"A Man can't make a mistake can't make anything"

Wednesday 1 August 2012

DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS EKSTRA PULMONAL / DIAGNOSIS AND TREATMENT OF EXTRA PULMONARY TUBERCULOSIS


Tulisan ini berjudul “EKSTRAPULMONAL TUBERKULOSA” ini , saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.,dalam proses penyelesaian karya tulis ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi


1.SPONDILITIS TUBERKULOSA
I. Pendahuluan
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882,sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usiaini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus – kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukandengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif.
II. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran,tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980). Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini.


Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun).Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong.
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang
(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak.Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosapada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.
III. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus).Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita
HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
IV.Patogenesa
Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakterimenahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif.
Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyaiprogresi yang cepat ; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat terjadidalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapatdiisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkan
meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi.
Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari :
1. Usia dan jenis ke lamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuanhingga masa pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara hematogen.
Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena
penyakit tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi.Sebelum pubertas, lesi primer di paru merupakan lesi yang berada di arealokal, walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat juga dilihat padaanak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14
tahun.Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalammencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di paru-paru.
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak,insidensi ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.



V. Patologi
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari system pulmoner dan genitourinarius.
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
Spondilitis :
(1) Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.


(2) Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di
regio torakal.
(3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
(4) Bentuk atipikal :
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina,prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen
posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior,melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskusintervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.
Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalamruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi
intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular.Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrelchest.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps.Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus.Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahanperkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold
abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya.
Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai ‘sarang burung’. Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher.
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis).Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis.
Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.
VI. Pott’s Paraplegia
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi :
(1) Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
(2) Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi
tiga tipe:
(1) Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
(2) Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :
(a) Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan reflek withdrawal.
(b) Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa.Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia.
(3) Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural,fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).
Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh
Hodgson menjadi :
I. Penyebab ekstrinsik :
(1) Pada penyakit yang aktif
a. abses (cairan atau perkijuan)
b. jaringan granulasi
c. sekuester tulang dan diskus
d. subluksasi patologis
e. dislokasi vertebra
(2) Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
a. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
b. fibrosis duramater
II. Penyebab intrinsik :
Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen dan corda spinalis.
III. Penyebab yang jarang :
(1) Trombosis corda spinalis yang infektif
(2) Spinal tumor syndrome
VII. Penegakkan Diagnosa
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test).Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul.Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha.Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis,
dan dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal.Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
Perkusi :
1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
Pemeriksaan Penunjang :
A. Laboratorium :
1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisipemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,kemerahan dengan diameter ³ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan.Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)
1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.
1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih)untuk menyingkirkan diagnosa banding.
1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
-Xantokrom
- Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
- Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.
- Kandungan protein meningkat.
- Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
- Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis.
Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini.Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.
- Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.

B. Radiologis :
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
· Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
· Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
· Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
· Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan,serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.
· Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus.
· Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita scoliosis (jarang)
· Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena
penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
· Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
3. Computed Tomography – Scan (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :
- Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif.
-  Membantu menilai respon terapi.Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50% kasus).
6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.


VIII. Komplikasi
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia –prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.
IX. Diagnosa Banding
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma) Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
X. Manajemen terapi.
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang
belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian terapi.Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis
membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik.


Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :
(1) Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau EMB(Glassroth et al. 1980). Regimen dengan dua obat yang biasa diberikan tidak dapat dijalankan pada kasus ini.
(2) Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien.
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
A.Isoniazid (INH)
- Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
- Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
- Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
- Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
- Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
-Relatif aman untuk kehamilan
- Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
B.Rifampin (RMP)
- Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
- Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
- Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk sediaan oral dan intravena.
- Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
- Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan


C.Pyrazinamide (PZA)
- Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.
- Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
- Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
- Dosis : 15-30mg/kg/hari
D.Ethambutol (EMB)
- Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
- Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
- Relatif aman untuk kehamilan
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
- Dosis : 15-25 mg/kg/hari
E.Streptomycin (STM)
- Bersifat bakterisidal
- Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
- Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo(terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
- Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari
Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinalblock disamping mengurangi oedema jaringan.Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest padaturning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi.Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalumembahayakan.Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidakdijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama
tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat ditempat tidur selama 3-6 minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila :
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi(11) :
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi terapi konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau kompresi syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.
Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior. Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya menggunakan spinal bracing.
Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi. Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu. Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat soliter.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur utama terapi Pott’s paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior.         Laminektomi hanya diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan.
XI. Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial. Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris.
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian\ 5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa.
XII. Prognosa
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Rajasekaran dan Soundarapandian dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara sudut akhir deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti menggunakan rumus : Y = a + bX
dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90% padapasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka operasi sedini mungkin harus dipertimbangkan.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis tuberkulosa.
XIII. RANGKUMAN
Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda.
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.
2.LIMFADENITIS TUBERKULOSA
Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh. Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman – kuman / bakteri – bakteri yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel – sel tumor ganas ( kanker ). Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel – sel limfosit darah tepi. Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah besar di Indonesia. Prevalensinya mencapai 0,29% dan merupakan penyebab kematian nomor 3. Indonesia merupakan penyumbang kasus TB nomor 3 terbesar di dunia. Di perkirakan, masalah TB yang belum juga berakhir ini terjadi karena basil tuberkulosis resisten yang telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Mungkin pula karena adanya infeksi ganda spesies basil mikobakteria, misalnya infeksi basil M. atipik bersama-sama dengan M.tuberkulosis terjadi pada satu penderita TB. Atau, bahkan infeksi ganda antara satu spesies M. atipik dengan spesies M. atipik lainnya pada satu penderita TB.Tuberkulosis dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno. Nama “tuberculosis” berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini. Hippocrates (460-377 SM) telah menuliskan gejala klinik penyakit ini dan menyebutkan sebagai fisis. Ia mengenal bentuk akut dan bentuk kronik. Selama bertahun-tahun bentuk tbc kronik dianggap sebagai penyakit turunan, berbeda halnya dengan bentuk akut pada anak. Baru pada 1891 Laennce mengemukakan bahwa kedua bentuk tersebut merupakan penyakit yang sama dengan gambaran klinik yang berbeda, padahal Koch sudah pada tahun 1882 menemukan basil tuberkulosis sebagai penyebab penyakit ini. Kejadian penyakit tuberkulosis menurun sejak tahun 1900, bersamaan dengan membaiknya perumahan, gizi dan tingkat hidup masyarakat dan semakin turun sejak ditemukannya antituberkulosis. Berbeda dengan epidemi tuberkulosis masa lalu, saat ini terjadi epidemi tuberkulosis pada penyandang infeksi HIV. Sekitar 40% penyandang HIV positif di dunia menderita tuberkulosis.. Kuman penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauy oleh cairan asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya dipergunakan untuk menampakkan basil ini.
A.DEFINISI
            Akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer, keadaan ini dinamakan limfadenitis.
B.ANATOMI SISTEMLIMFATIK
