"A Man can't make a mistake can't make anything"

Saturday, 14 July 2012

DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN KELAINAN KELENJAR THYROID / THYROID GLAND DISORDERS DIAGNOSIS AND TREATMENT


BAB I
PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid adalah salah satu sistem endokrin dalam tubuh. Sistem endokrin merupakan sistem dan organ yang memproduksi hormon, suatu mediator kimia yang bekerja jauh dari sistem atau organ asalnya.1
Sistem endokrin adalah sistem kelenjar yang meng­hasilkan suatu mediator kimia yang disebut hormon. Berbeda dengan sistem eksokrin, sekret dari sistem ini dicurahkan langsung ke peredaran darah tanpa melalui saluran atau duktus.1
Yang termasuk kelenjar endokrin adalah hipotalamus, kelenjar hipofisis anterior dan posterior, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, pulau Langerhans pankreas, korteks dan medula kelenjar suprarenal, o  varium, testis, dan sel endokrin di saluran cerna (lambung, usus, pankreas) yang disebut sel amine pre­cursor uptake and decarboxylation (APUD).1


Ilmu bedah endokrin adalah ilmu bedah yang mem­pelajari pemeriksaan, diagnosis, teknik pembedahan, dan perawatan pascabedah kelenjar.Ilmu bedah ini mengenai pembedahan pada pembesaran, gangguan fungsi, atau tumor kelenjar endokrin.1
Beberapa pionir bedah di bidang endokrinologi dan pembedahan endokrin ini, antara lain William Bayliss dan Ernest Starling. Bahkan, Starling (1905) adalah yang pertama kali menggunakan istilah hormon, yang artinya men"stimulasi". Theodore Kocher mendapatkan hadiah Nobel dalam pembedahan tiroid dan timbulnya mikse­dema pascabedah tiroidektomi total. Kemudian, Kendall dari Klinik Mayo berhasil mengekstrak hormon tiroksin, sedangkan Banting dan Best berhasil mengekstrak in­sulin dari kelenjar pankreas. Walter Canon menemukan bahwa perubahan emosi dapat merangsang sekresi dari medula kelenjar suprarenal. Pada tahun 1960, Everson Pearse menemukan adanya sistem neuro-hormonal yang meliputi neuron, enzim, peptida, dan amina yang disebutnya sebagai  APUD (amine precursor uptake  and decarboxylation). Berson dan Yalow menemukan teknik untuk menghitung kadar hormon dalam sirkulasi darah dengan teknik radioimmunoassay (I2IA) yang membuat mereka memenangkan hadiah Nobel.1
Pembedahan kelenjar endokrin biasanya ditujukan untuk memperbaiki atau mengembalikan fungsi normal kelenjar. Misalnya, hiperplasia kelenjar paratiroid yang memperlihatkan gejala hiperkalsemia akibat sekresi parathormon berlebihan yang dapat didiagnosis semata­mata berdasarkan pemeriksaan biokimia khusus. Pem­bedahan ditujukan untuk mengambil sebagian jaringan kelenjar untuk mengurangi kelebihan sekresi hormon. Pembedahan berhasil bila kadar kalsium serum kembali ke batas normal. Jika reseksi yang dilakukan tidak adekuat, hiperkalsemia akan tetap ada, sebaliknya, jika terlalu banyak kelenjar paratiroid yang diangkat, akan terjadi hipoparatiroidi.1
Pembedahan endokrin menuntut kerja sama yang baik antara dokter spesialis bedah, dokter spesialis endokrinologi, dan ahli biokimia.1


BAB II
KELENJAR TIROID

Kelainan glandula thyroidea  dapat berupa gangguan fungsi, seperti tirotoksikosis, atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid dengan sebab apapun umumnya disebut struma.1,2

II.1 EMBRIOLOGI DAN KELAINAN PERKEM­BANGAN YANG    
       BERHUBUNGAN
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus pertama dan kedua, pada garis tengah. Tempat pembentukan kelenjar tiroid ini menjadi foramen sekum di pangkal lidah. Jaringan endodermal ini turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua lobi. Penurunan ini terjadi pada garis tengah. Saluran pada struktur endodermal ini tetap ada dan menjadi duktus tiroglosus atau, lebih sering, mengalami obliterasi menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin.1
Glandula thyroidea pertama dikenal sebagai pene­balan endoderm lantai pharynx dalam awal embrio somit. Kemudian penebalan ini berevaginasi untuk membentuk suatu divertikulum yang dikenal sebagai tuberculum impar. la membentuk struktur bilobus yang melekat ke rongga bukal oleh tangkai sempit ductus thyroglossalis. Pita sel penghubung kemudian putus sewaktu embrio berkembang dan glandula thy­roidea yang sedang berkembang ditemukan sebagai massa sel tergantung melintasi bagian atas trachea yang sedang berkembang. Dekatnya dengan aorta dan ca­bangnya dalam fase dini perkembangan menjelaskan kenapa lobulus jaringan kelenjar bisa tetap melekat ke aorta dan cabangnya serta bertanggung jawab untuk kadang-kadang adanya jaringan thyroidea dalam cavitas thoracica dewasa. Jarang keseluruhan kelenjar turun ke dalam thorax. Dalam perkembangan normal, ductus thyroglossalis diresorpsi lengkap, tetapi bisa menetap secara keseluruhan atau sebagian.2

 Gambar 2.1
Hubungan anatomi topografik leher
Kulit dan jaringan subkutis yang longgar sekali yang mengandung m.platisma dan v.jugularis eksterna (1), fasia leher media yang mengandung otot leher pendek (m.sternohioideus, m.sternotiroideus, dan m.hiotiroideus) (2), m.sternokleidomastoideus (3), fasia leher dalam atau fasia prevertebralis yang memisahkan tulang belakang dan otot leher dorsal (golongan m.skalenus, m.koli longus) dari struktur leher depan (4), rugs tulang belakang servikal dengan a.vertebralis di foramen prosesus transversus (5), a.karotis komunis, v.jugularis interna, dan n.uagus dikelilingi satu sarung (6), trakea dan kelenjar tiroid berhubungan erat sehingga tiroid mengikuti gerakan trakea (7), kelenjar paratiroid biasanya berada di dalam simpai kelenjar tiroid (8), esofagus dikelilingi jaringan ikat longgar (9), n.rekurens terletak antara trakea dan esofagus (10).1
II.1.1 Kista Ductus Thyroglossalis
Kista ductus thyroglossalis suatu kista garis tengah yang muncul dalam sisa ductus thyroglossalis. Kista dan ductus penyertanya mempunyai hu­bungan bervariasi dengan os hyoideum; bisa terletak di belakang atau di depan atau kadang-kadang bisa me­lewati corpus oasis hyoidei dan kista sendiri dapat timbul di tempat mana pun dari foramen cecum sampai incisura jugularis.2
Kista ductus thyroglossalis timbul pada semua usia, tetapi terlazim dalam masa kanak-kanak pada sekitar 5 tahun. Biasanya is digaris tengah dan timbul dalam daerah os hyoideum. la tampil sebagai pembeng­kakan kistik tak nyeri yang bergerak pada penelanan atau pada penjuluran lidah - pembuktian perlekatan menetap ke foramen cecum. Kista ini mula-mula bisa tampil dengan infeksi di dalamnya. Terapi bedah melibatkan eksisi kista dan saluran penyertanya, yang bisa meluas melalui os hyoideum ke basis linguae. Terapi tak adekuat dapat menyebabkan kekambuhan kista, dalam infeksi berulang atau dalam perkembangan sinus atau fistula eksterna.2
 






Gambar 2.2. Pembengkakan kistik garis tengah tepat di alas ist­mus glandulae thyroidea yang terbukti merupakan kista ductus thyroglossalis.2

II.1.2 Tiroid Lingual
Tiroid lingual merupakan suatu massa pada regio dari foramen sekum pada dasar lidah, dapat membesar dan menyebabkan disfagia, disfonia, atau dispnea. Kegagalan turunnya prekursor thyroidea dapat menyebabkan perkembangan kelenjar seluruhnya da­lam senyawa lidah serta skan thyroidea dapat mengkonfirmasi tak adanya jaringan thyroidea di tempat lain selain dalam posisi ektopik. Tumor thyroida dapat timbul dalam kelenjar ektopik. Lebih lazim pasien bisa tampil dengan pembengkakan lidah; menimbulkan kesulitan dalam menelan, ke­sulitan dalam bernapas atau perubahan dalam kualitas bicara.2,3
Terapi primer adalah supresi dengan hormon tiroid atau ablasi dengan yodium radioaktif. Pembedahan diindikasikan untuk perdarahan, degenerasi. dan nekrosis. atau jalan napas yang tersumbat. Eksisi bedah diperlukan untuk obstruksi sim­tomatik yang ditimbulkan kelenjar. Autotranplantasi jaringan thyroidea yang dieksisi telah dianjurkan untuk mencegah hipothyroidesme.2,3

II.2 ANATOMI
Secara makroskopis: berat rata-rata 15 g. Terdiri dari lobus lateral yang memanjang sepanjang sisi larings, mencapai tingkat garis tengah dari kartilago tiroid dan bergabung dengan istmus yang menyilang trakea. Lobus piramidalis 80%, memanjang ke atas dari istmus, dan merupakan sisa embrionik dari duktus tiroglosal. Secara mikroskopik: folikel secara kasar berbentuk sferis, diameter rata-rata 30 µm, menyimpan produk dari sel-sel pembatas kuboid. Sel-sel C interfolikularis; bagian dari sistem APUD; mensekresi kalsitonin.3
Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia kola media dan fasia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah besar, dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fas­cia pretrachealis, dan melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan, mungkin juga, jumlah kelenjar ini sering bervariasi.1
Arteri karotis komunis, vena jugularis interna, dan nervus vagus terletak bersama di dalam suatu sarung tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan prevertebralis.1
Kelenjar tiroid kaya vaskularisasi, yaitu yang berasal dari empat sumber, a.karotis superior kanan dan kiri, cabang a.karotis eksterna kanan kiri, dan kedua a.tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang a.brakialis. Bagian superior dari karotis eksterna, bagian inferior dari trunkus tiroservikalis. Kadang kala dijumpai a.tiroidea ima, cabang dari trunkus brakiosefalika, yang sering menimbulkan perdarahan pada waktu melakukan trakeostomi. Adapun sistem venanya terdiri atas v.tiroidea superior berjalan bersama arterinya; v.tiroidea media berada di lateral, berdekatan dengan a.tiroidea inferior, dan v.tiroidea inferior, yang berada dalam satu arah dengan a.tiroidea ima (jika ada). Terdapat dua saraf yang mensarafi laring dengan pita suara (plica vocalis), yaitu n.rekurens, dan cabang dari n.laringeus superior.1,3
            Cedera nervus laringeus rekuren mengakibatkan paralisis pita suara. Terletak dalam sulkus trakeoesofageal: 64% kanan, 77% kiri. Lateral terhadap trakea 33% kanan, 22% kiri. Anterolateral terhadap trakea: 3% kanan, 2% kiri. Langsung (non­-rekuren): 0,5% kanan. Anterior terhadap arteri tiroidalis interior: 37% kanan, 24% kiri; 50% tertanam pada ligamentum Berry di belakang kutub atas dan rentan terhadap cedera akibat traksi pada glandula.3
Cedera pada nervus laringealis superior mengakibatkan paralisis otot krikotiroid, yang membentuk suara halus korda vokalis. Lokasinva di dekat atau di antara kutub atas pembuluh-pembuluh.3





