"A Man can't make a mistake can't make anything"

Wednesday, 31 October 2012

RANGKUMAN TINJAUAN PUSTAKA FISTULA ENTERO CUTANEUS




I. DEFINISI
Secara definisi Fistula adalah suatu ostium abnormal, berliku-liku antara dua organ berongga internal atau antara organ internal dengan tubuh bagian luar. (Smeltzer dan Bare, 2001).
Entero-enteral atau enterocutaneous adalah petikan yang abnormal kebocoran isi perut atau usus (usus besar atau kecil) ke organ lain, biasanya bagian dari usus (entero-enteral) atau kulit (enterocutaneous). (Lee, 2006).
Umbilikalis fistel atau fistel umbilikalis atau fistula vitellina adalah suatu keadaan kongenital dimana duktus vitellinus tetap dipertahankan seluruhnya sehingga membentuk hubungan langsung antara pusat dengan seluruh pencernaan. Dalam hal ini dapat dikeluarkan tinja melalui pusat. (Watson, dkk, 1987).
Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua organ dalam atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula enterokutaneous adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara organ gastrointestinal dan kulit.
Gambar 1. Fistula enterokutaneous


II. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI
Fistula enterokutaneous dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria anatomi, fisiologi dan etiologi, yaitu sebagai berikut:
  1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu fistula internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang menghubungkan antara dua viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula yang menghubungkan antara viscera dengan kulit.
  2. Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 3 yaitu high-output, moderate-output dan low output.
Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan pengeluaran cairan intestinal ke dunia luar, dimana cairan tersebut banyak mengandung elektrolit, mineral dan protein sehingga dapat menyebabkan komplikasi fisiologis yaitu terjadi ketidak-seimbangan elektrolit dan dapat menyebabkan malnutrisi pada pasien. Fistula dengan high-output apabila pengeluaran cairan intestinal sebanyak >500ml perhari, moderate-output sebanyak 200-500 ml per hari dan low-output sebanyak <200 ml per hari.
  1. Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu fistula yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi postoperasi.
Fistula yang terjadi secara spontan, terjadi sekitar 15-25% dari seluruh fistula enterokutaneous. Fistula ini dapat disebabkan oleh berbagai hal terutama pada kanker dan penyakit radang pada usus. Selain itu dapat juga disebabkan oleh radiasi, penyakit divertikular, appendicitis, dan ulkus perforasi atau iskhemi pada usus.
Penyebab utama fistula enterokutaneous adalah akibat komplikasi postoperasi (sekitar 75-85%). Faktor penyebab timbulnya fistula enterokutaneous akibat postoperasi dapat disebabkan oleh faktor pasien dan faktor tehnik. Faktor pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia, dan hypothermia. Sedangkan faktor tehnik yaitu pada tindakan-tindakan preoperasi. Sebelum dilakukan operasi, harus dievaluasi terlebih dahulu keadaan nutrisi pasien karena kehilangan 10-15% berat badan, kadar albumin kurang dari 3,0 gr/dL, rendahnya kadar transferin dan total limposit dapat meningkatkan resiko terjadinya fistula enterokutaneous. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya vaskularisasi pada daerah operasi, hipotensi sistemik, tekanan berlebih pada anastomosis, dan membuat anastomosis dari usus yang tidak sehat. Untuk mengurangi resiko timbulnya fistula, keadaan pasien harus normovolemia / tidak anemis agar aliran oksigen menjadi lebih optimal. Selain itu pada saat operasi harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi dan abses yang dapat menimbulkan fistula.
Kebanyakan fistula berawal dari kelenjar dalam di dinding anus atau rektum. Kadang- kadang fistula merupakan akibat dari pengeluaran nanah pada abses anorektal. Fistula secara umum sering ditemukan pada penderita :
a.       Penyakit Crohn
b.      Tuberkulosis
c.       Divertikulitis
d.      Kanker
e.       Cedera anus maupun rektum.