            Jalinan pembuluh limfe terdiri dari tiga ruangan utama. Kapiler limfe merupakan tempat absorpsi limfe seluruh tubuh. Kapiler-kapiler ini bermuara kedalam pembuluh pengumpul yang melewati ekstremitas dan rongga tubuh, yang kemudian bermuara kedalam sistem vena melalui duktus torasikus. Pembuluh pengumpul secara periodik diselingi oleh kelenjar limfe, yang menyaring limfe dan terutama melakukan fungsi imunologi.Kapiler limfe serupa dengan kapiler darah, kecuali bahwa membran basalis tidak begitu tegas. Telah diketahui adanya celah besar antara sel endotel pembuluh limfe yang berdekatan, sehingga partikel sebesar eritrosit dan limfosit bisa berjalan melaluinya. Jaringan tertentu tampaknya tidak mempunyai pembuluh limfe.Keseluruhan epidermis, sistem saraf pusat, selubung mata dan otot, kartilago dan tendon tidak mempunyai pembuluh limfe. Dermis kaya akan pembuluh limfe yang mudah dikenal dengan penyuntikan intradermis zat warna tertentu. Pembuluh tanpa katup ini berhubungan dengan pembuluh pengumpul pada sambungan dermis-subkutis. Pembulu limfe superfisialis ekstremitas terdiri dari beberapa saluran berkatup yang terutama melewati sisi medial ekstremitas ke arah lipat paha atau aksila, dimana saluran ini berakhir dlam satu kelenjar limfe atau lebih. Pembuluh ini mempertahankan kaliber yang seragam waktu naik dan sering berhubungan satu sama lain melalui cabang yang menyilang. Sistem pembuluh limfe profunda yang terpisah juga terdapat pada ekstremitas. Jalinan ini mengikuti dengan dengan rapat jalur vaskular utama profunda terhadap fasia otot. Pada individu normal, ada sedikit (jika ada) hubungan antara dua           sistem.
            Pembuluh limfe mempunyai struktur yang serupa dengan pembuluh darah dengan adventisia berbatas tegas, suatu media yang mengandung sel otot polos dan suatu intima. Pembuluh ini juga dipersarafi dan, telah diamati adanya spasme maupun kontraksi alamiah berirama.Kelenjar limfe secara periodik diselingi di seluruh perjalanan saluran limfe pengumpul. Masing-masing kelenjar limfe bisa mempunyai beberapa saluran limfe eferen yang masuk melalui kapsul. Kemudian limfe memasuki sinus, membasai daerah korteks dan medula, dan keluar melalui saluran eferen tunggal. Daerah korteks terutama mengandung limfosit, yang tersusun dalam folikel yang dipisahkan oleh perluasan trabekular kapsula ini. Di dalam folikek terdapat sentrum germinativum diskrit. Medula bisa mengandung makrofag dan sel plasma maupun limfosit, dan sel-sel ini dianggap dalam keseimbangan dinamik di dalam kelenjar limfe. Tiap kelenjar limfe juga mempunyai supali saraf dan vaskular yang terpisah, dan sekarang sudah diketahui bahwa interaksi pembuluh limfe-vaskular bisa timbul di dalam kelenjar limfe.Saluran limfe ekstremitas bawah dan visera bersatu untuk membentuk sisterna kili dekat aorta di dalam abdomen atas. Struktur terakhir ini berjalan melalui diafragma untuk menjadi duktus torasikus. Di dalam dada, duktus ini menerima pembulu limfe visera totem vena melalui persatuan dengan vena subklavia sisnistra. Uktus limfatikus dekstra yang terpsah, memberikan drainase untuk ekstremitas kanan atsa dan leher serta memasuki vena subclavia dekstra.      
C.FISIOLOGI            SISTEMLIMFATIK
            Sirkulasi limfe merupakan proses yang rumit dan sulit dipahami. Satu fungsi utama sistem limfe adalah untuk berpartisipasi dalam pertukaran kontinyu cairan interstial merupakan filtrat plasma yang memnyilang dinding kapiler dan kecepatan pembentukannya tergantung pada perbedaan tekanan di antara membran ini. Pappenhimer dan soto-rivera mendukung konsep bahwa pori-pori kapiler adalah kecil dan hanya permeabel sebagian bagi molekul besar seperti protein plasma. Molekul besar ini yang tertangkap di dalam kapiler menimbulkan efek osmotik yang cenderung menjaga volume cairan di dalam ruang kapiler. Sehingga pertukaran cairan antara kapiler dan ruang interstiasial tergantung pada empat faktor : tekanan hidrostatik di dalam kapiler dan di dalam ruang interstiasial serta tekanan osmotik di dalam dua ruangan ini. Tekanan onkotik plasma normal sekitar 25 mmHg, sementara tekanan onkotik cairan interstisial hanya kira-kira 1 mmHg. Tekanan hidrostatik pada ujung arteiola kapiler diperkirakan 37 mmHg. Dan pada ujung vena 17 mmHg. Tekanan Hidrostatik cairan interstisial bervariasi dalam jaringan yang berbeda sebesar –2mmHg dalam jaringan subkutis dan +6 mmHg di dalam ginjal. Ada aliran bersih cairan keluar dari kapiler ke dalam ruang interstisial pada ujung arteriola yang bertekanan tinggi dari suatu kapile, dan aliran bersih ke dalam pada ujung venula. Normalnya aliran keluar bersih melebihi aliran masuk bersih dan cairan tambahan ini kembali ke sirkulasi melalui pembuluh limfe. Aliran limfe noramal 2 samapi 4 liter perhari. Kecepatan aliran sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor lokal dan sistemik, yang mencakup konsentrasi protein dalam plasma dan cairan interstisial, hubungan tekanan arteri dan vena lokal, serta ukuran pori dan keutuhankapiler.
            Tenaga pendorong limfe juga merupakan proses yang rumit. Saat istirahat, kontraksi intrinsik yang berirama dari dinding duktus pengumpul dianggap mendorong limfe ke arah duktus torasikus dalam bentuk peristeltik. Kontraksi otot rangka aktif , menekan saluran limfe dan karena adanya katup yang kompeten dalam saluran limf, maka limfe di dorong ke arah kepala. Peningkatan tekan intra-abdomen akibat batuk atau mengejan, juga menekan pembulu limfe, mempercepat aliran limfe ke atas. Perubahan fasik dalam tekanan intratoraks yang berhubungan dengan pernafasn, membentuk mekanisme pompa lain untuk mendoong limfe melalui mediastitinum. Aliran darah yang cepat dalam vena subklavia bisa menimbulkan efek siphon      pada duktus    torasikus.
            Fungsi kedua dari sitem limfe adalah untuk mengembalikan makromolukel dari ruang interstisial ke sistem vaskular. Molekul yang besar ini tidak mudah di reabsorpsi dalam kapiler vaskular, karena ukuran pori yang kecil dalam setruktur terakhir. Tetapi celah anatara sel endotel pembuluh limfe terminal sebenarnya mudah menerima molekul besar ini. Diperkirakan bahwa 50 samapi 80 persen protein intravaskular total bersirkulasi dengan cara ini tiap 24 jam. Konsentrasi protein limfe terutama tergantung atas jaringan yang di drainase. Pada pembuluh limfe ekstrimitas, konsentrasi protein bisa serendah
