BAB I
PENDAHULUAN
Osteoporosis
merupakan suatu keadaan penurunan
massa tulang yang menyebabkan fraktur traumatik atau atraumatik. Osteoporosis merupakan
masalah besar pada perawatan kesehatan karena beratnya konsekuensi fraktur pada
pasien dan sistem perawatan kesehatan.1
Masalah osteoporosis di Indonesia
dihubungkan dengan masalah hormonal pada menopause. Menopause lebih cepat
dicapai wanita Indonesia pada usia 48 tahun dibandingkan wanita barat yaitu
usia 60 tahun. Mulai berkurangnya paparan terhadap sinar matahari. Kurangnya
asupan kalsium. Perubahan gaya hidup seperti merokok, alkohol dan berkurangnya
latihan fisik. Penggunaan obat-obatan steroid jangka panjang. Serta risiko
osteoporosis tanpa gejala klinis yang menyertainya.
Pada tulang normal selalu terjadi proses pembentukan dan penipisan tulang
secara terus menerus. Hal ini bertujuan untuk menjaga massa tulang agar tidak
terlalu berat sehingga tidak menganggu proses pergerakan. Seperti saya sebutkan
diatas, pada osteoporosis, proses pembentukan tidak terjadi sementara proses
penipisan berlangsung terus menerus.
Tulang yang tipis akan sangat lemah dan mudah patah dengan benturan yang
ringan sekalipun. Pada tulang normal, benturan ini tidak akan menyebabkan apa
apa, sementara pada penderita osteoporosis menyebabkan patah tulang yang parah.
Hampir semua tulang mengalami hal ini termasuk tulang rusuk, panggul dan
pergelangan tangan.
BAB II
OSTEOPOROSIS
II.1. DEFINISI
Berasal dari bahasa Latin, osteoporosis secara harfiah
berarti tulang keropos, yang melibatkan baik mineral (anorganik) dan
non-mineral (organik matriks) komponen tulang.
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang progresif
dimana jaringan mineral tulang dalam keadaan normal, tetapi jumlah tulang
berkurang dan integritas struktural tulang trabecular terganggu, menjadi lebih
rapuh. Cortical tulang menjadi lebih keropos dan tipis. Sementara tulang yang
lebih kecil belum tentu lebih rentan terhadap kerusakan, tulang yang bersifat
lebih tipis dan rapuh lebih rentan terhadap fracture. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan keluhan
klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (thief in the night).
Osteoporosis didefinisikan
sebagai penurunan massa tulang yang dapat ditandai dengan adanya fraktur.
Menurut WHO osteoporosis merupakan penurunan massa tulang 2,5 SD dibawah
rata-rata orang dewasa normal dengan ras dan jenis kelamin yang sama.
II.2. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia data yang pasti mengenai
jumlah osteoporosis belum ditemukan. Data retrospektif osteoporosis yang
dikumpulkan di UPT Makmal Terpadu Imunoendokrinologi, FKUI dari 1690 kasus
osteoporosis, ternyata yagn pernah mengalami patah tulang femur dan radius
sebanyak 249 kasus (14,7%).3
Demikian pula angka kejadian pada fraktur hip,
tulang belakang dan wrist di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2001-2005,
meliputi 49 dari total 83 kasus fraktur hip pada wanita usia >60 tahun.
Terdapat 8 dari 36 kasus fraktur tulang belakang dan terdapat 53 dari 173 kasus
fraktur wrist. Dimana sebagian besar
terjadi pada wanita >60 tahun dan disebabkan oleh kecelakaan rumah tangga.4
Di amerika serikat sebanyak 8 juta wanita dan 2 juta
pria menderita osteoporosis dan sebagai tambahan 18 juta orang memiliki level
massa tulang yang berisiko menjadi osteoporosis. Osteoporosis meningkat sejalan
dengan penambahan usia dimana massa
tulang secara progresif mengalami penurunan. Pada wanita penurunan fungsi
ovarium pada menopause ( rata-rata pada usia 50 tahun) menjadi faktor
presipitasi penurunan massa
tulang yang cepat yang akan memberikan gejala osteoporosis pada usia 70-80
tahun. 1 dari 3 wanita dan 1 dari 5 pria di atas usia 50 tahun akan mengalami
patah akibat osteoporosis.
