FRAKTUR LE FORT
I.
PENDAHULUAN
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras
tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan
mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari
faktor yang datngnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja
, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.
Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita
secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi
okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai
susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi
dan mengurangi rasa sakitakibat adanya mobilitas segmen tulang.
Wajah dapat dibagi menjadi tiga daerah (sub-unit), setiap daerah
memiliki kegunaan yang berbeda-beda. Sub-unit paling atas terdiri dari tulang
frontal yang secara prinsip berfungsi berfungsi sebagai
pelindung otak bagian lobus anterior tetapi juga sebagai pembentuk atap mata. Sub-unit bagian tengah wajah memiliki struktur yang sangat berbeda, dengan ciri struktur dengan integritas yang rendah dan disatukan oleh kerangka tulang yang terdiri dari pilar-pilar atau penopang. Pilar-pilar ini disebut juga buttresses yang terdiri dari pilar frontonasal maksila pada anteromedial, zigomatiko-maksila sebagai pilar lateral dan procesus pterigoid sebagai pilar posterior. Sub-unit bagian bawah adalah mandibula. Bagian ini memilki struktur integritas yang paling baiksebagai konsekuensi dari fungsinya dan berhubungan dengan perlekaan otot-otot. Masalah yang paling spesifik pada fraktur mandibula dihubungkan dengan fraktur midfasial adalah peranan mandibula untuk mengembalikan lebar wajah secara tepat.
pelindung otak bagian lobus anterior tetapi juga sebagai pembentuk atap mata. Sub-unit bagian tengah wajah memiliki struktur yang sangat berbeda, dengan ciri struktur dengan integritas yang rendah dan disatukan oleh kerangka tulang yang terdiri dari pilar-pilar atau penopang. Pilar-pilar ini disebut juga buttresses yang terdiri dari pilar frontonasal maksila pada anteromedial, zigomatiko-maksila sebagai pilar lateral dan procesus pterigoid sebagai pilar posterior. Sub-unit bagian bawah adalah mandibula. Bagian ini memilki struktur integritas yang paling baiksebagai konsekuensi dari fungsinya dan berhubungan dengan perlekaan otot-otot. Masalah yang paling spesifik pada fraktur mandibula dihubungkan dengan fraktur midfasial adalah peranan mandibula untuk mengembalikan lebar wajah secara tepat.
Manson yang dikutip oleh Mahon dkk menggambarkan fraktur panfasial
dengan membagi daerah wajah menjadi dua bagian yang dibatasi oleh garis fraktur
Le Fort I. Setengah wajah bagian bawah dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah
oklusal yang terdiri dari prosesus alveolaris maksila dan mandibula serta
tulang palatum dan bagian bawah terdiri dari vertikal ramus dan horisontal
basal mandibula. Setengahwajah bagian atas terdiri dari tulang frontal dan
daerah midfasial.
Sutura palatina memiliki struktur yang sama dengan sutura daerah
kranial. Pearsson dan Thilendar menemukan bahwa sinostosis pada sutura palatina
akan terjadi pada usia antara 15 dan 19 tahun, yang akan menyatukan segmen
lateral palatal, sehingga jika terjadi trauma akan menimbulkan fraktur para
sagital yang merupakan daerah tulang yang tipis. Seperti yang dikemukakan oleh
Manson bahwa fraktur sagital lebih sering terjadi pada individu yang lebih
mugah sedangkan fraktur para sagital lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami
gangguan penyembuhan frakturbaik itu malunion ataupun ununion. Ada beberapa
faktor risiko yang secara specifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan
berpotensi untuk menimbulkan terjadinyamalunion ataupun non-union. Faktor
risiko yang paling bedar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik,
kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang
tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada
mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan
fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan
osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
Terjadinya gangguan bentuk lengkukng pada fraktur mandibula
seringkali merupakan akibat dari reduksi yang kurang adekuat. Kegagalan pada
penyusunan kembali bentuk lengkung secara anatomis akan menimbulkan keadaan
prematur kontak dan gangguan fungsi pengunyahan. Kurang tepatnya aposisi segmen
fraktur ini merupakan akibat dari perawatan yang terlambat ataupun fraktur yang
tidak dilakukan perawatan. Pada beberapa kasus untuk untuk membantu reduksi
fraktur dilakukan pembuatan model studi pra-operasi dan juga pembuatan model studi
bedah.
Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulang-tulang wajah
yang klasik terjadi pada trauma-trauma di wajah. Fraktur Le Fort diambil dari
nama seorang ahli bedah Perancis René Le Fort (1869-1951) yang
mendeskripsikannya pertama kali di awal abad 20. Braun Stein melaporkan di USA
kasus trauma kepala dan wajah terjadi kira-kira 72, 1 %. Trauma wajah meliputi
: trauma pada soft tissue, organ – organ khusus dan tulang – tulang. Hal ini
merupakan suatu kegawat daruratan yang memerlukan tindakan emergency karena
dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas, cedera otak berat, dan mungkin fraktur
vertebra cervikalis. Tujuan awal terapi adalah membebaskan jalan nafas.
Pada Fraktur Le Fort dua dan tiga
terjadi pergerakan tulang bagian wajah ke bawah, bagian kranium bagian depan
membentuk bidang miring sehingga menyebabkan perdarahan atau memperpanjang
wajah, mendorong molar atas ke bagian bawah, mendorong molar palatum mole ke
arah lidah hal ini menyebabkan obstruksi. Fraktur pada sepertiga tengah wajah
pasien mempunyai gambaran yang tidak menguntungkan karena dapat menyebabkan:
1. Sering terjadi fraktur multipel
berbentuk fragmen 50 atau lebih.
2. Cedera pada saraf cranial yaitu
pada: saraf gigi infraorbital dan superior.
3. Ethmoid, mungkin terjadi fraktur
atau duramater robek yang menyebabkan rhinorrhea
4. Orbita, mungkin terjadi fraktur
orbital blow out syndrome
5. Sirkulasi pada mata terganggu
sehingga menyebabkan opthalmic canal syndrome.
6. Sinus maksilaris mungkin penuh
dengan darah.
7. Duktus nasolakrimalis mungkin cedera
Gambar 1. Fraktur LeFort
II. KLASIFIKASI
Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :
- Le Fort I
Pada fraktur lefort tipe satu alveolus, bagian yg menahan
gigi pada rahang atas terputus, dan mungkin jatuh ke dalam gigi bawah.
Ketidaksetabilan terjadi jika dilakukan pemeriksaan fisik pada hidung dan gigi
incisivus. Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai
dengan bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”. Kerusakan
yang mungkin :
- Prosesus
arteroralis
- Bagian
dari sinus maksilaris
- Palatum
durum
- Bagian bawah lamina pterigoid
Gambar 2. Le fort 1
Le Fort II
Pada tipe dua terdapat
ketidakstabilan setinggi os. Nasal. Garis fraktur melalui tulang hidung
dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan
menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga kea rah lamina pterogoid
sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga fraktur “pyramid”. Fraktur ini
dapat merusak system lakrimalis, karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga
fraktur ini sebagai “floating maxilla (maksila yang melayang) ”
Gambar 3 dan 4. Le Fort 2
Le Fort III
Pada tipe tiga, fraktur dengan disfungsi kraniofacial
komplit. Tipe fraktur ini mungkin kombinasi dan dapat terjadi pada satu sisi
atau dua sisi. Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang
ethmoid junction melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah dinding
lateral ke orbita, sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum.
Disebut juga sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang
memisahkan secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial. Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur
ini adalah keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina
cribiformis.
Gambar 5. Fraktur Le Fort III (a)
Gambar 6. Fraktur Le Fort III (b)
Tujuan perawatan fraktur Le fort
1.
Memperbaiki jalan nafas
Pasien
mengalami sulit bernafas, karena :
a. Jalan
nafas tersumbat oleh darah
b.
Palatum mole tertarik dibawah lidah oleh pergeseran karena fraktur tersebut.
2.
Mengontrol pendarahan
3.
Agar gigi dapat menggigit secara
normal
4.
Untuk mencegah deformitas dengan
melakukan reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.
Anastesi lokal dapat diberikan
untuk cedera kecil tetapi untuk rekontruksi yang rapi dari cedera yang luas,
dan terutama penting jika cedera komplikasi yang melibatkan tulang. Pasien mungkin dapat
berbicara, karena itu perlu ditanyakan jika pasien kehilangan kesadaran dan
mungkin mengalami cedera pada kepalanya. Cuci wajah pasien secara lembut dengan
air hangat untuk mengeluarkan darah yang melekat. Perhatikan wajah secara
cermat untuk mengetahui asimetris. Bandingkan satu sisi dengan dengan sisi lain
melalui pemeriksaan, apakah hidungnya atau wajahnya yang menjadi pipuh. Pengobatan yang digunakan untuk mengobati
fraktur Lefort dengan memberikan
amoksilin, ampisilin, atau prokain penisilin selama seminggu. Hal ini biasanya
akan mencegah infeksi tulang. Jika terjadi Perdarahan, ikat pembuluh
darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit dihentikan dapat digunakan
tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang hebat.
