Penatalaksanaan Trauma Spinal
dan Cedera Cervikal
II.
1. ANATOMI
Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi
sebagai penyangga tubuh dan melindungi sumsum tulang belakang. Pilar itu
terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yang
terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal
(vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang
sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea).
Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena
adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior.
Pada pandangan dari samping pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau
lordosis di daerah servikal, torakal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun
masing-masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya bukanlah merupakan
satu struktur yang mampu melenting, melainkan satu kesatuan yang kokoh dengan diskus
yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang. Lingkup gerak
sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal berlingkup
gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan
vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal
tetapi makin ke bawah lingkup geraknya makin kecil.
4, 5
Secara
umum struktur tulang belakang tersusun atas tiga kolom, yaitu :
1. Kolom
anterior, terdiri atas ligamentum longitudinal anterior, dua per tiga corpus
vertebra, dan diskus intervertebralis bagian anterior
2. Middle column,
terdiri atas corpus vertebrae bagian posterior, diskus intervertebralis bagian
posterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum lateral
3. Kolom
posterior, terdiri atas pedikel, lamina dan prosesus spinosus, ligamentum
flavum, ligamentum interspinosus, ligamentum supraspinosus, serta kapsul sendi.
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus
neuralis di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri,
sepasang lamina, dua pedikel, satu prosesus spinosus, serta dua prosesus
transversus. Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya
tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut
odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus
neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk
segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil.
Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen
jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal
posterior, ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum
supraspinosus. 5
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu
komponen tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan
tiga pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas
korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang
kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis.
Secara keseluruhan tulang belakang dapat diumpamakan sebagai satu
gedung bertingkat dengan tiga tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di
samping belakang, dengan lantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri,
pedikel, prosesus transversus dan prosesus spinosus. Tulang belakang dikatakan
tidak stabil bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua komponen. 5
Sumsum tulang belakang berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan
membawa saraf yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area
tubuh. Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma
yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher,
hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang
lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di
bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan
sedikit kehilangan fungsi. 4
II.
2. EPIDEMIOLOGI
Di U.S., insiden trauma sumsum tulang belakang sekitar 5 kasus per
satu juta populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden
trauma sumsum tulang belakang tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden
trauma sumsum tulang belakang pada pria adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan
trauma sumsum tulang belakang terdapat pada usia 18-25 tahun. 1
SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality)
terjadi primer pada anak-anak. Tingginya insiden trauma sumsum tulang belakang
komplit yang berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia
kurang dari 9 tahun.1
II.
3. ETIOLOGI
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan sepeda
motor (44 %), tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %), kecelakaan olahraga misal
menyelam (8 %), dan penyebab lain (2 %). 3
Jatuh merupakan penyebab utama trauma sumsum tulang belakang pada
orang usia 65 tahun ke atas. Trauma sumsum tulang belakang karena kecelakaan
olahraga biasanya terjadi pada usia 29 tahun. 2
II. 4.
PATOFISIOLOGI
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur
saraf yang membawa informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus
kortikospinal adalah jalur motorik desenden yang terletak di anterior sumsum
tulang belakang. 1
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa
informasi raba, propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus
spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan suhu.
Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi
otonom dibawa oleh traktus interomedial anterior. 1
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat
terjadinya paralisis ipsilateral atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan
getar. Sedangkan trauma pada traktus spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya
sensasi suhu dan nyeri kontralateral. Trauma sumsum tulang belakang anterior
menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba inkomplit. 1
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior.
Saraf simpatis keluar dari sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan
saraf parasimpatis keluar di antara S2 dan S4. Oleh karena itu lesi atau trauma
sumsum tulang belakang dapat menyebabkan disfungsi otonom. 1
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti
hipotensi, bradikardi relative, vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini
biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum tulang belakang di bawah T6. Syok
spinal didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi neurologis komplit,
termasuk refleks dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok
neurogenik mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi
perifer akibat disfungsi otonom dan gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis
pada trauma sumsum tulang belakang akut. 1
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis
anterior dan 2 arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai
dua pertiga anterior sumsum tulang belakang. Trauma iskemik pada arteri ini
berdampak terjadinya disfungsi traktus kortikospinal, spinotalamikus lateral,
dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis anterior meliputi paraplegia,
hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri spinalis
posterior mensuplai kolumna dorsalis. 1
Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi sumsum tulang belakang pada
level segmen yang lebih tinggi daripada level trauma tulang belakang. Trauma
vaskular mengakibatkan iskemik pada servikal yang tinggi. Trauma hiperekstensi
servikal dapat menyebabkan trauma iskemik sumsum tulang belakang. 1
Trauma sumsum tulang belakang bisa primer atau sekunder. Trauma
primer merupakan akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa
terjadi pada fraktur dan atau dislokasi tulang belakang. Akan tetapi, dapat
juga terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi tulang belakang. Trauma
penetrasi seperti trauma tembak juga dapat menyebabkan trauma primer. 1
Kelainan ekstradural juga dapat menyebabkan trauma primer. Hematom
epidural spinal atau abses menyebabkan trauma dan kompresi sumsum tulang
belakang akut. 1
Trauma vaskular sumsum tulang belakang yang disebabkan gangguan
arteri, trombosis arteri atau hipoperfusi yang menyebabkan syok adalah penyebab
utama trauma sekunder.1
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit.
