"A Man can't make a mistake can't make anything"

Thursday 4 October 2012

DEFINISI,DIAGNOSA DAN PENANGANAN OSTEOPOROSIS


BAB I
PENDAHULUAN


Osteoporosis merupakan suatu keadaan penurunan massa tulang yang menyebabkan fraktur traumatik atau atraumatik. Osteoporosis merupakan masalah besar pada perawatan kesehatan karena beratnya konsekuensi fraktur pada pasien dan sistem perawatan kesehatan.1
Masalah osteoporosis di Indonesia dihubungkan dengan masalah hormonal pada menopause. Menopause lebih cepat dicapai wanita Indonesia pada usia 48 tahun dibandingkan wanita barat yaitu usia 60 tahun. Mulai berkurangnya paparan terhadap sinar matahari. Kurangnya asupan kalsium. Perubahan gaya hidup seperti merokok, alkohol dan berkurangnya latihan fisik. Penggunaan obat-obatan steroid jangka panjang. Serta risiko osteoporosis tanpa gejala klinis yang menyertainya.
Pada tulang normal selalu terjadi proses pembentukan dan penipisan tulang secara terus menerus. Hal ini bertujuan untuk menjaga massa tulang agar tidak terlalu berat sehingga tidak menganggu proses pergerakan. Seperti saya sebutkan diatas, pada osteoporosis, proses pembentukan tidak terjadi sementara proses penipisan berlangsung terus menerus.
Tulang yang tipis akan sangat lemah dan mudah patah dengan benturan yang ringan sekalipun. Pada tulang normal, benturan ini tidak akan menyebabkan apa apa, sementara pada penderita osteoporosis menyebabkan patah tulang yang parah. Hampir semua tulang mengalami hal ini termasuk tulang rusuk, panggul dan pergelangan tangan.











BAB II
OSTEOPOROSIS

II.1. DEFINISI
Berasal dari bahasa Latin, osteoporosis secara harfiah berarti tulang keropos, yang melibatkan baik mineral (anorganik) dan non-mineral (organik matriks) komponen tulang.
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang progresif dimana jaringan mineral tulang dalam keadaan normal, tetapi jumlah tulang berkurang dan integritas struktural tulang trabecular terganggu, menjadi lebih rapuh. Cortical tulang menjadi lebih keropos dan tipis. Sementara tulang yang lebih kecil belum tentu lebih rentan terhadap kerusakan, tulang yang bersifat lebih tipis dan rapuh lebih rentan terhadap fracture. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (thief in the night).


Osteoporosis didefinisikan sebagai penurunan massa tulang yang dapat ditandai dengan adanya fraktur. Menurut WHO osteoporosis merupakan penurunan massa tulang 2,5 SD dibawah rata-rata orang dewasa normal dengan ras dan jenis kelamin yang sama.

II.2. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia data yang pasti mengenai jumlah osteoporosis belum ditemukan. Data retrospektif osteoporosis yang dikumpulkan di UPT Makmal Terpadu Imunoendokrinologi, FKUI dari 1690 kasus osteoporosis, ternyata yagn pernah mengalami patah tulang femur dan radius sebanyak 249 kasus (14,7%).3



 Demikian pula angka kejadian pada fraktur hip, tulang belakang dan wrist di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2001-2005, meliputi 49 dari total 83 kasus fraktur hip pada wanita usia >60 tahun. Terdapat 8 dari 36 kasus fraktur tulang belakang dan terdapat 53 dari 173 kasus fraktur wrist.  Dimana sebagian besar terjadi pada wanita >60 tahun dan disebabkan oleh kecelakaan rumah tangga.4
Di amerika serikat sebanyak 8 juta wanita dan 2 juta pria menderita osteoporosis dan sebagai tambahan 18 juta orang memiliki level massa tulang yang berisiko menjadi osteoporosis. Osteoporosis meningkat sejalan dengan penambahan usia dimana massa tulang secara progresif mengalami penurunan. Pada wanita penurunan fungsi ovarium pada menopause ( rata-rata pada usia 50 tahun) menjadi faktor presipitasi penurunan massa tulang yang cepat yang akan memberikan gejala osteoporosis pada usia 70-80 tahun. 1 dari 3 wanita dan 1 dari 5 pria di atas usia 50 tahun akan mengalami patah akibat osteoporosis.

