"A Man can't make a mistake can't make anything"

Wednesday 1 August 2012

DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN FRAKTUR TULANG WAJAH ( LE FORT FRACTURE)


FRAKTUR LE FORT
I.                   PENDAHULUAN
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datngnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakitakibat adanya mobilitas segmen tulang.
Wajah dapat dibagi menjadi tiga daerah (sub-unit), setiap daerah memiliki kegunaan yang berbeda-beda. Sub-unit paling atas terdiri dari tulang frontal yang secara prinsip berfungsi berfungsi sebagai 



pelindung otak bagian lobus anterior tetapi juga sebagai pembentuk atap mata. Sub-unit bagian tengah wajah memiliki struktur yang sangat berbeda, dengan ciri struktur dengan integritas yang rendah dan disatukan oleh kerangka tulang yang terdiri dari pilar-pilar atau penopang. Pilar-pilar ini disebut juga buttresses yang terdiri dari pilar frontonasal maksila pada anteromedial, zigomatiko-maksila sebagai pilar lateral dan procesus pterigoid sebagai pilar posterior. Sub-unit bagian bawah adalah mandibula. Bagian ini memilki struktur integritas yang paling baiksebagai konsekuensi dari fungsinya dan berhubungan dengan perlekaan otot-otot. Masalah yang paling spesifik pada fraktur mandibula dihubungkan dengan fraktur midfasial adalah peranan mandibula untuk mengembalikan lebar wajah secara tepat.
Manson yang dikutip oleh Mahon dkk menggambarkan fraktur panfasial dengan membagi daerah wajah menjadi dua bagian yang dibatasi oleh garis fraktur Le Fort I. Setengah wajah bagian bawah dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah oklusal yang terdiri dari prosesus alveolaris maksila dan mandibula serta tulang palatum dan bagian bawah terdiri dari vertikal ramus dan horisontal basal mandibula. Setengahwajah bagian atas terdiri dari tulang frontal dan daerah midfasial.
Sutura palatina memiliki struktur yang sama dengan sutura daerah kranial. Pearsson dan Thilendar menemukan bahwa sinostosis pada sutura palatina akan terjadi pada usia antara 15 dan 19 tahun, yang akan menyatukan segmen lateral palatal, sehingga jika terjadi trauma akan menimbulkan fraktur para sagital yang merupakan daerah tulang yang tipis. Seperti yang dikemukakan oleh Manson bahwa fraktur sagital lebih sering terjadi pada individu yang lebih mugah sedangkan fraktur para sagital lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan frakturbaik itu malunion ataupun ununion. Ada beberapa faktor risiko yang secara specifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinyamalunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling bedar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak  menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
Terjadinya gangguan bentuk lengkukng pada fraktur mandibula seringkali merupakan akibat dari reduksi yang kurang adekuat. Kegagalan pada penyusunan kembali bentuk lengkung secara anatomis akan menimbulkan keadaan prematur kontak dan gangguan fungsi pengunyahan. Kurang tepatnya aposisi segmen fraktur ini merupakan akibat dari perawatan yang terlambat ataupun fraktur yang tidak dilakukan perawatan. Pada beberapa kasus untuk untuk membantu reduksi fraktur dilakukan pembuatan model studi pra-operasi dan juga pembuatan model studi bedah.
Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulang-tulang wajah yang klasik terjadi pada trauma-trauma di wajah. Fraktur Le Fort diambil dari nama seorang ahli bedah Perancis René Le Fort (1869-1951) yang mendeskripsikannya pertama kali di awal abad 20. Braun Stein melaporkan di USA kasus trauma kepala dan wajah terjadi kira-kira 72, 1 %. Trauma wajah meliputi : trauma pada soft tissue, organ – organ khusus dan tulang – tulang. Hal ini merupakan suatu kegawat daruratan yang memerlukan tindakan emergency karena dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas, cedera otak berat, dan mungkin fraktur vertebra cervikalis. Tujuan awal terapi adalah membebaskan jalan nafas.
Pada Fraktur Le Fort dua dan tiga terjadi pergerakan tulang bagian wajah ke bawah, bagian kranium bagian depan membentuk bidang miring sehingga menyebabkan perdarahan atau memperpanjang wajah, mendorong molar atas ke bagian bawah, mendorong molar palatum mole ke arah lidah hal ini menyebabkan obstruksi. Fraktur pada sepertiga tengah wajah pasien mempunyai gambaran yang tidak menguntungkan karena dapat menyebabkan:
1.      Sering terjadi fraktur multipel berbentuk fragmen 50 atau lebih.
2.      Cedera pada saraf cranial yaitu pada: saraf gigi infraorbital dan superior.
3.      Ethmoid, mungkin terjadi fraktur atau duramater robek yang menyebabkan rhinorrhea
4.      Orbita, mungkin terjadi fraktur orbital blow out syndrome
5.      Sirkulasi pada mata terganggu sehingga menyebabkan opthalmic canal syndrome.
6.      Sinus maksilaris mungkin penuh dengan darah.
7.      Duktus nasolakrimalis mungkin cedera
                                                       

