BAB I
PENDAHULUAN
saya herry setya yudha utama mencoba menyajikan tulisan ini untuk masyarakat. Di negara berkembang seperti Indonesia,
seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensinya cenderung makin
meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian
akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan
rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Kasus cedera kepala terutama melibatkan
kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh
kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Penyebab tersering adalah kecelakaan
lalu lintas dan disusul dengan kasus jatuh terutama pada kelompok usia
anak-anak.
Trauma capitis adalah cedera
pada kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan
kulit kepala atau tingkat yang paling
“ringan”, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan
otaknya sendiri; baik berupa luka yang tertutup, maupun trauma tembus.
Untuk rujukan penderita
cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting seperti: umur penderita,
waktu, mekanisme cedera, status respiratorik dan kardiovaskuler, pemeriksaan
minineurologis (GCS) terutama nilai respon motorik dan reaksi cahaya pupil,
adanya cedera penyerta, dan hasil CT Scan.
Pada
penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran,
sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan
neurologist harus dilakukan secara serentak.
Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien
tiba di Rumah Sakit.
I.1.ANATOMI
A.Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5
lapisanyang disebut SCALP yaitu:
- Skin
atau kulit
- Connective
Tissue atau jaringan penyambung
- Aponeurosis
atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak
- Loose
areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
- Perikarnium
Kulit kepala memiliki banyak
pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala
akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.
B.Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak atau kranium
terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio temporal tulang tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak
teratur sehingga cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian
dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior. Fosa
anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis dan
fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum.
C.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh
permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan yaitu: duramater, araknoid dan
piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium.
Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat ruang
subdural.
Pada cedera kepala, pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan
tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan
lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater yang
melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi
diantara selaput araknoid dan piameter dalam ruang sub araknoid.
D.Otak
Otak manusia terdiri dari
serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan
kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater yang berada di
inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara
sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi
bicara (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi
ruang dan fungsi sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang
otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan
pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital
kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di bawahnya.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan terletak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak dan kedua
hemisfer serebri.
E.Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh
pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus
khorideus terletak di ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri, mengalir
melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga. Selanjutnya melalui akuaduktus
dari sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya keluar dari sistem
ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak
dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah
dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus komunikans)
F.Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang
tengkorak menjadi supratentorial dan infratentorial. Mesensefalon menghubungkan
hemisfer serebri dengan batang otak berjalan melalui celah lebar tentorium
serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus oculomotorius(N.III) berjalan
di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadan herniasi otak
yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa supratentorial atau edema otak.
Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi
medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi Unkus menyebabkan
juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Dilatasi
pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom
klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial tedapat pada
sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun tidak selalu.
I.2.Fisiologi
A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang
mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang
selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan
konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula
kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya
merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering
merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg
(136 mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih
dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah
cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
B. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang
dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume
intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan
rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya
lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi
penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva
tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat
menunjukkan kedudukan pada garis datar kurva berapa banyak volume lesi masanya.
C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
Mempertahankan tekanan daerah yang
adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting, dan ternyata dalam
observasi selanjutnya TPO adalah indikator yang sama pentingnya dengan TIK. TPO
mempunyai formula sebagai berikut:
TPO = TAR – TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata;
Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya
berkaitan dengan kesudahan yang buruk pada penderita cedera kepala. Pada
keadaan TIK yang tinggi ternyata sangat penting untuk tetap mempertahankan
tekanan darah yang normal. Beberapa penderita tertentu bahkan membutuhkan
tekanan darah yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang adekuat.
Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam penatalaksanaan
penderita cedera kepala berat.
D. Aliran Darah ke Otak (ADO)
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit.
Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan hilang
dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi
kerusakan menetap. Pada penderita non-trauma, fenomena autoregulasi
mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata
50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO menurun curam
dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh
darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan
pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut sangat
rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat hipotensi
yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan
eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang
mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat hematoma intra cranial, haruslah
dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus
dipertahankan.