Sindrom sumsum tulang belakang komplit ditandai hilangnya fungsi motorik dan
sensorik di bawah level lesi. Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi
the anterior cord syndrome, the Brown-Sequard syndrome, dan the central cord syndrome. Sindrom
lainnya meliputi the conus medullaris syndrome,
the cauda equina syndrome, dan spinal cord concussion. 1
Trauma inkomplit berarti seseorang memiliki beberapa fungsi di
bawah level trauma, meskipun fungsi tersebut tidak normal. Sebagai contoh,
seseorang dapat mengalami kelemahan bahu tetapi masih dapat menggerakkannya.
Seseorang dapat kehilangan kemampuan untuk menggerakkan otot di bawah kehilangan
sensasi nyeri dan suhu. The International and American Spinal Injury Association
(ASIA) mendefinisikan trauma sumsum tulang belakang inkomplit sebagai suatu keadaan
dimana seseorang masih memiliki fungsi sumsum tulang belakang di bawah sakrum
(di bawah S5).
Trauma
inkomplit meliputi : 1,3
·
Anterior cord syndrome, yang
meliputi hilangnya fungsi motorik dan sensasi nyeri dan/atau suhu, dengan
dipertahankannya propriosepsi.
·
Brown-Sequard syndrome meliputi
hilangnya fungsi propriosepsi dan motorik ipsilateral, dengan hilangnya sensasi
nyeri dan suhu kontralateral.
·
Central cord syndrome biasanya
melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot pada ekstremitas atas yang
dominant daripada ekstremitas bawah. Hilangnya sensasi bervariasi, nyeri dan/atau
suhu lebih sering terganggu daripada propriosepsi dan/atau vibrasi. Biasanya
terjadi disestesia, khususnya pada ekstremitas atas (misal sensasi panas di
tangan atau lengan).
·
Conus medullaris syndrome adalah
trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan saraf lumbal. Sindrom ini
ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya fungsi motorik
dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.
·
Cauda equina syndrome melibatkan
trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia pada pencernaan dan /atau
kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik ekstremitas bawah
yang bervariasi. Trauma ini biasanya disebabkan oleh herniasi diskus lumbal sentral.
·
A spinal cord concussion ditandai
dengan defisit neurologik sementara pada sumsum tulang belakang yang akan pulih
sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang nyata.
·
Trauma komplit berarti terjadi
kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di bawah level trauma. Hampir
separuh dari trauma sumsum tulang belakang adalah komplit. Sebagian besar trauma
sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit, merupakan akibat luka dari
sumsum tulang belakang atau kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang
belakang dan bukan dari terpotongnya sumsum tulang belakang. 3
·
Trauma sumsum tulang belakang
seperti stroke, merupakan proses yang dinamis. Lesi sumsum tulang belakang
inkomplit dapat menjadi komplit. Kaskade kompleks dari patofisiologi yang terkait
dengan radikal bebas, edema vasogenik, dan penurunan aliran darah mengakibatkan
terjadinya manifestasi klinis. Oksigenasi yang normal, perfusi dan keseimbangan
asam basa dibutuhkan untuk mencegah perburukan. 1
II.
5. KLASIFIKASI
Stable Injury
Cedera
stabil atau stable injury terdiri
dari regangan otot, robekan kecil pada ligamentum posterior dan jaringan lunak
sekitar yang menyebabkan spasme dan nyeri pada otot. Sistem neurologi utuh dan
tidak terdapat gejala radikuler. Analisis radiografi negatif atau menunjukkan
prosessus spinosus yang terisolasi, undisplaced
laminar, atau faraktur kompressi minor.
Unstable Injury
Cedera
tidak stabil, secara definisi merupakan fraktur spinal yang berhubungan dengan
defisit neurologi. Analisis radiografi mungkin menunjukkan fraktur atau
dislokasi, namun penting untukmencari
gejala instability seperti pelebaran
jarak interpedicular atau deviasi prosessus spinosus. Pada tulang servikal,
perdarahan ekstensif retrofaringeal dapat terlihat pada radiografi lateral,
begitu juga subluksasi minor. Avulsi kecil anterior atau teardrop fracture dapat stabil atau berhubungan dengan cedera
hiperekstensi tidak stabil pada tulang servikal.
Namun
pada sumber lain disebutkan stabilitas tulang belakang dinilai menurut dapat
dijalankannya fungsi secara fisiologis tanpa peningkatan nyeri, defisit
neurologi, atau deformitas yang progresif. Berikut ini tabel penilaian stabilitas tulang belakang menurut White dan
Punjabi
Holdsworth
membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut : 6
1. Cedera
fleksi
Cedera
fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan
mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
2. Cedera
fleksi-rotasi
Beban
fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi
fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra.
Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.
3. Cedera
ekstensi
Cedera
ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra
dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
4. Cedera
kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera
kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan
burst fracture.
5. Cedera
robek langsung (direct shearing)
Cedera
robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung
pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus
artikularis serta ruptur ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan
Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera
non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik
anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang
tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur
(slice injury), dan burst fracture hebat. 6
Cedera
stabil 7
1. Fleksi
Cedera
fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan
dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan
rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama
beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik
ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar
daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak,
analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan
tidak lazim ditemukan.
2. Fleksi
ke Lateral dan Ekstensi
Cedera
ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit
neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah
semua yang dibutuhkan.
3. Kompresi
Vertikal
Tenaga
aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke
dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada
pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam
tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit
neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur
selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu.
Meskipun
fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena
masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi
radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan
neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai
gejala-gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra
yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan.
Jika
ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis.
Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan
batang kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan
setelah dekompresi.
Cedera
Tidak Stabil 7
1. Cedera
Rotasi – Fleksi
Kombinasi
dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra
yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus
ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks.
Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10
sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik.
Setelah
radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan
unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan.
2. Fraktura
”Potong”
Vertebra
dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah.
Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada
daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat
tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang
bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti
pada cedera fleksi-rotasi.
3. Cedera
Fleksi-Rotasi
Change
fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman.
Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi
bedah direkomendasikan.
II.
6. JENIS TRAUMA
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang
dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Di daerah
torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur toraks. 5
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif,
dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa
memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan
peredaran darah, atau perdarahan. 5
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan
oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan oleh hipotensi, udem atau
kompresi. 5
Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang
merupakan kerusakan yang permanen, karena tidak akan terjadi regenerasi dari
jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah
gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau
disebabkan oleh tekanan, memar atau udem. 5
II.
7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi
motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok
spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu
hingga enam minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flaksid,
anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rektum dan kandung
kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih
kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi
autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik,
serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. 5
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada
kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.5
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada
umumnya terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh
hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh
ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang
memikul beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang
mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang hiperekstensi. Gambaran
klinis berupa tetraparese parsial. Ganguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada
ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. 5
Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral
sumsum tulang belakang. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa
gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di
kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu. 5
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan
anestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis.
5
Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks
lumbosakral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan
anestesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. 5
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang
belakang adalah: 4
Nyeri
mulai dari leher sampai bawah, kehilangan fungsi (misal tidak dapat
menggerakkan lengan), kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh
II.
8. DIAGNOSIS
Trauma
tulang belakang perlu dicurigai pada kondisi-kondisi berikut : 4
·
Pasien tidak sadar
·
Pasien dengan multipel trauma
·
Trauma di atas klavikula
·
Jatuh dari ketinggian lebih dari
10 kaki (atau dua kali tinggi pasien)
·
Kecelakaan dengan kecepatan tinggi
Pada pemeriksaan jasmani dipentingkan pemeriksaan neurologik
dengan mengingat kemungkinan cedera sumsum belakang. 4
Pada pemeriksaan laboratorium, perlu diperiksa dan dimonitor kadar
hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor kehilangan darah.
Selain itu, urinalisis juga perlu untuk mendeteksi trauma traktus
genitourinarius. 1
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior
dan lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk
melihat kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak
untuk jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang).
Jika pasien memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang
belakang, dilakukan CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail
dibanding rontgen. CT –scans lebih baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang,
sedangkan MRI biasanya lebih baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti
sumsum tulang belakang. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa
memindahkan atau mengubah posisi penderita. 3,5
Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik,
seperti kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak tampak
fraktur. 5
II.
9. PENATALAKSANAAN
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada
kerusakan tersebut. 5
Setelah diagnosis ditegakkan, disamping kemungkinan pemeriksaan
cedera lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka
pengelolaan patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada
stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan
imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan
gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk
stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat
dilakukan mobilisasi dini.
Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang
timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran
nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga
dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan
penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan
fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut.
Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam
pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh
dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas
tulang belakang. 5
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan
pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder,
yaitu dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan
alas yang keras. 5
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu
atau sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita
yang patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri
di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan pada
ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan
napas dan sirkulasi. 5
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar
kepala tidak menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau
gulungan kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan. 5
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan
pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang
seperti radiologik dapat dilakukan. 5
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari
akibat hematom
retroperitoneal
sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung.5 Pemasangan kateter
tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang
berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna
untuk memantau produksi urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena
menjamin kulit tetap kering. Perhatian perlu diberikan untuk mencegah
terjadinya pneumoni dan memberikan nutrisi yang optimal.5
Penanggulangan
Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Tulang Belakang : 5
Prinsip
umum :
·
pikirkan selalu kemungkinan adanya
cedera mielum
·
mencegah terjadinya cedera
sekunder
·
waspada akan tanda yang
menunjukkan jejas lintang
·
lakukan evaluasi dan rehabilitasi
Tindakan
:
·
adakan imobilisasi di tempat
kejadian (dasar papan)
·
optimalisasi faal ABC : jalan
nafas, pernafasan, dan peredaran darah
·
penanganan kelainan yang lebih
urgen
·
pemeriksaan neurologik untuk
menentukan tempat lesi
·
pemeriksaan radiologik (kadang
diperlukan)
·
tindak bedah (dekompresi,
reposisi, atau stabilisasi)
·
pencegahan penyulit
* ileus paralitik → sonde
lambung
* penyulit kelumpuhan
kandung kemih → kateter
* pneumoni
* dekubitus
Tindak
Bedah 5
Jika terdapat tanda kompresi pada sumsum belakang karena
deformitas fleksi, fragmen tulang, atau hematom, maka diperlukan tindakan
dekompresi.
