhan maupun
sekedar hiburan.
Pribadi dokter merupakan salah satu daya tarik tersendiri terhadap
aktivitas promosi pelbagai hal di atas sehingga telah banyak upaya-upaya
untuk melibatkan dokter sebagai pemerannya, baik langsung maupun tidak
langsung. Hal ini mungkin terjadi mengingat bahwa dalam hubungan dokter -
pasien, kedudukan dokter yang relatif lebih stabil dan menguntungkan
dibandingkan dengan kondisi (masyarakat) pasien yang relatif sedang
menderita sehingga kurang memiliki altematif logis dalam menentukan pilihan
54
yang rasional. Seorang dokter dalam kegiatan tersebut jelas akan
meningkatkan daya saing dan sekaligus daya jual pelbagai komoditi tersebut.
Sedangkan pada sisi lainnya, profesi kedokteran tetap merupakan profesi
pengabdian kepada sesama dengan penuh kasih sayang untuk kepentingan
kemanusiaan yang keberadaannya dibatasi oleh rambu-rambu etika
kedokteran yang universal.
Bahwa industri kesehatan makin berkembang dan adanya persaingan
yang ketat, apalagi kalau sudah masuk pada masa pasar terbuka. Bahwa
ketatnya persaingan telah menyeret beberapa dokter sebagai bagian dari
upaya-upaya memenangkan persaingan. Bentuk-bentuk upaya yang
melibatkan dokter telah muncul dalam berbagai pemberitaan media massa
yang telah meresahkan masyarakat maupun kalangan dokter. Karena itu pula
dibuat panduan atau standar yang lebih tegas yang dapat dijadikan pedoman
bagi para anggota IDI dalam bersikap dan bertindak atau bekerja sama
dengan pihak-pihak lain. Bahwa terdapat keluhan masyarakat umum maupun
kedokteran terhadap hal-hal yang dapat menurunkan citra dan martabat
profesi kedokteran seperti; dugaan kolusi oknum dokter dengan industri
farmasi, iklan promosi di media elektronik yang melibatkan sosok dokter,
informasi tentang pengobatan baru atau alternatif yang belum teruji, dan
terkesan mempromosikan diri sehingga dapat menyesatkan masyarakat.
Berdasarkan sumpah dokter, KODEKI dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat maka berkaitan dengan promosi obat, kosmetika, alat dan sarana
kesehatan, makanan minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga,
Muktamar IDI menyatakan hal-hal sebagai berikut;
1. Pada dasarnya dokter sama sekali tidak boleh melibatkan diri dalam
pelbagai kegiatan promosi segala macam komoditi tersebut di atas,
termasuk barang-barang jasa dan informasinya mengingat dokter adalah
profesi yang berdasarkan pada pengabdian tulus, panggilan hati nurani
dan bertradisi luhur membaktikan dirinya untuk kepentingan kemanusiaan,
sementara promosi selalu terkait kepada kepentingan-kepentingan rang
seringkali bertentangan atau tidak menunjang tugas mulia kedokteran.
2. Wahana promosi yang melibatkan sosok dokter pada hakekatnya adalah
wahana ilmiah kedokteran yang lazim seperti pelbagai temu ilmiah, jurnal
serta wacana ilmiah lainnya.
3. Pada prinsipnya dokter praktek tidak diperkenankan menerima komisi dari
hasil penjualan suatu produk kedokteran yang berkaitan dengan kegiatan
pelayanan kedokterannya, karena hal tersebut dapat menghilangkan
kebebasan profesinya.
Oleh karena itu hal-hal tersebut dibawah ini dilarang dilakukan oleh dokter
praktek:
55
a. Menerima komisi atas penulisan resep obat/alat kedokteran dari
industri farmasi/alat kedokteran tertentu.
b. Melakukan "penekanan" kepada industri farmasi, seperti pernyataan
tidak akan menuliskan resep obat-obat dari pabrik farmasi tertentu jika
tidak memberi imbalan tertentu untuk kepentingan pribadinya.
c. Mendapat atau meminta komisi dari sarana penunjang medis (misal
laboratorium, radiologi dsb), atas pasien yang dirujuknya ke sarana
tersebut.
4.
5.
6.
7.
Promosi dalam bentuk iklan berbagai komoditi tersebut di atas yang
melibatkan seorang dokter sebagai pemerannya harus senantiasa
dipandang sebagai berpeluang membahayakan dan menurunkan harkat
kemanusiaan apabila diterima oleh masyarakat awam yang tidak terdidik
dan tidak kritis karena mereka menganggap hal itu selalu benar. Apalagi
khususnya pasien yang kondisinya seringkali tidak mampu lagi berpikir
jernih dan sulit melihat alternatif logis.
Perbuatan dokter sebagai pemeran mandiri dan langsung suatu iklan
promosi komoditi tersebut di atas yang dimuat media massa dan elektronik
sebagai iklan atau yang dapat ditafsirkan sebagai iklan merupakan
perbuatan tercela karena tidak bisa menyingkirkan penafsiran adanya
suatu niat lain untuk memuji diri sendiri sebagaimana yang telah
ditentukan dalam kode etik kedokteran. Walau bagaimanapun baiknya,
aktivitas promosi itu dibatasi oleh ketidakmampuan media tersebut
sebagai wahana komunikasi ilmiah kedokteran sebagaimana ciri-ciri utama
suatu profesi.
Perbuatan dokter rang langsung menyebut, menulis atau hal-hal yang bisa
dikaitkan dengan penyebutan dan penulisan nama dagang dan atau
sebutan khas produk/komoditi tersebut merupakan perbuatan tercela.
Apalagi dengan menyebutkan jati dirinya sebagai dokter.
Perbuatan dokter sebagai pemeran tidak langsung sosok dokter sebagai
iklan layanan masyarakat, features, kolom/acara display, kolom/acara
hiburan, kolom/acara dialog, film dokumenter, film singkat, sinetron dan
lain-lain merupakan perbuatan tercela apabila dilakukan dengan itikad
memuji diri sendiri, atau menyebutkan jati dirinya bahwa ia seorang dokter,
atau ditayangkan atau diterbitkan berulang-ulang, baik sebagian atau
keseluruhan terbitan atau tayangan tersebut, atau karena oleh kalangan
rata-rata sejawat dokter lainnya ditafsirkan sebagai adanya anjuran untuk
memilih atau membela kepentingan komoditi tersebut dan atau oleh
mereka dianggap adanya iklan terselubung. Apalagi misi yang dibawakan
hanyalah masalah yang sehari-hari, yang remeh-remeh atau hanya
mencerminkan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu yang terbatas.