II.MEKANISME DAN PATOLOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat
benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau
difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak.
Berdasarkan
patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder . Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera
ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali
membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses
penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur
tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Farktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan
otak. Cedera fokal, kelainan ini
mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang
secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang
berbatas tegas. Cedera otak difusa
berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara
makroskopis.
Cedera kepala skunder
merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik. Pada
penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder dapat
mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita .
Penyebab cedera kepala
skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia,
hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial
(tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain
shift), vasospasme, kejang, dan infeksi) (1,
Aspek patologis dari
cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang terjadi antara
tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi
antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara
dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan
yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma
serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah
arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan
otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan
ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia
dan hematoma serebri
setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak
Cedera
kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada
kepala. Kelainan dapat berupa cedera
otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa
contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi
kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera
kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang
terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan .
III.KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam
berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi
III.1.Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1.
Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh atau pukulan benda tumpul . Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan
melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak
- Cedera tembus; disebabkan oleh luka
tembak ataupun tusukan
III.2.Berdasarkan
morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
1. Fraktur kranium; Fraktur
tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak . Fraktur dapat berupa
garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk
fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur
tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur
tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak .
2. Lesi intrakranial; dapat
berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan
peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan .
Perdarahan epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah
diantara tengkorak dengan duramater (hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-parietal yang
disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri,
namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak
jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada
region parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun secara relatif
perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera kepala
dan 9% dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan
karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan
epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena
kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
terlalu lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan
langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita
dengan perdarahan epidural dapat menunjukkan interval lucid yang klasik atau
keadaan dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal
(talk and die). Keputusan perlunya suatu tindakan operatif memang tidak mudah
dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Gambar: Perdarahan epidural
Gambar: Epidural Hematoma
Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada
perdarahan epidural (kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini
sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara korteks
serebri dan sinus venosus tempat vena tadi bermuara, namun dapat juga terjadi
akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak di
bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada perdarahan
epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan
dengan tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang
agresif.
Gambar :Perdarahan
subdural
Gambar: Subdural Hematom
Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio
serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri meningkat
sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala.
Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut.
Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum.
Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang
tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari
mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral.
Cedera difus
Cedera otak difus merupakan
kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini
merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio serebri ringan
adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan
kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih
kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad
(keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah cedera).
Komosio
serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya
berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik
penderita ini akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita
dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis selain
amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat
timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup
berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse
Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera
yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan
iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila
bertahan hidup. Penderita-penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom
seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan
tersebut sering terjadi bersamaan.
III.3.Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan
menjadi
· Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk
didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri
o
Skor GCS 13-15
o
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada
tidak lebih dari 10 menit
o
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o
Ada
muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
neurologist.
·
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o
Skor GCS 9-12
o
Ada pingsan lebih dari 10 menit
o
Ada
sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o
Pemeriksaan
neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
·
Cedera Kepala Berat (CKB)
o
Skor GCS <8
o
Gejalnya
serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
o
Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o
Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan
otak yang terlepas.
IV.GAMBARAN KLINIS
Gambaran
klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat
kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement)
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
· Secara spontan 4
· Atas perintah 3
· Rangsangan nyeri 2
· Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
· Orientasi baik 5
· Jawaban kacau 4
· Kata-kata tidak berarti 3
· Mengerang 2
· Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
· Kemampuan menurut perintah 6
· Reaksi setempat 5
· Menghindar 4
· Fleksi abnormal/Decorticate 3
· Ekstensi/Decerebrate 2
· Tidak bereaksi 1
Pemeriksaan korban cedera kepala
yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan neurologis yang lengkap. Sedangkan
pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan yang diutamakan adalah
yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat darurat, yaitu:
- tingkat
kesadaran
- Kekuatan
fungsi motorik
- Ukuran
pupil dan responsnya terhadap cahaya
- Gerakan
bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
Sehubungan dengan tingginya
insidensi kelainan/cedera sistemik penyerta (lebih dari 50%) pada kasus-kasus
cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Cedera daerah kepela dan leher:
laserasi, perdarahan, otorre, rinorre, racoon’s eyes (ekhimosis periorbital),
atau Battle’s sign(ekhimosis retroaurikuler).