Gambar 2.3 Anatomi Vaskularisasi Tiroid6
II.3 ANATOMI BEDAH TERAPAN
Secara topografi kelenjar tiroid terdiri dari 3 lobus, lobus lateralis kanan ­kiri, serta yang di tengah yaitu ismus, kadang-kadang dapat ditemuka-­lobus ke-4 yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas ismus agak ke kiri dari midline. Lobus ini merupakan sisa jaringan embryonic thyroid yang ketinggalan pada waktu migrasi jaringan ini ke bagian anterior di hipofaring.
Letak kelenjar tiroid ini yang beratnya + 25-30 gr antara kartilago tiroidea dan cincin trakhea ke-6. Ismus letaknya antara cincin trakhea ke-2 dan 4. Seluruh kelenjar tiroid ini dibungkus oleh suatu lapisan jaringan yang dinamakan true capsule. Sedangkan extension dari lapisan tengah fasia servikalis profundus yang mengelilingi kelenjar tiroid itu dinamakan false capsul atau surgical capsule. Seluruh pembuluh darah arteri, vena, pleksus limfatikus dan kelenjar paratiroid, letaknya antara true dan false capsule. Kedua lobus tiroid dihubungkan di bagian posterior oleh ligamenta Berry yang letaknya antara os cricoid dan upper tracheal ring. Di depan ligamenta Berry ini terletak kelenjar paratiroid, biasanya 2 di atas dan 2 di bawah. Pada umumnya besarnya 6 mm panjang, 2 mm lebar dan 2 mm tebal.
Yang penting adalah juga memperhatikan jalannya pembuluh darah arteria tiroid superior pada pool atas lobus kanan dan kiri. Dekat dengan arteria tiroid superior itu berada cabang eksterna dari nervus laringeus superior. Jangan meligasi arteria tiroid superior terlalu jauh dari pool atas lobus lateralis, mencederai nervus laringeus superior. Kemudian terdapat nervus rekuren yang berjalan di sulkus tracheo-oropharyngeal dan melewati tiroid inferior di belakang atau didepannya. Jangan lupa memperhatikan kelenjar getah bening sepanjang vena jugularis interna, pre dan paratrakheal dan dinding trakhea serta mediastinum.
Kadang-kadang nervus laryngeus recurrens terlihat dalam proses penyakit thyroidea yang pengaruhi fungsinya. Penyakit keganasan dapat menginfiltrasi nervus ini dan menyebabkan

 












Gambar 2.4 Pengupasan yang memperlihatkan struktur anatomi leher, terutama yang dalam regio glandula thyroidea. Saraf ke kiri Nervus vagus adalah n. phrenicus. Perhatikan lokasi glandula parathyroidea dan nerves laryngeus recurrens. Jumlah glandula thyroi­dea pada sisi trachea dua kali jumlah yang kiri setelah tiroidektomi subtotal.2

malfungsi, yang menimbulkan kehilangan abduksi dalam pita suara yang terkena. Sensasi di bawah pita suara tak ada pada sisi yang kena. Penting dilakukan pemeriksaan prabe­dah pasien ini untuk menilai fungsi nervus laryngeus recurrens dengan laringoskopi tak langsung. Jika lo­bektomi total akan dilakukan, maka nerves laryngeus recurrens pada sisi itu menjadi jauh lebih berisiko serta perlu diidentifikasi dan diikuti dengan tepat perjalanannya dengan perlindungan integritasnya. Sering lebih mudah mengenai nervus ini dalam alur tracheoesophagus sewaktu ia berjalan ke atas menuju glandula thyroidea. Di kanan, nervus laryngeus recur­rens lebih sering langsung dan tidak recurrens. Hal ini timbul berhubungan dengan koarktasio aorta. Nervus ini berjalan dekat cabang arteria thyroidea inferior dan kemudian pada sisi posterior pada tiap lobes setinggi cartilago thyroidea sewaktu i\a berjalan di bawah musculus constrictor pharyngis inferior untuk masuk ke dalam larynx. Trauma dapat timbul bahkan dengan penanganan saraf yang paling lembut. Pem­buluh darah halus yang berjalan sepanjang nervus ini hanya perlu diamati karena mudah timbul memar intraneural. Selama operasi, larynx ditangani dari luar dan diintubasi dari dalam dengan intubasi endotrakea.2
Serak timbul agak lazim setelah pembedahan thyroidea dan mungkin tidak dapat dihubungkan ke kerusakan saraf dalam setiap kasus. Di samping laringoskopi tak langsung pra bedah, pemeriksaan harus diulangi 2 minggu pascabedah. Jika kerusakan saraf timbul atau tak dapat dielakkan dalam penyakit keganasan thyroidea, maka kemudian pita suara sisi lain meng­kompensasi sisi yang paralisis. Kerusakan saraf bilateral dan paralisis pita suara menimbulkan serak permanen dan saluran pernapasan tidak terlindung dengan adekuat serta gangguan sensorik total di bawah pita suara. Trakeos­tomi diperlukan dalam keadaan ini.2
Nervus laryngeus superior bercabang menjadi ramus internus dan eksternus, yang pertama sensorik membrana mukosa larynx di atas pita suara dan yang terakhir (lebih kecil dari dua cabang ini) turun ber­sama arteria thyroidea superior, tetapi pada bidang lebih profunda untuk mensarafi musculus crico­thyroidea. Kerusakan nervus laryngeus superior dapat timbul bila pembuluh darah thyroidea superior diligasi. Hasilnya kehilangan fungsi tensor cricothyroidea diikuti kehilangan paling kurang setengah oktaf ren­tang. suara atas dan kehilangan sensasi dalam larynx di atas pita suara. Secara klinik menyebabkan perubahan suara yang khas, kadang-kadang gangguan sensorik juga menyebabkan batuk, terutama sewaktu minum cairan.2
                       

            Tabel 2.1 Terapi Pembedahan dan Indikasi1




Tabel 2.2 Penyulit Bedah Tiroid
                       




II.4 FISIOLOGI
Kelenjar tiroid mensintesis dan mensekresi hormon tiroid, menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. T4 dan T3 berada dalam ikatan peptida dengan tiroglobulin, komponen utama dari koloid intrafolikuler. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30­40 kali yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Kecepatan pemekatan sekitar 2 g. per jam. Yodida anorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan meng­hasilkan T3 atau T4, yang disimpan di dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke sir­kulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thy­roid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding prealbumine, TBPA). Dalam plasma, rasio T4:T3 adalah  10 banding 20:1. T3 tiga sampai empat lebih aktif daripada T4, waktu paruh 3 hari. Waktu paruh T4 7-8 hari.1,3
Sekresi hormon tiroid dilepaskan oleh hidrolisis, dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipo­fisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus. Hormon tiroid mempunyai pengaruh yang sangat ber­variasi terhadap jaringan/organ tubuh yang pada umum­nya berhubungan dengan metabolisme sel.1
Konsentrasi TSH meningkat sebelum ada pengurangan yang dapat diukur dalam T4 atau T3 serum. Hormon ini tidak terikat protein dan tidak dipengaruhi oleh penyakit nonthyroidea. Rentang nilai normal lebih rendah tak dapat dideteksi dengan analisis saat ini, sehingga benar-benar tak adanya hormon sulit dibedakan dari kadar yang tak dapat dideteksi, yang bisa terlihat dalam sefesmlah subjek normal. Peningkatan kadar yang terlihat dalam hipo­tiroidisme primer membantu mengkonfirmasi diagnosis ini. Pengukuran TSH tidak bermanfaat dalam diagnosis hipertiroidisme, tetapi konsentrasi tiroksin yang rendah dengan kadar TSH rendah atau tak terdeteksi menun­jukkan penyakit hypophysis atau hypothalamus.2
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin. Kalsitonin diproduksi oleh sel-sel C. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang. Penggunaan farmakologik untuk terapi hiperkalsemia dan penyakit Paget dari tulang dan sebagai penanda tumor untuk karsinoma medular.1,3
Metabolisme yodium :Yodium eksogen dari sumber makanan secara cepat di­absorpsi dari usus, didistribusikan dalam rongga ekstraseluler sebagai yodida, kemudian diekstraksi oleh tiroid dan ginjal; 90%dari yodium tubuh disimpan dalam tiroid. Penyekatan dosis berlabel lengkap dalam waktu 48 jam.3
Tiroksin dan triyodotironin biasanya dilepaskan bersamaan dari thyroidea, sehingga pengukuran salah satunya biasanya menunjukkan kecepatan sekresi yang lain. Konsentrasi T4 dalam sirkulasi 30 sampai 50 kali lebih besar daripada T3. Sehingga dengan analisis hormon thyroidea yang lebih awal digunakan, T4 diukur dan parameter ini menjadi indeks utama fungsi throidea. Proporsi T4 yang sangat besar dalam sirkulasi terikat ke protein plasma dan tak aktif. Hanya hormon yang tak terikat yang aktif, dan karena perubahan dalam protein pengikat tiroksin sering terjadi dalam keadaan klinik (walaupun tidak banyak mengubah konsentrasi hormon yang tak terikat), namun konsentrasi keseluruhan bisa bergeser sebanding dengan perubahan protein. Sehingga pemeriksaan T4 apa pun harus disertai dengan sejumlah pemerik­saan tiroksin bebas.2
Triyodotironin dianggap oleh beberapa ahli sebagai satu-satunya hormon thipordea yang mem­punyai efek apa pun atas jaringan. Sepuluh sampai 20 persen T3 disekresi langsung oleh glandula thyroidea dan sisanya dihasilkan oleh deyodinasi T4 yang terjadi dalam berbagai jaringan. Dalam sejumlah kasus, -glan­dula thyroidea mensekresi T3 sebagai hormon utama dap ditemukan kadar T4 normal atau rendah. Jika T3 berlebihan, maka is dapat menimbulkan tirotoksikosis dap kadang-kadang fenomena yang dinamai tirotoksi­kosis T3.2
II.5 PATOLOGI1
Di luar kelainan bawaan, kelainan kelenjar tiroid dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu penyakit yang menyebabkan perubahan fungsi, seperti hipertiroidisme dan penyakit yang menyebabkan perubahan jaringan dan bentuk kelenjar, seperti struma noduler, tiroiditis Hashimoto, ataupun karsinoma tiroid.
            Fungsi tiroid dapat rendah (hipo), normal (eu), atau, meningkat (hiper). Menurunnya fungsi tiroid atau hipotiroidisme dapat disebabkan oleh kelainan pada hipotalamus, kerusakan kelenjar hipofisis, defisiensi yodium, penggunaan obat antitiroid, atau tiroiditis. Juga terdapat keadaan yang dikenal dengan hipotiroidisme iatrogenik, yang terjadi sesudah tiroidektomi atau setelah pengobatan dengan yodium radioaktif.
Hipertiroidi dapat terjadi pada struma toksik difus (penyakit Graves), struma nodosa toksik, pengobatan berlebihan dengan tiroksin, permulaan tiroiditis, struma ovarium (jarang), dan pada metastasis ekstensif karsi­noma tiroid berdiferensiasi baik.
Gangguan autoimun dengan atau tanpa reaksi inflamasi dapat menyebabkan terjadinya penyakit Graves dengan gejala hipertiroidi dan tiroiditis Hashimoto yang akhirnya mengakibatkan hipotiroidi. Contoh kelainan hiperplasia yang lain ialah struma koloid dan struma endemik. Keganasan primer pada kelenjar tiroid adalah suatu adenokarsinoma yang bervariasi mulai dari yang berdiferensiasi baik, sampai dengan yang bersifat anaplastis.
Tumor ganas kelenjar tiroid dapat dibagi menurut tingkat keganasannya, diferensiasinya, dan asal selnya.
 