II.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG
Tulang adalah suatu jaringan dinamik yang  mengalami perubahan bentuk selama hidup. Pengaturan pada tulang padat dan berongga memberikan kombinasi kekuatan dan kepadatan yang sesuai untuk mobilitas. Selain itu, tulang merupakan deposit untuk kalsium, magnesium, fosfor, natrium dan ion lain yang diperlukan untuk menyokong fungsi homeostasis. Tulang banyak mengandung pembuluh darah dan menerima sekitar 10 % dari curah jantung.
Tulang rangka terdiri dari bagian trabekular (20%) dan bagian padat (80%). Trabekula tulang merupakan bagian tulang yang dikelilingi korteks, berupa jalinan longitudinal dan tranversal yang rentan terhadap tekanan. Korteks tulang merupakan bagian tulang yang padat, dibungkus periosteum di bagian luar, berasal dari jaringan ikat mesenkim yang dapat memproduksi tulang. Sel yang berasal dari mesenkim, osteoblast, mensintesis dan mensekresi matriks organik, lalu dikelilingi oleh matriks  menjadi osteosit. Resorpsi tulang terutama dilakukan oleh osteoklas. Daerah resorpsi ditandai oleh susunan yang tidak teratur dan adanya osteoklas. Massa tulang akan menurun kecuali jika pembentukan mengkompensasikan resorpsi. 
Schematic representation of the hormonal control loop for vitamin D metabolism and function. A reduction in the serum calcium level below ~2.2 mmol/L (8.8 mg/dL) prompts a proportional increase in the secretion of parathyroid hormone (PTH) and so mobilizes additional calcium from the bone. PTH promotes the synthesis of 1,25(OH)2D in the kidney, which, in turn, stimulates the mobilization of calcium from bone and intestine and regulates the synthesis of PTH by negative feedback.

Perubahan fisiologi akibat penyakit metabolik tulang bervariasi, termasuk homeostasis kalsium dan fosfor, serta efek osteotrofik hormon paratiroid, kalsitonin dan vitamin D. Vitamin lainnya (terutama A dan C) juga mempunyai efek terhadap tulang rangka. Selain itu, kelenjar endokrin tertentu berperan penting dalam mineralisasi dan perkembangan struktur tulang. Peran yang paling penting dipegang oleh  kelenjar hipotalamus, tiroid, paratiroid, adrenal dan gonad. Zat eksogen seperti kortikosteroid, fluorida dan logam berat juga mempengaruhi metabolisme jaringan tulang.

II.4. Patofisiologi

1.Bone remodelling

Osteoporosis terjadi akibat hilangnya massa tulang berkaitan dengan bone remodelling akibat penambahan usia yang juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik yang mempercepat proses ini. Pertambahan ukuran tulang secara linier dan lapisan kortek dinamakan modelling, proses ini yang memungkinkan tulang panjang untuk menahan beban. Peningkatan hormon sex pada saat pubertas diperlukan untuk pematangan tulang, yang akan mencapai maksimum saat dewasa muda.
Bone remodelling memiliki dua fungsi utama (1) memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil (2) mensuplai calcium untuk tulang yang kemudian akan menjaga konsentrasi serum calcium.
Bone remodelling juga diatur oleh beberapa hormon antara lain estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon paratiroid (PTH).
Faktor lain yang juga mempengaruhi bone remodelling adalah nutrisi dan aktifitas fisik.
Hasil akhir dari remodelling ini adalah keseimbangan antara penghancuran dan pembentukan massa tulang, pada usia 30-45 tahun keseimbangan ini mulai terganggu, usia dan lokasi awal ketidakseimbangan antara penghancuran dan pembentukan massa tulang bervariasi antar individu. Proses ini akan diperberat pada wanita yang mengalami menopause. Kehilangan massa tulang juga dapat dipengaruhi oleh peningkatan aktifitas osteoclas dan penurunan aktifitas osteoblas.