Fistula enterokutaneus biasanya diakibatkan :
a. Spontaneous (15% sampai 25%)
- Radang usus buntu
- Lubang duodenal ulcers
- Radiasi
- Penyakit diverticular
- Ischemic usus
- Malignancies.
b. Postoperative (75% hingga 85%)
- Kegagalan anastomotic
- Penutupan abdominal.
- Operasi kanker
- Lysis yang adhesions

Penyebab dari terbentuknya fistula pasca pembedahan sangat bervariasi tergantung pada lokasi organ, faktor predisposisi, faktor resiko pasien dan tehnik atau prosedur pembedahan. Kompleksitas dari fistula enterokutaneus tergantung dari jumlah pengeluaran.
a. Rendah: 200 ml/24 jam
b. Moderat: 200-500 ml/24 jam
c. Tinggi: 500 ml/24 jam
Jumlah output juga dapat digunakan untuk memprediksi kematian seperti tercantum dalam seri klasik oleh Edmunds dkk. pasien yang tinggi dengan output fistulas memiliki mortality 54%, pasien dengan moderat output meninggal dalam 30% kasus sedanglan rendah output fistulas meninggal dalam 16% kasus. Dalam seri yang lebih baru, Levy dkk. melaporkan kematian dari 50%, 24% dan 26% di tinggi, moderat dan rendah output fistulas, masing-masing. Kira-kira 30% semua tipe fistula akan menutup secara spontan dalam waktu 6-7 minggu.

III. GEJALA/MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah demam, leukositosis, prolonged ileus, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan infeksi pada luka. Diagnosis menjadi jelas bila didapatkan drainase material usus pada luka di abdomen.

Gambar 2. Pasien dengan fistula enterocutaneous

Gejala tergantung pada kekhususan defek. Pus atau feses dapat bocor secara konstan dari lubang kutaneus. Gejala ini mungkin pasase flatus atau feses dari vagina atau kandung kemih, tergantung pada saluran fistula. Fistula yang tidak teratasi dapat menyebabkan infeksi sistemik disertai gejala yang berhubungan.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada kasus Fistula yaitu sebagai berikut:
a. Test methylen blue
Test ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan fistula enterokutaneous dan kebocoran segmen usus. Tehnik ini kurang mampu untuk mengetahui fungsi anatomi dan jarang digunakan pada praktek.
b. USG
USG dapat digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya abses dan penimbunan cairan pada saluran fistula
c. Fistulogram
Tehnik ini menggunakan water soluble kontras. Kontras disuntikkan melalui pembukaan eksternal, kemudian melakukan foto x-ray. Dengan menggunakan tehnik pemeriksaan ini, dapat diketahui berbagai hal yaitu : Sumber fistula, jalur fistula, ada-tidaknya kontinuitas usus, ada-tidaknya obstruksi di bagian distal, keadaan usus yang berdekatan dengan fistula (striktur, inflamasi) dan ada-tidaknya abses yang berhubungan dengan fistula.
d. Barium enema
Pemeriksaan ini menggunakan kontras, untuk mengevaluasi lambung, usus halus, dan kolon. Tujuannya untuk mengetahui penyebab timbulnya fistula seperti penyakit divertikula, penyakit Crohn's, dan neoplasma
e. CT scan

V. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan di daerah anus, dimana ditemukan satu atau lebih pembukaan fistula atau teraba adanya fistula di bawah permukaan. Sebuah alat penguji bisa dimasukan untuk menentukan kedalaman dan arahnya. Ujung dalamnya bisa ditentukan lokasinya dengan melihat melalui anoskop yang dimasukkan ke dalam rectum.