Perkecualian adalah bahwa untuk memerankan hal itu tidak ada
seorangpun artis non dokter atau mahasiswa kedokteran rang sanggup
56
menjalankannya atau keberadaan sosok dokter akan sangat membantu
memberikan informasi bagi keadaan yang benar-benar amat penting bagi
jalan keluar dari masalah kesehatan masyarakat, atau keamanan bangsa
dan negara Indonesia.
8.
9.
10.
11.
12.
Perbuatan dokter sebagai pemeran langsung promosi komoditi tertentu
kendatipun dalam wahana ilmiah kedokteran merupakan perbuatan tercela
bila bertentangan dengan kepentingan kemanusiaan dan tujuan
kedokteran itu sendiri, tidak berlandaskan pengetahuan kedokteran
tertinggi dalam bidangnya, belum diyakini sebagai produk yang layak
diberikan kepada manusia yang sedang sakit, dan hal itu tidak akan
dilakukan kepada dirinya sendiri maupun sanak keluarganya bila
mengalami hal yang sama. Apalagi hal itu semata-mata hanya dilakukan
berdasarkan adanya kepentingan memperoleh imbalan, fasilitas atau
bantuan yang patut diduga akan diperoleh dari pihak lain atau pihak
manapun juga, karena hal ini benar-benar bertentangan dengan otonomi
profesi rang bertanggung jawab.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengecam segenap perbuatan dari pihak
manapun dalam hal kegiatan promosi suatu produk atau komoditi yang
berupaya atau ditafsirkan sebagai upaya untuk menurunkan keluhuran
profesi kedokteran, apalagi hal itu dilakukan dengan sengaja, dengan
itikad tidak baik, hanya untuk kepentingan segelintir kelompok dalam
masyarakat tertentu, hanya merupakan masalah yang sesaat, remeh dan
tidak menyelesaikan kedudukan dokter sebagai sosok yang dihormati
masyarakat
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghimbau kepada pihak pers dan media
massa serta periklanan dan masyarakat luas untuk menghormati norma
sikap dan perilaku etis kedokteran dari semua dokter Indonesia
sebagaimana yang telah dibakukan dalam lafal sumpah dokter dan Kode
Etik Kedokteran Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghimbau kepada pelbagai pihak agar
terlebih dahulu mengikutsertakan dan mempertimbangkan pandangan,
kalangan profesi kedokteran dalam setiap upaya promosi semua komoditil
yang melibatkan sosok dokter sebagai pemerannya.
Perbuatan dokter yang menyiarkan, mempromosikan cara-cara
pengobatan "alternatif" yang belum diterima kesahihannya dalam ilmu
kedokteran baik pada media cetak atau media elektronik merupakan
perbuatan tercela karena hal tersebut dapat menyesatkan masyarakat:
pengguna jasa pelayanan kesehatan.
57
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Penjelasan khusus yang terkait dengan "Surat Keterangan Medis". (Oleh: Dr.
Budi Sampurno, Sp.F, SH)
Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh
dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas
permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan persetujuan
pasien.
Surat keterangan medis harus dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
medis yang secara teknis medis relevan, memadai dan benar; serta
diinterpretasikan dengan menggunakan ilmu pengetahuan kedokteran yang
telah diterima pada saat itu (state-of-the-art).
Dokter pembuat surat keterangan medis tersebut harus dapat
membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta. Dengan kalimat
"memeriksa sendiri kebenarannya" sebagaimana tercantum dalam pasal ini
berarti bahwa dokter tersebut menginterpretasikan hasil-hasil pemeriksaan
medis yang telah diyakini kebenarannya, baik yang dilakukannya sendiri
maupun yang dilakukan oleh sejawatnya atau hasil konsultasinya.
Surat keterangan sehat diberikan untuk memenuhi keperluan tertentu.
Perlu diingat bahwa, sehat untuk suatu keperluan tertentu membutuhkan
tingkat kesehatan yang tertentu pula. Tingkat kesehatan untuk membuat sural
izin mengemudi (SIM) berbeda dengan tingkat kesehatan untuk masuk
sekolah atau perguruan tinggi, menjadi tentara, menjadi pilot dll. Oleh karena
itu surat keterangan sehat harus menyebutkan tujuannya, apakah untuk
membuat SIM, mendaftar sekolah atau perguruan tinggi, dan sebagainya.
Surat keterangan sakit atau istirahat sakit harus dibuat berkaitan
dengan suatu keadaan sakit tertentu (pathology, impairment, disability dan
handicap) dan ditujukan sebagai salah satu upaya penyembuhan penyakit
tersebut. Keterangan ini tidak menyebutkan diagnosis penyakitnya, melainkan
hanya menyebutkan bahwa pasien sedang sakit dan membutuhkan istirahat
selama jumlah hari tertentu. Namun, pada umumnya pembedan istirahat sakit
lebih dari 14 (empat belas) hari mengharuskan disebutnya diagnosis penyakit
pasien tersebut.
Surat keterangan medis yang dibuat atas permintaan resmi penyidik
yang berwenang tentang hasil pemeriksaan medis atas seseorang manusia,
baik sewaktu hidup ataupun setelah meninggal, yang dibuat berdasarkan
sumpah dan menggunakan ilmu pengetahuan kedokterannya serta ditujukan
untuk kepentingan peradilan pada umumnya, disebut sebagai visum et
repertum. Namun demikian terdapat pula keterangan yang tidak disebut
sebagai visum et repertum meskipun ditujukan untuk kepentingan peradilan,
58
seperti surat keterangan sakit untuk tidak dapat menghadiri persidangan,
keterangan sakit untuk tidak diperiksa/diinterogasi, keterangan sakit bagi
tahanan dan terpidana, dan keterangan tentang kelayakan untuk disidangkan
(fitness to stand trial). Keterangan-keterangan seperti ini sebaiknya dibuat oleh
dokter yang bukan sebagai dokter pengobat orang tersebut. .
Pada hakekatnya seseorang yang membutuhkan perawatan inap di
rumah sakit dapat dinyatakan sebagai sakit dan tidak dapat dimasukkan ke
dalam tahanan (kecuali dalam rumah sakit tahanan) ataupun diajukan ke
sidang pengadilan.