BAB III
EVALUASI PASIEN DENGAN PENYAKIT TIROID
III.1 ANAMNESA3
a.       Bukti adanya hipersekresi ataukah insufisiensi.
b.      Penekanan tiroid pada struktur-struktur di sekitarnya, misalnya, disfagia, disfonia, dispnea, atau rasa tercekik.
c.       Lama timbulnya massa, kecepatan pertumbuhan dan nyeri.
d.      Pemajanan terhadap radiasi ionisasi dosis rendah adalah paling penting.
e.       Memakan obat-obat goitrogenik.
f.       Riwayat keluarga.

III.2 PEMERIKSAAN FISIK3
a.       Massa atau pembesaran yang terlihat.
b.      Deviasi dari trakea.
c.       Palpasi dari muka dan belakang dari pasien yang sedang duduk untuk mengetahui ukuran, konsistensi dan kelenjar limfe regional.
d.      Bruit.

Pemeriksaan kelenjar tiroid1

  


III.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG3,
III.3.1 Tes Fungsi Tiroid3
T4 serum                                 4,9-12,0 µg/dL
Tiroksin bebas                         2,8±0,5 mµg/dL
 
















                  Gambar 3.1 Klinis hipertiroidisme dan hipotiroidisme4

T3 serum                                 115-190 mµgldL
TSH serum                              Bervariasi sesuai lab, 0,5-4 µU/mL
FT1 serum                               Bervariasi sesuai lab, 6,4-10%
Interpretasi Tes Fungsi Thyroidea
Pengukuran tiroksin dan perkiraan tiroksin bebas biasanya mengkonfirmasi kecurigaan klinik hiperti­roidisme atau keadaan eutiroid. Bila hipertiroidisme dicurigai serta terlihat tes pengikatan dan T4 normal, maka kadar T3 bisa memperlihatkan tirotoksikosis T3. Jika masih ada keraguan, tes rangsangan TRH biasanya akan mengkonfirmasi atau menyangkal diagnosis hipertiroidisme.2
Dalam diagnosis hipotiroidisme, pemeriksaan ka­dar TSH akan memberikan konfirmasi biokimia diag­nosis ini. Bila hipofungsi thyroidea karena penyakit hypophysis atau hypothalamus, maka observasi kadar hormon thyroidea TSH akan menjelaskan keadaan ini. Jugs rangsangan TRH atas TSH akan membantu mengkonfirmasi tempat penyakit.2
Penentuan kadar TBG kadang kala diperlukan untuk interpretasi kadar T4 dan sampai tingkat tertentu berlaku untuk kadar T3. Kadar TBG dapat berubah pada kehamilan atau pada pengobatan dengan estrogen. Kadar TSH di dalam serum merupakan pemeriksaan penyaring yang peka untuk hipotiroidisme karena kadar ini meningkat sebelum ada pengurangan kadar T4.1
III.3.2 Pengukuran Otoimunitas
Antibodi antimikrosomal tiroid dan antitiroglobulin yang bersirkulasi dapat diukur dalam serum.3
III.3.3 Skening tiroid
Skening skintilasi dengan yodium 123 (IZ3 I) atau tekhnetium 99m (99miTc) menggunakan kamera gamma. Nodul dapat lebih panas daripada bagian kelenjar sisanya, sebanding dengan bagian kelenjar sisanya, atau hipofungsi atau dingin. Kebanyakan kanker tampak sebagai nodul dingin tunggal.3
Yodium-123 (123 I) dan yodium 131 (I 131) memancarkan sinar gamma dan pengukuran ambilan isotop ini oleh glandula thyroidea setelah dosis standar memungkinkan pengukuran penggabungan yodium ke dalam kelenjar. Yodium 131 merupakan isotop yodida yang terlazim digunakan, karena ia tidak harus dibuat segar tiap hari. Derajat ambilan yodium dalam skan dapat membantu dalam diagnosis banding tirotoksi­kosis. Penggunaan 99mteknesium perteknetat mem berikan informasi serupa dan di samping itu bisa memungkinkan diagnosis lebih baik akan keganasan di dalam thyroidea. Dapat menunjukkan gambaran fungsional jaringan tiroid dengan melihat kemampuan up take terhadap unsur radioaktif tersebut di atas. Cara ini berguna untuk menentukan apakah nodul dalam kelenjar tiroid bersifat hiperfungsi (nodul papas = hot nodule), hipofungsi (nodul dingin/ cold nodule), atau normal (nodul hangat = warm nodule). Kemungkinan keganasan ternyata lebih besar pada nodul dingin meskipun karsinoma tiroid dapat juga ditemukan pada nodul hangat atau bahkan nodul panas, seperti pada anak-anak.1,2
III.3.4 Ultrasonografi
Dapat menentukan apakah lesi tersebut kistik ataukah padat. Kebanyakan karsinoma adalah padat, kebanyakan lesi yang kistik atau campuran adalah jinak.
Teknik ultrasonografi digunakan untuk menentukan apakah nodul tiroid, baik yang teraba pada palpasi maupun yang tidak, merupakan nodul tunggal atau multipel padat atau kistik. Pemeriksaan ultrasonografi ini terbatas nilainya dalam menyingkirkan kemungkinan keganasan dap hanya dapat mendeteksi nodul yang berpenampang lebih dari setengah centimeter.
III.3.5 Biopsi tiroid
Aspirasi jarum halus berguna dalam diagnosis dari tiroiditis dan dalam memisahkan penyakit jinak dari keganasan.
III.3.6 Respon Terhadap Hormon Pelepas Tirotropin
Suntikan hormon pelepas tirotropin (TRH) ke dalam subjek normal menyebabkan tirotrof di dalam hypophysis mensekresi TSH dan respon terbesar terlihat setelah sekitar 20 sampai 30 menit. Dalam hi­pertiroidisme yang disebabkan oleh fungsi thyroidea berlebihan, sekresi TSH oleh hypophysis ditekan dan TRH tak efektif dalam merangsang pelepasan TSH. Respon klasik ini bermanfaat dalam pasien dengan hipertiroidisme yang secara klinik tampak eutiroid dan bisa mempunyai kadar hormon thyroidea yang normal, tetapi hipertiroidisme diduga karenaadanya tanda mats Grave atau strums nodular (pembe­saran thyroidea).
Pada hipotiroidisme primer, TSH meningkat ke kadar tinggi abnormal setelah pemberian TSH. Bila ada hipotiroidisme dengan adanya kadar TSH normal atau rendah serta ada sedikit respon TSH atau tak ada terhadap pemberian TRH, maka diagnosis mungkin hipofungsi hypophysis.

III.3.7 Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy, FNA). Cara pemeriksaan ini cukup akurat untuk mendiagnosis karsinoma tiroid, tiroiditis, atau limfoma. Biopsi aspirasi jarum halus adalah cara terbaik untuk mendiagnosis kemungkinan keganasan dalam nodul tiroid, dap dianggap sebagai cara diagnosis yang lebih akurat dibandingkan pemeriksaan radioaktif ataupun ultrasonografi.1
Biopsi aspirasi tak mempunyai batasan dalam hal ukuran tumor, asalkan lesi ini dapat dipalpasi. Anes­tesi lokal tidak diperlukan dan dapat dilakukan bebe­rapa tusukan dengan penerimaan pasien yang sangat baik, bahkan pada anak. Beberapa area dalam lesi dapat diambil contoh. Hematoma intraglandula minor kadang-kadang timbul, tetapi teknik ini tidak disertai dengan komplikasi atau dengan risiko penyebaran sel ganas.2
Peralatan yang diperlukan untuk biopsi sederhana dan tak mahal, yang terdiri dari suatu semprit, jarum dan pemegang semprit. Sifat sitologi tu­mor thyroidea jinak dan ganas telah diuraikan dengan baik.
 






Gambar 3.2 Tindakan biopsi. A, Jarum yang dilekatkan ke sem­pritnya dan ditahan dalam penahan dimasukkan ke dalam pem­bengkakan thyroidea yang akan menjalani biopsi. B, Pengisap ditarik. pada tangkai semprit. C, Dengan mempertahankan pengisapan, jarum digerakkan maju mundur pada pembengkak­an dalam berbagai arah. D, Pengisap dilepaskan pada semprit. E, Jarum dan semprit lalu ditarik dari pembengkakan thyroidea.


 

Gambar 3.3  Menyiapkan hapusan sitologi yang cocok untuk pe­meriksaan mikroskopik. A, Jarum diambil dari semprit. B, Uda­ra ditarik ke dalam semprit. C, Semprit dan jarum disambung lagi. D, Pengisap semprit didorong lembut ke bawah, yang me­ngeluarkan sel ke atas gelas objek mikroskop.









Tabel 3.1 Contoh kelainan kelenjar tiroid1







 







Gambar 3.4 Bagan Pemeriksaan Penunjang dan Penatalaksanaan Penting4





Gambar 3.5 Nodul soliter: diagnose banding, komplikasi, dan penyebaran4





BAB IV
STRUMA
IV.1 DEFINISI
Struma (goitre) adalah pembesaran (jinak3) kelenjar tiroid dengan penyebab apapun.4

IV.2 HAL-HAL KUNCI3,4
a.       Struma toksik jarang ganas.
b.      Semua nodul soliter memerlukan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan karsinoma.
c.       Pembedahan jarang diperlukan pada penyakit timid autoimun atau inflamasi.
d.      Goiter familial: Defek enzim yang diturunkan, biasanya otosomal resesif Goiter endemik Lingkungan regional; defisiensi yodium dan memakar, __: gen. Profilaksis dengan yodinisasi garam meja.
e.       Goiter sporadik: Diagnosis per eksklusionam.