Mechanism of bone remodeling. The basic molecular unit (BMU) moves along the trabecular surface at a rate of about 10 um/day. The figure depicts remodeling over ~120 days. A. Origination of BMU-lining cells contract to expose collagen and attract preosteoclasts. B. Osteoclasts fuse into multinucleated cells that resorb a cavity. Mononuclear cells continue resorption and preosteoblasts are stimulated to proliferate. C. Osteoblasts align at bottom of cavity and start forming osteoid (black). D. Osteoblasts continue formation and mineralization. Previous osteoid starts to mineralize (horizontal lines). E. Osteoblasts begin to flatten. F. Osteoblasts turn into lining cells; bone remodeling at initial surface (left of drawing) is now complete, but BMU is still advancing (to the right).[Adapted from: SM Ott, in JP Bilezikian et al (eds): Principles of Bone Biology, vol. 18. San Diego, Academic Press, 1996, pp 231-241.]

Schematic representation of bone remodeling. The cycle of bone remodeling is carried out by the basic multicellular unit (BMU), comprising a group of osteoclasts and osteoblasts. In cortical bone, the BMUs tunnel through the tissue, whereas in cancellous bone, they move across the trabecular surface. The process of bone remodeling is initiated by contraction of the lining cells and the recruitment of osteoclast precursors. These precursors fuse to form multinucleated, active osteoclasts that mediate bone resorption. Osteoclasts adhere to bone and subsequently remove it by acidification and proteolytic digestion. As the BMU advances, osteoclasts leave the resorption site and osteoblasts move in to cover the excavated area and begin the process of new bone formation by secreting osteoid, which is eventually mineralized into new bone. After osteoid mineralization, osteoblasts flatten and form a layer of lining cells over new bone.

2. Nutrisi kalsium
Puncak pertumbuhan massa tulang juga dipengaruhi oleh konsumsi kalsium pada saat pertumbuhan, apabila defisiensi kalsium terjadi saat dewasa maka akan menginduksi hiperparatiroid sekunder dan peningkatan proses remodelling yang ditujukan untuk menjaga agar serum kalsium tetap berada pada batas normal. PTH menstimulasi hidroksilasi vitamin D di ginjal yang kemudian akan menyebabkan peningkatan 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(OH)2, pengambilan kalsium dari massa tulang dan    peningkatan absorbsi kalsium dari saluran cerna, proses ini dapat menjaga kestabilan serum kalsium dalam waktu singkat namun apabila proses ini berlanjut terus menerus dapat menyebabkan depresi tulang

Calcium homeostasis. Schematic illustration of calcium content of extracellular fluid (ECF) and bone as well as of diet and feces; magnitude of calcium flux per day as calculated by various methods is shown at sites of transport in intestine, kidney, and bone. Ranges of values shown are approximate and chosen to illustrate certain points discussed in text. In conditions of calcium balance, rates of calcium release from and uptake into bone are equal.

3. Vitamin D
Defisiensi vitaminD (< 20 ng/ml) menyebabkan terjadinya hiperparatiroid yang akan meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis dan fraktur.
4. Estrogen
Defisiensi estrogen dapat menyebabkan penurunan massa tulang dengan dua mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan (1) aktifasi dari bone remodelling (2) ketidakseimbangan antara formasi dan resorbsi tulang. Perubahan frekuensi aktivasi menyebabkan kehilangan massa tulang transien sampai tercapainya keseimbangan resorbsi yang baru. Ketidakseimbangan remodelling menimbulkan penurunan massa permanen yang hanya dapat dikoreksi melalui masa remodelling. Penurunan fungsi estrogen yang biasanya muncul pada masa menopause. Mekanisme terjadinya penurunan massa tulang pada keadaan defisiensi estrogen adalah karena terjadi peningkatan aktivitas osteoklas, sebaliknya aktivitas osteoblas menurun. Jenis fraktur yang tersering adalah fraktur vertebrae.