II.3. ANATOMI
DAN FISIOLOGI TULANG
Tulang adalah suatu
jaringan dinamik yang mengalami
perubahan bentuk selama hidup. Pengaturan pada tulang padat dan berongga
memberikan kombinasi kekuatan dan kepadatan yang sesuai untuk mobilitas. Selain
itu, tulang merupakan deposit untuk kalsium, magnesium, fosfor, natrium dan ion
lain yang diperlukan untuk menyokong fungsi homeostasis. Tulang banyak
mengandung pembuluh darah dan menerima sekitar 10 % dari curah jantung.
Tulang rangka terdiri dari bagian
trabekular (20%) dan bagian padat (80%). Trabekula tulang merupakan bagian
tulang yang dikelilingi korteks, berupa jalinan longitudinal dan tranversal
yang rentan terhadap tekanan. Korteks tulang merupakan bagian tulang yang
padat, dibungkus periosteum di bagian luar, berasal dari jaringan ikat mesenkim
yang dapat memproduksi tulang. Sel yang berasal dari mesenkim, osteoblast,
mensintesis dan mensekresi matriks organik, lalu dikelilingi oleh matriks menjadi osteosit. Resorpsi tulang terutama
dilakukan oleh osteoklas. Daerah resorpsi ditandai oleh susunan yang tidak
teratur dan adanya osteoklas. Massa tulang akan menurun kecuali jika
pembentukan mengkompensasikan resorpsi.
Schematic
representation of the hormonal control loop for vitamin D metabolism and
function. A reduction in the serum calcium level below ~2.2 mmol/L (8.8 mg/dL)
prompts a proportional increase in the secretion of parathyroid hormone (PTH)
and so mobilizes additional calcium from the bone. PTH promotes the synthesis
of 1,25(OH)2D in the kidney,
which, in turn, stimulates the mobilization of calcium from bone and intestine
and regulates the synthesis of PTH by negative feedback.
Perubahan
fisiologi akibat penyakit metabolik tulang bervariasi, termasuk homeostasis
kalsium dan fosfor, serta efek osteotrofik hormon paratiroid, kalsitonin dan
vitamin D. Vitamin lainnya (terutama A dan C) juga mempunyai efek terhadap
tulang rangka. Selain itu, kelenjar endokrin tertentu berperan penting dalam
mineralisasi dan perkembangan struktur tulang. Peran yang paling penting
dipegang oleh kelenjar hipotalamus,
tiroid, paratiroid, adrenal dan gonad. Zat eksogen seperti kortikosteroid,
fluorida dan logam berat juga mempengaruhi metabolisme jaringan tulang.
II.4. Patofisiologi
1.Bone remodelling
Osteoporosis
terjadi akibat hilangnya massa
tulang berkaitan dengan bone remodelling akibat penambahan usia yang
juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik yang mempercepat proses
ini. Pertambahan ukuran tulang secara linier dan lapisan kortek dinamakan
modelling, proses ini yang memungkinkan tulang panjang untuk menahan beban.
Peningkatan hormon sex pada saat pubertas diperlukan untuk pematangan tulang,
yang akan mencapai maksimum saat dewasa muda.
Bone remodelling memiliki dua fungsi utama (1)
memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil (2) mensuplai calcium untuk tulang yang
kemudian akan menjaga konsentrasi serum calcium.
Bone remodelling juga diatur oleh beberapa hormon antara
lain estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon paratiroid (PTH).
Faktor lain yang juga mempengaruhi bone remodelling
adalah nutrisi dan aktifitas fisik.
Hasil akhir dari remodelling ini adalah keseimbangan
antara penghancuran dan pembentukan massa tulang, pada usia 30-45 tahun
keseimbangan ini mulai terganggu, usia dan lokasi awal ketidakseimbangan antara
penghancuran dan pembentukan massa tulang bervariasi antar individu. Proses ini
akan diperberat pada wanita yang mengalami menopause. Kehilangan massa tulang juga dapat
dipengaruhi oleh peningkatan aktifitas osteoclas dan penurunan aktifitas
osteoblas.