2.Cedera daerah toraks: fraktur iga,
pneumotoraks, hematotoraks, temponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi
vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome)
3.Cedera daerah abdomen: khususnya
laserasihepar, lien atau ginjal. Adanya perdarahan ditandai dengan gejala akut
abdomen yang tegang dan distensif.
4.Cedera derah pelvis: cedera pada
penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya tidak jelas dan membutuhkan
konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan dengan kejadian kehilangan
darah yang okult.
5.Cedera daerah spinal: trauma kepala
dan spinal khususnya derah servikal dapat terjadi secara bersamaan.
6.Cedera ekstremitas: dapat melibatkan
jaringan tulang atau jaringan lunak(otot, saraf, pembuluh darah).
VI.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Yang
dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1.
CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan
komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
VII.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang
sakit . Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life
Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat
keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat .
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi
survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal
yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D
(disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala
berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan
menjaga homeostasis otak .
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal
pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan
napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering
terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda
asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah.
Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi,
atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin
lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga
patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan
napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut
akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat
diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat
atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal .
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan
memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan
lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal,
menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi
perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi
yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah
sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi
ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk
memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka
tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya
teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila
ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka .
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan
yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl
0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu,
karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak
dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi
tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down
(kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di
kepala dan menaikkan tekanan intracranial .
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder
sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila
keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik
penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respon
buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola
mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori
dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea .
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah
sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak
ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran,
kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan,
kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna,
GCS<15>.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan
untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan .
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila
hematom intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak
terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm .
ALGORITME 1
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA
RINGAN
Definisi : penderita sadar dan berorientasi-(GCS 14-15) Riwayat :
· Nama, umur, jenis
kelamin, ras, pekerjaan
· Mekanisme cedera
· Waktu cedera
·
Tidak sadar
segera setelah cedera
· Tingkat
kewaspadaan
· Amnesia
: Retrograde, Antegrade
· Sakit kepala : ringan, sedang, berat
· Kejang
Pemeriksaan
umum untuk menyingkirkan cedera sistcmik.
Pemeriksaan neurologis
terbatas.
Pemeriksaan ronsen vertebra
servikal dan lainnya sesuai indikasi.
Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine.
Pemeriksaan CT scan
kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala ringan, kecuali bila memang
sama sekali asimtomatik dan pemeriks-'-n neurologis normal.
Observasi atau dirawat di RS
· CT
scan tidak ada
· CT
scan abnormal
· Semua
cedera tembus
· Riwayat
hilang kesadaran
·
Kesadaran menurun
· Sakit
kepala sedang-berat
· Intoksikasi
alkohol/obat-obatan
· Fraktur
tengkorak
· Rhinorea-otorea
· Cedera
penyerta yang bermakna
· Tak
ada keluarga di rumah
· Tidak mungkin kembali ke RS segera
·
Amnesia
Dipulangkan dari RS
· Tidak memenuhi kriteria rawat.
· Diskusikan
kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi.
· Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu
ALGORITME
2
PENATALAKSANAAN
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun
masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS : 9-13).
Pemeriksaan awal :
·
Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah
pemeriksaan darah sederhana
·
Pemeriksaan CT scan kepala
·
Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat
·
Pemeriksaan neurologis periodik,
·
Pemmksaan CT scan ulang bila kondisi penderita
memburuk atau bila penderita
akan dipulangkan.