Tampon postnasal selalu dapat menghentikan perdarahan, Jika perlu gunakan
jahitan hemostasis sementara.
McMahon mengutip Manson yang menjelaskan panfasial fraktur dengan
membagi daerah wajah menjadi dua bagian dan sebagian batas adalah garis fraktur
Le Fort I setengah wajah bagian bawah selanjutnya dibagi menjadi occlusal
bagian atas, terdiri dari prosesus alveolaris tulang maksila dan mandibula dan
unit bagian bawah terdiri dari vertikal ramus dan horisontal basal mandibula.
Mandibula berperanan dalam membentuk struktur skeletal wajah bagian bawah.
Mandibula memiliki struktur dengan kepadatan yang baik yang merupakan
konsekuensi dari fungsinya. Masalah utama pada fraktur mandibula dihubungkan
dengan cedera wajah bagian tengah (midfacial) adalah peranan penting mandibula
dalam mempertahankan lebar wajah bagian bawah.
Pada fraktur sagital ditetapkan bahwa fraktur sagital lebih sering
terjadi pada individu dengan usia lebih muda, sedangkan fraktur parasagital
lebih banyak terjadi pada individu dengan usia lebih tua (dewasa). Keadaan ini
menurut Pearsson dan Thilendar disebabkan karena sudah terjadinya sinostosis
sutura palatina pada usia 15-19 tahun, sehingga bila terkena trauma akan
menimbulkan fraktur parasagital yang merupakan bagian tulang yang tipis.
Biasanya fraktur parasagital ditandai oleh adanya laserasi pada bibir meluas ke
sulkus gingivobukal, disertai dengan tanggalnya gigi, kadang terlihat adanya mukosa
palatum yang sobek. Pergeseran fragmen dentoalveolar terjadi pada arah superior
dan lateral. Tujuan utama perawatan fraktur rahang adalah untuk mengembalikan
ke anatomi, bentuk dan fungsi normal komplek kraniofasial. Salah satu kompilasi
pada fraktur adalah terjadinya deformitas dentofasial yang merupakn akibat dari
malposisi tulang, hilangnya gigi, atau kombinasi dari hal-hal tersebut.
Kegagalan untuk memncapai fungsi yang tepat dan merestorasi segi
kosmetika dari komplek dentofasial dapat disebabkan antara lain yaitu
terjadinya penyembuhan fraktur sebelum dapat dilakukannya tindakan reduksi,
yang dikarenakan oleh keadaan umum pasien yang belum memungkinkan untuk
dilakukan pembedahan. Keadaan ini terjadi terutama pada maksila dan pasien
berusia muda. Fraktur rahang yang tidak dirawat akan menyatu setelah 3 minggu
terjadinya trauma. Prinsip penatalaksanaan dentofasial deformitas pasca trauma
adalah, pemeriksaan klinis dan riwayat pasien secara akurat, pemeriksaan khusus
(radiography, dental study models), membuat rencana perawatan dan pembedahan
dengan osteotomi atau disertai dengan bone graft.
Evaluasi segi estetis daerah wajah adalah cara melihat secara
keseluruhan dengan menilai adanya asimetri dan mengevaluasi keseimbangan wajah.
Evaluasi yang dilakukan meliputi pemeriksaan posisi mata, infraorbital rim,
bentuk hidung, meliputi lebar dasar hidung, morfologi bibir dan proporsi wajah
secara keseluruhan dalam arah vertikal dan transversal. Sedangkan pemeriksaan
gigi geligi secara lengkap harus meliputi bentuk lengkung gigi, simetri,
hubungan gigi geligi dan ketidaknormalan oklusal dalam arah transversal,
anteropoterior dan dimensi vertical. Model studi dental dibuat untuk memeriksa
adanya maloklusi gigi geligi dan digunakan juga untuk memperhitungkan arah dan
jarak pergeseran segmen fraktur yang diperlukan untuk mencapai oklusi yang baik
pada saat operasi.
Koreksi pada deformitas tulang dapat dilakukan dengan cara
osteotomi, bone graft atau kombinasi dari keduanya. Jika komponen tulang wajah
memiliki morfologi normal, tetapi posisinya tidak normal (displacement), maka
teknik yang dipilih adalah osteotomi. Jika bagian terbesar tulang posisinya
normal tetapi morfologi tidak normal (defisiensi), maka pilihan perawatannya
adalah dengan bone graft.