IV.3 PENYEBAB TERSERING4
a.       Fisiologis: peningkatan ukuran kelenjar akibat peningkatan kebutuhan hormon timid saat pubertas dan selama kehamilan.
b.      Defisiensi iodium (endemik): defisiensi iodium me­nyebabkan penurunan kadar T4 dan peningkatan stimulasi TSH, yang menyebabkan struma difus.
c.       Hipertiroidisme primer (penyakit Graves): struma dan tirotoksikosis akibat imunoglobulin LATS yang bersirkulasi.
d.      Struma adenomatosa (nodular): hiperplasia jinak kelenjar timid.
e.       Tiroiditis: autoimun (Hashimoto); subakut (de Quervain); Riedel (struma).
f.       Keganasan tiroid.

IV.4 GAMBARAN KLINIS4
IV.4.1 Hipertiroidisme
Gejala
a.       Intoleransi panas dan keringat berlebihan.
b.      Nafsu makan meningkat, penurunan berat badan, diare.
c.       Kecemasan, kelelahan, palpitasi.
d.      Oligomenorea.

Tanda
a.       Struma.
b.      Eksoftalmos, lid lag, dan retraksi kelopak mata.
c.       Telapak tangan hangat dan lembab, tremor.
d.      Fibrilasi atrium.
e.       Miksedema pretibia.

IV.4.2 Hipotiroidisme
Gejala
a.          Intoleransi dingin, keringat berkurang.
b.         Suara serak.
c.          Peningkatan best badan, konstipasi.
d.         Cara berpikir lambat, kelelahan.
e.          Nyeri otot.

Tanda
a.          Kulit pucat/kuning, kering, menebal, rambut tips.
b.         Sembab periorbita, kehilangan sepertiga luar ali: mwL
c.          Demensia, tuli saraf, hiporefleksia.
d.         Frekuensi nadi menurun, lidah besar, edema perifer.

IV.5 PEMBEDAHAN
Pembedahan struma dapat dibagi menjadi:
1.      Pembedahan diagnostik (biopsi).
Pembedahan diagnostik yang berupa biopsi insisi atau biopsi eksisi sangat jarang dilakukan, dan telah ditinggalkan terutama dengan semakin akuratnya penggunaan biopsi jarum halus. Biopsi diagnostik hanya dilakukan pada keadaan tumor yang tidak dapat dikeluarkan, seperti pada karsinoma anaplastik.
2.      Pembedahan terapeutik.
Pem­bedahan terapeutik dapat berupa lobektomi total, lobektomi subtotal, istmolobektomi, dan tiroidektomi tomi. Tiroidektomi total dilakukan pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik, atau karsinoma medularis, dengan atau tanpa diseksi leher radikal.
Kontroversi yang muncul adalah ekstensi pembedahan untuk karsinoma tiroid berdiferensiasi baik dan unilateral, dengan skor prognostik yang baik antara hemitiroidektomi atau tiroidektomi total. Pembedahan terhadap karsinoma anaplastik hanyalah bersifat paliatif, dengan prognosis yang buruk. Untuk struma mononoduler nontoksik dan nonmaligna dapat dilakukan hemotiroidektomi, istmo­lobektomi, atau tiroidektomi subtotal.1
Penyulit pembedahan struma
Penyulit pembedahan di antaranya adalah per­darahan, cedera pada n.laringeus rekurens unilateral atau bilateral, kerusakan cabang eksternus n.laringeus superior, cedera pada trakea, atau pada esofagus. Pem­bedahan pada struma yang besar dapat mengakibatkan tracheo-malacia', yaitu kolapsnya trakea akibat hilang­nya bantuan vaskularisasi, hilangnya "sandaran" yang selama ini juga didapat dari struma yang melingkari trakea sampai dua pertiganya.1
Penyulit lain yang berbahaya pascabedah adalah adanya hematom di lapangan operasi yang menimbul­kan penekanan terutama terhadap trakea dan obstruksi napas. Obstruksi napas juga dapat terjadi sebagai akibat udem laring.1
Krisis tiroid atau tirotoksikosis adalah penyulit yang sangat berbahaya dan harus ditanggulangi segera untuk menghindari kematian. Krisis tirotoksikosis merupakan hipertiroidi hebat yang berkembang sewaktu atau segera setelah pembedahan pada penderita hipertiroidi. Krisis tiroid ditandai dengan takikardia dan gejala/tanda hipertiroidi lain yang bersifat akut dan hebat. Penderita berada dalam keadaan gawat dan terancam menderita dekompensasi jantung yang fatal. Krisis tirotoksikosis disebabkan oleh "pencurahan"/sekresi berlebihan hormon tiroid ke dalam darah sebagai akibat dari pembedahan atau manipuhsi kelenjar tiroid selama pembedahan. Relatif sering terjadi pada pembedahan tiroid tanpa kecurigaan adanya hipertiroidi. Oleh karena itu, setiap penderita struma harus menjalani pemeriksaan yang saksama prabedah untuk menentukan apakah terdapat hipertiroidi, baik secara klinis maupun laboratorium Pada keadaan hipertiroidi, sebaiknya pembedahan dilakukan setelah hipertiroidi dikendalikan dan penderita dalam keadaan eutiroidi.1
Penyulit hipoparatiroidi, baik temporer maupun permanen, terjadi karena kelenjar paratiroid turut terangkat pada tiroidektomi total. Akan tetapi, yang lebih sering disebabkan oleh karena iskemia akibat kerusakan vaskularisasi dari kelenjar paratiroid. Cedera n.laringeus superior dan/atau n.rekurens laringeus juga dapat terjadi.1

IV.6 STRUMA DIFUS
Sebab tersering suatu masalah thyroidea,sewaktu tak ada tirotoksikosis jelas adalah struma difus sederhana, yang sangat lazim pada wanita muda. Pada sejumlah kasus,  berlanjut ke struma multinodular dalam masa 10 sampai 20 tahun.2
Beberapa pasien menderita penyakit Grave eksoftalmik. Walaupun manifestasi mata penyakit ini best ada, namun tak ada tanda, gejala atau gambaran klinik hipertiroidisme. Tes TRH abnormal dalam sebagian besar pasien dan antibodi thyroidea akan tampil dalam sekitar 50 persen. Pasien lain bisa mempunyai tanda dan gejala klinik positif serta perubahan biokimia yang menyokong tirotoksikosis, yangkinkan diagnosis penyakit Grave.2
Terapi obat bisa menimbulkan struma difus,  salah satu obat terlazim adalah litium karbonat yang digunakan dalam terapi penyakit manik-depresif.  Litium menimbulkan kerja antithyroidea dan kadang­kadang peningkatan kadar TSH dapat dideteksi dengan beberapa pasien menjadi hipothyroidisme jelas.2
Dishormonogenesis suatu keadaan jarang ditemukan, tempat timbul cacat dalam sintesis hormone thyroidea yang ditentukan secara genetika. Biasanya muncul  pada masa kanak-kanak atau dewasa muda dengan struma dan derajat hipotiroidisme.2
Terapi pada goiter yang diinduksi oleh obat membutuhkan penghentian obat tersebut, jika memungkinkan.  Jika tidak, berikan tiroksin. Indikasi pembedahan meliputi obstruksi pernapasan dan kosmetik. Bila suatu segmen yang berarti dari goiter diangkat, diindikasikan terapi hormon pengganti.3



                   Gambar 4.1 Large, diffuse, nodular goitre.6
IV.7 STRUMA NODOSA
Biasanya penderita struma nodosa tidak mempunyai keluhan karena tidak terdapat hipo- atau hipertiroid­isme. Nodul dapat tunggal, tetapi kebanyakan berkembang/ berubah menjadi multinoduler tanpa perubahan fungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma. Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat menjadi besar tanpa memberikan gejala, selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan terutama atas alasan kosmetik. Sebagian besar penderita struma nodosa dapat hidup dengan struma tanpa keluhan.1
Struma dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat terlihat dengan foto Rontgen polos  leher terlihat sebagai "trakea pedang". Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan trakea ke arah kontralateral, tanpa gangguan akibat obstruksi pernapasan. Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan gangguan pernapasan dengan gejala stridor inspiratoar.1
Keluhan yang sering timbul ialah rasa berat di leher, adanya benjolan yang bergerak naik turun waktu menelan, dan alasan kosmetik. Hipertiroidi jarang ditemukan pada struma adenomatosa.1
Sekitar 5% dari struma nodosa mengalami degenerasi maligna. Tanda keganasan yang dapat dievaluasi berupa setiap perubahan bentuk, pertumbuhan yang lebih cepat, dan tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan sekitar, juga fiksasi dengan jaringan sekitar. Penekanan atau in­filtrasi dapat terjadi ke n.rekurens (perubahan suara), trakea (dispnea), atau esofagus (disfagia).1
Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi dengan pengobatan supresi hormon tiroid, atau pemberian hormon tiroid. Penanganan struma lama adalah tiroidektomi subtotal dengan indikasi yang tepat.
Struma dapat meluas sampai ke mediastinum ante­rior superior, terutama pada bentuk nodulus yang disebut struma retrosternum.  Umumnya, struma retrosternum ini tidak turut naik pada gerakan menelan karena apertura toraks terlalu sempit. Sering kali struma ini berlangsung lama dan bersifat asimtomatik, sampai terjadi penekanan pada organ atau struktur sekitarnya. Penekanan ini akan memberikan gejala dan tanda penekanan trakea atau esofagus. Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan foto Rontgen polos toraks, atau pemeriksaan yodium radioaktif. Biasanya pembedahan struma retrosternum dapat dilakukan melalui insisi di leher, dan tidak memerlukan torakotomi karena pendarahan berpangkal pada pembuluh di leher. Jika letaknya di dorsal a.subklavia, pembedahan dilakukan dengan cara torakotomi.Diagnosis banding ialah tumor lain di mediastinum anterior superior, seperti timoma, limfoma, tumor der­moid, dan metastasis keganasan paru pada kelenjar getah bening.
 







Gambar 4.2 Struma nodosa
Penderita tenang, tidak sakit, dan tidak sesak napas.