Dislokasi yang umumnya disertai instabilitas tulang belakang
memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi. Pembedahan darurat diperlukan
bila terdapat gangguan neurologik progresif akibat penekanan, pada luka tembus,
dan pada sindrom sumsum belakang bagian depan yang akut.
Pembedahan selalu harus dipertimbangkan untuk mempermudah
perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dan rehabilitasi dapat berlangsung
lebih cepat. Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit, tetapi
tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat untuk mengatasi gangguan
stabilitas tulang belakang.
Tindakan Bedah Pada Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Belakang Tindakan
darurat luka tembus sindrom sumsum anterior akut
*
peluru
*
tikam / bacok
gangguan
neurologik progresif (penekanan)
Tindakan
elektif
patah
tulang tidak stabil
Tujuan
:
·
mencegah jejas lintang
·
mempercepat penyembuhan dan
revalidasi
·
memungkinkan rehabilitasi aktif
·
mempermudah perawatan dan
fisioterapi aktif
·
Pada pasien yang tidak sadar
mungkin terdapat tanda syok spinal (nadi lambat dan tekanan darah rendah,
kelemahan umum pada seluruh anggota gerak, kehilangan kontrol buang air besar
atau buang air kecil.
·
Penting untuk diingat bahwa trauma
tulang belakang tidak tersingkir jika pasien dapat menggerakkan dan merasakan
anggota geraknya. Jika mekanisme trauma melibatkan kekuatan yang besar,
pikirkan yang terburuk dan dirawat seperti merawat korban trauma tulang
belakang.
Pertolongan
Pertama Pada Trauma Tulang Belakang meliputi : 4
1. Perhatikan
ABC nya (Airway, Breathing, Circulation)
2. Pertahankan
posisi pasien. Jangan pindahkan atau membiarkan korban bergerak kecuali korban dapat
meninggal atau terluka jika tetap pada posisinya (misal menghindari batu yang
jatuh).
Posisi
leher harus tetap dipertahankan dengan menahan kepala pada kedua sisi. Ketika
petugas datang, korban dipasang kolar servikal yang keras dengan sangat
hati-hati, kemudian diimobilisasi dengan sistem transportasi spinal yang bisa
berupa matras, papan keras. 4
II.
9. KOMPLIKASI 1,2
·
Defisit neurologis sering
meningkat selama beberapa jam atau hari pada trauma sumsum tulang belakang
akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal. Salah satu tanda adanya
kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris. Pasien dengan trauma
sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu pemasangan
NGT (Nasogastric Tube).
·
Hipotermia.
·
Dekubitus
·
Seseorang dengan tetraplegia
beresiko tinggi terjadi komplikasi medis sekunder. Persentase terjadinya
komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut : pneumonia
(60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8 %), trombosis vena dalam (16,4 %), emboli pulmo
(5,2 %), infeksi pasca operasi (2,2 %).
·
Komplikasi pulmo pada trauma
tulang belakang biasa terjadi, dimana secara langsung berhubungan dengan
mortalitas dan trauma saraf. Komplikasi pulmo tersebut meliputi : atelektasis
sekunder
menurunnya batuk, sehingga
meningkatkan resiko sumbatan oleh secret, atelektasis dan pneumonia kelelahan
otot
II.
10. PROGNOSIS 1
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada
pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5
tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang
terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan
infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh
kurang dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah
trauma, peluang perbaikan adalah nol. Prognosis trauma tulang belakang
inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk
dapat berjalan kembali lebih dari 50 %.
DAFTAR PUSTAKA
1.Schreiber,
Donald, 2004. Spinal Cord Injuries.
http://www.emedicine.com/emerg/byname/spinal-cord-injuries.htm
2.Anonim,
2005. Spinal Cord Injury.
http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp
3.Anonim,
2006. Spinal Cord Injuries.
http://www.sci-recovery.org/sci.htm
4.Langran,
Mike, 2006. Spinal Injuries.
http://www.ski-injury.com/spinal1.htm
5.Jong,
Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
6.Listiono,
Djoko, dr., 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III, PT. Gramedia,
Jakarta.
7.Sabiston,
D.C., 1994, Buku Ajar Bedah Sabiston Bagian 2, EGC, Jakarta. Penatalaksanaan Trauma Spinal
dan Cedera Cervikal
II.