Bila kondisi membaik (90%)
· Pulang
· Kontrol di poliklinik.
|
Bila kondisi memburuk (10%)
· Bila penderita tidak
mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan
ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.
|
PENATALAKSANAAN
AWAL CEDERA KEPALA BERAT
Definisi : penderita tidak
mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS
3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksaan
·
ABCDE
·
Primary Sunny dan resusitasi
·
Secondary Survey dan riwayat
AMPLE
· Re-evaluasi neurologic
·
Respon buka mats •
Reaksi Cahaya pupil
·
Respon motorik •
Refleks okulo sefalik (Doll's eyes)
·
Respon verbal •
Refleks Okulovestibuler (Test Kalori)
· Obat-obatan
·
Manitol •
Antikonvulsan
· Hiperventilasi sedang
·
Tes Diagnostik (sesuai urutan)
·
CT Scan
(semua penderita)
·
Ventrikulografi
udara
·
Angiogram
ALGORITME 3
DPL - ULTRASONOGRAFI - CT SCAN PADA CEDERA KEPALA
DPL - ULTRASONOGRAFI - CT SCAN PADA CEDERA KEPALA
Penderita Cedera. Multipel dalam
Koma
Resusitasi Cairan
TDS
normal (>100 mm Hg)
Tidak
terdapat tanda-tanda :
-dilatasi pupil
-refleks cahaya
-hemiparesis
CT Scan kepala dan Abdomen
Terdapat
tanda-tanda :
-dilatasi pupil
-refleks cahaya -
-hemiparesis
CT Scan kepala
DPL/CT Abdomen
TDS
abnormal (<100 mmHg)
DPL segera atau seliotomi(neurologis proritas yang kedua),
bila dalam pembedahan timbul dilatasi pupil, pertimbangkan melakukan
ventrikulografi udara atau eksploratosi lubang bor, atau CT Scan setelah
seliotomi.
Pada kasus borderline misalnya TDS dapat dikoreksi sementara
tetapi cenderung untuk menurun, harts
diupayakan memperoleh hasil CT Scan kepala sebelum penderita dibawa ke
kamar operasi untuk seliotomi. Kasus seaport ini memerlukan keputusan klinis dan kerja sama yang balk antara
ahli bedah trauma dan ahli bedah saraf.
Catatan Algoritme 3:
1. Semua penderita cedera kepala berat yang koma
harus dilakukan resusitasi (ABCDE) saat tiba di UGD
2. TDS=Tekanan Darah Sistolik. Segera setelah
TD normal, lakukan pemeriksaan mini neurologis (GCS & Reaksi cahaya pupil).
Bila TD tidak dapat dinormalkan. catat pemerksaan minineurologik dan tekanan
darahnya.
3.
Bila TDS tidak dapat diperbaild sampai diatas 100 nun Hg
walaupun tclah dil resusitasi
caimn secara agesif, prioritasnya sekarang adalah mencari pcnyebab hipote dan evaluasi neurosirurgis merupakan prioritas
kedua. Pada kasus ini penderita dil DPL dan ultrasound di UGD atau
langsung ke kamar operasi untuk seliotomy. Dan CT kepala dilakukan setelah
seliotomy. Bila timbal tanda-tanda klinis suatu mass infra maka dilakukan ventrikulografi udara. Eksplorasi lubang bor atau craniotomy di operasi
sementara seliotomy sedang berlangsung.
4. Bila TDS > 100 mm Hg setelah resusitasi dan
terdapat gejala-gcjala suatu lesi intrakranial
(pupil anisokor, hemiparesis) maka prioritas pertama adalah CT Scan k DPL dapat dilakukan di UGD, rang CT Scan atau
kamar operasi namun evaluasi neurologi dan
tindakan) tidak botch tertunda.
DAFTAR PUSTAKA
1. Advance Trauma Life Support, hal
196-235
2. Greenberg Michael I.2008.text-atlas of emergency medicine.Penerbit
Erlangga.Jakarta, hal 44-51
3. Netter
FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System LLC,
2003
5. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf.
Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
8. Livingstone C. Neurology and
Neurosurgery illustrated. Second edition. 1991
No comments:
Post a Comment