BAB V
TIROTOKSIKOSIS
V.1 ETIOLOGI
Sekresi yang berlebihan secara primer dari hormon tiroid aktif3.
V.2 MANIFESTASI KLINIS
Tidak tahan panas, peningkatan keringat dan rasa haus, berat badan menurun dengan meningkatnya nafsu makan. Eksitabilitas, gelisah, hiperkinesia dan ketidakstabilan emosi, insomnia, kelemahan otot-otot proksimal, tremor jari-jari yang ekstensi dan abduksi, refleks tendon dalam yang hiperaktif. Kulit hangat, lembab, merah, rambut halus dan rontok, menstruasi tidak ada atau sedikit. Diare. Pada pasien lanjut usia: takikardi, fibrilasi atrium yang sering, dan respons yang buruk terhadap digitalis.3
V.3 PENEMUAN DIAGNOSTIK
Kadar T4 dan/atau T3 dan indeks tiroksin bebas (FTI) meningkat3.
V.4 TERAPI
Tersedia tiga pilihan untuk pasien tirotoksikosis:2
1.      Terapi medis.
2.      Terapi ablatif dengan 131I
3.      Reseksi bedah.

V.4.1 Terapi Medik
Obat penghambat receptor adrenergik beta (mis. propranolol) dan obat antithyroidea (mis. karbimazol, metimazol dan propiltiourasil) dapat digunakan dan paling tepat dalam terapi awal penyakit Grave. Remisi timbul dalam sekitar 50 persen setelah masa terapi 12 sampai 18 bulan.2
Terapi medis tidak direkomendasi­kan dalam terapi adenoma toksik, karena penyakit ini kambuh setelah terapi dihentikan.2
Obat antithy­roidea diberikan dalam masa 12 atau 18 bulan dapat menghasilkan remisi jangka lama. Kekambuhan timbul sampai dalam 50 persen pasien dan pada saat ini pilihan terapi mencakup rangkaian lebih lanjut obat antithyroidea atau terapi dengan I131 dan operasi.
Agen penghambat beta memberikan keringanan simtomatik tanpa mempengaruhi tes fungsi thyroidea. la bermanfaat dalam keadaan tirotoksikosis sepintas (mis. dalam tiroditis subakuta). Obat ini dapat digu­nakan sebagai satu-satunya persiapan untuk operasi dan jika diberikan perhatian tepat, penerusan terapi setelah reseksi subtotal dap penyesuaian dosis, maka "thyroto­xic storm" tak perlu menjadi suatu masalah.2

V.4.2 Terapi Radioyodium
Dosis ablatif 131 I direkomendasikan dengan penggantian T4.  Sejumlah ahli mengusulkan agar terapi awal harus didasarkan atas pilihan pasien antara operasi dan terapi radioyodium setelah kontrol medis awal didapat atau setelah timbul kekambuhan. Jika radioyodium dipilih, maka harus dipastikan bahwa wanita ini tidak hamil dan kehamilan harus dihindari selama sekitar 12 bulan setelah terapi.
V.4.3 Terapi Bedah
Sebelum operasi, penting kontrol keadaan tirotok­sik. Persiapan konvensional terdiri dari karbimazol dengan tambahan kalium yodida dalam 7 hari sebelum operasi. Biasanya terapi ini menyebabkan perendahan konsentrasi hormon thyroidea sampai batas normal dalam 6 minggu. Jika operasi tak dapat ditunda untuk lama waktu ini, maka dapat diberikan propranolol atau penghambat beta nonselektif lain yang diberikan dalam kombinasi dengan kalium yodida selama 10 hari sebelum operasi.2,3
Indikasi untuk eksplorasi bedah glandula thyroidea meliputi2:
a.       Terapi. Pengurangan massa fungsional dalam keadaan hipertiroid; tiroidektomi subtotal pada penyakit Grave atau struma multinodular toksik atau  adenoma toksik.
b.      Terapi. Pengurangan massa menekan; tiroidektomi subtotal dalam struma multinodular nontoksik atau lobektomi untuk kista thyroidea atau nodular tunggal (mis. nodules koloid) yang menimbulkan penekanan trachea atau esophagus.
c.       Ekstirpasi penyakit keganasan. Biasanya tiro­idektomi total dengan pengupasan kelenjar limfe untuk sejumlah tumor diindikasikan lobektomi unilateral.
d.      Paliasi: Eksisi massa tumor yang tak dapat disembuhkan, yang menimbulkan gejala penekanan mengganggu: anaplastik, metastatik atau tumor limfe­dematosa.

V.4.3.1 Insisi dan Pemaparan2
Insisi kulit kurvilinear dibuat (cembung ke arat bawah) 2 cm. di atas incisura jugularis dan clavicula yang meluas ke lateral sejauh musculus sternocleido­mastoideus. Insisi diperdalam melalui platysma serta flap kulit superior dan inferior dibentuk di bawahnya.
Rafe garis tengah antara otot "strap dipotong longi­tudinal. Pada beberapa pasien dengan struma besar atau pembengkakan lobaris, maka ahli bedah bisa merencanakan pemotongan otot "strap' horizontal untuk memperbaiki jalan bedah. Kemudian bidang pengupasan dibuat di bawah otot 'strap' secara super­fisialis dan capsula,glandula thyroidea lebih profunda. Harus hati-hati untuk tidak memutuskan cabang kecil vena thyroidea yang ada pada permukaan kelen­jar.
V.4.3.2 Reseksi Sub total2
Reseksi subtotal akan dilakukan identik untuk lobes kanan dan kiri, dengan mobilitas sama pada tiap sisi. Reseksi subtotal dilakukan dalam kasus struma multinodular toksik, struma multinodular nontoksik atau penyakit Grave. Prinsip reseksi untuk mengeksisi sebagian besar tiap lobus,,yang memotong pembuluh dash thyroidea superior, vena thyroidea media dan vena thyroidea inferior yang meninggalkan arteria thy­roidea inferior utuh. Bagian kelenjar yang dieksisi me­rupakan sisi anterolateral tiap lobes, isthmus dan lobes pyramidalis. Pada beberapa pasien dengan peningkatan sangat jelas dalam penyediaan dash ke kelenjar, arteria thyroides inferior dapat diligasi kontinu atau ditutup sementara dengan klem kecil sampai reseksi dilengkapi. Tujuan lazim untuk melindungi dan mengawetkan nerves laryngeus recurrens dan glandula parathyroidea. Telah ditekankan bahwa dalam ligasi pembuluh darah thyroidea superior harus hati-hati untuk tidak mence­derai ramus externus nerves laryngeus superior, dapat menimbulkan perubahan suara yang bermakna.
Sisa thyroidea dari lobes kiri hares sekitar 3 sampai 4 g. Dapat dinilai dengan menilai berbagai ukuran thyroidea pada timbangan. Lobes dapat dieksisi lengkap dengan memotong isthimus atau dapat dijaga kontinu dengan isthmus, yang dikupas bebas dari trachea di bawahnya.
Eksisi identik kemudian dilakukan pada sisi kanan. Selama tindakan operasi, hemostasis sangat diperhatikan.
V.4.3.3 Lobektomi Total
Lobektomi total dilakukan untuk tumor ganas glandula thyroidea dan bila penyakit unilobaris yang mendasari tak pasti. Beberapa ahli bedah juga lebih senang melakukan tindakan ini pada satu sisi bagi penyakit multinodularis dan meninggalkan sisa agak lebih besar dalam lobus yang lain.
Bila dilakukan pengupasan suatu lobes, untuk tumor ganas, maka pembuluh dash thyroidea superior, vena thyroidea media dan vena thyroidea inferior perlu dipotong. Hal ini memungkinkan mobilisasi kelenjar dan direktraksi ke medial untuk menunjukkan perlekatan vaskular utama terakhir, arteria thyroidea inferior. Glandula parathyroidea dan nerves laryngeus recur­rens diidentifikasi dan dilindungi . Jika glandula parathyroidea pada permukaan thyroidea, maka ia mula-mula bisa diangkat bersama thyroidea dan kemudian ditransplantasi. Lobes thyroidea diretraksi ke medial dengan dua glandula parathyroidea terlihat dekat cabang terminal arteria thyroidea inferior dan nervus laryngeus recurren ditutupi oleh ligamentum fasia (ligamentum Berry). Nervus ini diidentifikasi sebagai struktur putih tipis yang berjalan di bawah ligamenturn dan biasanya di bawah cabang terminal arteria thyroidea inferior. Nervus ini mempunyai pembuluh darah kecil yang berjalan dalam substansinya dan tidak boleh dirusak. Lobus ini secara lambat dan cermat diretraksi dari ligamentum Berry dan nerves recurrens sampai ia dipisahkan sama sekali dari trachea.
Pada sejumlah tumor ganas, seperti varian foli­kularis dan meduler, maka direkomendasikan lobek­tomi total bilateral dengan pengupasan ruangan kelen­jar limfe sentral. Setelah menyelesaikan eksisi kelenjar ini dan kelenjar limfe, maka hemostasis dinilai dan luka ditutup dalam lapisan. Drainase tidak diperlukan, asalkan hemostasis diamankan.










Komplikasi Tiroidektomi2
a.       Perdarahan.
b.      Masalah terbukanya vena besar dan menye­babkan embolisme udara.
c.       Trauma pada nerves laryngeus
d.      Memaksa sekresi glandula ini dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi dengan tekanan.
e.       Sepsis yang meluas ke mediastinum.
f.       Hipotiroidisme pascabedah.
V.5 PENYAKIT GRAVES
Umumnya dianggap sebagai penyakit otoimun sistemik dengan tirotoksikosis, eksoftalmus, dan miksedema pretibialis. Tiroid membesar secara difus, permukaannya halus/licin, hiperplastik secara mikroskopik, dengan epitel kolumnar dan koloid minimal.3
Penyakit Graves lazim juga disebut penyakit Basedow (jika trias Basedow dijumpai, yaitu adanya struma berupa pembesaran tiroid difus, hipertiroidi, dan eksoftalmos) adalah hipertiroidi yang sering dijumpai. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda.1
V.5.1 Gambaran klinis1,3
1.      Pembesaran kelenjar tiroid.
2.      Tanda-tanda mata minimal sampai berat: (1) spasme kelopak mata atas dengan retraksi dan gerakan kelopak mata yang lamban, (2) oftalmoplegia eksterna, (3) eksoftalmus dengan proptosis, (4) pembengkakan supraorbital dan infraorbital, (5) kongesti dan edema, tanda dari keadaan yang berat.1,3
3.      Peningkatan metabolisme1:
a.       Sistem kardiovaskular: peningkatan curah jantung sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi naik dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus seler, takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan pada saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung, berupa ekstrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel.
b.      Saluran cerna: sekresi maupun peristalsis meningkat sehingga sering timbul polidefekasi dan diare.
c.       Susunan saraf: biasanya menyebab­kan tremor, penderita sering sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan, yang sangat mengganggu.
d.      Saluran napas: hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang tidak terlalu mengganggu.

4.      Peningkatan produksi hormon tiroid.
5.      Peningkatan absorbsi yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.
6.      Penurunan berat badan karena meningkatnya metabolisme.
7.      Gangguan menstruasi berupa amenore sekunder atau metrorhagi.
8.      Kelenjar membesar, halus, dan bruit terdengar.3
9.      Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipacu oleh adanya hipertiroidi tersebut.