Gambar 1. Fraktur LeFort
II. KLASIFIKASI
Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :
- Le Fort I
Pada fraktur lefort tipe satu alveolus, bagian yg menahan gigi pada rahang atas terputus, dan mungkin jatuh ke dalam gigi bawah. Ketidaksetabilan terjadi jika dilakukan pemeriksaan fisik pada hidung dan gigi incisivus. Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai dengan bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”. Kerusakan yang mungkin :
  1. Prosesus arteroralis
  2. Bagian dari sinus maksilaris
  3. Palatum durum
  4. Bagian bawah lamina pterigoid

Gambar 2. Le fort 1

Le Fort II
Pada tipe dua terdapat  ketidakstabilan setinggi os. Nasal. Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga kea rah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga fraktur “pyramid”. Fraktur ini dapat merusak system lakrimalis, karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai “floating maxilla (maksila yang melayang) ”

Gambar 3 dan 4. Le Fort 2
Le Fort III
Pada tipe tiga, fraktur dengan disfungsi kraniofacial komplit. Tipe fraktur ini mungkin kombinasi dan dapat terjadi pada satu sisi atau dua sisi. Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Disebut juga sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial. Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini adalah keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.

Gambar 5. Fraktur Le Fort III (a)
Gambar 6. Fraktur Le Fort III (b)
III.  PENATALAKSANAAN