Selain itu, seseorang yang memiliki gangguan mental tertentu dapat
dinyatakan sebagai "tidak layak diajukan ke pengadilan". Kelayakan seseorang
diajukan ke pengadilan itu harus diputuskan oleh psikiater dan diperoleh dari
suatu pemeriksaan psikiatris yang adekuat, serta melalui prosedur hukum
yang berlaku.
Seorang tahanan ataupun terpidana bukanlah orang yang memiliki hak
sipil yang penuh, sehingga ia tidak memiliki kebebasan penuh dalam memilih
dokter atau rumah sakit tempat ia akan dirawat. Dengan pertimbangan
keamanan, penyidik atau jaksa penuntut umum berwenang menentukan
tempat perawatan tahanan setelah berkonsultasi dengan dokter. Dokter
diharapkan untuk tidak dengan mudah merujuk pasiennya yang berstatus
tahanan atau terpidana ke sarana kesehatan di luar negeri tanpa berkonsultasi
terlebih dahulu dengan pihak yang berwenang.
Keterangan dokter dapat juga diberikan tidak dalam bentuk tertulis,
misalnya penjelasan kepada pasien dalam rangka pemenuhan hak pasien
atas informasi medisnya atau dalam rangka memperoleh informed consent.
Dalam hal ini dokter diharapkan memberikan informasi yang benar, jujur,
lengkap, dan sejelas-jelasnya sehingga pasien dapat memahami dan
membuat keputusan dengan bebas.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Penjelasan khusus yang terkait dengan "Uraian Hak-hak Pasien dan Hak-
hak Dokter". (Oleh: Dr. Budi Sampurno, Sp.F, SH)
Hak-hak pasien telah diatur dalam beberapa ketentuan, yaitu di dalam:
a. Declaration ot Lisbon (1991)
b. Penjelasan pasal 53 UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
c. Surat Edaran (SE) Ditjen Yanmed Depkes RI No YM.02.04.3.5.2504
tentang Pedoman Hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit.
d. Deklarasi Muktamar IDI 2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan
dokter
59
Dalam Deklarasi Lisabon (1991) hak-hak pasien tersebut adalah :
a. Hak memilih dokter
b. Hak dirawat dokter yang "bebas"
c. Hak menerima/menolak pengobatan setelah menerima informasi
d. Hak atas kerahasiaan
e. Hak mati secara bermartabat
f. Hak atas dukungan moral/spiritual
Sedangkan dalam UU Kesehatan disebutkan antara lain:
a. Hak atas informasi
b. Hak atas "second opinion"
c. Hak memberikan persetujuan pengobatan/tindakan medis
d. Hak atas kerahasiaan
e. Hak pelayanan kesehatan
Selanjutnya hak-hak pasien secara rinci juga diuraikan dalam SE
Ditjen Yanmed Depkes RI. No. YM.02.04.3.5.2504 dan dalam Deklarasi
Muktamar IDI 2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan dokter. Lebih jauh
tentang hak-hak pasien dapat dilihat di buku 'The Rights ot Patients in Europe"
(Leenen dkk, 1993) dan "Etika Kedokteran Indonesia" (Samil, 2001).
Dokter harus menghormati hak sejawatnya, yang pada prinsipnya
terdiri dari hak protesi dan hak perdata. Sejawat berhak memperoleh
kesempatan untuk mempraktekkan profesinya dengan bebas, etis dan
bermartabat, serta berhak mengembangkan sikap protesionalismenya.
Demikian pula tenaga kesehatan lainnya juga memiliki hak-hak profesi serupa
yang harus dihormati oleh dokter.
Selain hak profesi di atas, dokter juga harus menghormati hak-hak
sipil/ perdata yang dimiliki oleh setiap orang dalam diri para sejawatnya dan
tenaga kesehatan lainnya.
Menjaga kepercayaan pasien dilakukan dengan cara melakukan
segala sesuatu dengan ramah, sopan, penuh empati dan belas kasihan. Tentu
saja tanpa melupakan sikap etis, bertindak sesuai standar profesi dan tidak
melakukan tindakan yang tercela atau melanggar hukum.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makluk insani
a. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Keikutsertaan Dokter dalam
Eksekusi Pidana Mati, termasuk Penyiksaan" (Oleh: Dr. Budi
Sampurna, Sp.F, SH).
60
Profesi kedokteran adalah satu-satunya atau setidaknya profesi yang
pertama kali menyatakan dalam sumpah profesinya untuk bekerja membela
peri-kemanusiaan, tidak akan melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peri-kemanusiaan, dan melindungi kehidupan manusia. pernyataan ini
pula yang merupakan salah satu alasan yang menjadikan profesi kedokteran
menjadi profesi yang luhur dan bermartabat.
Kata-kata "sejak saat pembuahan" yang ada dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia sebelumnya telah dihilangkan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
a. Bahwa esensi kewajiban dokter untuk melindungi hidup insani adalah
sejak awal kehidupan hingga akhir kehidupan.
b. Bahwa alat kontrasepsi IUD yang telah diterima dalam masyarakat
Indonesia sebenarnya bekerja bukan dengan cara mencegah konsepsi
(pembuahan) melainkan dengan cara mencegah nidasi atau berarti
konsepsi telah terjadi, sehingga norma penghormatan hidup insani sejak
saat pembuahan menjadi tidak tepat lagi.
c. Bahwa perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah memungkinkan
dilakukannya pembuahan in-vitro (bayi tabung) yang berdampak adanya
hasil konsepsi yang tidak ditanam di uterus.
d. Bahwa atas pertimbangan di atas pula maka dalam persidangan World
Medical Association Assembly ke-35 di Venice tahun 1983, maka text
International Code of Medical Ethics tidak mencantumkan lagi kata "sejak
saat pembuahan".
Konsekuensi dari sikap menghormati kehidupan makluk insani ini
adalah bahwa setiap tindakan dokter yang melemahkan atau menghentikan
atau tidak berupaya mempertahankan suatu kehidupan manusia tanpa alasan
yang dapat dibenarkan, dianggap sebagai tindakan yang tidak etis.