Mechanism of bone remodeling. The basic molecular unit (BMU) moves
along the trabecular surface at a rate of about 10 um/day. The figure depicts
remodeling over ~120 days. A. Origination of BMU-lining cells contract to
expose collagen and attract preosteoclasts. B. Osteoclasts fuse into
multinucleated cells that resorb a cavity. Mononuclear cells continue
resorption and preosteoblasts are stimulated to proliferate. C. Osteoblasts
align at bottom of cavity and start forming osteoid (black). D. Osteoblasts
continue formation and mineralization. Previous osteoid starts to mineralize
(horizontal lines). E. Osteoblasts begin to flatten. F. Osteoblasts turn into
lining cells; bone remodeling at initial surface (left of drawing) is now
complete, but BMU is still advancing (to the right).[Adapted from: SM Ott, in
JP Bilezikian et al (eds): Principles of Bone Biology, vol. 18. San Diego,
Academic Press, 1996, pp 231-241.]
Schematic
representation of bone remodeling. The cycle of bone remodeling is carried out
by the basic multicellular unit (BMU), comprising a group of osteoclasts and
osteoblasts. In cortical bone, the BMUs tunnel through the tissue, whereas in
cancellous bone, they move across the trabecular surface. The process of bone
remodeling is initiated by contraction of the lining cells and the recruitment of
osteoclast precursors. These precursors fuse to form multinucleated, active
osteoclasts that mediate bone resorption. Osteoclasts adhere to bone and
subsequently remove it by acidification and proteolytic digestion. As the BMU
advances, osteoclasts leave the resorption site and osteoblasts move in to
cover the excavated area and begin the process of new bone formation by
secreting osteoid, which is eventually mineralized into new bone. After osteoid
mineralization, osteoblasts flatten and form a layer of lining cells over new
bone.
2. Nutrisi kalsium
Puncak pertumbuhan massa
tulang juga dipengaruhi oleh konsumsi kalsium pada saat pertumbuhan, apabila
defisiensi kalsium terjadi saat dewasa maka akan menginduksi hiperparatiroid
sekunder dan peningkatan proses remodelling yang ditujukan untuk menjaga agar
serum kalsium tetap berada pada batas normal. PTH menstimulasi hidroksilasi
vitamin D di ginjal yang kemudian akan menyebabkan peningkatan
1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(OH)2, pengambilan kalsium dari massa tulang dan peningkatan absorbsi kalsium dari saluran
cerna, proses ini dapat menjaga kestabilan serum kalsium dalam waktu singkat
namun apabila proses ini berlanjut terus menerus dapat menyebabkan depresi
tulang
Calcium
homeostasis. Schematic illustration of calcium content of extracellular fluid
(ECF) and bone as well as of diet and feces; magnitude of calcium flux per day
as calculated by various methods is shown at sites of transport in intestine,
kidney, and bone. Ranges of values shown are approximate and chosen to
illustrate certain points discussed in text. In conditions of calcium balance,
rates of calcium release from and uptake into bone are equal.
3. Vitamin D
Defisiensi
vitaminD (< 20 ng/ml) menyebabkan terjadinya hiperparatiroid yang akan
meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis dan fraktur.
4. Estrogen
Defisiensi estrogen dapat menyebabkan penurunan massa tulang dengan dua
mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan (1) aktifasi dari bone
remodelling (2) ketidakseimbangan antara formasi dan resorbsi tulang. Perubahan
frekuensi aktivasi menyebabkan kehilangan massa
tulang transien sampai tercapainya keseimbangan resorbsi yang baru.
Ketidakseimbangan remodelling menimbulkan penurunan massa permanen yang hanya dapat dikoreksi
melalui masa remodelling. Penurunan fungsi estrogen yang biasanya muncul pada
masa menopause. Mekanisme terjadinya penurunan massa tulang pada keadaan defisiensi estrogen
adalah karena terjadi peningkatan aktivitas osteoklas, sebaliknya aktivitas
osteoblas menurun. Jenis fraktur yang tersering adalah fraktur vertebrae.
Steroid
actions and interactions with growth factors/cytokines in bone cells at bone
resorption and formation sites. Estrogen inhibits osteoclasts (OCL), cells that
mediate bone resorption; estrogen stimulates osteoblasts (OB ),
cells that mediate bone formation. OBs produce many growth factors and
cytokines that mediate estrogen action, some of which regulate the OCL
indirectly. Estrogen deficiency stimulates OB
production of IL-1, IL-6, and TNFa ( and inhibits apoptosis
and extends the life span of OCLs. Estrogen deficiency decreases IL-1ra leading
to enhanced OCL sensitivity to IL-1. Estrogen deficiency also decreases
production of TGF-b and OPG-L, factors that mediate osteoclast apoptosis. Solid lines
indicate well-documented pathways. Dashed lines indicate less well defined
pathways. ER, estrogen receptor; AR, androgen receptor; OPG, osteoprotegerin;
OPG-L, osteoprotegerin-ligand; IL, interleukin; IL-1ra, interleukin 1 receptor
antagonist; TGF-b, transforming growth factor b; TNFa, tumor necrosis
factor a. (Adapted from TC Spelsberg et al: Mol Endocrinol 13:819, 1999.)