VI. PENATALAKSANAAN
Pembedahan selalu dianjurkan karena beberapa fistula sembuh secara spontan. Fistulektomi (eksisi saluran fistula) adalah prosedur yang dianjurkan. Usus bawah dievakuasi secara seksama dengan enema yang diprogramkan.
Selama pembedahan, saluran sinus diidentifikasi dengan memasang alat ke dalamnya atau dengan menginjeksi saluran dengan larutan biru metilen. Fistula didiseksi ke luar atau dibiarkan terbuka, dan insisi lubang rektalnya mengarah keluar. Luka diberi tampon dengan kasa.
Sebuah studi menelan kontras, di mana radio-kekusaman dye adalah ditelan oleh pasien dan diambil foto sinar-x dan CT scan, sering menunjukkan anatomi dari hiliran. Jika hiliran melibatkan titik dua, yang kontras enema (kontras dye diberikan melalui dubur) dapat bermanfaat.
Parcel merupakan sistem kantong yang digunakan pada bentuk dan ukuran luka lebih luas dengan menggabungkan hidrokoloid sheet dan double tape. Wound drain merupakan tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mengalirkan cairan yang cenderung terakumulasi pada lokasi yang dilakukan pembedahan. Penggunaan wound drain dapat menggunakan kantong ostomi.
Parcel dressing dipakai pada luka bertujuan untuk menampung eksudat, melindungi jaringan, mencegah infeksi silang, memonitor volume pengeluaran, meningkatkan rasa nyaman dan mengurangi kecemasan pasien, meningkatkan mobilitas pasien. Sedangkan penggunaan wound drain untuk mempertahankan keamanan drain, menampung pengeluaran, mencegah infeksi silang, memonitor keefektifitasan drain dan volume pengeluaran, melindungi sekitar jaringan, meningkatkan kenyamanan pasien dan mengontrol bau, meningkatkan mobilitas pasien dan biaya lebih efektif. Kedua tehnik ini digunakan jika cairan yang keluar melalui luka dan fistula terlalu banyak biasanya lebih dari 500 ml/24 jam. (Haryanto, 2009).
Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu stabilization, investigation, decision making, definitive therapy, dan healing.
1. Stabilization
Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu: identification, resuscitation, control of sepsis, nutritional support, control of fistula drainage
a. Identification
Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan fistula enterokutaneous. Pada minggu pertama postoperasi, pasien menunjukkan tanda-tanda demam dan prolonged ileus serta terbentuk erythema pada luka. Luka akan terbuka dan terdapat drainase cairan purulen yang terdiri dari cairan usus. Pasien dapat mengalami malnutrisi yang disebabkan karena sedikit atau tidak diberikan nutrisi dalam waktu lama. Pasien dapat menjadi dehidrasi, anemis, dan kadar albumin yang rendah. 4
b. Resuscitation
Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi. Pada tahap ini, pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume sirkulasi. Transfusi sel darah merah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan pemberian infuse albumin dapat mengembalikan tekanan onkotik plasma.
c. Control of sepsis
Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap timbulnya sepsis dengan pemberian obat antibiotik. 4

d. Nutritional support
Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula enterokutaneous merupakan komponen kunci penatalaksanaan pada fase stabilization. Fistula enterokutaneous dapat menimbulkan malnutrisi pada pasien karena intake nutrisi kurang, hiperkatabolisme akibat sepsis dan banyaknya komponen usus kaya protein yang keluar melalui fistula. Pasien dengan fistula enterokutaneous membutuhkan kalori total sebanyak 25-32kcal/kg perhari dengan rasio kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1, protein minimal 1,5g/kg perhari. Jalur pemberian nutrisi ini dilakukan melalui parenteral. Selain itu, perlu diberikan elektrolit dan vitamin seperti vitamin C, vitamin B12, zinc, asam folat. 4
e. Control of fistula drainage
Terdapat berbagai tehnik yang digunakan untuk managemen drainase fistula yaitu simple gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction catheter. Selain itu, untuk mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat cairan fistula, dapat diberikan karaya powder, stomahesive atau glyserin. Beberapa penulis melaporkan keberhasilan menggunakan Vacuum Assisted Closure (VAC) system untuk penatalaksanaan fistula enterokutaneous. Obat-obatan (Somatostatin, Octreotide dan H2 Antagonis) dapat juga diberikan untuk menghambat sekresi asam lambung, sekresi kelenjar pankreas, usus, dan traktus biliaris. 2,4

2. Investigation
Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu: 2,4
a. Test methylen blue
b. USG
c. Fistulogram
d. Barium enema
e. CT scan