Deklarasi Tokyo adalah pernyataan dari World Medical Association
pada tahun 1975 dalam persidangannya ke 29 di Tokyo. Dalam preambul
deklarasi ini dinyatakan bahwa dokter wajib tetap menghormati kehidupan
insani meskipun dalam keadaan diancam serta tidak menggunakan ilmu
kedokteran untuk tujuan yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Deklarasi Tokyo melarang dokter turut serta atau berpartisipasi dalam
tindakan penyiksaan atau tindakan lain yang brutal, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia. Dokter dilarang menyediakan cara, alat,
bahan atau pengetahuannya guna memudahkan terjadinya penyiksaan,
termasuk mengevaluasi kesehatan seseorang sebelum, selama dan sesudah
penyiksaan guna kepentingan berjalannya penyiksaan itu; bahkan hadir di
tempat terjadinya penyiksaan pun dilarang. Dalam hal ini penyiksaan diartikan
sebagai setiap tindakan kesengajaan yang sistematik atau ketidak hati-hatian,
yang merusak fisik atau mengakibatkan;
61
penderitaan mental seseorang, yang dilakukan oleh satu orang atau lebih
yang, bertindak sendiri atau atas perintah pihak yang berwenang, untuk
memaksa seseorang guna memperoleh informasi, pengakuan atau untuk tu
juan lain. WMA juga meresolusikan suatu sikap bahwa adalah tidak etis bagi
dokter yang turut serta atau berpartisipasi dalam suatu eksekusi hukuman
mati, dengan cara apapun, dan dalam tahap apapun dalam proses eksekusi
tersebut (Resolusi WMA tahun 1981 dan 2000).
b. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Letting Die Naturally Dan
Minimal Treatment Versus Euthanasia". (Oleh: Dr. Iman Hilman,
Sp.Rad, MPH)
Pasal 7d yang mengharuskan dokter untuk "senantiasa melindungi
hidup makhluk insani", bersumber dari "Sumpah Dokter" (yang berlaku
sampai saat ini, yaitu hasil penyempurnaan Rakernas MKEK-MP2A tahun
1993), khususnya fatal sumpah yang ke-6, 7 dan 8, ialah:
6. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan dokter saya untuk sesuatu
yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
7. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
8. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien.
Dalam mengamalkan kewajiban "melindungi hidup makhluk insani" ini seorang
dokter harus senantiasa mengingat hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa hidup mati seseorang adalah merupakan kekuasaan Tuhan, dan
bahwa pada hakekatnya manusia dalam menghadapi permasalahan hidup
dan mati ini harus berpedoman pada agama yang dianutnya masing-
masing.
2. Bahwa betapapun majunya dan tingginya ilmu dan teknologi (iptek)
kedokteran yang telah kita capai namun semua ini memiliki keterbatasan,
hingga pada batas tertentu seorang dokter harus mengakui bahwa dia
tidak lagi akan dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan sepenuhnya
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
3. Bahwa perkembangan dan kemajuan IPTEK khususnya di bidang,
kedokteran, di samping telah membawa banyak manfaat bagi kehidupan
manusia, di pihak lain telah membawa persoalan baru yang terutama
sangat erat kaitannya dengan permasalahan moral, diantaranya telah
membuat kaburnya batas-batas antara hidup dan mati, dan bahwa tugas
dokter dalam melakukan intervensi medik terhadap pasiennya bukan
hanya sekedar bertujuan untuk "mempertahankan hidup dan
memperpanjang usia" tetapi juga harus mempertimbangkan "kwalitas
hidup", yaitu "hidup yang bagaimana" yang harus kita pertahankan itu.
62
4. Bahwa nilai-nilai moral dan agama lebih merupakan pedoman bagi
seorang dokter dalam bersikap dan bertindak sesuai kebenaran yang
diyakininya, dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada hati
nuraninya sendiri dan Tuhan yang sesuai dengan keyakinannya masing-
masing, sehingga lebih bersifat subyektif. Sementara yang lebih obyektif
ialah sumber hukum berupa perundang-undangan yang mengatur
permasalahan "hidup mati" seseorang, khususnya yang berkaitan dengan
saat-saat kritis dalam rangkaian pengembangan di masa mendatang.
Demikian pula bahwa Kode Etik Kedokteran sering tidak berdaya lagi
dalam menghadapi isu-isu baru sebagai akibat perubahan yang cepat dan
drastis dari iptek kedokteran.
Maka dalam menghadapi semua kenyataan ini, pertama-pertama
seorang dokter sejak awal harus menjalin hubungan yang baik dengan pihak
keluarga pasien. Setiap pengambilan keputusan baik untuk tujuan diagnostik,
terapi maupun berbagai tindakan lainnya, harus selalu dengan persetujuan
pasien dan atau keluarganya.
Dalam mengamalkan pasal 7d KOOEKI, yang berbunyi "Setiap dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani", maka yang jelas dilarang baik oleh Kode Etik Kedokteran, juga
dilarang oleh Agama maupun Undang-Undang Negara adalah perbuatan-
perbuatan:
1. Mengugurkan kandungan (abortus) tanpa indikasi yang benar.
2. Mengakhiri kehidupan seseorang pasien dengan alasan bahwa menurut
ilmu kedokteran penyakit rang dideritanya tidak mungkin lagi bisa
disembuhkan (euthanasia).
Tindakan aborsi yang dibenarkan oleh undang-undang sampai saat
ini, y.i. sebagaimana termuat dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
Pasal 15, hanya dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa
ibu hamil.
Dan inipun hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan rang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk ini, serta berdasarkan pertimbangan tim ahli,
dan harus ada persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya, dan harus dilakukan di sarana kesehatan tertentu (rumah sakit).
(Dan inipun PP-nya masih belum keluar). Tindakan aborsi atas indikasi-
indikasi lain seperti sosial, humaniter dan eugenetik, seperti di negara-negara
lain, yang bukan hanya untuk menolong si ibu, melainkan juga dengan
pertimbangan demi keselamatan si anak, baik jasmaniah maupun
rohaniyahnya, sampai saat ini di Indonesia belum ada undang-undangnya.
Memang dengan alasan kemajuan dalam bidang diagnostik prenatal, dengan
dapat ditemukannya berbagai penyakit bawaan yang berat dan penyakit
genetik yang tidak memungkinkan bayinya dapat hidup normal, sudah banyak
63
tuntutan untuk dibuat undang-undang yang memperbolehkan dilakukannya
tindakan aborsi dengan indikasi yang lebih luas. Dengan kemajuan iptek di
bidang kesehatan reproduksi dan fertilitas, juga banyak permasalahan yang
tidak lagi bisa terjangkau oleh Kode Etik Kedokteran; demikian pula yang ada
dalam UU No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan, masih terbatas pada
"kehamilan di luar cara alami" ("bayi tabung”), yaitu sebagaimana diuraikan
dalam pasal 16 yang terdiri dari tiga ayat. Dalam pasal 16 ini hanya
menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alami hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang syah, dan hasil pembuahan sperma
dan ovum dari suami istri tersebut ditanamkan dalam rahim istri dari mana
pembuahan sperma dan ovum berasal, dan harus dilakukan, oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, serta
dilakukan di sarana kesehatan tertentu (rumah sakit). Dalam pasal 16 dari UU
No. 23 tahun 1992 ini, jelas bahwa "sewa rahim" (surrogate motherhood) tidak
diperbolehkan di Indonesia. sementara mengenai perlakuan terhadap sisa
kelebihan embryo, penyimpanan embryo dan lain-lainnya yang berkaitan
dengan ini masih belum diatur. Kemungkinan akan dijabarkan pengaturannya
dalam PP yang masih belum dibuat.