Tujuan perawatan fraktur Le fort
1.      Memperbaiki jalan nafas
Pasien mengalami sulit bernafas, karena :
a. Jalan nafas tersumbat oleh darah
b. Palatum mole tertarik dibawah lidah oleh pergeseran karena fraktur tersebut.
2.      Mengontrol pendarahan
3.      Agar gigi dapat menggigit secara normal
4.      Untuk mencegah deformitas dengan melakukan reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.
Anastesi lokal dapat diberikan untuk cedera kecil tetapi untuk rekontruksi yang rapi dari cedera yang luas, dan terutama penting jika cedera komplikasi yang melibatkan tulang. Pasien mungkin dapat berbicara, karena itu perlu ditanyakan jika pasien kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami cedera pada kepalanya. Cuci wajah pasien secara lembut dengan air hangat untuk mengeluarkan darah yang melekat. Perhatikan wajah secara cermat untuk mengetahui asimetris. Bandingkan satu sisi dengan dengan sisi lain melalui pemeriksaan, apakah hidungnya atau wajahnya yang menjadi pipuh. Pengobatan yang digunakan untuk mengobati fraktur Lefort dengan memberikan amoksilin, ampisilin, atau prokain penisilin selama seminggu. Hal ini biasanya akan mencegah infeksi tulang. Jika terjadi Perdarahan, ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit dihentikan dapat digunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang hebat. Tampon postnasal selalu dapat menghentikan perdarahan, Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.
McMahon mengutip Manson yang menjelaskan panfasial fraktur dengan membagi daerah wajah menjadi dua bagian dan sebagian batas adalah garis fraktur Le Fort I setengah wajah bagian bawah selanjutnya dibagi menjadi occlusal bagian atas, terdiri dari prosesus alveolaris tulang maksila dan mandibula dan unit bagian bawah terdiri dari vertikal ramus dan horisontal basal mandibula. Mandibula berperanan dalam membentuk struktur skeletal wajah bagian bawah. Mandibula memiliki struktur dengan kepadatan yang baik yang merupakan konsekuensi dari fungsinya. Masalah utama pada fraktur mandibula dihubungkan dengan cedera wajah bagian tengah (midfacial) adalah peranan penting mandibula dalam mempertahankan lebar wajah bagian bawah.
Pada fraktur sagital ditetapkan bahwa fraktur sagital lebih sering terjadi pada individu dengan usia lebih muda, sedangkan fraktur parasagital lebih banyak terjadi pada individu dengan usia lebih tua (dewasa). Keadaan ini menurut Pearsson dan Thilendar disebabkan karena sudah terjadinya sinostosis sutura palatina pada usia 15-19 tahun, sehingga bila terkena trauma akan menimbulkan fraktur parasagital yang merupakan bagian tulang yang tipis. Biasanya fraktur parasagital ditandai oleh adanya laserasi pada bibir meluas ke sulkus gingivobukal, disertai dengan tanggalnya gigi, kadang terlihat adanya mukosa palatum yang sobek. Pergeseran fragmen dentoalveolar terjadi pada arah superior dan lateral. Tujuan utama perawatan fraktur rahang adalah untuk mengembalikan ke anatomi, bentuk dan fungsi normal komplek kraniofasial. Salah satu kompilasi pada fraktur adalah terjadinya deformitas dentofasial yang merupakn akibat dari malposisi tulang, hilangnya gigi, atau kombinasi dari hal-hal tersebut.
Kegagalan untuk memncapai fungsi yang tepat dan merestorasi segi kosmetika dari komplek dentofasial dapat disebabkan antara lain yaitu terjadinya penyembuhan fraktur sebelum dapat dilakukannya tindakan reduksi, yang dikarenakan oleh keadaan umum pasien yang belum memungkinkan untuk dilakukan pembedahan. Keadaan ini terjadi terutama pada maksila dan pasien berusia muda. Fraktur rahang yang tidak dirawat akan menyatu setelah 3 minggu terjadinya trauma. Prinsip penatalaksanaan dentofasial deformitas pasca trauma adalah, pemeriksaan klinis dan riwayat pasien secara akurat, pemeriksaan khusus (radiography, dental study models), membuat rencana perawatan dan pembedahan dengan osteotomi atau disertai dengan bone graft.
Evaluasi segi estetis daerah wajah adalah cara melihat secara keseluruhan dengan menilai adanya asimetri dan mengevaluasi keseimbangan wajah. Evaluasi yang dilakukan meliputi pemeriksaan posisi mata, infraorbital rim, bentuk hidung, meliputi lebar dasar hidung, morfologi bibir dan proporsi wajah secara keseluruhan dalam arah vertikal dan transversal. Sedangkan pemeriksaan gigi geligi secara lengkap harus meliputi bentuk lengkung gigi, simetri, hubungan gigi geligi dan ketidaknormalan oklusal dalam arah transversal, anteropoterior dan dimensi vertical. Model studi dental dibuat untuk memeriksa adanya maloklusi gigi geligi dan digunakan juga untuk memperhitungkan arah dan jarak pergeseran segmen fraktur yang diperlukan untuk mencapai oklusi yang baik pada saat operasi.