5. Aktivitas fisik
Pada bed rest lama atau parilis terjadi penurunan massa tulang, sebaliknya pada atlit massa tulangnya lebih padat dibandingkan
rata-rata. Namun peningkatan massa
tulang yang distimulasi aktivitas fisik lebih dominana saat sebelum pubertas
6. Medikasi
Banyak obat-obatan medikasi yang mempengaruhi massa tulang. Yang paling
sering adalah glukokortikoid, obat-obat lain seperti anti konvulsan,
siklosporin dan tacrolimus juga berpengaruh pada penurunan massa tulang.
7. Merokok
Efek merokok terhadap penurunan massa tulang melalui efek toksik nikotin
terhadap osteoblasdan merubah metabolisme.
II.5. KLASIFIKASI
1. Osteoporosis
primer: dapat terjadi pada tiap
kelompok umur. Dihubungkan dengan faktor resiko meliputi merokok, aktifitas,
pubertas tertunda, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih/asia, riwayat
keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah (Kaltenborn, 1992).6
a. Tipe I (post manopausal):
Terjadi 15-20 tahun setelah menopause
(53-75 tahun). Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’ fraktur, dan berkurangnya gigi geligi (Riggs &
Melton,1986). Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat
tersebut. Dimana jaringan terabekular lebih responsif terhadap defisiensi
estrogen (Kaltenborn, 1992).6
b. Tipe II (senile):
Terjadi pada
pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul dan tulang
belakang tipe wedge (Riggs &
Melton,1986). Hilangnya massa tulang kortikal terbesar terjadi pada usia
tersebut.6
2.
Osteoporosis sekunder: dapat terjadi pada tiap kelompok umur.
Penyebabnya meliputi ekses kortikosteroid, hipertirodisme, multipel mieloma,
malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetik, dan
obat-obatan. (Kaltenborn, 1992)6
Tabel. 1
|
||||
Penyebab Osteoporosis Sekunder
pada Dewasa5
|
||||
Penyakit endokrin
|
metabolisme
|
|||
or
|
Keadaan
|
kollagen
|
||
Penyebab metabolik
|
Malnutrisi
|
Obat-obatan
|
abnormal
|
Lain-lain
|
Hipogonadisme
|
Malabsorbsi
|
Keracunan
Vit D
|
Osteogenesis
imperfecta
|
Arthritis
Reumatoid
|
Hiperadrenokortisme
|
Sindrome
malnutrisi
|
Phenytoin
|
Homosistinuria
due
to
cystathionine
|
Myeloma
& Ca
|
deficiency
|
||||
Tirotoksikosis
|
Peny. Hati
kronik
|
Glukokortikoid
|
Sindrome
Ehlers-Danlos
|
Immobilisasi
|
Anorexia
nervosa
|
Operasi
lambung
|
Phenobarbital
|
sindrom
Marfan
|
asidosis
tubulus ginjal
|
Hiperprolaktinemia
|
Defisiensi
Vit D
|
Terapi
tiroid be>
|
Thalassemia
|
|
Porphyria
|
Defisiensi
kalsium
|
Heparin
|
Mastositosis
|
|
Hipophosphatasia
|
Alkoholisme
|
Gonadotropin-
|
Hiperkalsiuria
|
|
(dewasa)
|
releasing hormone
|
COPD
|
||
DM tipe 1
|
antagonists
|
transplantasi
Organ
|
||
Kehamilan
|
Cholestatis
liver
|
|||
Hiperparatiroid
|
||||
Akromegali
|
||||
*COPD =
penyakit obstruksi paru kronik
|
II.6.