Menurut David et al, tindakan bedah untuk mengoreksi deformitas
mandibula dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, refracturing dan pengembalian
posisi tulang dengan minimal bone graft, osteotomi untuk memperbaiki oklusi dan
atau membentuk wajah, dan pemasangan bone graft pada ramus atau body mandibula
untuk memperbaiki bentuk tulang.
Pada tindakan bedah refracturing dan reposisi, bila daerah fraktur
sudah terlihat, masing-masing segmen fraktur dipisahkan dan cara pemisahannya
tergantung pada tingkat perlekatan fraktur (solid). Jika perlekatannya solid
maka pemisahannya memerlukan gergaji, jika tidak cukup menggunakan osteotomi
yang disisipkan diantara fragmen fraktur. Kalus dan jaringan yang melapisi
dihilangkan dan ujung-ujung tulang dibuat luka baru lagi. Kemudian setelah
tulang dapat direposisi dipasang miniplat dan fiksasi intermaksila selama 1
bulan.
Teknik rigid internal fixation (RIF) atau pemakaian miniplat dan
screw untuk fiksasi secara landsung pada segmen tulang merupakan alat yang
sering digunakan pada saat pembedahan koreksi deformitas dentofasial. Segmen
tulang difiksasi bersama-sama secra langsungdan rigid, sehingga fiksasi
maksilomandibula dan imobilisasi rahang dapat dikurangi atau bahkan
dihilangkan.
Perawatan pasca bedah yang dilakukan adalah dengan pemberian
antibiotik intravena dan analgetik antinflamasi selam 48 jam, asupan makanan
yang diberikan adalah diet cair, kebersihan mulut juga dijaga dengan
menggunakan obat kumur.
Perawatan
segera jika terjadi cedera maksilofasial, termasuk pada fraktur le fort.
1. Apakah Pasien dapat bernapas, jika
sulit :
Ø Ada obstruksi
Ø Palatum mole tertarik ke bawah lidah
Ø Lidahnya jatuh kearah belakang atau
tidak
2. Palatum Mole apakah, tertarik ke
arah lidah.?
Ø Kait dg jari tangan anda
mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang wajah bag tengah
dengan lembut kearah atas dan depan untuk memperbaiki jalan napas dan sirkulasi
mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yg
besar jika fraktur terjepit dan reduksi tidak berhasil, maka dilakukan
tracheostomi. Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris
dengan forcep khusus (Rowe’s) atau forcep bergerigi tajam, yg kuat dan
goyangkan.
3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh
ke arah belakang
Ø Lakukan beberapa jahitan atau jepitan
handuk melaluinya, dan secara lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika
posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu
sisi.
Ø Catatan : Tapi jika pernapasan
membahayakan dan perlu merujuk maka sebaiknya dilakukan tracheostomi tetapi
untuk pembebasan airway segera
krikotirodotomi
4. Jika cedera rahang yang berat dan
kehilangan banyak jaringan
Ø Pada saat mengangkutnya, baringkan
pasien dg kepala pada salah satu ujung usungan dan dahinya ditopang dg pembalut
diantara pegangan.
5. Jika pasien merasakan lebih enak
dengan posisi duduk
Ø Biarkan posisi demikian karena
kemungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya.
Ø Isap mulutnya dari sumbatan bekuan
darah dan lain-lain.
Ø Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin
tidak membantu
6. Jika hidungnya cedera parah dan
berdarah
Ø Isap bersih dan pasang NPA atau pipa
karet tebal yang sejenis ke satu sisi
Perlu dilakukan Trakheostomi jika ditemukan hal-hal dibawah
ini:
1. Tidak dapat melepaskan himpitan
fraktur atau mereduksi fraktur pada sepertiga wajah pasien .
2. Tidak dapat mengontrol perdarahan
yang berat.
3. Edema glottis.
4. Cedera berat dengan kehilangan
banyak jaringan.
Perawatan pada
cedera maksilofacial
a.
Jika pasien sadar.
Dudukan
pasien menghadap kedepan agar lidah, saliva, dan darah mengalir keluar.
b.
Jika pasien tidak sadar.
Saat
perawatan perlu ditidurkan pada posisi recoveri dan hati – hati bila ada cidera
lain yang membahayakan.
Dan
apabila akan dilakukan operasi tetap siapkan sebagai operasi dengan general
anastesi. Untuk kebersihan dan disinfeksi apabila pasien sadar disuruh untuk
kumur –kumur dengan:
Ø
Cairan kumur clorheksidin 0,5 %
Ø
Larutan garam 2%
Ø
Jika tidak mungkin kumur dengan
air bersih
No comments:
Post a Comment