3. Decision
Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan dalam 4-6 minggu pada pasien dengan pemberian nutrisi adekuat dan terbebas dari sepsis. Penutupan spontan dapat terjadi pada sekitar 30% kasus. Fistula yang terdapat pada lambung, ileum, dan ligamentum of Treiz memiliki kemampuan yang rendah untuk menutup secara spontan. Hal ini berlaku juga pada fistula dengan keadaan terdapat abses besar, traktus fistula yang pendek, striktur usus, diskontinuitas usus, dan obstruksi distal. Pada kasus-kasus tersebut, apabila fistula tidak menutup (output tidak berkurang) setelah 4 minggu, maka dapat direncanakan untuk melakukan operasi reseksi. Pada rencana melakukan tidakan operasi, ahli bedah harus mempertimbangkan untuk menjaga keseimbangan nutrisi dengan memberikan nutrisi secara adekuat, kemungkinan terjadinya penutupan spontan dan tehnik-tehnik operasi yang akan digunakan. 4

4. Definitive therapy
Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan fistula enterokutaneous yang tidak dapat menutup secara spontan adalah tindakan yang tepat. Sebelumnya, pasien harus dalam kondisi nutrisi yang optimal dan terbebas dari sepsis.
Pada saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi baru. Insisi secara transversal pada abdomen di daerah yang terbebas dari perlekatan. Tujuan tindakan operasi selanjutnya adalah membebaskan usus sampai rektum dari ligamentum Treiz. Kemudian melakukan eksplorasi pada usus untuk menemukan seluruh abses dan sumber obstruksi untuk mencegah kegagalan dalam melakukan anastomosis.
Pada saat isolasi segmen usus yang mengandung fistula, reseksi pada segmen tersebut merupakan tindakan yang tepat. Pada kasus-kasus yang berat, dapat digunakan tehnik exteriorization, bypass, Roux-en-Y drainase, dan serosal patches. Namun tindakan- tindakan tersebut tidak menjamin hasil yang optimal. Berbagai kreasi seperti two-layer, interrupted, end-to-end anastomosis menggunakan segmen usus yang sehat dapat meningkatkan kemungikan anastomosis yang aman. 2,4

5. Healing
Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi harus terus dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan penutupan dinding abdomen. Tahap penyembuhan (terutama pada kasus postoperasi) ini membutuhkan keseimbangan nitrogen, pemberian kalori dan protein yang adekuat untuk meningkatkan proses penyembuhan dan penutupan luka. 4

VI. KOMPLIKASI
Edmund et al mengidentifikasi trias klasik untuk komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh fistula enterokutaneous, yaitu sepsis, malnutrisi, serta berkurangnya elektrolit dan cairan tubuh. Fistula dapat menimbulkan abses local, infeksi jaringan, peritonitis hingga sepsis. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat meningkatkan pengeluaran isi usus yang kaya akan protein dan cairan tubuh serta elektrolit sehingga dapat menimbulkan malnutrisi dan berkurangnya kadar elektrolit dan cairan tubuh. Pemberian nutrisi parenteral (TPN) sangat diperlukan, karena TPN dapat meningkatkan penutupan fistula secara spontan. Pada pasien yang membutuhkan penutupan fistula dengan operasi, TPN dapat meningkatkan status nutrisi sehingga dapat mempertahankan kontinuitas usus dengan cara meningkatkan proses penyembuhan luka dan meningkatkan system imun.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien fisula adalah :
a. Infeksi
b. Gangguan fungsi reproduksi
c. Gangguan dalam berkemih
d. Gangguan dalam defekasi
e. Ruptur/ perforasi organ yang terkait
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan fistel enterokutaneus :
a. Kekurangan gizi
b. Dehidrasi
c. Masalah kulit
d. keracunan darah

VII. PROGNOSIS
Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan mortalitas sebesar 10-15%, lebih banyak disebabkan karena sepsis. Namun, sebanyak 50% kasus fistula dapat menutup secara spontan. Faktor-faktor yang dapat menghambat penutupan spontan fistula yaitu FRIEND (Foreign body didalam traktus fistula, Radiasi enteritis, Infeksi/inflamasi pada sumber fistula, Epithelisasi pada traktus fistula, Neoplasma pada sumber fistula, Distal obstruction pada usus). Tindakan pembedahan dapat menyebabkan lebih dari 50% morbiditas pada pasien dan 10% dapat kambuh kembali. 6