1. ANATOMI
Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi
sebagai penyangga tubuh dan melindungi sumsum tulang belakang. Pilar itu
terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yang
terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal
(vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang
sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea).
Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena
adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior.
Pada pandangan dari samping pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau
lordosis di daerah servikal, torakal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun
masing-masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya bukanlah merupakan
satu struktur yang mampu melenting, melainkan satu kesatuan yang kokoh dengan diskus
yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang. Lingkup gerak
sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal berlingkup
gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan
vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal
tetapi makin ke bawah lingkup geraknya makin kecil.
4, 5
Secara
umum struktur tulang belakang tersusun atas tiga kolom, yaitu :
1. Kolom
anterior, terdiri atas ligamentum longitudinal anterior, dua per tiga corpus
vertebra, dan diskus intervertebralis bagian anterior
2. Middle column,
terdiri atas corpus vertebrae bagian posterior, diskus intervertebralis bagian
posterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum lateral
3. Kolom
posterior, terdiri atas pedikel, lamina dan prosesus spinosus, ligamentum
flavum, ligamentum interspinosus, ligamentum supraspinosus, serta kapsul sendi.
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus
neuralis di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri,
sepasang lamina, dua pedikel, satu prosesus spinosus, serta dua prosesus
transversus. Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya
tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut
odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus
neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk
segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil.
Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen
jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal
posterior, ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum
supraspinosus. 5
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu
komponen tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan
tiga pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas
korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang
kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis.
Secara keseluruhan tulang belakang dapat diumpamakan sebagai satu
gedung bertingkat dengan tiga tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di
samping belakang, dengan lantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri,
pedikel, prosesus transversus dan prosesus spinosus. Tulang belakang dikatakan
tidak stabil bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua komponen. 5
Sumsum tulang belakang berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan
membawa saraf yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area
tubuh. Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma
yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher,
hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang
lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di
bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan
sedikit kehilangan fungsi. 4
II.
2. EPIDEMIOLOGI
Di U.S., insiden trauma sumsum tulang belakang sekitar 5 kasus per
satu juta populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden
trauma sumsum tulang belakang tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden
trauma sumsum tulang belakang pada pria adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan
trauma sumsum tulang belakang terdapat pada usia 18-25 tahun. 1
SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality)
terjadi primer pada anak-anak. Tingginya insiden trauma sumsum tulang belakang
komplit yang berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia
kurang dari 9 tahun.1
II.
3. ETIOLOGI
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan sepeda
motor (44 %), tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %), kecelakaan olahraga misal
menyelam (8 %), dan penyebab lain (2 %). 3
Jatuh merupakan penyebab utama trauma sumsum tulang belakang pada
orang usia 65 tahun ke atas. Trauma sumsum tulang belakang karena kecelakaan
olahraga biasanya terjadi pada usia 29 tahun. 2
II. 4.
PATOFISIOLOGI
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur
saraf yang membawa informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus
kortikospinal adalah jalur motorik desenden yang terletak di anterior sumsum
tulang belakang. 1
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa
informasi raba, propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus
spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan suhu.
Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi
otonom dibawa oleh traktus interomedial anterior. 1
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat
terjadinya paralisis ipsilateral atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan
getar. Sedangkan trauma pada traktus spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya
sensasi suhu dan nyeri kontralateral. Trauma sumsum tulang belakang anterior
menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba inkomplit. 1
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior.
Saraf simpatis keluar dari sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan
saraf parasimpatis keluar di antara S2 dan S4. Oleh karena itu lesi atau trauma
sumsum tulang belakang dapat menyebabkan disfungsi otonom. 1
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti
hipotensi, bradikardi relative, vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini
biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum tulang belakang di bawah T6. Syok
spinal didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi neurologis komplit,
termasuk refleks dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok
neurogenik mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi
perifer akibat disfungsi otonom dan gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis
pada trauma sumsum tulang belakang akut. 1
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis
anterior dan 2 arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai
dua pertiga anterior sumsum tulang belakang. Trauma iskemik pada arteri ini
berdampak terjadinya disfungsi traktus kortikospinal, spinotalamikus lateral,
dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis anterior meliputi paraplegia,
hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri spinalis
posterior mensuplai kolumna dorsalis. 1
Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi sumsum tulang belakang pada
level segmen yang lebih tinggi daripada level trauma tulang belakang. Trauma
vaskular mengakibatkan iskemik pada servikal yang tinggi. Trauma hiperekstensi
servikal dapat menyebabkan trauma iskemik sumsum tulang belakang. 1
Trauma sumsum tulang belakang bisa primer atau sekunder. Trauma
primer merupakan akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa
terjadi pada fraktur dan atau dislokasi tulang belakang. Akan tetapi, dapat
juga terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi tulang belakang. Trauma
penetrasi seperti trauma tembak juga dapat menyebabkan trauma primer. 1
Kelainan ekstradural juga dapat menyebabkan trauma primer. Hematom
epidural spinal atau abses menyebabkan trauma dan kompresi sumsum tulang
belakang akut. 1
Trauma vaskular sumsum tulang belakang yang disebabkan gangguan
arteri, trombosis arteri atau hipoperfusi yang menyebabkan syok adalah penyebab
utama trauma sekunder.1
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit.