0,5 gm per 100 ml, sementara limfe hati bisa mengandung 6 gm per 100ml. Limfe yang mengalir dari usus setelah makan akan berwarna opalesen, karena adanya kandungan lemak dalam bentuk kilomikron.Fungsi tambahan sistem limfe yang mempunyai dampak bedah, meliputi fungsi filtrasi dan perlindungan imunologi. Bakteri, benda asing dan sel ganas yang dikenal, dikumpulkan oleh sistem limfe dan diangkut ke kelenjar limfe regional, dimana konsentrasi makrofag, sel plasma dan limfosit dapat berinteraksi dengannya,melalui respon kekebalan.
            Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial ke dalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawah ke sentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kearah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan sel pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk ke dalam pembuluh limfe. Pembuluh limfe agaknya dipertahankan dalam posisi terbuka karena jaringan membengkak akibat sistem serabut jaringan ikat tertambat pada dinding pembuluh dinding limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ke tempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebarn sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju ke dalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah.Karena alasan ini, orang harus selalu waspada akan kemungkinan terserangnya sistem limfatik pada peradangan oleh sebab apapun. Bila pembuluh limfe terkena radang disebut limfangitis. Jika kelenjar limfe terkena radang di sebut limfadenitis. Limfadenitis regional sering ditemukan menyertai peradangan. Satu contoh yang terkenal adalah pembesaran kelenjar limfe servikal, yang nyeri, terlihat pada tonsilitis. Istilah yang lebih umum adalah limfadenopati digunakan untuk menggambarkan setiap kelainan kelenjar limfe. Dalam praktek, istilah itu tidak saja menyatakan adanya limfadenitis, tetapi pada setiap pembesaran kelenjar limfe kebanyakan reaksi-reaksi kelenjar limfe disertai oleh pembesaran.      
D.MYCOBACTERIUM TUBERLUOSA   
            Ada dua macam mikrobakteria yang menyebabkan penyakit tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan bila diminum dapat menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang menghirup bercak ini. Ini merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan yang penyakitnya.
            Pertama adalah fase tuberkulosis primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut efek pridi hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe halus. Afek primer dan limfedenitis regional ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95% kasus).Sekalipun demikian kompleks dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran miliar melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran miliar menyebabkan tuberkulosis di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberculosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan tuberkulosis primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil menjadi”tidur”.  
            Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba Fallopi, otak, kelenjar limf hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun-tahun, bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi HIV.
            Tuberkulosis fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan selanjutnya proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan broniektasi melalui erosi bronkus. Frekuensi penyebaran ke ginjal adalah yang kedua setelah penyebaran ke paru. Kuman berhenti dan bersarang pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau “tidur” selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis. Penyebaran ke kelenjar limf paling sering ke kelenjar limf halus, baik sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, ,maupun sebagai tuberkulosis pasca primer. Tuberkulosis kelenjar limf lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan tuberkulosis pasca primer.Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti dan berkembangbiaknya kuman di tuba Fallopi yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis).
            Tbc umumnya ditularkan melalui percik ludah halus (droplets) di udara yang mengandung basil tbc vital. Penyebaran ke tulang adalah ke daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan tuberkulosis tulang ekstra-artikuler. Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran ini menyebabkan tuberkulosis sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskuler. Penyebaran ke otak dan mengingen juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi oleh penjalaran melalui saluran limf atau kontak langsung dari pleura yang tembus ke perikardium.
            Kekebalan terhadap tuberkulosis sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas rangsangan basil tuberkulosis dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis).
Diagnosis
Uji tuberculin : Untuk menegakkan apakah seseorang terinfeksi kuman BTA dapat dilakukan pemeriksaan diagnosis dengan tuberkulin yang disuntikkan intrakutan menurut Mantoux. Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat terhadap kuman tuberkulosis. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman tuberkulosis, yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi tbc (baik yang aktif maupun yang “tidur”) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi sel limfosit di daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu dapat terjadi pada pasien yang            anergi.