Mengenai "euthanasia" akhir-akhir ini banyak menarik perhatian,
khususnya sehubungan dengan dampak dari perkembangan dan kemajuan
IPTEK Kedokteran. Di satu sisi ini mempunyai ni/ai negatif karena istilah ini
mempunyai arti sebagai "pembunuhan tanpa penderitaan" (mercy killing)
terhadap pasien yang tidak dapat diharapkan lagi untuk disembuhkan, namun
di pihak lain ini dapat dianggap sebagai bagian dari tindakan menghormati
kehidupan insani, karena ini juga dapat diartikan "mengakhiri atau tidak
memperpanjang penderitaan pasien" yang secara medis sudah tidak mungkin
lagi dapat disembuhkan. Pada dasarnya "euthanasia" dibedakan menjadi dua,
ialah :
1. Euthanasia aktif yaitu berupa tindakan "mengakhiri kehidupan", misalnya
dengan memberikan obat dengan dosis lethal kepada pasien.
2. Euthanasia pasif, yaitu tindakan atau perbuatan "membiarkan pasien
meninggal", dengan cara misalnya tidak melakukan intervensi medik atau
menghentikannya seperti pemberian infus, makanan liwat sonde, alat
bantu pernafasan, tidak melakukan resusitasi, penundaan operasi dan lain
sebagainya.
Mengenai euthanasia aktif, banyak negara yang menentangnya
sekalipun pada kenyataannya sudah banyak negara yang mentolerir tindakan
ini, di Amerika Serikat "euthanasia" lebih populer dengan istilah "physician
assisted suicide". Negara yang telah memberlakukan diperbolehkannya
euthanasia lewat Undang-Undang adalah Negeri Belanda, dan di Amerika
Serikat baru ada satu negara bagian yang memperbolehkan euthanasia
(assisted suicide) ialah negara bagian Oregon. Di Indonesia sebagai negara
64
yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan "euthanasia aktif'.
Mengenai "euthanasia pasif", adalah merupakan suatu "daerah
kelabu" karena memiliki nilai yang bersifat "ambigu", yaitu di satu sisi bisa
dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain bisa dianggap sebagi
perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau guna
mengakhiri penderitaan pasien, dengan lebih membiarkan penyakit yang
diderita pasien berjalan secara alamiah.
Bahwa dalam menghadapi pasien di akhir hayatnya, dimana ilmu dan
teknologi kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan
kesembuhan, hendaknya berpegang kepada pedoman sebagai berikut:
1. Sampaikan kepada pasien dan atau keluarganya keadaan yang
sebenarnya dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien.
2. Dalam keadaan dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat
lagi diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan
pasien bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan
harus lebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan
penderitaan.
3. Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya,
tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun
demikian dokter wajib untuk terus merawatnya, sekalipun pasien dipindah
ke fasilitas lainnya.
4. Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus diusahakan
seringan mungkin; dan apabila pasien meninggal dunia, seyogyanya
bantuan diberikan kepada keluarganya yang ditinggal.
5. Bahwa apabila pasien dan atau keluarga pasien menghendaki menempuh
cara "pengobatan alternatif', tidak ada alasan untuk melarangnya selama
tidak membahayakan bagi dirinya.
6. Bahwa dalam menghadapi pasien yang seeara medis tidak
memungkinkan lagi untuk disembuhkan, termasuk penderita "dementia"
lanjut, disarankan untuk memberikan "Perawatan Hospis" (Hospice Care).
Selanjutnya pedoman yang lebih rinci dan lebih teknis, adalah
merupakan tugas dari Komite Medik di setiap Rumah Sakit untuk
menyusunnya.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/kesehatan.
a. Penjelasan khusus yang terkait dengan klonasi/cloning (diadopsi dari hasil
Keputusan Muktamar XXIII IDI tahun 1997, tentang Klonasi (Cloning)
65
Pendahuluan
Reproduksi (kembang biak) manusia memang dianjurkan atau
mungkin diperintahkan oleh Tuhan. Dan melaksanakan anjuran/perintah
Tuhan tersebut adalah idaman setiap manusia yang mengaku beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan telah memberi petunjuknya, yaitu melalui
pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan kembang
biak (reproduksi) yang terjadi dari pernikahan merupakan hasil kerja-sama
antara kedua orang yang menikah tersebut. Secara rinci kerja-sama tersebut
berupa persatuan antara sel mani (sel sperma) dari si laki-laki dengan sel telur
(ovum) dari si perempuan, yang dari sudut kedokteran (biologi) dikenal
sebagai fertilisasi. Lebih dalam lagi persatuan kedua sel tersebut merupakan
persatuan materi genetik dari si laki-laki (calon ayah) dan dari si perempuan
(calon ibu). Materi genetik yang diturunkan dari ayah dan dari ibu, merupakan
'nasab' seseorang, yang tidak akan dapat dipungkiri dan tidak akan dapat
ditiadakan. Setiap manusia memiliki 'nasab' atau hubungan genetik dengan
kedua orangtuanya (ayah dan ibunya).
Klonasi, merupakan cara reproduksi salah satu makluk hidup yaitu
bakteri, yang sangat sederhana. Bakteri 'membentuk' salinan dirinya (copy),
yang dapat dinilai kembarannya karena memiliki materi genetik yang sama
dengan bakteri asalnya. Melalui cara 'reproduksi' ini, bakteri memperbanyak
diri, dari 1 menjadi 2, lalu menjadi 4 dan kemudian menjadi 16 dst. Proses
tersebut dalam mikrobiologi dikenal sebagai 'cloning', yang walapun
merupakan cara reproduksi (pada bakteri), pada dasarnya berbeda dari
reproduksi pada organisme (makluk hidup) tingkat lebih tinggi seperti
umpamanya kodok, ikan, burung, sapi apalagi manusia. Reproduksi (kembang
biak) cara bakteri dikenal secara umum sebagai reproduksi aseksual . Pada
berbagai makluk hidup bukan bakteri, reproduksinya secara umum serupa
dengan manusia, yaitu ada pertemuan antara sel kelamin dari induk jantan
dan sel kelamin dari induk betina, dan dikenal sebagai reproduksi seksual .