DIAGNOSIS
Sebagai thief in the night--pencuri malam hari, osteoporosis tidak memiliki
keluhan spesifik. Keluhan akan dirasakan bila tulang sudah mengalami fraktur
yang akan menyebabkan rasa nyeri, deformitas, serta gangguan fungsi. Anamnesis
terperinci tentang faktor risiko yang mungkin dimiliki pasien sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis. Analisis faktor risiko ini penting untuk menentukan
perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan densitas mineral tulang (BMD) yang
merupakan modalitas diagnosis yang utama dalam menegakkan diagnosis.
Beberapa faktor yang meningkatkan
risiko penurunan densitas tulang dan fraktur-osteoporosis pada wanita post
menopause meliputi peningkatan usia, ras kulit putih, berat badan rendah atau
penurunan berat badan, tanpa terapi pengganti estrogen, riwayat fraktur
sebelumnya, riwayat keluarga dengan fraktur, riwayat terjatuh dan skor rendah
pada satu atau lebih pemeriksaan aktifitas atau fungsi fisik. Faktor lain yang
kurang berpengaruh berdasarkan studi tapi juga memiliki hubungan yang
signifikan dengan densitas tulang dan fraktur. Meliputi merokok, penggunaan
alkohol, kopi, asupan rendah kalsium dan vitamin D serta pengguna
kortikosteroid. Risiko relatif beberapa faktor risiko sebanding dengan
perbedaan 1 SD densitas tulang. Prediksi untuk densitas tulang rendah dan
fraktur adalah sama kecuali yang spesifik berkaitan dengan jatuh. Sebagian
besar faktor risiko berhubungan signifikan pada populasi dan ras yang berbeda.
Faktor risiko sesuai untuk tiap tempat fraktur yang berbeda kecuali fraktur
karena jatuh memiliki faktor risiko fungsional tambahan.7
Penilaian osteoporosis secara
laboratorik dilakukan dengan melihat petanda biokimia untuk osteoblas, yaitu
osteokalsin, prokolagen I peptida dan alkali fosfatase total serum. Petanda
kimia untuk osteoklas: dioksipiridinolin (D-pyr), piridinolin (Pyr) Tartate
Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalsium urin, hidroksisiprolin dan hidroksi
glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang dilakukan secara
histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas dan osteoklas secara langsung.
Namun pemeriksaan di atas biayanya masih mahal.3,8
Penilaian langsung densitas tulang
untuk mengetahui ada/tidaknya osteoporosis dapat dilakukan secara:2
· Radiologik
Gambaran radiologis foto polos dari osteoporosis sangat berhubungan
dengan perubahan patologi yang terjadi pada tulang. Kelainan radiologis yang
timbul ditandai dengan gambaran tulang yang menjadi lebih radiolusen, penipisan
dari korteks tulang, dan perubahan bentuk trabekula tulang. Kadang dapat disertai pula dengan gambaran
fraktur ataupun gambaran artritis.
· Radioisotop
· QCT (Quantitative
Computerised Tomography)
· MRI (Magnetic
Resonance Imaging)
· QUS (Quantitative
Ultrasound)
· Densitometer (X-ray
absorpmetry)
Sebuah alat bernama energi dual X-ray
(DEXA, biasanya disebut DXA) scan adalah jenis sinar-X yang mengukur jumlah
kalsium dalam tulang, sering disebut sebagai Bone Mineral Density (BMD). DXA
scan yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis dan untuk
menilai risiko osteoporosis berkembang. Alat ini juga dapat digunakan untuk
mendeteksi kelainan dan kondisi tulang lainnya, seperti osteopenia. Alat ini
merupakan cara yang cepat untuk mengukur kepadatan mineral tulang (BMD). Hal
ini lebih sensitif dari sinar-X yang normal ketika mengidentifikasi kepadatan
tulang yang rendah.
DXA (Bone Densitometry Scanner)
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing alat
pengukuran dapat dilihat pada Tabel. 2
Table 3. Keuntungan dan kerugian
teknik pengukuran densitas tulang dan laboratorium11
Metode
|
Keuntungan
|
Kerugian
|
SPA dan SXA
|
- Akurasi 95-98% untuk SXA pada tumit dan lengan bawah.
- Waktu scanning 5-15 menit.
- Dosis radiasi rendah (2-5 mrem)
|
- Precision error 1-2% untuk tumit dan lengan
bawah.
- Tidak akurat untuk pengukuran densitas masa
tulang pada tulang belakang dan panggul.
- Tidak sensitif untuk perubahan pada tulang
trabekular.
|
DPA
|
- Akurasi 90-97% utk tulang belakang.