V.5.2 Tata laksana
 Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksikosis/hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil (PTU) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan antitiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radioaktif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi, dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal, dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
 










Gambar 36-2
Gambaran klinis penyakit Graves
Gugup, mudah tersinggung, gelisah, emosi tidak stabil, insomnia* (1), eksoftalmus (2), gondok (mungkin disertai bunyi denyut dan getaran) (3), palpitasi', takikardia (4), nafsu makan meningkat (5), diare (6), tremor Qari tangan dan kaki) (7), kelelahan otot (8), oligomenore/amenore (9), telapak tangan lembab dan papas (10), berat badan menurun (11), takikardia, denyut nadi kadang tidak teratur karena fibrilasi atrium, pulses seler (12), dispnea (13), berkeringat (14).

V.6 TOKSIK MULTINODULAR GOITER
Biasanya tumpang tindih dengan nontoksik multinodular goiter yang sudah berlangsung lama. Nodul terdiri dari sel-sel besar tak beraturan dan koloid yang sedikit. Bersifat otonom, tak tergantung dari TSH. Biasanya seteiah usia 50 tahun, beberapa nodul yang dapat dipalpasi. Eksoftaimus jarang.3
Ambilan RAI 40%r 55%. Sken memperlihatkan area panas tunggal atau multipel yang berhubungan dengan nodul yang dapat dipalpasi.3

V.7 ADENOMA TOKSIK
Tumor folikuler yang tak tergantung TSH.3
Usia 30-50 tahun. Riwayat adanya massa yang tumbuhnya lambat; tirotoksikosis tidak lazim, kecuali jika lesi berdiameter 3 cm.3
Ambilan RAI 40%r 55%. Sken memperlihatkan area panas tunggal atau multipel yang berhubungan dengan nodul yang dapat dipalpasi.3
Terapi pada adenoma toksik harus dieksisi.3














BAB VI
HIPOTIROIDISME

Hipotiroidisme terjadi karena kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
VI.1 ETIOLOGI
Ablasi oleh tiroidektomi atau terapi RAI untuk hipertiroidisme bertanggung jawab dalam seperempat kasus. Miksedema spontan dapat terjadi akibat aplasia atau penggantian kelenjar oleh goiter nonfungsional, adenoma, atau tiroiditis3.
Hipotiroidisme dapat disebabkan4:
a.       Atrofi senilis idiopatik.
b.      Secara primer merupakan suatu proses autoimun (Hashimoto).
c.       Secara sekunder dari kegagalan hipofisis.
d.      Secara tersier dari kegagalan hipotalamus.
VI.2 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis berupa kretinisme, hipotiroidisme juvenilis, dan tiroiditis. Tiroiditis limfositik pada dewasa, 80% wanita. Perjalanan secara tersembunyi menjadi progresif, dengan kelelahan, pertambahan berat badan, keletihan, dan apati. Kulit kering, menebal, empuk, rambut kering dan mudah patah, lidah membesar, suara kasar, curah jantung menurun, jantung berdilatasi, nadi menjadi pelan. Konstipasi, asites, aklorhidria, anemia pernisiosa.3
VI.3 PENEMUAN DIAGNOSTIK
Anemia, bradikardi, gelombang T yang mendatar, T4, T3 dan FTI menurun; TSH dan kolesterol meningkat.3

VI.4 TERAPI
Terapi berupa terapi penggantian, biasanya dengan L-tiroksin. Kasus yang berat. Sensitif  terhadap dosis kecil, sehingga dosis awal harus kecil (50 µg) dan dinaikkan secara bertahap untuk mencegah stres miokardial.3
VI.5 TIROIDITIS
Pasien dengan berbagai bentuk tiroiditis bisa tampil dengan pembesaran kelenjar yang difus. Bentuk terlazimnya penyakit Hashimoto, yang timbul dalam wanita usia pertengahan, yang sering mempunyai riwayat keluarga tiroiditis, miksedema dan anemia pernisiosa. Kadang-kadang pasien tampil dengan tanda dan gejala hipertiroidisme. Antibodi thyroidea hampir selalu ada dan biasanya diagnosis dapat dikon­firmasi dengan biopsi aspirasi jarum halus. Kadang-kadang keadaan ini meniru kega­nasan, tetapi jika diagnosis dikonfirmasi tanpa keraguan, maka terapi dengan penggantian T4 memung­kinkan konfirmasi diagnosis lebih lanjut, karena ke­lenjar menjadi lebih lunak dan lebih kecil dengan berlakunya waktu sewaktu pasien dipertahankan dalam keadaan eutiroid.2
Tiroiditis De Quervain pertama diuraikan pada peralihan abad ini dan disertai dengan mulainya nyeri cukup mendadak dalam leher, malaise, keringat malam, sedikit pembesaran thyroidea dan supresi lengkap ambilan yodium atau teknesium oleh kelenjar. Juga biopsi jarum biasanya mengkonfirmasi diagnosis sewaktu gangguan dan pelarutan folikel thyroidea ter­lihat dengan suatu infiltrat sel datia. Penyakit ini sembuh sendiri.2

VI.5.1 Tiroiditis Supuratif  Akut
Tidak umum. Mengikuti infeksi traktus respiratorius atas akut. Tanda-tandanya adalah tanda-tanda dari abses. Terapi adalah insisi dan drainase.3
VI.5.2 Penyakit Hashimoto
Tiroiditis kronis yang paling sering; penyebab paling umum dan hipotiroidisme.3

VI.5.2.1 Etiologi
Otoimun, yaitu antibodi antimikrosomal dan anti tiroglobulin dapat diukur. Belum diketahui apakah ada predisposisi genetik.3
VI.5.2.2 Patologi
Membesar secara simetris, pucat, dan semi padat; dapat fokal. Jaringan limfoid mendominasi dengan kekacauan arsitektur.3
VI.5.2.3 Manifestasi klinis
Usia rata-rata 50 tahun. Pembengkakan lokal, nyeri, dan nyeri tekan. Hipotiroidisme dapat terjadi.3
VI.5.2.4 Penemuan diagnostik
Uji bifasik dengan tanda-tanda awal dari hiporfungsi, kemudian hipofungsi. Titer yang tinggi dari antibodi tiroid. Biopsi dengan jarum berbentuk nodular jika dicurigai kanker. Biopsi terbuka untuk limfoma jika kelenjar membesar pada supresi.3
VI.5.2.5 Terapi
Jika simetris dan eutiroid maka tidak diterapi. Jika Goiter maka diberi dosis yang mensupresi hormon. Jika terdapat gejala-gejala penekanan yang nyata maka dilakukan tiroidektomi subtotal dengan pembebasan trakea. Jika nodular maka dilakukan terapi supresi (jika kanker daput disingkirkan) atau tiroidektomi.3
VI.5.3 Tiroiditis Subakut
Bukan Hashimoto. Usia rata-rata adalah empat puluhan, terutama wanita. Melekat tetapi tidak bersatu. Folikel membesar, infiltrat mononuklear, limfosit dan netrofil dengan sel-sel besar multinuklear. Mulanya timbul mendadak dengan pembengkakan dan nyeri, demam. dan gejala-gejala konstitusional tirotoksikosis dalam 50%. Laju sedimentasi eritrosit meningkat secara dini. Biopsi jarum dapat digunakan sebagai alat diagnostik. Terapi: obat-obat anti inflamasi nonsteroid. Steroid diberikan diagnosis sudah pasti dan obat-obat di atas tidak efektif.3
VI.5.4 Struma Reidel
Jarang, inflamasi kronik, menyerang satu atau kedua lobus. Diperkirakan sebagai stadium akhir dari Hashimoto. Folikel-folikel berukuran kecil dan sedikit, diselingi oleh jaringan parut padat. Dapat mencekik trakea atau menginvasi struktur sekelilingnya, karena adanya fibrosis keras seperti kayu pada glandula tiroidea. Unilateral tidak dapat dibedakan dari kanker. Usia rata-rata 50 tahun. Gejala-gejala dari kompresi trakea, esofagus, dan saraf rekuren. Fungsi tiroid menurun pada tahap lanjut. Terapi: penggantian hormon. Pembedahan berbahaya karena bidangnya bersatu; mungkin penting untuk menghilangkan kompresi.2,3
BAB VII
NODUL SOLITER DAN MULTINODULAR

VII.1 NODUL SOLITER
Penting diketahui bahwa pada pasien nodul soliter ternyata setelah dilakukan skan tiroid merupakan suatu multinodular. 4-6% dari populasi mempunyai nodul tiroid yang dapat teraba; 50 per sejuta mengalami kanker tiroid; 6 persejuta meninggal karena kanker tersebut.2,3
Kemunculan mendadak nodulus yang cepat mem­besar di dalam kelenjar biasanya menunjukkan perda­rahan ke dalam kista thyroid soliter. Sering sem­buh spontan tanpa diagnosis atau terapi lebih lanjut.
Sebagian besar pasien memerlukan pemerik­saan lebih lanjut dengan scanning isotop atau ultra­sonografi leher. "Scanning isotop dengan 99mteknesium, 13 11 atau 1231 memungkinkan nodulus ditentukan sifatnya sebagai "dingin", "netral", atau "panas". Sedikit atau tak ada nya konsentrasi isotop di dalam nodulus menentukan sifat nodulus sebagai dingin. Karena lebih dari 10 persen nodulus ini dapat menampilkan karsinoma thyroidea, maka pasien demikian merupakan calon biopsi aspirasi atau eks­plorasi bedah. Resiko karsinoma meningkat pada3:
a.       Iradiasi pada kepala dan leher, dimana ter­dapat peningkatan langsung dalam insidens nodul jinak dan ganas sampai dosis radiasi 1500 rad, tetapi setelah waktu 25 tahun atau lebih. Iradiasi diberikan pada timus yang membesar, tonsil dan adenoid, dan untuk jerawat serta hemangioma. Biasanya papiler, lebih sering multisentrik.
b.      Riwayat keluarga karsinoma meduler, diturunkan secara dominan otosomal.
 Ultrasonografi akan mengindenti­fikasi lesi kistik soliter . Diameter kurang dari 4 cm biasanya jinak. Pasien dengan nodulus netral atau panas yang secara klinik dan biokimia eutiroid dapat menjalani biopsi jarum; jika terbukti sel jinak, dilakukan pemerik­saan tiap tahun.2
Sekitar seperlima pasien de­mikian yang memperlihatkan rangsangan TRH negatif, akan berlanjut ke hipertiroidisme dalam 5 tahun. Pasien tirotoksikosis dan nodulus panas memerlukan terapi bedah atau radioyodium.2
Tumor thyroidea berdiferensiasi dapat tampil dengan nodulus thyroidea soliterDiagnosis dapat dikonfirmasi dengan biopsi jarum halus. Terapi dengan bedah agresif.2
VII.1.1 Evaluasi Diagnostik
Harus diseleksi untuk operasi dari nodul-nodul yang mempunyai risiko menjadi kanker.3
VII.1.2 Riwayat Penyakit
Iradiasi eksterna, waktu mula timbul (langsung atau berkembang), usia dan jenis kelamin (setiap nodul pada anak-anak atau remaja atau nodul  baru pada pria >40 tahun atau wanita >50 tahun tampaknya ganas, beberapa nodul pada pria adalah jinak), suara berbisik (terlibatnya nervus rekuren), dispnea dan disfagia (kompresi).3
VII.1.3 Pemeriksaan Fisik
Soliter (kecuali jika ada riwayat radiasi), padat atau keras, terfiksasi. Kelenjar limfe membesar, pikirkan keganasan.3
VII.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan aspirasi jarum halus untuk sitologi. Nodul dikategorikan ganas (pembedahan), lapisan-lapisan sel-sel folikuler menandakan adenoma folikuler atau karsinoma ang dapat dibedakan hanya dengan histologi (pembedahan), nodul koloid (diamati kecuali jika simtomatik), atau nondiagnostik (ulangi).3Skan isotop atau ultrasonografi jarang diindikasikan.3
Tomografi komputer (CT) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) merupakan pemriksaan yang akurat.3
VII.2 MULTINODULAR
Diagnosis struma multinodular dapat ditegakkan atas dasar klinik atau secara tak diperkirakan dengan 'scanning' isotop atau ultrasonografi nodulus yang diduga soliter. Klinis menunjukkan penyakit jinak, tetapi pembesaran tak nyeri yang cepat pada struma multinodular yang berlangsung lama harus menimbulkan kemungkinan perubahan keganasan.2
Jika tak ada gejala menekan, pasien struma multino­dular dapat diamati dengan pemeriksaan periodik. Jika ada atau timbul hipertiroidisme yang terbukti secara klinik dan biokimia, maka terapi diindikasikan.2
BAB VIII
KEGANASAN TIROID