Steroid actions and interactions with growth factors/cytokines in bone cells at bone resorption and formation sites. Estrogen inhibits osteoclasts (OCL), cells that mediate bone resorption; estrogen stimulates osteoblasts (OB), cells that mediate bone formation. OBs produce many growth factors and cytokines that mediate estrogen action, some of which regulate the OCL indirectly. Estrogen deficiency stimulates OB production of IL-1, IL-6, and TNFa ( and inhibits apoptosis and extends the life span of OCLs. Estrogen deficiency decreases IL-1ra leading to enhanced OCL sensitivity to IL-1. Estrogen deficiency also decreases production of TGF-b and OPG-L, factors that mediate osteoclast apoptosis. Solid lines indicate well-documented pathways. Dashed lines indicate less well defined pathways. ER, estrogen receptor; AR, androgen receptor; OPG, osteoprotegerin; OPG-L, osteoprotegerin-ligand; IL, interleukin; IL-1ra, interleukin 1 receptor antagonist; TGF-b, transforming growth factor b; TNFa, tumor necrosis factor a. (Adapted from TC Spelsberg et al: Mol Endocrinol 13:819, 1999.)


5. Aktivitas fisik
Pada bed rest lama atau parilis terjadi penurunan massa tulang, sebaliknya pada atlit massa tulangnya lebih padat dibandingkan rata-rata. Namun peningkatan massa tulang yang distimulasi aktivitas fisik lebih dominana saat sebelum pubertas
6. Medikasi
Banyak obat-obatan medikasi yang mempengaruhi massa tulang. Yang paling sering adalah glukokortikoid, obat-obat lain seperti anti konvulsan, siklosporin dan tacrolimus juga berpengaruh pada penurunan massa tulang.

7. Merokok
Efek merokok terhadap penurunan massa tulang melalui efek toksik nikotin terhadap osteoblasdan merubah metabolisme.

 II.5. KLASIFIKASI

1.      Osteoporosis primer: dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Dihubungkan dengan faktor resiko meliputi merokok, aktifitas, pubertas tertunda, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih/asia, riwayat keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah (Kaltenborn, 1992).6

a.       Tipe I (post manopausal):
      Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (53-75 tahun). Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’ fraktur, dan berkurangnya gigi geligi (Riggs & Melton,1986). Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut. Dimana jaringan terabekular lebih responsif terhadap defisiensi estrogen (Kaltenborn, 1992).6

b.      Tipe II (senile):
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge (Riggs & Melton,1986). Hilangnya massa tulang kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut.6

2.      Osteoporosis sekunder: dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Penyebabnya meliputi ekses kortikosteroid, hipertirodisme, multipel mieloma, malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetik, dan obat-obatan. (Kaltenborn, 1992)6





Tabel. 1
Penyebab Osteoporosis Sekunder pada Dewasa5
Penyakit endokrin


metabolisme

or
Keadaan

kollagen

Penyebab metabolik
Malnutrisi
Obat-obatan
abnormal
Lain-lain
Hipogonadisme
Malabsorbsi
Keracunan Vit D
Osteogenesis imperfecta
Arthritis Reumatoid
Hiperadrenokortisme
Sindrome malnutrisi
Phenytoin
Homosistinuria due
to cystathionine
Myeloma & Ca



deficiency

Tirotoksikosis
Peny. Hati kronik
Glukokortikoid
Sindrome Ehlers-Danlos
Immobilisasi
Anorexia nervosa
Operasi lambung
Phenobarbital
sindrom Marfan
asidosis tubulus ginjal
Hiperprolaktinemia
Defisiensi Vit D
Terapi tiroid  be>

Thalassemia
Porphyria
Defisiensi kalsium
 Heparin

Mastositosis
Hipophosphatasia
Alkoholisme
Gonadotropin-

Hiperkalsiuria
(dewasa)

releasing hormone

COPD
DM tipe 1

antagonists

transplantasi Organ
Kehamilan



Cholestatis liver
Hiperparatiroid




Akromegali




*COPD = penyakit obstruksi paru kronik




II.6. DIAGNOSIS

Sebagai thief in the night--pencuri malam hari, osteoporosis tidak memiliki keluhan spesifik. Keluhan akan dirasakan bila tulang sudah mengalami fraktur yang akan menyebabkan rasa nyeri, deformitas, serta gangguan fungsi. Anamnesis terperinci tentang faktor risiko yang mungkin dimiliki pasien sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Analisis faktor risiko ini penting untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan densitas mineral tulang (BMD) yang merupakan modalitas diagnosis yang utama dalam menegakkan diagnosis.