- Dosis radiasi rendah (5-10 mrem).
- Dapat mengukur dibanyak tempat.
|
- Waktu skaning 20-45 menit.
- Precision error 1,1-3,7%.
- Menggunakan isotop radioaktif
- No longer being manufactured
|
DXA dan DEXA
|
- Metode yang paling banyak digunakan.
- Efikasi klinis established.
- Akurasi bervariasi antara 90-99% untuk DXA di
panggul, tulang belakang dan lengan bawah.
- Precision
error untuk tulang belakang
kecil, bervariasi antara 0,6%-1,5%.
- Dosis radiasi rendah (<5 mrem)
- Sensitivitas lateral DXA mendekati QCT.
|
- Precision
error bervariasi antara
1,2%-2,05 untuk panggul.
|
QCT
|
- Mengukur volume densitas tulang sebenarnya,
tidak hanya densitas masa tulang per unit area
- Mengukur secara terpisah tulang kortikal dan
trabekular.
- Akurasi antara 85-97% untuk QCT pada tulang
belakang.
- Memberikan gambaran 3 dimensi
|
- Dosis radiasi tinggi (100-1000 mrem) dibanding
metode lain
- Lebih mahal dibanding metode lain.
- Precision
error bervariasi antara 1-3%
(single energy) sampai 3-5% (dual energy).
- Kegunaan klinis untuk panggul belum nyata.
|
Broadband Ultrasound Attenuation (BUA)
|
- Mengukur integritas tulang trabekular
- Biaya rendah
- Menghindarkan radiasi ionisasi
- Dapat efektif untuk prediksi risiko fraktur pada
panggul independent of BMD.
|
- Tidak diakui FDA untuk digunakan sebagai alat
pengukuran densitas tulang.
|
Markers Biokimia
|
- Digunakan untuk menilai kecepatan turnover
tulang trabekular
- Efisiensi 50% dalam memprediksi kehilangan masa
tulang saat menopause
- Diakui FDA
-
American college of Obstetrics &Gynecology merekomendasikan untuk identifikasi penyebab
kehilangan densitas mineral tulang
- Tidak mahal
|
- Tidak terbukti efektif untuk memprediksi risiko
fraktur.
|
v Indikasi Bone densitometry
Densitas tulang saja tidak cukup untuk menjelaskan
peningkatan insidens fraktur panggul yang muncul dengan semakin meningkatnya
usia. Faktor lain, seperti elastisitas dan struktur tulang diperlukan dalam
kombinasi dengan densitas tulang untuk identifikasi wanita yang berisiko tinggi
untuk fraktur.9
Guideline indikasi bone densitometry dalam penilaian risiko fraktur yang dikeluarkan
oleh Catalan Agency for Health Technology
Assessment, Barcelona, menyatakan bahwa bone
densitometry diindikasikan pada pasien dengan:10
|
|
|
atau atau
High risk: faktor risiko memiliki hubungan dengan RR
fraktur ≥ 2; Moderate risk: faktor
risiko memiliki hubungan dengan RR fraktur antara 1 dan 2 kali lebih tinggi
(1<RR<2); No risk: faktor
risiko memiliki risk value mendekati
1 (null value 1), dan faktor risiko
dengan efek protektif (RR<1);Tidak dapat diklasifikasikan: faktor risiko
dimana hubungan dengan fraktur tidak dapat dijelaskan, baik karena kurangnya
informasi atau pertentangan.
- Bila tidak
terdapat faktor risiko, atau faktor yang ada tidak terdapat dalam tabel
berikut, atau bila pasien tidak akan mendapatkan pencegahan atau
pengobatan untuk menghindarkan insiden fraktur, bone densitometry tidak dikerjakan.
- Umumnya, interval minimum diantara pengukuran
bone mass harus lebih dari 2 tahun. Interval ini dapat lebih pendek bila
obat yang dapat meningkatkan massa tulang digunakan dan bila densitas
tulang dinilai di lumbal.