            Tempat predileksi ekstrapulmonal :   
            1.Kelenjarlimfe
            2.Limfadenitis leher
            4.Urogenital
            5.Tbc   ginjal
            6.Epididimis
            7.Salpingitis
            8.Tulang
            9.Gibusspondilitis
            10.Fistel lipat paha     
            11.Sendi
            12.Koksitis
            13.Gonitis
Pemeriksaan  patologi
            Tuberkulum, biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di sekitar sekelompok basil tbc. Sebagian besar terdiri dari sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan luarnya terdiri dari sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran patologi khas tbc. Gambaran patologi jaringan hasil biopsi atau sisa jaringan debris pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini pula.
Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya, meskipun tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang memberikan gambaran            hampir sama.
            Gejala dan tanda klinik juga khas. Kecuali tbc milier, penyakit tbc bersifat berkembang lambat tanpa tanda radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut “abses dingin”. Radang tbc merupakan radang spesifik/khas. Kadang radang disertai dengan pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa, peritonitis eksudativa atau perikarditis eksudativa. Jika banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai produktiva atau sika. Nekrosinya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga disebut pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa.
Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin sebab tidak ada demam umum maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadentis tbc di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal atau lumbal sering mengalirkan nanahnya ke luar melalui fasia otot psoas. Pada tempat jaringan nekrosis/keju yang telah keluar itu mungkin terjadi ruang yang disebut keverne seperti di paru atau diginjal.
Pemeriksaan  bakteriologi
            Pemeriksaan bekteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan adanya tuberkulosis. Sediaan apus untuk identifikasi kuman BTA dapat dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen atau Kenyon-Gabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan medium Lowenstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung dari letak penyakit.Karena basil tbc sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam hingga delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmot dapat dipakai untuk biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu.Pembelahan sel menuntut 20-24jam.
Pemeriksaan  radiologi
            Gambaran radiologis tuberkulosis sering dapat menegakkan diagnosis tuberkulosis, meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis.        
Diagnosis terapi percobaan 
            Diagnosis dapat juga ditegakkan secara exjuvantibus* dengan terapi percobaan dengan menggunakan antituberkulosis.Pada sebagian penderita tersangka tuberkulosis yang tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi maupun patologi, cara diagnosis ini dapat dilakukan. Efek antituberkulosis ini paling sedikit baru dapat dinantikan setelah tiga minggu.
Terapi
Terapi obat     
Saat ini telah ditemukan banyak macam antituberkulosis yang mekanisme kerja dan efek sampingnya berbeda-beda. Umumnya antituberkulosis aktif terhadap kuman yang sedang giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah lambat.
            Ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif dalam suasana asam. Sementara itu kuman tuberkulosis mudah resisten terhadap obat-obatini. Oleh karena itu kemoterapi tuberkulosis selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud meningkatkan efek terapinya dan mengurangi kemungkinan timbulnya resistensi.Untuk menyembuhkan tuberkulosis diperlukan pengobatan yang lama karena basil tbc tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu kuman yang semidormant, yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman tersebut telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini kuman yang tidur tetap tidak dapat dijangkau.Dikenal dua macam paduan terapi antituberkulosis yaitu paduan jangka panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9 bulan.Penentuan lama pengobatan dan pemilihan paduan terapi ditentukan oleh beratnya penyakit, adanya kontraindikasi dan efek samping, serta adanya kuman.Sebagian besar penderita tbc dapat ditolong dengan            antituberkulosis.
            Efek samping yang penting diingat adalah kerusakan N.VIII oleh streptomisin, neuritis perifer oleh INH pada definisi vitamin B6, gangguan penglihatan oleh etambutol, dan hepatotoksitas INH dan rinfampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih berat bila kedua obat diberikan bersama-sama.           
Terapi bedah
            Pusat radang tuberkulosis terdiri dari pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa. Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau arthritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat.       
E.PERJALANAN KLINIK LIMFADENITIS TUBERKULOSA.
            Bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limf di leher, sering tanpa tanda tbc paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak, dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar didekatnya satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini. Di samping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan keperti keju. Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma. Pengobatan dilakukan dengan tuberkulostatik