Karsinoma tiroid termasuk keganasan yang jarang ditemukan dibandingkan dengan keganasan lainnya. Karsinoma tiroid berasal dari sel folikel tiroid.1,5
Keganasan tiroid dikelompokkan menjadi karsinoma tiroid ber­diferensiasi baik, yaitu bentuk papiler, folikuler, atau campuran keduanya, karsinoma meduler yang berasal dari sel parafolikuler yang mengeluarkan kalsitonin (APUD-oma), dan karsinoma berdiferensiasi buruk/ anaplastik. Karsinoma sekunder pada kelenjar tiroid sangat jarang dijumpai. Perubahan dari struma endemik menjadi karsinoma anaplastik dapat terjadi terutama pada usia lanjut.1
Kurang lebih 25% terjadi pada struma nodosa. Fokus karsinoma tampaknya muncul secara de novo di antara nodul dan bukan di dalamnya.1

VIII.1 HAL-HAL KUNCI4
a.       Tumor tiroid banyak menyerang usia dewasa muda.
b.      Benjolan tiroid tanpa disertai gejala lain harus selalu diperiksa untuk memastikan diagnosis.
c.       Prognosis biasanya baik dengan reseksi bedah dan terapi medikamentosa ajuvan.

VIII.2 EPIDEMIOLOGI
Pria/wanita 1:2. Insidensi puncak tergantung histologi (papiler: dewasa muda; folikular: usia pertengahan; anaplastik: usia lanjut; meduler: semua usia).4
VIII.3 ETIOLOGI
Tiga penyebab yang sudah jelas dapat menimbulkan karsinoma tiroid5:
a.       Kenaikan sekresi hormon TSH (Thyroid Stimulating Hormon) dari hipofise anterior disebabkan berkurangnya sekresi hormon T3 dan ­kelenjar tiroid oleh karena kurangnya intake jodium. Ini menyebabkan tiroid yang abnormal dapat berubah menjadi kanker.
b.      Radiasi ion pada leher terutama anak-anak yang pernah mendapat terapi radiasi di leher dan mediastinum.
c.       Faktor genetik.
   Hal-hal berikut merupakan faktor predisposisi:
a.       Riwayat struma sebelumnya.
b.      Radiasi di daerah leher pada masa kanak-kanak. Lebih kurang 25% dari mereka yang menjalani radiasi di leher pada usia muda, di kemudian hari, memperlihatkan nodul kelenjar tiroid yang berupa adenokarsinoma tiroid, terutama tipe papiler. Bila radiasi terjadi pada usia lebih dari 20 tahun, korelasi risikonya menjadi kurang bermakna. Masa laten mungkin lama sekali, sampai puluhan tahun.1,4

VIII.4 PATOLOGI
Tumor dapat berupa nodul lunak, tetapi sering pula berupa tumor keras.
Klasifikasi berdasarkan pembagian histopatologi menurut Brennan dan Bloomer (1982):
1.      Well differentiated carcinoma (75%)
a.       papillary adenocarcinoma
b.      follicular carcinoma
c.       hurthle cell carcinoma
2.      Undifferentiated carcinoma (anaplastic) (20%)
a.       small cell carcinoma
b.      giant cell carcinoma
3. Medullary carcinoma (4%)
4. Other malignant tumor (1 %)
a.       sarcoma
b.      lymphoma
c.       epidermoid ca
d.      metastasis tumor
e.       malignant teratoma
Adenokarsinoma papiler (60%) biasanya bersifat multisentrik dan 50% penderita memperlihatkan sarang ganas di lobus homolateral dan lobus kontrallateral. Metastasis mula-mula ke kelenjar limf regional, dan akhirnya dapat terjadi metastasis hematogen.
Adenokarsinoma folikuler biasanya bersifat unifokal dan jarang bermetastasis ke kelenjar limf leher. Karsinoma folikuler ini lebih sering menyebar secara hematogen, antara lain ke tulang dan paru.
Adenokarsinoma meduler berasal dari sel C/sel para­folikuler sehingga kadang mengeluarkan kalsitonin (sel APUD). Kadang terdapat hubungan dengan adenoma endokrin lain dalam bentuk sindrom MEN II (multiple en­docrine neoplasia IIa). Pada tahap dini juga dapat terjadi metastasis ke kelenjar limf regional.
Adenokarsinoma anaplastik, yang jarang ditemukan (10%), merupakan tumor yang agresif, bertumbuh cepat, dengan infiltrasi masif ke jaringan sekitarnya. Pada tahap dini sudah terjadi penyebaran hematogen dan penyembuhan jarang dicapai. Karsinoma anaplastik sering menyebabkan kesulitan bernapas karena inftltrasi ke trakea sampai ke lumen yang ditandai dengan dispnea dengan stridor inspirasi.
Infiltrasi karsinoma tiroid dapat ditemukan di trakea, laring, faring, esofagus, n.rekurens, pembuluh darah karotis, vena jugularis, struktur lain dalam leher dan kulit. Metastasis limfogen dapat meliputi semua regio, sedangkan metastasis hematogen ditemukan, terutama di paru, tulang, otak, dan hati. Kebanyakan karsinoma tiroid bermanifestasi sebagai struma mononoduler dan multinoduler. Dari nodul tunggal, sampai dengan 25% merupakan karsinoma tiroid. Sebagai konsekuensinya, jika menghadapi penderita dengan nodul tiroid tunggal, perlu dipertimbangkan faktor risiko, dan ciri keganasan . Diagnosis yang pasti dapat ditegakkan dengan biopsi aspirasi jarum halus (FNA), kecuali pada karsinoma folikuler.


Karsinoma Sel Hurthle
Karsinoma sel Hurthle suatu kanker jarang yang secara histologi berhubungan dengan keganasan thy­roidea berdiferensiasi baik. Bentuk ini mungkin suatu masalah klinik berbeda dalam haknya sendiri. Tumor ini dan metastasisnya tidak menyerap yodium radio­aktif dan terapi terutama bersifat pembedahan, yang melibatkan tiroidektomi total. Dengan pendekatan ini, angka kelangsungan hidup mendekati 60 persen pada 10 tahun. Mungkin karsinoma sel Hurthle suatu keganasan tingkat sedang.2
Keganasan Lain
a.       Sarkoma
b.      Limfoma
Limfoma suatu bentuk jarang kanker thyroidea, yang timbul topikal dalam wanita usia pertengahan sampai tua yang tampil dengan massa thyroidea kenyal difus tak nyeri yang cepat membesar. Secara histologi, biasanya lesi jenis sel  difus dan penyakit Hashi­moto dapat ditemukan dalam latar belakang pada lebih dari sepertiga pasien.
Limfoma malignum yang merupakan keganasan sistem limfatik, jarang dijumpai pada kelenjar tiroid. Untuk diagnosis tumor non-Hodgkin dilakukan biopsi, baik biopsi terbuka maupun dengan FNA.1
Terapi terdiri dari tiroidektomi dan radiasi, kemoterapi intensif dengan kombinasi sitostatika selama beberapa bulan prog­nosisnya.1,2 Ke­langsungan hidup lima tahun dapat lebih dari 80 per­sen sewaktu tumor terbatas pada glandula thyroidea, dan  40 persen bila penyakit ini juga ekstrathyroidea.5

c.       Karsinoma epidermoid.
Karsinoma epidermoid (diperkirakan sebagai varians karsinoma anaplastik) dan sarkoma jarang sekali ditemu­kan pada kelenjar tiroid.

d.      Metastasis
Mungkin karena sangat vaskularitas, metastasis rimbul dalam thyroidea dan dalam kebanyakan kasus timbul dari hipernefroma. Melanoma, karsinoma pancreas, karsinoma ginjal, ovarium, payudara, serta tumor bronchus dan gastrointestinalis dapat bermetastasis ke thyroidea.1,2 Gejala dari metastasis ini biasanya 'ditutupi' oleh tumor primer don timbunan sekunder lain serta penyakit thyroidea biasanya mempunyai akibat yang kecil.
e.       Teratoma malignum.

VIII.5 GAMBARAN KLINIS3,4
a.       Papiler: nodul tiroid soliter.
b.      Folikular: massa tiroid dengan pertumbuhan lambat, gejala-gejala metastasis jauh.
c.       Anaplastik: massa tiroid yang tumbuh cepat menyebabkan penekanan trakea dan esofagus.
d.      Meduler: benjolan tiroid, dapat berupa sindrom NEM IIA (karsinoma tiroid meduler, feokromositoma, hiper­paratiroidisme) atau NEM IIB (karsinoma tiroid meduler. feokromositoma, neuroma mukosa multipel, habitus Marfanoid).
e.       Limfoma dan metastasis.
Penentuan stadium klinik (Clinico-pathological staging)
I. A. Unilateral
    B.Multifokal/bilateral
II. A. Unilateral lymphnodes
     B. Bilateral/mediastinal
III. Local invasion
IV. Distant metastases
VIII.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.       Ultrasonografi kelenjar tiroid.
b.      FNAC: dapat memberikan diagnosis histologis.
c.       Scan tulang (bone scan) dan radiografi tulang untuk de­posit sekunder.
d.      Kadar kalsitonin sebagai pertanda karsinoma meduler.
e.       Benjolan tiroid yang cepat berkembang.
Cara pemeriksaan untuk membedakan neoplasma dari kelainan lain
1. Ultrasonografi
2. Scanning tiroid
3. Fine nodule aspiration biopsy (FNAB) (ketepatan 75-95%)
4. Biopsi
VIII.7 PENATALAKSANAAN
Papiler
a.       Pembedahan: tiroidektomi total dan pengangkatan kelenjar getah bening yang terlibat.
b.      Terapi ajuvan: L-tiroksin pascaoperasi untuk menekan produksi TSH (yang menstimulasi pertumbuhan tumor papiler).
c.       Prognosis: sangat baik.