Pada reproduksi seksual dikenal adanya induk jantan dan induk
betina, tetapi pada klonasi (reproduksi aseksual) tidak terdapat induk jantan
dan induk betina. Secara alami, reproduksi aseksual merupakan upaya
reproduksi makluk hidup tingkat rendah.
Klonasi sel/jaringan pada manusia sebenarnya bukan hal baru karena
bio-teknologi ini dapat dimanfaatkan di bidang kedokteran. Penelitian dan
pengembangan antigen dan zat anti monoklonal, yang dapat digunakan dalam
segi diagnosis dan pengobatan penyakit tertentu memang telah dilakukan.
Klonasi hewan yang sekarang ini terbukti dapat dilakukan di masa
mendatang akan membuka era baru dalam bidang embriologi. Melalui klonasi
hewan akan dapat dilakukan penelitian klonasi organ, yaitu membuat
reproduksi organ tertentu, tanpa melalui reproduksi hewan secara
66
utuh/lengkap. Penelitian semacam ini akan sangat bermanfaat, dalam upaya
untuk menyediakan organ tertentu, yang nantinya dapat ditransplantasikan
kepada orang yang memang memerlukan transplantasi organ tubuh tertentu.
Klonasi pada manusia secara teoritik akan dapat saja dilakukan pada
masa mendatang. Setelah keberhasilan melakukan pengklonan pada domba.
Melalui upaya tersebut, manusia direproduksi tanpa menyatukan sel
kelamin/materi genetik dari ayah (laki-laki) dan sel kelamin/materi genetik dari
ibu (perempuan).
Seandainya klonasi manusia dilakukan, manusia hasil klonasi tersebut tidak
memiliki ayah dan ibu. Keadaan tsb. jelas berbeda dari manusia lain yang
normal. Manusia hasil klonasi tersebut memiliki hubungan genetik hanya
dengan manusia sumber klonasi. Dan karenanya manusia hasil klonasi (yang
merupakan cara reproduksi/kembang-biak bakteri), dapat dinilai 'sederajat
atau setingkat' dengan bakteri.
Berdasarkan kenyataan yang diuraikan seperti tersebut di atas, upaya
reproduksi manusia dengan cara klonasi, akan sangat menurunkan derajat
dan martabat manusia, sampai dapat disamakan dengan derajat-martabat
bakteri. Oari sudut sosial dan hukum, upaya reproduksi secara klonasi juga
akan mengacaukan sistem/pranata sosial dan hukum manusia, karena
manusia hasil klonasi tersebut tidak memiliki ayah dan ibu.
Ikatan Dokter Indonesia melalui Muktamar yang ke XXIII tahun 1997 di
Padang, menyatakan sebagai berikut ;
1. Menolak
dilakukannya klonasi pada manusia, karena upaya itu
mencerminkan penurunan derajat serta martabat manusia sampai
setingkat dengan bakteri, menghasilkan manusia yang tidak memiliki ayah
dan ibu alami maupun genetik, yang lebih lanjut akan merusak
sistem/pranata hukum dan sosial manusia. Dalam kaitan dengan
penolakan tersebut, menghimbau para ilmuwan khususnya dokter, agar
tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia.
2. Mendorong ilmuwan untuk tetap memanfaatkan bio-teknologi klonasi ;
2.1 pada sel/jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
melalui al. pembuatan zat anti atau antigen monoklonal, yang dapat
digunakan dalam banyak bidang kedokteran baik aspek diagnosis
maupun aspek pengobatan.
2.2 pada sel atau jaringan hewan dalam upaya penelitian kemungkinan
melakukan klonasi organ, serta penelitian lebih lanjut kemungkinan
diaplikasikannya klonasi organ manusia untuk dirinya sendiri.
67
Addendum 2:
Penjelasan Khusus yang Terkait dengan Proses Implementasi KODEKI
(Hasil Mukernas Etika Kedokteran III), April 2001.
I. PENDAHULUAN
Profesi dokter sejak awalnya merupakan profesi yang luhur dan mulia
yang ditunjukkan oleh adanya 6 sifat dasar yang harus dimiliki oleh setiap
dokter yang terdiri dari :
1. Sifat ketuhanan.
2. Kemurnian niat.
3. Keluhuran budi
4. Kerendahan hati.
5. Kesungguhan kerja
6. Integritas ilmiah dan sosial.
Kode etik kedokteran disusun agar 6 sifat dasar tersebut dapat
dilaksanakan pada pengamalan profesi kedokteran. Kita menyadari, pada
saat ini banyak kritik masyarakat terhadap implementasi Etik Kedokteran. Hal
tersebut tentunya tidak terlepas dari 6 sifat dasar yang membuktikan keluhuran
dan kemuliaan profesi dokter tersebut diatas. Tiga sifat terakhir yaitu
kesungguhan kerja, kerendahan hati, integritas ilmiah dan sosial dapat
disaksikan masyarakat secara kasat mata dan obyektif yang bisa disebutkan
sebagai dimensi sosial, tetapi sifat dasar lainnya, seperti kemurnian niat
merupakan dimensi transcendental yang hanya dirasakan oleh yang
bersangkutan sehingga bersifat subyektif dan hanya diketahui oleh yang
bersangkutan dan Tuhan.
Sejalan hal tersebut diatas, dalam rangka meningkatkan pelaksanaan
Kode Etik Kedokteran pada pengamalan profesi kedokteran, dirasa perlu
adanya Proses Implementasi Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
II. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KODEKI
Etika tidak bisa dilepaskan dari moral yang berarti sikap, kebiasaan yang
terbentuk dari sebuah proses yang lama dalam suatu masyarakat yang bisa
mempengaruhi pad a implementasi etika, dan hal tersebut tentunya berlaku
pula untuk implementasi KODEKI.
Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi KODEKI adalah, sebagai
berikut:
2.1. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Pada umumnya para dokter mengetahui pertama kali tentang Kode Etik
Kedokteran adalah pada waktu kuliah di Fakultas Kedokteran. Oleh
karena salah satu mata kuliah di Fakultas Kedokteran adalah Etik Profesi.