Beberapa faktor yang meningkatkan risiko penurunan densitas tulang dan fraktur-osteoporosis pada wanita post menopause meliputi peningkatan usia, ras kulit putih, berat badan rendah atau penurunan berat badan, tanpa terapi pengganti estrogen, riwayat fraktur sebelumnya, riwayat keluarga dengan fraktur, riwayat terjatuh dan skor rendah pada satu atau lebih pemeriksaan aktifitas atau fungsi fisik. Faktor lain yang kurang berpengaruh berdasarkan studi tapi juga memiliki hubungan yang signifikan dengan densitas tulang dan fraktur. Meliputi merokok, penggunaan alkohol, kopi, asupan rendah kalsium dan vitamin D serta pengguna kortikosteroid. Risiko relatif beberapa faktor risiko sebanding dengan perbedaan 1 SD densitas tulang. Prediksi untuk densitas tulang rendah dan fraktur adalah sama kecuali yang spesifik berkaitan dengan jatuh. Sebagian besar faktor risiko berhubungan signifikan pada populasi dan ras yang berbeda. Faktor risiko sesuai untuk tiap tempat fraktur yang berbeda kecuali fraktur karena jatuh memiliki faktor risiko fungsional tambahan.7

Penilaian osteoporosis secara laboratorik dilakukan dengan melihat petanda biokimia untuk osteoblas, yaitu osteokalsin, prokolagen I peptida dan alkali fosfatase total serum. Petanda kimia untuk osteoklas: dioksipiridinolin (D-pyr), piridinolin (Pyr) Tartate Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalsium urin, hidroksisiprolin dan hidroksi glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang dilakukan secara histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas dan osteoklas secara langsung. Namun pemeriksaan di atas biayanya masih mahal.3,8

Penilaian langsung densitas tulang untuk mengetahui ada/tidaknya osteoporosis dapat dilakukan secara:2
·      Radiologik
Gambaran radiologis foto polos dari osteoporosis sangat berhubungan dengan perubahan patologi yang terjadi pada tulang. Kelainan radiologis yang timbul ditandai dengan gambaran tulang yang menjadi lebih radiolusen, penipisan dari korteks tulang, dan perubahan bentuk trabekula tulang. Kadang dapat disertai pula dengan gambaran fraktur ataupun gambaran artritis.
·      Radioisotop
·      QCT (Quantitative Computerised Tomography)
·      MRI (Magnetic Resonance Imaging)
·      QUS (Quantitative Ultrasound)

·      Densitometer (X-ray absorpmetry)

Sebuah alat bernama energi dual X-ray (DEXA, biasanya disebut DXA) scan adalah jenis sinar-X yang mengukur jumlah kalsium dalam tulang, sering disebut sebagai Bone Mineral Density (BMD). DXA scan yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis dan untuk menilai risiko osteoporosis berkembang. Alat ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan dan kondisi tulang lainnya, seperti osteopenia. Alat ini merupakan cara yang cepat untuk mengukur kepadatan mineral tulang (BMD). Hal ini lebih sensitif dari sinar-X yang normal ketika mengidentifikasi kepadatan tulang yang rendah.

DXA (Bone Densitometry Scanner)

Keuntungan dan kerugian dari masing-masing alat pengukuran dapat dilihat pada Tabel. 2
Table 3. Keuntungan dan kerugian teknik pengukuran densitas tulang dan laboratorium11

Metode
Keuntungan
Kerugian
SPA dan SXA
-   Akurasi 95-98% untuk SXA   pada tumit dan lengan bawah. 
-   Waktu scanning 5-15 menit.
-   Dosis radiasi rendah (2-5 mrem)


-   Precision error 1-2% untuk tumit dan lengan bawah.
-   Tidak akurat untuk pengukuran densitas masa tulang pada tulang belakang dan panggul.
-   Tidak sensitif untuk perubahan pada tulang trabekular.

DPA
-   Akurasi 90-97% utk tulang belakang.
-   Dosis radiasi rendah (5-10 mrem).
-   Dapat mengukur dibanyak tempat.