Folikular
a.       Pembedahan: lobektomi timid atau tiroidektomi total jika terdapat metastasis.
b.      Terapi ajuvan: indium radioaktif (131I) untuk metastasis jauh dan L-tiroksin sebagai terapi pengganti untuk menekan TSH.
c.       Prognosis: tanpa metastasis-ketahanan hidup 10 tahun sebesar 90%; metastasis-angka ketahanan hidup 10 tahun sebesar 30%.
Anaplastik
a.            Pembedahan: hanya untuk menghilangkan gejala penekanan.
b.           Terapi ajuvan: tidak satu pun dari radioterapi maupun kemoterapi efektif.
c.            Prognosis: buruk-sebagian besar pasien akan meninggal dalam 12 bulan setelah diagnosis.
Meduler
a.       Singkirkan feokromositoma sebelum terapi.
b.      Pembedahan: tiroidektomi total dan eksisi kelenjar getah bening regional.
c.       Prognosis: secara keseluruhan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 50%.
VIII.7.1 Pembedahan (Surgical)
Pengobatan pilihan dari karsinoma tiroid adalah pembedahan. Jenis pembe­dahan ditentukan oleh ekstensi dari tumor. Dari indikasi pembedahan dapat dipilih jenis pembedahan dari kelenjar gondok yang bersangkutan.5
A. Untuk keganasan yang mengenai satu lobus dimana tidak ada fasilitas potong beku, isthmo-lobektomi cukup. Jaringan dapat dikirim ke Lembaga Patologi terdekat. Bila hasil menunjukkan adanya tumor multisentrik; karsinoma dengan bagian-bagian anaplastik atau pinggir sayatan masih ada sisa tumor, tiroidektomi total dapat saja dilakukan di kemudian hari. Bila ada fasilitas penieriksaan potong beku ini dapat dilakukan dalam satu tahap.5
Untuk adenokarsinoma berdiferensiasi baik pada usia muda, unilateral, dengan diameter kecil tanpa penyebaran ke kelenjar leher (dengan skor prognosis baik), dapat dipertimbangkan untuk dilakukan istmolobektomi, yaitu hemitiroidektomi.1
B. Untuk keganasan yang mengenai kelenjar gondok dengan kecurigaan metastasis pada kelenjar getah  bening leher.
1. Keganasan terbatas pada satu lobus dan pembesaran kelenjar getah bening leher homolateral dilakukan isthmo-lobektomi dan biopsi ke­lenjar getah bening leher yang mencurigakan. Bila terbukti ganas dilakukan tiroidektomi total diikuti deseksi kelenjar getah bening radi­kal leher yang bersangkutan satu atau dua tahap bergantung dari fasilitas patologi.
2. Bila keganasan mengenai kedua lobus dan pembesaran kelenjar getah bening belum ada -dilakukan tiroidektomi total.
3. Bila keganasan mengenai kedua lobus dan sudah ada pembesaran kelenjar getah bening leher pada satu sisi, dalam hal ini dilakukan biopsi kelenjar getah bening leher dulu, bila hasil positif suatu metas­tasis karsinoma tiroid dilakukan tiroidektomi total dengan deseksi radikal kelenjar getah bening yang bersangkutan.
4. Bila keganasan mengenai kedua lobus dan ada pembesaran kelenjar getah bening leher bilateral, dalam hal ini dilakukan biopsi kelenjar getah bening leher bilateral. Bila satu sisi positif metastasis dari karsi­noma tiroid dilakukan total tiroidektomi dengan deseksi radikal kelen­jar getah bening pada sisi yang bersangkutan. Bila kedua sisi kelenjar getah bening leher positif dengan metastasis karsinoma tiroid dila­kukan tiroidektomi total dengan deseksi radikal kelenjar getah bening leher bilateral satu tahap atau 2 tahap.1,4
C. Dalam hal sudah terdapat metastasis jauh (tulang atau paru-paru) bila teknik masih memungkinkan dilakukan tiroidektomi total untuk menghin­darkan penekanan terhadap trakea dan pembuluh darah dan kemudian diteruskan dengan radiasi eksterna/interna. Ini terutama pada jenis karsinoma folikuler.
D. Penderita dengan karsinoma berdiferensiasi buruk (anaplastik) sel masih terlokalisasi pada lobus tiroid dan belum meluas ke jaringan sekitarnya (ekstensif) dilakukan tiroidektomi total bila mungkin, bila tak mungkinkan cukup dengan tiroidektomi subtotal atau lobektomi langsung diikuti radiasi eksterna.
E. Jika hasil pemeriksaan potong beku menunjukkan kista folikuler tiroid, maka lobus tiroid yang bersangkutan diangkat seluruhnya bersama dengan sinus tiroid. Ismu lobektomi. Hal ini dianjurkan oleh karena pada pemeriksaan patologi potong beku sangat sulit untuk menentukan apakah tumor telah menembus dinding kista atau belum, keadaan yang sebenarnyanya dapat dilihat setelah dibuat sediaan patologi secara parafin. Bila tumor telah menembus dinding kista maka keadaannya sudah menjadi karsinoma tiroid folikuler; tindakan definitif adalah tiroidektomi total. Tapi sementara itu telah dilakukan tindakan yang adekuat.
VIII.7.2 Non Pembedahan
A. Radiasi internal dengan J(131):
Beberapa karsinoma tiroid jenis folikuler atau campuran dapat menyerap J131. Karena jaringan tiroid normal lebih banyak dan lebih baik daya penyerapannya dari jaringan karsinoma maka syarat utama untuk melakukan terapi ini adalah bahwa semua jaringan tiroid yang ada harus diangkat terlebih dahulu. Jadi sifat terapi ini adalah ablatif (menghancurkan sel-sel tumor).
B. Radiasi eksternal dengan Co 60 dengan dosis total 4000-5000 rad.
Pada umumnya karsinoma tiroid adalah radioresisten. Tetapi radiasi eksternal tetap dipakai pada beberapa kasus terutama pada jenis anaplastik. Untuk pemberian ini kecuali yang tipe anaplastik sebaiknya jaringan tumor diangkat dulu sebanyak mungkin.
C. Khemoterapi
Cara ini masih dalam penyelidikan, karena masih ditemukan kegagalan. Sitostatika yang dipakai adalah Vincristin, Adriablastin, Ciosplatinum.
D. Hormonal
Digunakan sebagai terapi suplemen/supresi terutama untuk tipe papiler atau campuran papiler-folikuler, juga untuk mengobati hipotiroidisme pada tipe yang lain.
Prinsip cara pengobatan ini adalah menekan stimulasi dari hormon TSH yang dapat merangsang sekresi hormon sel kelenjar gondok tiroksin yang pada gilirannya dapat merangsang pertumbuhan karsinoma yang ada pada kelenjar tiroid.
Preparat yang digunakan adalah trijodotironin atau tiroksin. Crile me­ngatakan bahwa pemberian dessicated thyroid dapat mengontrol pertum­buhan karsinoma papiler.
E. Jika hasil pemeriksaan potong beku menunjukkan kista folikuler tiroid maka lobus tiroid yang bersangkutan diangkat seluruhnya bersama dengan sinus tiroid.
Pada semua penderita pascatiroidektomi total diberi­kan terapi hormon tiroid seumur hidup, sebagai terapi substitusi dan terapi supresi terhadap TSH. Prognosis tergantung jenis keganasan. Khusus untuk karsinoma tiroid berdiferensiasi baik dapat digunakan skor AMFS (age, metastases, extension size), AGES (age, grnrles, extension, size), atau MACIS (me­tastases, age, complete excision, invasion, size).1
VIII.8 PROGNOSIS5
Prognosis bergantung pada:
a.       Tipe histopatologi
b.      Stadium klinik patologi
c.       Lamanya penyakit hingga terdiagnosa dan diberikan pengobatan
d.      Usia penderita. Prognosa lebih baik pada usia di bawah 40 tahun daripada usia lebih tua terutama untuk tipe papiler.
Karsinoma papiler mempunyai prognosa yang terbaik.5
Menurut penyelidikan Russel dkk:
a.       Karsinoma folikuler : 10 years survival rate : 60 %.
b.      Karsinoma papiler : 10 years survival rate : 74%.
c.       Karsinoma tipe campuran : 10 years survival rate : 82%.


DAFTAR PUSTAKA

    1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta, EGC, Hal: 682-694.
    2.      Sabiston, Buku Ajar Ilmu Bedah, bagian I, cetakan ke-dua, EGC, Jakarta, 1995. Hal : 415-429.
    1. Schwartz, Shires, Spencer, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, EGC, Jakarta, Hal : 535-545.
    2. Grace PA, Borley NR, 2007, At a Glance Ilmu Bedah, Edisi Ketiga, Jakarta, Erlangga, Hal: 132-135 
    3. Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, Kartono D, Hutagalaung EU, Sumardi R, Lutfia C, Ramli M, Rachmat KB, Dachlan M, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Bagian Bedah Staf Pengajar  Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 1995, Jakarta:Binarupa Aksara Hal: 366-376.
    4. Henry MM, Thompson JN , 2005, Principles of Surgery, 2nd edition, Elsevier  Saunders, page 567. 

     disi 2, Jakarta, EGC, Hal: 682-694.
2.      Sabiston, Buku Ajar Ilmu Bedah, bagian I, cetakan ke-dua, EGC, Jakarta, 1995. Hal : 415-429.
  1. Schwartz, Shires, Spencer, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, EGC, Jakarta, Hal : 535-545.
  2. Grace PA, Borley NR, 2007, At a Glance Ilmu Bedah, Edisi Ketiga, Jakarta, Erlangga, Hal: 132-135 
  3. Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, Kartono D, Hutagalaung EU, Sumardi R, Lutfia C, Ramli M, Rachmat KB, Dachlan M, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Bagian Bedah Staf Pengajar  Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 1995, Jakarta:Binarupa Aksara Hal: 366-376.
  4. Henry MM, Thompson JN , 2005, Principles of Surgery, 2nd edition, Elsevier  Saunders, page 567. 


No comments:

Post a Comment