Namun dengan belum adanya standarisasi penyelenggaraan Fakultas
68
Kedokteran yang berkaitan dengan KODEKI maka pemahaman KODEKI
oleh para dokter menjadi tidak sama. Di lain pihak pengenalan dan
pemahaman KODEKI perlu dilakukan berkesinambungan, dengan belum
terstandarisasinya kursus etik profesi maka berdampak pula terhadap
pengenalan dan pemahaman KODEKI terhadap para dokter saat ini.
Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan dan pelatihan berpengaruh
terhadap implementasi KODEKI.
2.2. FAKTOR INTRINSIK INDIVIDU
Di atas telah diuraikan bahwa etika tidak bisa dilepaskan dari moral yang
berarti sikap, kebiasaan yang terbentuk dari sebuah proses lama yang
bisa menunjukkan sikap yang baik dan sikap yang buruk. Dan kita ketahui
sikap dan kebiasaan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor instrinsik
individu.
2.3. UNGKUNGAN SOSIAL, EKONOMI, BUDAYA, HUKUM
Seorang dokter dalam mengimplementasikan KODEKI dapat dipengaruhi
oleh lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Oleh karena
perubahan lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan hukum akan merubah
pula sistem nilai, yang pad a akhirnya akan berdampak pula terhadap
implementasi KODEKI.
2.4. PENGAWASAN
Belum berfungsinya pengawasan secara optimal, mempengaruhi
implementasi KODEKI. Lemahnya pengawasan telah menyebabkan
KODEKI tidak dilaksanakan dengan baik dan malahan ada yang
melanggarnya. Oleh karena itu, pengawasan memegang peran panting
dalam implementasi KODEKI.
2.5. PENEGAKAN BAGI PELANGGAR
Lemahnya pengawasan yang berdampak terhadap pelanggaran KODEKI
perlu ditindaklanjuti dengan penegakan bagi pelanggar. Dengan adanya
penegakan bagi pelanggar diharapkan implementasi KODEKI dapat
berjalan dengan baik.
2.6. HUBUNGAN DENGAN PROFESI KESEHATAN DAN INSTANSI TERKAIT
Para dokter dalam melaksanakan kegiatannya dapat berhubungan
dengan profesi kesehatan lainnya dan dapat pula berhubungan dengan
instansi terkait. Hubungan tersebut tentunya akan mempengaruhi para
dokter dalam mengeimplementasikan KODEKI.
III. PROGRAM IMPLEMENTASI KODEKI
Perubahan sosio-ekonomi masyarakat yang diikuti dengan
meningkatnya pendidikan masyarakat telah merubah sistem nilai dan perilaku
di masyarakat. Perubahan sistem nilai dan perilaku para dokter yang pada
69
gilirannya telah mengurangi pengamalan profesi kedokteran. Hal tersebut
terlihat bahwa pada saat ini banyak kritik masyarakat terhadap implementasi
KODEKI. Kritik masyarakat terhadap implementasi KODEKI tersebut tentunya
tidak terlepas dari adanya enam sifat dasar yang harus membuktikan
keluhuran dan kemurnian profesi dokter yaitu ketuhanan, keluhuran budi,
kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati dan integritas ilmiah dan
sosial. Oleh karena itu program implementasi KODEKI sangatlah penting.
Dengan adanya program implementasi diharapkan adanya kejelasan arah dan
tujuan implementasi KODEKI yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan
citra dokter Indonesia yang pada saat ini sedang menurun.
Proses implementasi KODEKI terdiri dari :
3.1. FASE PERSIAPAN
Pada fase persiapan ini yang diperlukan adalah standarisasi dan
pedoman.
Fase persiapan ini diharapkan dilaksanakan di Pengurus Besar IDI (IDI
Pusat) dan IDI Wilayah. Langkah-langkah yang dilakukan pada fase
persiapan sebagai berikut:
3.1.1. Pengurus Besar IDI melalui MKEK Pusat diharapkan dapat
menyusun standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang
berkaitan dengan KODEKI. Dengan adanya standarisasi
diharapkan semua mahasiswa Kedokteran di Indonesia mendapat
bekal KODEKI yang sama sehingga dalam melakukan
implementasi juga sama.
Standarisasi pendidikan tersebut meliputi :
•
•
•
•
•
•
Sillabi etik profesi
Buku ajar KODEKI dan Keprofesian
Sillabi kursus
Buku pedoman untuk kursus
Kualifikasi tenaga pengajar
Modul etik
3.1.2. mengingat budaya masing-masing wilayah tidak sama maka
standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang berkaitan
dengan KODEKI perlu ditindaklanjuti oleh IDI Wilayah untuk
membuat pedoman-pedoman yang disusun oleh IDI Wilayah
diharapkan dapat membantu dan memperjelas implementasi
KODEKI di wilayah.
3.2. FASE PELAKSANAAN
Agar dapat melaksanakan implementasi KODEKI dengan baik maka harus
dimulai sejak menjadi mahasiswa kedokteran sampai menjadi dokter dan
70
melaksanakan kegiatan sebagai profesi dokter. Berdasarkan hal tersebut,
pelaksanaan implementasi KODEKI sebagai berikut :
3.2.1.
Pendidikan under graduate
di Fakultas Kedokteran (S1)
Pengenalan, penghayatan dan pemahaman KODEKI perlu
dilakukan sedini mungkin, yaitu melalui pendidikan under graduate
di Fakultas Kedokteran. Dengan dimulainya pengenalan dini
diharapkan para dokter dapat mengetahui, memahami,
menghayati dan mengamalkan 6 sifat dasar yang membuktikan
keluruhan dan kemuliaan profesi dokter.
3.2.2.
3.2.3.
3.2.4.
3.2.5.
3.2.6.
Kursus terstruktur, tatap muka dan jarak jauh oleh Lembaga
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) IDI. Agar KODEKI
dapat terus diingat oleh para dokter maka perlu ada
pelatihan/kursus yang terstruktur mengenai KODEKI. Kursus
dapat menggunakan sistem tatap muka tetapi juga dapat dengan
sistem jarak jauh. Dengan sistem jarak jauh diharapkan cakupan
pesertanya dapat lebih banyak dan dengan hasil yang tidak
berbeda dengan sistem tatap muka. Misalnya melalui Tele
Conference, Tele Seminar.
