"A Man can't make a mistake can't make anything"

Tuesday 9 October 2012

APLIKASI ATS UNTUK TETANUS



TETANUS
Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga).
Tetanus (rahang terkunci (lockjaw)) adalah suatu penyakit toksemia akut dan fatal yang disebabkan oleh tetanuspasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom.

Etiologi
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.


Patogenesis
Clostridium tetani biasanya memasuki tubuh dalam bentuk spora melalui luka yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat, dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan binatang yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi sepsis, infeksi gigi, persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. C.tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi sehingga tidak tampak tanda-tanda inflamasi  di sekitar port d’entry, kecuali bila ada infeksi oleh mikroorganisme lain.
Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi basil tetanus mensekresikan dua macam eksotoksin, yakni tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin akan merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan bakteri ini bermultiplikasi. Sementara itu, untuk mencapai susunan saraf pusat dan menghasilkan gejala-gejala klinik tetanus, tetanospasmin memiliki beberapa jalur penyebaran.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara:
1.      Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–­ujung saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2.      Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat.
Setelah melewati salah satu jalur di atas, tetanospasmin menempel pada permukaan membran presinaptik neuron terminal yang terdekat. Selanjutnya secara retrograd menyebar intraneuronal sampai ke SSP mulai dari akson menuju badan sel, lalu dendrit dan ke akson neuron sebelumnya.
 Tetanospasmin merupakan polipeptida rantai ganda, terdiri dari rantai berat dan rantai ringan, yang dihubungakan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat tetanospasmin memungkinkannya terikat pada membran saraf, sedangkan ujung aminonya memungkinkan tetanospasmin masuk ke dalam sel saraf melalui serangkaian reaksi biomolekuler. Setelah masuk ke dalam neuron, kekuatan ikatan disulfida berkurang menyebabkan rantai ringan terlepas dan menjadi aktif, bekerja pada pre-sinaps untuk mencegah pelepasan neurotransmitter inhibitory (glisin dan GABA) dari neuron yang ditempatinya dengan cara menghancurkan sinaptobrevin (protein membran yang berfungsi membantu terjadinya fusi vesikel yang mengandung meurotransmitter inhibitory  dengan membran pre-sinaps), akibatnya proses pelepasan neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps tidak terjadi. Kegagalan pelepasan neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas neuron-neuron eferen menuju otot, menimbulkan gejala kaku otot maupun spasme, misalnya pada otot masseter, menyebabkan trismus (lock-jaw).
Manifestasi Klinis
            Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah maka  bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan,  dan kesulitan membuka mulut  sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa menyebabkan trismus atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Gambar 2. Trismus
Gambar 3. Risus Sardonicus
Gambar4. Opistotonus
            Untuk meningkatkan tonus otot,  ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan patah tulang dan robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-menerus yang bisa mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.  Pada umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf pusat, sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih lama.  Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup tinggi.  Pada tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari setelah lahir dengan rata-rata 7 hari.
Karakteristik Dari Tetanus:
1.      Kejang bertambah berat selama  3 hari pertama , dan menetap selama 5-7 hari.
2.      Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
3.      Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4.      Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher.
5.      Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena spasme otot masseter.
6.      Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)
7.      Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran  alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat.
8.      Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
9.      Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).

PENATALAKSANAAN
ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda).  Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita dan status imunisasi.  Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan untuk di imunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali – kali secara IV. 
Dosis
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–­100.000 u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pem­berian
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
-                Toksin bebas dalam darah;
-                Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas da­lam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:
-                Anamnesa apakah ada riwayat alergi;
-                Tes kulit dan mata; dan
-                Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang ber­sifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap (Besredka).











DAFTAR PUSTAKA

1.      Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.Hal 21-24
2.      Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.1994. Hal 145
3.      Behrman RE, Kliegnan RM, Arvin AM. Tetanus. Dalam : Wahab AS editor . Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi 15. Jakarta : EGC.1999. Hal 1004-1007
4.      Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000. Hal
5.      www.scribd.com

No comments:

Post a Comment