Table 3. Klasifikasi faktor risiko
fraktur dihubungkan dengan penurunan masa tulang10
High
Risk
|
Moderate
risk
|
No risk
|
Usia lanjut (>70-80 thn)
|
Jenis kelamin (perempuan)
|
Konsumsi kafein
|
Indeks Masa Tubuh rendah1 (IMT < 20-25 Kg/m2)
|
Merokok (perokok aktif)
|
Konsumsi teh
|
Kehilangan berat badan2
|
Kurangnya paparan terhadap sinar matahari (tidak ada atau kurang)
|
Menopause9
|
Inaktivitas fisik3
|
Riwayat keluarga dengan fraktur osteoporotik.6
|
Nulliparitas
|
Kortikoid (kecuali inhalasi atau dermik)
|
Menopause iatrogenik7
|
Minum fluoridated water
|
Antikonvulsivan
|
Menopause dini (<45 tahun)
|
Diuretik tiazid
|
Hiperparatiroid primer4
|
Periode fertile pendek (< 30 tahun)
|
|
Diabetes mellitus tipe 14
|
Menarche terlambat (>15 tahun)
|
|
Anoreksia nervosa4
|
Tidak menyusui
|
|
Gastrektomi4
|
Konsumsi kalsium rendah (<500-850 mg/day)8
|
|
Anemia pernisiosa4
|
Hiperparatiroid (N/S)
|
|
Fraktur osteoporotik sebelumnya5
|
Hipertiroid
|
|
Diabetes mellitus (tipe II o N/S)
|
||
Rheumatoid arthritis
|
National Osteoporosis Foundation (NOF)
merekomendasikan pengukuran densitas mineral tulang pada 4 keadaan:
1. Wanita dengan defisiensi estrogen
(hipoestrogenia), untuk diagnosis pasti masa tulang rendah sehingga dapat
diambil keputusan tentang penggunaan terapi sulih hormon.
2. Pasien dengan kelainan vertebra atau masa tulang
rendah berdasarkan pemeriksaan x-ray (roentgenographic
osteopenia), untuk diagnosis osteoporosis tulang belakang sehingga dapat
diambil keputusan untuk evaluasi diagnostik selanjutnya dan terapi.
3. Pasien yang mendapatkan kortikosteroid jangka
lama, untuk diagnosis masa tulang rendah sehingga dapat diberikan terapi yang
sesuai.
4. Pasien dengan hiperparatiroid primer asimptomatik,
untuk diagnosis masa tulang rendah sehingga dapat diidentifikasi mereka yang
berisiko untuk mendapat penyakit skeletal berat yang merupakan kandidat untuk
intervensi bedah.
American Association of Clinical Endocrinologists
(AACE) merekomendasikan bone densitometry
pada kasus berikut:
1. Untuk penilaian risiko pada wanita perimenopause
dan postmenopause yang peduli terhadap osteoporosis dan berkeinginan untuk
mendapat intervensi.
2. Pada wanita dengan pemeriksaan x-ray terlihat
adanya osteoporosis.
3. Pada wanita yang memulai atau mendapatkan terapi
glukokortikoid jangka lama, pemberian intervensi adalah pilihan.
4. Pada wanita perimenopause atau postmenopause
dengan hiperparatiroid primer asimptomatik, dimana skeletal loss merupakan akibat paratiroidektomi
5. Pada wanita dengan terapi osteoporosis, sebagai
alat untuk monitoring respon pengobatan.
v Bone densitometry untuk
Skrining Osteoporosis
Pelaksanaan program intervensi atau skrining osteoporosis harus berdasarkan
evidence kegunaan klinisnya, baik sebagai alat diagnostik (memberikan informasi
tentang jumlah masa tulang pada tempat yang diukur) maupun sebagai alat
prognostik (kemampuan memprediksi fraktur osteoporotik/non traumatik).
Namun, World Health Organization (WHO), merekomendasikan skrining untuk
wanita yang berada dalam 5 tahun menopause untuk menentukan risiko dan
pemberian intervensi. Pemeriksaan tidak perlu dilakukan untuk wanita yang
menggunakan terapi sulih hormon jangka panjang maupun untuk skrining bila hasil
dari pemeriksaan tidak akan merubah keputusan (menerima atau menolak)
pengobatan. Untuk wanita yang diidentifikasi memeliki risiko sedang, diperlukan
pemeriksaan lain beberapa tahun kemudian dapat berguna.
II.7.
PENCEGAHAN DAN TREATMENT
Terapi dan pengobatan osteoporosis bertujuan untuk meningkatkan kepadatan tulang untuk mengurangi retak tambahan
dan mengontrol rasa sakit.