Koreksi pada deformitas tulang dapat dilakukan dengan cara osteotomi, bone graft atau kombinasi dari keduanya. Jika komponen tulang wajah memiliki morfologi normal, tetapi posisinya tidak normal (displacement), maka teknik yang dipilih adalah osteotomi. Jika bagian terbesar tulang posisinya normal tetapi morfologi tidak normal (defisiensi), maka pilihan perawatannya adalah dengan bone graft.
Menurut David et al, tindakan bedah untuk mengoreksi deformitas mandibula dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, refracturing dan pengembalian posisi tulang dengan minimal bone graft, osteotomi untuk memperbaiki oklusi dan atau membentuk wajah, dan pemasangan bone graft pada ramus atau body mandibula untuk memperbaiki bentuk tulang.
Pada tindakan bedah refracturing dan reposisi, bila daerah fraktur sudah terlihat, masing-masing segmen fraktur dipisahkan dan cara pemisahannya tergantung pada tingkat perlekatan fraktur (solid). Jika perlekatannya solid maka pemisahannya memerlukan gergaji, jika tidak cukup menggunakan osteotomi yang disisipkan diantara fragmen fraktur. Kalus dan jaringan yang melapisi dihilangkan dan ujung-ujung tulang dibuat luka baru lagi. Kemudian setelah tulang dapat direposisi dipasang miniplat dan fiksasi intermaksila selama 1 bulan.
Teknik rigid internal fixation (RIF) atau pemakaian miniplat dan screw untuk fiksasi secara landsung pada segmen tulang merupakan alat yang sering digunakan pada saat pembedahan koreksi deformitas dentofasial. Segmen tulang difiksasi bersama-sama secra langsungdan rigid, sehingga fiksasi maksilomandibula dan imobilisasi rahang dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Perawatan pasca bedah yang dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik intravena dan analgetik antinflamasi selam 48 jam, asupan makanan yang diberikan adalah diet cair, kebersihan mulut juga dijaga dengan menggunakan obat kumur.
Perawatan segera jika terjadi cedera maksilofasial, termasuk pada fraktur le fort.
1.      Apakah Pasien dapat bernapas, jika sulit :
Ø  Ada obstruksi
Ø  Palatum mole tertarik ke bawah lidah
Ø  Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak
2.      Palatum Mole apakah, tertarik ke arah lidah.?
Ø  Kait dg jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan untuk memperbaiki jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yg besar jika fraktur terjepit dan reduksi tidak berhasil, maka dilakukan tracheostomi. Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep khusus (Rowe’s) atau forcep bergerigi tajam, yg kuat dan goyangkan.
3.      Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang
Ø  Lakukan beberapa jahitan atau jepitan handuk melaluinya, dan secara lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi.
Ø  Catatan : Tapi jika pernapasan membahayakan dan perlu merujuk maka sebaiknya dilakukan tracheostomi tetapi untuk pembebasan airway segera  krikotirodotomi
4.      Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan
Ø  Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dg kepala pada salah satu ujung usungan dan dahinya ditopang dg pembalut diantara pegangan.
5.      Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk
Ø  Biarkan posisi demikian karena kemungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya.
Ø  Isap mulutnya dari sumbatan bekuan darah dan lain-lain.
Ø  Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu
6.      Jika hidungnya cedera parah dan berdarah
Ø  Isap bersih dan pasang NPA atau pipa karet tebal yang sejenis ke satu sisi
Perlu dilakukan Trakheostomi jika ditemukan hal-hal dibawah ini:
1.      Tidak dapat melepaskan himpitan fraktur atau mereduksi fraktur pada sepertiga wajah pasien .
2.      Tidak dapat mengontrol perdarahan yang berat.
3.      Edema glottis.
4.      Cedera berat dengan kehilangan banyak jaringan.
Perawatan pada cedera maksilofacial
a.       Jika pasien sadar.
Dudukan pasien menghadap kedepan agar lidah, saliva, dan darah mengalir keluar.
b.      Jika pasien tidak sadar.
Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recoveri dan hati – hati bila ada cidera lain yang membahayakan.
Dan apabila akan dilakukan operasi tetap siapkan sebagai operasi dengan general anastesi. Untuk kebersihan dan disinfeksi apabila pasien sadar disuruh untuk kumur –kumur dengan:
Ø  Cairan kumur clorheksidin 0,5 %
Ø  Larutan garam 2%
Ø  Jika tidak mungkin kumur dengan air bersih

No comments:

Post a Comment