-   Waktu skaning 20-45 menit.
-   Precision error 1,1-3,7%.
-   Menggunakan isotop radioaktif
-   No longer being manufactured

DXA dan DEXA
-   Metode yang paling banyak digunakan.
-   Efikasi klinis established.
-   Akurasi bervariasi antara 90-99% untuk DXA di panggul, tulang belakang dan lengan bawah.
-   Precision error untuk tulang belakang kecil, bervariasi antara 0,6%-1,5%.
-   Dosis radiasi rendah (<5 mrem)
-   Sensitivitas lateral DXA mendekati QCT.

-   Precision error bervariasi antara 1,2%-2,05 untuk panggul.

QCT
-   Mengukur volume densitas tulang sebenarnya, tidak hanya densitas masa tulang per unit area
-   Mengukur secara terpisah tulang kortikal dan trabekular.
-   Akurasi antara 85-97% untuk QCT pada tulang belakang.
-   Memberikan gambaran 3 dimensi
-   Dosis radiasi tinggi (100-1000 mrem) dibanding metode lain
-   Lebih mahal dibanding metode lain.
-   Precision error bervariasi antara 1-3% (single energy) sampai 3-5% (dual energy).
-   Kegunaan klinis untuk panggul belum nyata.
Broadband Ultrasound Attenuation (BUA)
-   Mengukur integritas tulang trabekular
-   Biaya rendah
-   Menghindarkan radiasi ionisasi
-   Dapat efektif untuk prediksi risiko fraktur pada panggul independent of BMD.

-   Tidak diakui FDA untuk digunakan sebagai alat pengukuran densitas tulang.

Markers Biokimia
-   Digunakan untuk menilai kecepatan turnover tulang trabekular
-   Efisiensi 50% dalam memprediksi kehilangan masa tulang saat menopause
-   Diakui FDA
-   American college of Obstetrics &Gynecology merekomendasikan untuk identifikasi penyebab kehilangan densitas mineral tulang
-   Tidak mahal

-   Tidak terbukti efektif untuk memprediksi risiko fraktur.

        

v  Indikasi Bone densitometry


Densitas tulang saja tidak cukup untuk menjelaskan peningkatan insidens fraktur panggul yang muncul dengan semakin meningkatnya usia. Faktor lain, seperti elastisitas dan struktur tulang diperlukan dalam kombinasi dengan densitas tulang untuk identifikasi wanita yang berisiko tinggi untuk fraktur.9

Guideline indikasi bone densitometry dalam penilaian risiko fraktur yang dikeluarkan oleh Catalan Agency for Health Technology Assessment, Barcelona, menyatakan bahwa bone densitometry diindikasikan pada pasien dengan:10


2 atau lebih high risk faktor risiko (FR)
 

4 atau lebih moderate risk FR
 

1 atau lebih high risk FR + 2 atau lebih moderate risk FR
 
 


atau                                         atau

High risk: faktor risiko memiliki hubungan dengan RR fraktur ≥ 2; Moderate risk: faktor risiko memiliki hubungan dengan RR fraktur antara 1 dan 2 kali lebih tinggi (1<RR<2); No risk: faktor risiko memiliki risk value mendekati 1 (null value 1), dan faktor risiko dengan efek protektif (RR<1);Tidak dapat diklasifikasikan: faktor risiko dimana hubungan dengan fraktur tidak dapat dijelaskan, baik karena kurangnya informasi atau pertentangan.

  • Bila tidak terdapat faktor risiko, atau faktor yang ada tidak terdapat dalam tabel berikut, atau bila pasien tidak akan mendapatkan pencegahan atau pengobatan untuk menghindarkan insiden fraktur, bone densitometry tidak dikerjakan.
  • Umumnya, interval minimum diantara pengukuran bone mass harus lebih dari 2 tahun. Interval ini dapat lebih pendek bila obat yang dapat meningkatkan massa tulang digunakan dan bila densitas tulang dinilai di lumbal.