3.TUBERKULOSIS PERITONEAL
Pendahuluan :
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal, mesenterium dan organ genetalia interna.Penyakit ini jarang bersiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain.
Di Negara yang sedang berkembang tuberculosis peritoneal masih sering dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat lainnya walaupun sudah jarang ada kecendrungan meningkat dengan meningkatnya jumlah penderita AIDS dan Imigran. Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka diagnosa sering tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan. Tidak jarang penyakit ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol.
Insidensi
Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita disbanding pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4.Tuberkulosis peritoneal dijumpai 2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis Abdominal.(5) Di Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara penyakit extra paru sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB paru yang
aktif .
Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di negara maju.Di Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di Rumah Sakit King Edward III Durban Afrika selatan menemukan 145 kasus tuberculosis peritoneal selamaperiode 5 tahun (1984-1988) sedangkan dengan cara peritonoskopi.Daldiono menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta selama periode 1968-1972 dan Sulaiman di rumah sakit yang sama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus tuberkulosa peritoneal begitu juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus Tuberkulosis peritoneal di Rumah sakit Tjikini Jakarta untuk periode 1975-1977.Sedangkan di MedanZain LH melaporkan ada 8 kasus selama periode 1993-1995.
Patogenese
Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara :
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (infeksi laten “Dorman infection”).Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat. Jika organism intrasseluler tadi mulai bermutiplikasi secara cepat.
Patologi
Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa :
1. Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak,gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.
2. Bentuk adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadangkadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketanperlengketan. Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar.
3. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk
melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian bentuk adhesive.Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan pengkejutan umumnya ditemukan.
Gejala Klinis
Gejala klinis bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan sampai berbulan-bulan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2 minggu s/d 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu.Keluhan terjadi secara perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai nyeri perut, pembengkakan perut, disusul tidak nafsu makan, batuk dan demam.Pada yang tipe plastik sakit perut lebih terasa dan muncul manisfestasi seperti sub obstruksi.
Variasi keluhan pasien tuberkulosa peritoneal menurut beberapa penulis adalah sebagai berikut :