Wanita yang
mendekati usia menopause sebaiknya mengkonsumsi makanan atau suplemen yang cukup mengandung kalsium dan vitamin D, tetap berakitifitas dan mengurangi konsumsi
rokok atau alcohol. Jika diperlukan dapat meminum suplemen kalsium dan vitamin
D.
Penggunaan
hormonal sebagai terapi (oestrogen hormonal therapy) adalah metode yang
paling efektif untuk mempertahankan kepadatan tulang dan menurunkan resiko
fraktur postmenapause. Beberapa terapi lain yang dapat digunakan yaitu biofosfonat,
kalsitonin dan fluoride.
Semua wanita,
terutama yang menderita osteoporosis, harus mengkonsumsi kalsium dan vitamin D
dalam jumlah yang mencukupi. Wanita pasca menopause yang menderita
osteoporosis juga bisa mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan progesteron)
atau alendronat (golongan bifosfonat) yang bisa memperlambat atau menghentikan
penyakitnya.
Pria yang
menderita osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan tambahan vitamin D,
terutama jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap
kalsium dalam jumlah yang mencukupi.Jika kadar testosteronnya rendah, bisa
diberikan testosteron.
Adequate
Calcium Intake
|
||
Life Stage Group
|
Estimated Adequate
Daily
Calcium Intake,
mg/d
|
|
Young Children (1-3
years)
|
500
|
|
Older children (4-8
years)
|
800
|
|
Adolescents and young
adults (9-18 years)
|
1300
|
|
Men and women (19-50
years)
|
1000
|
|
Men and women (51 and
older)
|
1200
|
|
NOTE: Pregnancy and
lactation needs are the same as for nonpregnant women (e.g., 1300 mg/d for
adolescents/young adult and 1000 mg/d for ³19 years.)
|
||
BAB
III
KESIMPULAN
Osteoporosis merupakan
suatu keadaan penurunan
massa tulang yang menyebabkan fraktur traumatik atau atraumatik. Osteoporosis merupakan masalah besar pada perawatan kesehatan karena beratnya
konsekuensi fraktur pada pasien dan sistem perawatan kesehatan.1
Masalah osteoporosis di Indonesia
dihubungkan dengan masalah hormonal pada menopause.Menopause lebih cepat dicapai wanita Indonesia
pada usia 48 tahun dibandingkan wanita barat yaitu usia 60 tahun. Mulai
berkurangnya paparan terhadap sinar matahari. Kurangnya asupan kalsium.
Perubahan gaya hidup seperti merokok, alkohol dan berkurangnya latihan fisik.
Penggunaan obat-obatan steroid jangka panjang. Serta risiko osteoporosis tanpa
gejala klinis yang menyertainya. Manifestasi klinis yang utama adalah fraktur vertebra dan panggul.
Terapi
dan pengobatan osteoporosis bertujuan untuk
meningkatkan kepadatan tulang untuk mengurangi retak tambahan dan mengontrol
rasa sakit.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Consensus
development conference: diagnosis, prophylaxis, and treatment of osteoporosis. Am
J Med 1993;94:646-50.
2.
Rasjad, Chairuddin (1998).
Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Penerbit Bintang Laumpatue. Ujung Pandang
3.
Rahman I.
Pidato pengukuhan guru besar tetap Ilmu Obstetri dan ginekologi. Jakarta 5 Juni
2004.
4.
Roeshadi J.
Angka kejadian fraktur hip, vertebrae dan wrist di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
tahun 2001-2005.
5.
Scottish
Intercolligiate Guideline Network.Management of osteoporosis, a national
clinical guideline. June 2003
6.
Densitometry
as a diagnostic tool for the identification and treatment of osteoporosis in
women:ICSI Report, Jan2000
7.
Agency for Healthcare Research
and Quality (AHRQ):
8.
Delman PD,
Erstell R, Garner P et al. The use of biomedical marker of bone turn-over,
Osteoporosis Int, 2000;(Suppl 6):
9.
2002 Clinical
practice guidelines 4 the dx and management of osteopor in canada, CMAJ
10. Espallargues M, Estrada MD, Solà M, Sampietro-Colom
L, Rìo LD, Granados A. Bone densitometry in Catalonia, diffusion and practice.
Catalan Agency for Health Technology Assessment, Barcelona 1999.
11. Rusult from the National Osteoporosis Risk
Assessment.Identification anda fractur outcomes.JAMA 2001;286:2815-2822
No comments:
Post a Comment