Sindrom sumsum tulang belakang komplit ditandai hilangnya fungsi motorik dan
sensorik di bawah level lesi. Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi
the anterior cord syndrome, the Brown-Sequard syndrome, dan the central cord syndrome. Sindrom
lainnya meliputi the conus medullaris syndrome,
the cauda equina syndrome, dan spinal cord concussion. 1
Trauma inkomplit berarti seseorang memiliki beberapa fungsi di
bawah level trauma, meskipun fungsi tersebut tidak normal. Sebagai contoh,
seseorang dapat mengalami kelemahan bahu tetapi masih dapat menggerakkannya.
Seseorang dapat kehilangan kemampuan untuk menggerakkan otot di bawah kehilangan
sensasi nyeri dan suhu. The International and American Spinal Injury Association
(ASIA) mendefinisikan trauma sumsum tulang belakang inkomplit sebagai suatu keadaan
dimana seseorang masih memiliki fungsi sumsum tulang belakang di bawah sakrum
(di bawah S5).
Trauma
inkomplit meliputi : 1,3
·
Anterior cord syndrome, yang
meliputi hilangnya fungsi motorik dan sensasi nyeri dan/atau suhu, dengan
dipertahankannya propriosepsi.
·
Brown-Sequard syndrome meliputi
hilangnya fungsi propriosepsi dan motorik ipsilateral, dengan hilangnya sensasi
nyeri dan suhu kontralateral.
·
Central cord syndrome biasanya
melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot pada ekstremitas atas yang
dominant daripada ekstremitas bawah. Hilangnya sensasi bervariasi, nyeri dan/atau
suhu lebih sering terganggu daripada propriosepsi dan/atau vibrasi. Biasanya
terjadi disestesia, khususnya pada ekstremitas atas (misal sensasi panas di
tangan atau lengan).
·
Conus medullaris syndrome adalah
trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan saraf lumbal. Sindrom ini
ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya fungsi motorik
dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.
·
Cauda equina syndrome melibatkan
trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia pada pencernaan dan /atau
kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik ekstremitas bawah
yang bervariasi. Trauma ini biasanya disebabkan oleh herniasi diskus lumbal sentral.
·
A spinal cord concussion ditandai
dengan defisit neurologik sementara pada sumsum tulang belakang yang akan pulih
sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang nyata.
·
Trauma komplit berarti terjadi
kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di bawah level trauma. Hampir
separuh dari trauma sumsum tulang belakang adalah komplit. Sebagian besar trauma
sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit, merupakan akibat luka dari
sumsum tulang belakang atau kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang
belakang dan bukan dari terpotongnya sumsum tulang belakang. 3
·
Trauma sumsum tulang belakang
seperti stroke, merupakan proses yang dinamis. Lesi sumsum tulang belakang
inkomplit dapat menjadi komplit. Kaskade kompleks dari patofisiologi yang terkait
dengan radikal bebas, edema vasogenik, dan penurunan aliran darah mengakibatkan
terjadinya manifestasi klinis. Oksigenasi yang normal, perfusi dan keseimbangan
asam basa dibutuhkan untuk mencegah perburukan. 1
II.
5. KLASIFIKASI
Stable Injury
Cedera
stabil atau stable injury terdiri
dari regangan otot, robekan kecil pada ligamentum posterior dan jaringan lunak
sekitar yang menyebabkan spasme dan nyeri pada otot. Sistem neurologi utuh dan
tidak terdapat gejala radikuler. Analisis radiografi negatif atau menunjukkan
prosessus spinosus yang terisolasi, undisplaced
laminar, atau faraktur kompressi minor.
Unstable Injury
Cedera
tidak stabil, secara definisi merupakan fraktur spinal yang berhubungan dengan
defisit neurologi. Analisis radiografi mungkin menunjukkan fraktur atau
dislokasi, namun penting untukmencari
gejala instability seperti pelebaran
jarak interpedicular atau deviasi prosessus spinosus. Pada tulang servikal,
perdarahan ekstensif retrofaringeal dapat terlihat pada radiografi lateral,
begitu juga subluksasi minor. Avulsi kecil anterior atau teardrop fracture dapat stabil atau berhubungan dengan cedera
hiperekstensi tidak stabil pada tulang servikal.
Namun
pada sumber lain disebutkan stabilitas tulang belakang dinilai menurut dapat
dijalankannya fungsi secara fisiologis tanpa peningkatan nyeri, defisit
neurologi, atau deformitas yang progresif. Berikut ini tabel penilaian stabilitas tulang belakang menurut White dan
Punjabi
Holdsworth
membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut : 6
1. Cedera
fleksi
Cedera
fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan
mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
2. Cedera
fleksi-rotasi
Beban
fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi
fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra.
Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.
3. Cedera
ekstensi
Cedera
ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra
dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
4. Cedera
kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera
kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan
burst fracture.
5. Cedera
robek langsung (direct shearing)
Cedera
robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung
pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus
artikularis serta ruptur ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan
Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera
non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik
anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang
tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur
(slice injury), dan burst fracture hebat. 6
Cedera
stabil 7
1. Fleksi
Cedera
fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan
dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan
rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama
beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik
ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar
daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak,
analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan
tidak lazim ditemukan.
2. Fleksi
ke Lateral dan Ekstensi
Cedera
ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit
neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah
semua yang dibutuhkan.
3. Kompresi
Vertikal
Tenaga
aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke
dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada
pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam
tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit
neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur
selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu.
Meskipun
fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena
masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi
radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan
neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai
gejala-gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra
yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan.
Jika
ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis.
Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan
batang kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan
setelah dekompresi.
Cedera
Tidak Stabil 7
1. Cedera
Rotasi – Fleksi
Kombinasi
dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra
yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus
ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks.
Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10
sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik.
Setelah
radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan
unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan.
2. Fraktura
”Potong”
Vertebra
dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah.
Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada
daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat
tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang
bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti
pada cedera fleksi-rotasi.
3. Cedera
Fleksi-Rotasi
Change
fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman.
Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi
bedah direkomendasikan.
II.
6. JENIS TRAUMA
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang
dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Di daerah
torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur toraks. 5
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif,
dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa
memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan
peredaran darah, atau perdarahan. 5
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan
oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan oleh hipotensi, udem atau
kompresi. 5
Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang
merupakan kerusakan yang permanen, karena tidak akan terjadi regenerasi dari
jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah
gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau
disebabkan oleh tekanan, memar atau udem. 5
II.
7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi
motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok
spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu
hingga enam minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flaksid,
anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rektum dan kandung
kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih
kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi
autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik,
serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. 5
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada
kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.5
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada
umumnya terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh
hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh
ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang
memikul beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang
mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang hiperekstensi. Gambaran
klinis berupa tetraparese parsial. Ganguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada
ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. 5
Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral
sumsum tulang belakang. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa
gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di
kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu. 5
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan
anestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis.
5
Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks
lumbosakral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan
anestesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. 5
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang
belakang adalah: 4
Nyeri
mulai dari leher sampai bawah, kehilangan fungsi (misal tidak dapat
menggerakkan lengan), kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh
II.
8. DIAGNOSIS
Trauma
tulang belakang perlu dicurigai pada kondisi-kondisi berikut : 4
·
Pasien tidak sadar
·
Pasien dengan multipel trauma
·
Trauma di atas klavikula
·
Jatuh dari ketinggian lebih dari
10 kaki (atau dua kali tinggi pasien)
·
Kecelakaan dengan kecepatan tinggi
Pada pemeriksaan jasmani dipentingkan pemeriksaan neurologik
dengan mengingat kemungkinan cedera sumsum belakang. 4
Pada pemeriksaan laboratorium, perlu diperiksa dan dimonitor kadar
hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor kehilangan darah.
Selain itu, urinalisis juga perlu untuk mendeteksi trauma traktus
genitourinarius. 1
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior
dan lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk
melihat kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak
untuk jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang).
Jika pasien memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang
belakang, dilakukan CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail
dibanding rontgen. CT –scans lebih baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang,
sedangkan MRI biasanya lebih baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti
sumsum tulang belakang. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa
memindahkan atau mengubah posisi penderita. 3,5
Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik,
seperti kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak tampak
fraktur. 5
II.
9. PENATALAKSANAAN
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada
kerusakan tersebut. 5
Setelah diagnosis ditegakkan, disamping kemungkinan pemeriksaan
cedera lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka
pengelolaan patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada
stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan
imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan
gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk
stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat
dilakukan mobilisasi dini.
Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang
timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran
nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga
dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan
penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan
fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut.
Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam
pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh
dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas
tulang belakang. 5
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan
pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder,
yaitu dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan
alas yang keras. 5
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu
atau sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita
yang patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri
di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan pada
ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan
napas dan sirkulasi. 5
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar
kepala tidak menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau
gulungan kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan. 5
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan
pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang
seperti radiologik dapat dilakukan. 5
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari
akibat hematom
retroperitoneal
sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung.5 Pemasangan kateter
tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang
berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna
untuk memantau produksi urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena
menjamin kulit tetap kering. Perhatian perlu diberikan untuk mencegah
terjadinya pneumoni dan memberikan nutrisi yang optimal.5
Penanggulangan
Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Tulang Belakang : 5
Prinsip
umum :
·
pikirkan selalu kemungkinan adanya
cedera mielum
·
mencegah terjadinya cedera
sekunder
·
waspada akan tanda yang
menunjukkan jejas lintang
·
lakukan evaluasi dan rehabilitasi
Tindakan
:
·
adakan imobilisasi di tempat
kejadian (dasar papan)
·
optimalisasi faal ABC : jalan
nafas, pernafasan, dan peredaran darah
·
penanganan kelainan yang lebih
urgen
·
pemeriksaan neurologik untuk
menentukan tempat lesi
·
pemeriksaan radiologik (kadang
diperlukan)
·
tindak bedah (dekompresi,
reposisi, atau stabilisasi)
·
pencegahan penyulit
* ileus paralitik → sonde
lambung
* penyulit kelumpuhan
kandung kemih → kateter
* pneumoni
* dekubitus
Tindak
Bedah 5
Jika terdapat tanda kompresi pada sumsum belakang karena
deformitas fleksi, fragmen tulang, atau hematom, maka diperlukan tindakan
dekompresi.