Tabel 1. Keluhan pasien tuberkulosa peritoneal menurut beberapa penulis
Keluhan
Sulaiman A1975-1979
30 pasien
%
Sandikci
135 pasien
%

Manohar dkk
1984-1988
45 pasien
%

Sakit perut
57
82
35.9
Pembengkakan perut
50
96
73.1
Batuk
40
-
-
Demam
30
69
53.9
Keringat malam
26
-
-
Anoreksia
30
73
46.9
Berat badan menurun
23
80
44.1
Mencret
20
-
-

Pada pemeriksaan jasmani gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam, pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan. Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan kahexia,pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa ditemukan tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovary.
Gejala yang lebih rinci dapat dilihat pada table 2 dibawah ini :
Tabel 2 : pemeriksaan jasmani pada 30 penderita peritonitis tuberkulosa di rumah sakit Dr.Cipto mangunkusumo Jakarta tahun 1975-11979.


Gejala
Persentase ( % )
Pembengkakan perut dan nyeri
51
Asites
43
Hepatomegali
43
Ronchi pada paru ( kanan )
33
Pleura effuse
27
Splenomegali
30
Tumor intra abdomen
20
Fenomena papan catur
13
Limfadenopati
13
Terlibatnya paru dan pleura
63 (atas dasar foto thorax )

Fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik pada penderita peritonitis tuberkulosa ternyata tidak sering dijumpai (13%).
Diagnosis :
Laboratorium :
Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis,leukositosis ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya sering negative.
Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan exudat dengan protein > 3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adalah limfosit LDH biasanya meningkat.Cairan asites yang perulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites yang
bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif.Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTAnya yang positif
dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang telah disetrifugejengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.
Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma neprotik, penyakit pancreas , kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi.
Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal <0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96.Penurunan PH cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.(4) Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive adalah pemeriksaan ADA (adenosin deminase actifity), interferon gama (IFNϒ) dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai Sensitifitas 100%. Spesifitas 95%, dan dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis hati atau malignancy.
Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis peritoneal (14 ± 10,6 u/l) Hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan konsentrasi ADA terhadap pasien tuberculosis peritoneal , tuberculosis peritoneal bersamaan dengan sirosis hati dan passien-pasien yang hanya sirosis hati. Mereka mendapatkan nilai ADA 131,1 ± 38,1, u/l pada pasien tuberculosis peritoneal, 29 ± 18,6 u/l pada pasien tuberculosis dengan sirosis hati dan 12,9 ± 7 u/l pada pasien yang hanya mempunyai sirosis hati, sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah dijumpai Nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada konsentrasi asietas dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi falsenegatif. Untuk ini pemeriksaan Gama interferon (INFϒ) adalah lebih baik walaupun nilainya dalah sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah lagi disbanding kedua pemeriksaan tersebut. Fathy ME melaporkan angka sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gama interferon adalah 90,9 % , ADA : 18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas 100%.(17). Peneliti lain yang meneliti kadar ADA adalah Bargava. Bargava dkk melakukan penelitian terhadap kadar ADA pada cairan esites dan serum penderita peritoneal tuberculosis. Kadar ADA >36 u/l pada cairan esites dan > 54 u/l pada serum mendukung suatu diagnosis tuberculosis peritoneal.
Perbandingan cairan asites dan serum (asscitic / serum ADA ratio) lebih tingggi pada tuberculosis peritoneal dari pada kasus lain seperti sirosis, sirosisdengan spontaneous bacterial peritonitis,Budd chiary dan Ratio > 0,984 menyokong suatu tuberculosis.
Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125.CA-125 (Canker antigen 125) termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis, myoma uteri daan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain sepeerti endometrium, tuba falopi, endocervix, pancreas,ginjal,colon juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti tuberculosis,pericardium dan pleura, namun beberapa laporan yang menemukan peningkatan kadar CA-25 pada penderita tuberkulossis peritoneal seperti yang dilaporkan oleh Sinsek H.
Zain LH di Medan pada tahun 1996 menemukan dari 8 kasus tuberculosis peritoneal dijumpai kadar CA-125 meninggi dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2– 907 u/ml) dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang dominan maka tuberculosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnose. Bebrapa peneliti menggunakan CA-125 ini untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas MR dkk (Turkey, 2000) menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium dan setelah pemberian anti tuberkulosa kadar serum CA-125 menjadi normal dimana yang sebelumnya kadar rata-rata CA-125,475,80 ± 5,8 u/ml (Normal < 35 u/ml) setelah 4 bulan pengobatan anti tuberkulosa.Akhir-akhir ini Teruya J dkk pada tahun 2000 di Jepang menemukan peningkatan kadar CA 19-9 pada serum dan cairan asites penderita tuberculosis peritoneal dan setelah diobati selama 6 minggu dijumpai penurunan CA19-9 menjadi normal.
Pemeriksaan Peninjang :
Pemeriksaan rontgen.
Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin dapat membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar.
Ultrasonografi :
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong) menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama.Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsy secara tertutup dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa.
CT Scan :
Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari tuberculosis peritoneal.Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberculosis
peritoneal dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis.Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma.
Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom sakit perut yang tak jelas penyebabnya dan cara ini dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya gambaran
granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan pengkejutan.
Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal :
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul.
2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas) diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan esites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai.
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat biopsy khusus sekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran peritonoskopi peritonitis tuberculosis dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menyokong suatu peritonitis tuberkulosa.
Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar dikerjakan.Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan dankesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di dalam rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostic.
Laparatomi
            Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika dengan cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan asites yang bernanah.
Pengobatan :
Pada dasarnya pebngobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-obat seperti streptomisin,INH,Etambutol,Ripamficin dan pirazinamid memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih.
Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun pemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap Mikobakterium tuberculosis.Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap 35 pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sdakit perut dan sumbatan pada usus.Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah pengobatan terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat adanya perlengketan.
Prognosis :
Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate.
Kesimpulan :
1. Tuberkulosis peritoneal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat lain
2. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering diagnosa terlambat baru diketahui.
3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya dapat membantu menegakkan diagnosa
4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan sembuh.