Table 3. Klasifikasi faktor risiko fraktur dihubungkan dengan penurunan masa tulang10


High Risk
Moderate risk

No risk

Usia lanjut (>70-80 thn)
Jenis kelamin (perempuan)
Konsumsi kafein
Indeks Masa Tubuh rendah1 (IMT < 20-25 Kg/m2)
Merokok (perokok aktif)
Konsumsi teh
Kehilangan berat badan2
Kurangnya paparan terhadap sinar matahari (tidak ada atau kurang)
Menopause9
Inaktivitas fisik3
Riwayat keluarga dengan fraktur osteoporotik.6
Nulliparitas
Kortikoid (kecuali inhalasi atau dermik)
Menopause iatrogenik7
Minum fluoridated water
Antikonvulsivan
Menopause dini (<45 tahun)
Diuretik tiazid
Hiperparatiroid primer4
Periode fertile pendek (< 30 tahun)

Diabetes mellitus tipe 14
Menarche terlambat (>15 tahun)

Anoreksia nervosa4
Tidak menyusui

Gastrektomi4
Konsumsi kalsium rendah (<500-850 mg/day)8

Anemia pernisiosa4
Hiperparatiroid (N/S)

Fraktur osteoporotik sebelumnya5
Hipertiroid


Diabetes mellitus (tipe II o N/S)


Rheumatoid arthritis


National Osteoporosis Foundation (NOF) merekomendasikan pengukuran densitas mineral tulang pada 4 keadaan:

1.      Wanita dengan defisiensi estrogen (hipoestrogenia), untuk diagnosis pasti masa tulang rendah sehingga dapat diambil keputusan tentang penggunaan terapi sulih hormon.
2.      Pasien dengan kelainan vertebra atau masa tulang rendah berdasarkan pemeriksaan x-ray (roentgenographic osteopenia), untuk diagnosis osteoporosis tulang belakang sehingga dapat diambil keputusan untuk evaluasi diagnostik selanjutnya dan terapi.
3.      Pasien yang mendapatkan kortikosteroid jangka lama, untuk diagnosis masa tulang rendah sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai.
4.      Pasien dengan hiperparatiroid primer asimptomatik, untuk diagnosis masa tulang rendah sehingga dapat diidentifikasi mereka yang berisiko untuk mendapat penyakit skeletal berat yang merupakan kandidat untuk intervensi bedah.

American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) merekomendasikan bone densitometry pada kasus berikut:

1.      Untuk penilaian risiko pada wanita perimenopause dan postmenopause yang peduli terhadap osteoporosis dan berkeinginan untuk mendapat intervensi.
2.      Pada wanita dengan pemeriksaan x-ray terlihat adanya osteoporosis.
3.      Pada wanita yang memulai atau mendapatkan terapi glukokortikoid jangka lama, pemberian intervensi adalah pilihan.
4.      Pada wanita perimenopause atau postmenopause dengan hiperparatiroid primer asimptomatik, dimana skeletal loss merupakan akibat paratiroidektomi
5.      Pada wanita dengan terapi osteoporosis, sebagai alat untuk monitoring respon pengobatan.
v  Bone densitometry untuk Skrining Osteoporosis
Pelaksanaan program intervensi atau skrining osteoporosis harus berdasarkan evidence kegunaan klinisnya, baik sebagai alat diagnostik (memberikan informasi tentang jumlah masa tulang pada tempat yang diukur) maupun sebagai alat prognostik (kemampuan memprediksi fraktur osteoporotik/non traumatik).

Namun, World Health Organization (WHO), merekomendasikan skrining untuk wanita yang berada dalam 5 tahun menopause untuk menentukan risiko dan pemberian intervensi. Pemeriksaan tidak perlu dilakukan untuk wanita yang menggunakan terapi sulih hormon jangka panjang maupun untuk skrining bila hasil dari pemeriksaan tidak akan merubah keputusan (menerima atau menolak) pengobatan. Untuk wanita yang diidentifikasi memeliki risiko sedang, diperlukan pemeriksaan lain beberapa tahun kemudian dapat berguna.