Dislokasi yang umumnya disertai instabilitas tulang belakang
memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi. Pembedahan darurat diperlukan
bila terdapat gangguan neurologik progresif akibat penekanan, pada luka tembus,
dan pada sindrom sumsum belakang bagian depan yang akut.
Pembedahan selalu harus dipertimbangkan untuk mempermudah
perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dan rehabilitasi dapat berlangsung
lebih cepat. Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit, tetapi
tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat untuk mengatasi gangguan
stabilitas tulang belakang.
Tindakan Bedah Pada Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Belakang Tindakan
darurat luka tembus sindrom sumsum anterior akut
*
peluru
*
tikam / bacok
gangguan
neurologik progresif (penekanan)
Tindakan
elektif
patah
tulang tidak stabil
Tujuan
:
·
mencegah jejas lintang
·
mempercepat penyembuhan dan
revalidasi
·
memungkinkan rehabilitasi aktif
·
mempermudah perawatan dan
fisioterapi aktif
·
Pada pasien yang tidak sadar
mungkin terdapat tanda syok spinal (nadi lambat dan tekanan darah rendah,
kelemahan umum pada seluruh anggota gerak, kehilangan kontrol buang air besar
atau buang air kecil.
·
Penting untuk diingat bahwa trauma
tulang belakang tidak tersingkir jika pasien dapat menggerakkan dan merasakan
anggota geraknya. Jika mekanisme trauma melibatkan kekuatan yang besar,
pikirkan yang terburuk dan dirawat seperti merawat korban trauma tulang
belakang.
Pertolongan
Pertama Pada Trauma Tulang Belakang meliputi : 4
1. Perhatikan
ABC nya (Airway, Breathing, Circulation)
2. Pertahankan
posisi pasien. Jangan pindahkan atau membiarkan korban bergerak kecuali korban dapat
meninggal atau terluka jika tetap pada posisinya (misal menghindari batu yang
jatuh).
Posisi
leher harus tetap dipertahankan dengan menahan kepala pada kedua sisi. Ketika
petugas datang, korban dipasang kolar servikal yang keras dengan sangat
hati-hati, kemudian diimobilisasi dengan sistem transportasi spinal yang bisa
berupa matras, papan keras. 4
II.
9. KOMPLIKASI 1,2
·
Defisit neurologis sering
meningkat selama beberapa jam atau hari pada trauma sumsum tulang belakang
akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal. Salah satu tanda adanya
kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris. Pasien dengan trauma
sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu pemasangan
NGT (Nasogastric Tube).
·
Hipotermia.
·
Dekubitus
·
Seseorang dengan tetraplegia
beresiko tinggi terjadi komplikasi medis sekunder. Persentase terjadinya
komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut : pneumonia
(60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8 %), trombosis vena dalam (16,4 %), emboli pulmo
(5,2 %), infeksi pasca operasi (2,2 %).
·
Komplikasi pulmo pada trauma
tulang belakang biasa terjadi, dimana secara langsung berhubungan dengan
mortalitas dan trauma saraf. Komplikasi pulmo tersebut meliputi : atelektasis
sekunder
menurunnya batuk, sehingga
meningkatkan resiko sumbatan oleh secret, atelektasis dan pneumonia kelelahan
otot
II.
10. PROGNOSIS 1
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada
pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5
tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang
terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan
infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh
kurang dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah
trauma, peluang perbaikan adalah nol. Prognosis trauma tulang belakang
inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk
dapat berjalan kembali lebih dari 50 %.
DAFTAR PUSTAKA
1.Schreiber,
Donald, 2004. Spinal Cord Injuries.
http://www.emedicine.com/emerg/byname/spinal-cord-injuries.htm
2.Anonim,
2005. Spinal Cord Injury.
http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp
3.Anonim,
2006. Spinal Cord Injuries.
http://www.sci-recovery.org/sci.htm
4.Langran,
Mike, 2006. Spinal Injuries.
http://www.ski-injury.com/spinal1.htm
5.Jong,
Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
6.Listiono,
Djoko, dr., 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III, PT. Gramedia,
Jakarta.
7.Sabiston,
D.C., 1994, Buku Ajar Bedah Sabiston Bagian 2, EGC, Jakarta.
No comments:
Post a Comment