Kepustakaan :
1. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jakarta Balai penerbit FKUI, 1996: 403-6
2. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N, Rani A Buku ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 1990: 456-61
3. Ahmad M. Tuberkulosis peritonitis : fatality associated with delayed diagnosis. South Med J 1999:92:406-408.
4. Sandikci MU,Colacoglus,ergun Y.Presentation and role of peritonoscopy and diagnosis of tuberculous peritonitis. J Gastroenterol hepato 1992;7:298-301
5. Manohar A,SimjeeAE,Haffejee AA,Pettengell E.Symtoms and investigative findings in year period.Gut,1990;31:1130-2
6. Marshall JB.Tuberculosis of the gastrointestinal tract and peritoneum,AMJ Gastroenterol 1993;88:989-99
7. Sibuea WH,Noer S,Saragih JB,NapitupuluJB.Peritonitis tuberculosa di RS DGI Tjikini (abstrak) KOPAPDI IV Medan; 1978:131
8. Zain LH.Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC peritoneum Dalam : Acang N, Nelwan RHH,Syamsuru W ed.Padang : KOPAPDI X,1996:95
9. Spiro HM. Peritoneal tuberculosis : clinical gastroenterologi 4th ed New York ; Mc Graw hill INC 1993 : 551-2
10. Sulaiman A. Peritonisis tuberculosa dalam : Hadi S, Thahir G, Daldiyono,Rani A,Akbar N. Endoskopi dalam bidang Gastroentero Hepatologi Jakarta : PEGI 1980:265-70
11. Small Pm,Seller UM. Abdominal tuberculosis in : Strickland GT ed Hunters tropical medicine and emerging infection disease. 8th Philadelpia : WB Sounders Company 2000 : 503-4
12. Mc Quid KR,Tuiberculous peritonitis in : Tierny LM,Mc Phee SJ,Papadakis MA.Current medical diagnosis & treatment 38th London Prentice hall Internastional 1999 : 561-62
13. Lyche KD.Miscelaneous disease of the peritoneum & mesentery in : Grendell Jh,Mc Quaid KR, Friedman sl ed Current diagnosis & treatment Gastroenterologi New York : Prentice Hall international 1996 : 144-5
14. Lombrana S,Vega dl, Linares et al.Tuberculous peritonitis ; Diagnostic value of ascitic flid PH and lactat. Scandinavian Journal Gastroenterology,1995;30:87-91
15. Voight,Kalvaria I,Trey C, Berman P. Lombard C, Kirsdi PE, Diagnostic value of ascitites adenosin deaminase in tuberculous peritonitis Lancet 1989; 1:751-4
16. Hafta A Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosis with cirrhosis http://wwwcu.edu.tr/fakulteler/tf/tfd/97-2-9.htm
17. Fathy EM, EL Salam FA,Lashin AH et al A Comparative study of different procedures for diagnosis of tuberculous ascites : http: member, tripod. Com/ejimunology/prviuous/jan 99/jan99-9.html
18. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In :Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151
19. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis andManagement. London : Springer-Verlag, 1997 : 378-87.
20. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1449-54
21. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388.
22. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD., editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-Year Book, Inc., 1993 : 387-90.
23. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91
24. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed.Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64
25. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders, 1995 : 615-32.
26. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics and traumatoloty.
27. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6.
28. Wood.G.W. Infections of Spine. In : Campbell’s Operative Orthopaedics. 7th ed. Crenshaw A.H editor. St. Louis : C.V. Mosby Company, 1987 : 3323-45.
29. Terry R. Y, Lindsay R. Infection : Non Suppurative Osteomyelitis (tuberkulosis). In : Essential of Skeletal Radiology. 2nd ed. Baltiomore : Williams and Wilkins, 1996 : 1227.
30. Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1999: 228-31
31. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York :Thieme, 2001 : 150, 334-36.










No comments:

Post a Comment