II.7. PENCEGAHAN DAN TREATMENT
            Terapi dan pengobatan osteoporosis bertujuan untuk meningkatkan kepadatan tulang untuk mengurangi retak tambahan dan mengontrol rasa sakit.
Wanita yang mendekati usia menopause sebaiknya mengkonsumsi makanan atau suplemen  yang cukup mengandung  kalsium dan vitamin D,  tetap berakitifitas dan mengurangi konsumsi rokok atau alcohol. Jika diperlukan dapat meminum suplemen kalsium dan vitamin D.
Penggunaan hormonal sebagai terapi (oestrogen hormonal therapy) adalah metode yang paling efektif untuk mempertahankan kepadatan tulang dan menurunkan resiko fraktur postmenapause. Beberapa terapi lain yang dapat digunakan yaitu biofosfonat, kalsitonin dan fluoride.
Semua wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus mengkonsumsi kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi. Wanita pasca menopause yang menderita osteoporosis juga bisa mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan progesteron) atau alendronat (golongan bifosfonat) yang bisa memperlambat atau menghentikan penyakitnya.
Pria yang menderita osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan tambahan vitamin D, terutama jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap kalsium dalam jumlah yang mencukupi.Jika kadar testosteronnya rendah, bisa diberikan testosteron.

Adequate Calcium Intake

Life Stage Group
Estimated Adequate Daily
Calcium Intake, mg/d

Young Children (1-3 years)
500

Older children (4-8 years)
800

Adolescents and young adults (9-18 years)
1300

Men and women (19-50 years)
1000

Men and women (51 and older)
1200

NOTE: Pregnancy and lactation needs are the same as for nonpregnant women (e.g., 1300 mg/d for adolescents/young adult and 1000 mg/d for ³19 years.)




















BAB III
KESIMPULAN

Osteoporosis merupakan suatu keadaan penurunan massa tulang yang menyebabkan fraktur traumatik atau atraumatik. Osteoporosis merupakan masalah besar pada perawatan kesehatan karena beratnya konsekuensi fraktur pada pasien dan sistem perawatan kesehatan.1
           Masalah osteoporosis di Indonesia dihubungkan dengan masalah hormonal pada menopause.Menopause lebih cepat dicapai wanita Indonesia pada usia 48 tahun dibandingkan wanita barat yaitu usia 60 tahun. Mulai berkurangnya paparan terhadap sinar matahari. Kurangnya asupan kalsium. Perubahan gaya hidup seperti merokok, alkohol dan berkurangnya latihan fisik. Penggunaan obat-obatan steroid jangka panjang. Serta risiko osteoporosis tanpa gejala klinis yang menyertainya. Manifestasi klinis yang utama adalah fraktur vertebra dan panggul.
Terapi dan pengobatan osteoporosis bertujuan untuk meningkatkan kepadatan tulang untuk mengurangi retak tambahan dan mengontrol rasa sakit.
















DAFTAR PUSTAKA

1.          Consensus development conference: diagnosis, prophylaxis, and treatment of osteoporosis. Am J Med 1993;94:646-50.
2.          Rasjad, Chairuddin (1998). Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Penerbit Bintang Laumpatue. Ujung Pandang
3.          Rahman I. Pidato pengukuhan guru besar tetap Ilmu Obstetri dan ginekologi. Jakarta 5 Juni 2004.
4.          Roeshadi J. Angka kejadian fraktur hip, vertebrae dan wrist di RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2001-2005.
5.          Scottish Intercolligiate Guideline Network.Management of osteoporosis, a national clinical guideline. June 2003
6.          Densitometry as a diagnostic tool for the identification and treatment of osteoporosis in women:ICSI Report, Jan2000
7.          Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ):
8.          Delman PD, Erstell R, Garner P et al. The use of biomedical marker of bone turn-over, Osteoporosis Int, 2000;(Suppl 6):
9.          2002 Clinical practice guidelines 4 the dx and management of osteopor in canada, CMAJ
10.      Espallargues M, Estrada MD, Solà M, Sampietro-Colom L, Rìo LD, Granados A. Bone densitometry in Catalonia, diffusion and practice. Catalan Agency for Health Technology Assessment, Barcelona 1999.
11.      Rusult from the National Osteoporosis Risk Assessment.Identification anda fractur outcomes.JAMA 2001;286:2815-2822



No comments:

Post a Comment