Kuliah etik pada tiap PKB/Pertemuan ilmiah Tak dipungkiri PB IDI
maupun IDI Wilayah sering mengadakan pertemuan ilmiah atau
menyelenggarakan PKB. Pertemuan ilmiah dan PKB tersebut
dapat merupakan wahana yang baik untuk melakukan sosialisasi
KODEKI secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
Disarankan atau agar dibuat kebijakan oleh PB IDI bahwa
sebelum PKB/pertemuan IImiah dilaksanakan perlu diawali
dengan Kultum (Kuliah Tujuh Menit) mengenai KODEKI.
Kursus Etik bagi anggota MKEK Di dalam struktur organisasi IDI,
MKEK mempunyai pengenalan, penghayatan dan pemahaman
yang sama mengenai KODEKI maka anggota MKEK wajib
mengikuti Kursus Etik. Disarankan MKEK Pusat membuat Kursus
Etik bagi MKEK Wilayah, sedangkan MKEK Wilayah membuat
Kursus Etik bagi MKEK Cabang.
Melaksanakan dan mengembangkan fungsi-fungsi dalam struktur
organisasi MKEK.
Pemberdayaan panitia etik/Komite Etik di rumah sakit dalam
membuat kebijakan.
Untuk menangani masalah etik di rumah sakit, maka setiap rumah
sakit wajib mempunyai panitia etik/komite etik. Kewajiban ini telah
tertuang dalam standar akreditasi rumah sakit. Harus diakui
panitia etik/komite etik di Rumah Sakit (AS) pada saat ini belum
berfungsi optimal dan kurang diberdayakan. Agar implementasi
71
KODEKI di AS dapat berjalan dengan baik maka pengawasan
secara berkesinambungan perlu dilakukan. Panitia etik/komite di
AS diharapkan dapat melaksanakan kegiatan tersebut.
3.2.7.
Koordinasi dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait.
Implementasi KODEKI sangatlah dipengaruhi oleh profesi
kesehatan lain dan institusi lain terkait oleh karena itu dalam
melaksanakan implementasi KODEKI perlu melakukan koordinasi
dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait. Sebagai
contoh kerja sama dokter dengan perusahaan farmasi dapat
diantisipasi dengan melakukan koordinasi dengan profesi farmasi,
dengan dilaksanakan kode etik kedokteran dan kode etik farmasi
diharapkan dapat meminimalkan pelanggaran etik profesi tersebut.
Di lain pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
menganggap kerja sama dokter dan perusahaan farmasi bukanlah
merupakan pelanggaran etika tetapi merupakan pelanggaran
hukum, IDI dan ISFI harus melakukan koordinasi dengan institusi
terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
3.3.
PENGAWASAN/EVALUASI
Sudah menjadi sifat manusia, apabila tidak diawasi maka berani
melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, implementasi KODEKI perlu
diikuti dengan sistem pengawasan/evaluasi yang berkesinambungan
dan berkelanjutan.
Hal-hal yang perlu dilakukan pada pengawasan/evaluasi adalah sebagai
berikut :
a. MKEK melaksanakan pengawasan secara aktif dan pasif Agar ada
kejelasan siapa, kapan dan bagaimana melakukan pengawasan
evaluasi maka PB IDI melalui MKEK Pusat diharapkan dapat
membuat pedoman pengawasan/evaluasi yang merupakan acuan
umum, sedangkan IDI Wilayah melalui MKEK Wilayah membuat
petunjuk teknis pengawasan/evaluasi yang merupakan penjabaran
pedoman yang disusun PB IDI melalui MKEK Pusat sesuai dengan
budaya, situasi dan kondisi wilayah.
b. Panitia Etik RS sebagai pemantau di RS Seperti disebutkan diatas
bahwa RS wajib mempunyai panitia etik maka panitia etik di RS ini
diharapkan dapat secara optimal melakukan pengawasan secara
aktif maupun pasif implementasi KODEKI. Oleh karena itu panitia
etik RS diharapkan mempunyai prosedur tetap pengawasan/
evaluasi KODEKI serta pencatatan dan pelaporan masalah etik.
c. Perlu adanya pelaporan kasus etik secara berkala dan berjenjang.
Perlu dikembangkan format laporan kasus etik dan tata cara
pelaporan secara berkala dan berjenjang.
72
3.4. PENEGAKAN IMPLEMENTASI ETIK
Penegakan implementasi etik dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
3.4.1. Panitia etik RS memecahkan masalah etik di rumah sakit
3.4.2. Panitia etik RS merujuk pelanggaran etik yang tidak bisa
diselesaikan di RS ke MKEK/MAKERSI (Majelis Kehormatan Etika
Rumah Sakit).
3.4.3. MKEK menangani kasus etik pengaduan dari masyarakat.
3.4.4. Dalam penanganan masalah etik harus memperhatikan ketentuan
hukum dan etika lain yang berlaku.
3.5. ORGANISASI MKEK
Yang paling panting dalam organisasi MKEK adalah kedudukan MKEK
dengan IDI. Mengacu kedudukan MKEK Pusat, maka MKEK Wilayah
diharapkan berkedudukan sejajar dengan IDI Wilayah dan dapat bekerja
secara otonom.
IV. LAIN-LAIN
4.1. Pengurus Besar IDI melalui MKEK Pusat agar membuat tatwa
mengenai kasus terminal state
4.2. IDI, PERSI, GP Farmasi dan ISFI agar membuat "guidelines" yang
jelas tentang ketentuan promosi obat, alat kesehatan dan kosmetik
dan sekaligus membuat badan penyelesaiannya.
4.3. Pelanggaran ketentuan promosi agar tidak dijadikan sebagai produk
hukum tetapi sebagai masalah etika.
4.4. IDI/MKEK dan PERSI/MAKERSI agar bersama-sama membuat
model untuk terciptanya Hospital By Laws.
4.5. IDI dan ISFI agar terlibat langsung dalam audit dan sertitikasi obat
tradisional.
4.6. Agar IDI membuat tim tetap penguji kesehatan pejabat tinggi negara
sambil menunggu dikeluarkan ketentuan perundangan.
4.7. IDI dan pejabat kesehatan setempat melakukan pengawasan
terhadap penggunaan tenaga dokter asing di wilayah masing-
masing.
V. PENUTUP
Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
kewajiban dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban kepada pasien,
kewajiban kepada diri sendiri dan teman sejawatnya. Keharusan
mengamalkan kode etik disebutkan dalam lafal sumpah dokter yang
didasarkan pada PP No. 26 tahun 1960. Ini berarti terbuka kemungkinan
memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar kode etik.
No comments:
Post a Comment