PEMBAHASAN
Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua organ dalam atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula enterokutaneous adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara organ gastrointestinal dan kulit. Pada kasus ini, pasien di diagnosis menderita penyakit fistula enterokutaneous.
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien mengeluh keluar cairan kuning kehijauan dari luka operasi beberapa hari setelah operasi. Cairan yang keluar merupakan cairan yang sedikit kental dan disertai bau yang tidak enak. Cairan ini keluar sedikit-sedikit beberapa saat setelah pasien makan dan minum. Sebelumnya, pasien mengaku menjalani operasi hernia dan sekitar 9 hari setelah operasi hernia, keluar cairan berwarna kuning kehijauan dari luka bekas operasi tersebut. Cairan ini terus keluar terutama beberapa saat setelah makan dan minum. Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil bahwa melalui inspeksi diketahui bahwa terdapat luka bekas operasi pada regio inguinalis sinistra, luka bekas operasi terbuka Ø ± 6x3 cm, terdapat cairan kuning kehijauan yang keluar dari luka bekas operasi, dan jahitan operasi terbuka.
Fistula enterokutaneous dapat timbul secara spontan dan akibat komplikasi post operasi. Penyebab utama fistula ini adalah akibat komplikasi postoperasi. Faktor penyebab timbulnya fistula enterokutaneous akibat postoperasi dapat disebabkan oleh faktor pasien dan faktor tehnik. Faktor pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia, dan hypothermia. Sedangkan faktor tehnik yaitu pada tindakan preoperasi. Sebelum dilakukan operasi, harus dievaluasi terlebih dahulu keadaan nutrisi pasien karena kehilangan 10-15% berat badan, kadar albumin kurang dari 3,0 gr/dL, rendahnya kadar transferin dan total limposit dapat meningkatkan resiko terjadinya fistula enterokutaneous. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya vaskularisasi pada daerah operasi, hipotensi sistemik, tekanan berlebih pada anastomosis, dan membuat anastomosis dari usus yang tidak sehat.
Penatalaksanaan fistula pada pasien ini yaitu pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi dan sepsis, pemberian nutrisi parenteral untuk mencegah malnutrisi, cairan infus untuk mencegah dehidrasi, dulcolax untuk melancarkan BAB dan analgetik untuk mengurangi rasa nyeri.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC. h. 840
2. Kozell K and Martin L., 1999. Managing the Challenges of Enterocutaneous Fistula. Available from www.cawc.net/open/wcc/1-1/Kozell.pdf (Download : 8 Juni 2009) p. 10-14
3. Amato J., 2005. Enterocutaneous Fistula. Available from http://74.125.153.132/search q=cache :7TAvijyGRV0J:www.mssurg.net/Team5Conferences/2005-6/Enterocutaneous % 2520 Fistula%2520-%25203.pdf+ enterocutaneous+fistula+john+ amato&cd=1&hl= id&ct= clnk&gl =id&client=firefox-a (Download : 8 Juni 2009) p. 95-98
4. Evenson A. R et al., 2006. Current Management of Enterocutaneous Fistula. Available from http://www.ptolemy.ca /members/archives/ 2006/Fistula/evenson2006.pdf. (Download : 8 Juni 2009) p. 455-463
5. Thompsom M.J and Epanomeritakis E., 2008. An Accountable Fistula Management Treatment Plan. Available from : http://www.eakin.co.uk/ Uploads/ Docs/An_ Accountable _Fistula_Management_Treatment_Plan_BJN.pdf. (Download : 16 Juni 2009) p. 434-439
6. Edward E.W et al. Small Intestine. In : Charles F., Bronicardi et al. Swartz-Principle of Surgery. McGraw-Hill. p. 1037-1038
7. Stein D. E. 2008. Intestinal Fistulas. Available from http://emedicine.medscape. com/article/179444-diagnosis (Download : 8 Juni 2009)

1 comment:

  1. assalamualaikum dokter, saya ingin sekali meng-kopas artikel fistula enterokutan, kebetulan di RS kami ada beberapa kasus tersebut,dan saya saat ini sedang pendidikan gizi klinik.izin print ya dok....terima kasih


    fitri

    ReplyDelete