"A Man can't make a mistake can't make anything"

Thursday 12 July 2012

DIAGNOSA DAN MANAJEMEN PERDARAHAN SALURAN CERNA / DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF GASTROINTESTINAL BLEEDING


BAB 1
PENDAHULUAN
Saluran pencernaan terdiri dari suatu saluran kontinu yang berjalan dari mulut sampai anus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi atau nutrient seperti air dan elektrolit dari makanan yang dimakan ke dalam lingkungan internal tubuh.
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapi. Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam jiwa hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien dengan perdarahan dan lokasi perdarahan saluran cerna adalah dengan menentukan beratnya perdarahan dan lokasi perdarahan. Perdarahan saluran cerna dapat menyerang semua orang dan semua golongan. Perdarahan saluran cerna dapat dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas dan perdarahan saluran cerna bagian bawah. Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi di saluran cerna yang dimulai dari mulut hingga ke 2/3 bagian dari duodenum atau perdarahan saluran cerna proksimal dari ligamentum treitz.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah perdarahan yang berasal dari usus di sebelah distal ligamentum treitz. Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah datang dengan keluhan darah segar sewaktu buang air besar. Hampir 80% dalam keadaan akut berhenti dengan sendirinya dan tidak berpengaruh pada tekanan darah. Hanya 15% pasien dengan perdarahan berat dan berkelanjutan berdampak pada tekanan darah.
Ari F. Syam (2005) dalam penelitiannya di RSCM Jakarta menyebutkan bahwa kebanyakan penderita perdarahan saluran cerna bagian atas disebabkan oleh varises esophagus sekitar (33,5 %). Tingginya angka penderita varises esophagus dikarenakan adanya hubungan antara varises esophagus dengan munculnya penyakit hepatitis B dan C di Indonesia.
Angka kematian di berbagai belahan dunia juga masih menunjukkan jumlah yang cukup tinggi terutama di Indonesia yang wajib jadi perhatian khusus.

BAB II
ANATOMI FISIOLOGI SALURAN CERNA
Sistem pencernaan adalah sistem organ dalam hewan multisel yang menerima makanan, mencernanya menjadi energi dan nutrien, serta mengeluarkan sisa proses tersebut melalui anus. Sistem pencernaan antara satu hewan dengan yang lainnya bisa sangat jauh berbeda.
Saluran cerna berfungsi untuk menyerap zat makanan, zat-zat penting, garam dan air, serta mengeksresi bagian-bagian makanan yang tak diserap dan sebagian hasil akhir metabolisme. Pencernaan makanan adalah suatu proses biokimia yang bertujuan mengolah makanan yang dimakan menjadi zat-zat yang mudah diserap oleh selaput lendir usus, bila zat tersebut dapat berlangsung secara optimal dan efisien bila dipengaruhi oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh traktus digestivus sendiri. Agar enzim-enzim tersebut dapat mempengaruhi proses pencernaan secara optimal dan efisien maka enzim tersebut harus mempunyai kontak dengan makanan.


Pada dasarnya sistem pencernaan makanan dalam tubuh manusia terjadi di sepanjang saluran pencernaan dan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu proses penghancuran makanan yang terjadi dalam mulut hingga lambung. Selanjutnya adalah proses penyerapan sari - sari makanan yang terjadi di dalam usus. Kemudian proses pengeluaran sisa - sisa makanan melalui anus.
Sistem pencernaan :


1. Rongga mulut
Di dalam rongga mulut terdapat permukaan epitel yang halus. Fungsi dari rongga mulut adalah untuk mensekresi saliva agar membasahi makanan dan memulai pencernaan. Makanan dalam mulut :
Dihancurkan menjadi partikel kecil menggunakan gigi yang dibantu oleh  kelenjar saliva dan dihancurkan menjadi partikel yang kecil dan halus oleh gigi.
Pati (karbohidrat) didegradasi oleh amylase yang terdapat di dalam saliva.
Setelah itu makanan yang dikunyah telah didegradasi masuk ke dalam esophagus dan oleh adanya gerakan peristaltic terbawa ke lambung
2. Esophagus
Mentransport makanan dengan cepat dari kerongkongan sampai lambung. Spincter esophageal bagian bawah membuka sedikit, tetapi dengan cara lain mencegah bercampurnya juice lambung mengalir lagi yang secara potensial berbahaya.
3. Lambung
Lambung merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai, terdiri dari 3 bagian yaitu kardia (bagian tengah), fundus (bagian atas), dan antrum (bagian bawah). Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkonan melalui otot berbentuk cincin (sfingter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfingter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan (Anonim, 2009). Dinding Lambung terdiri dari 3 lapis, yang luar bersifat membujur, yang tengah sirkuler, dan yang paling dalam otot polos lurik. 3 lapisan itu yaitu :
Sel-sel utama (chief cells) di mukosa fundus mensekresi pepsinogen ; merupakan enzim yang dapat memecah protein.
Sel-sel parietal terdapat di dinding mukosa fundus dan corpus yangmemproduksi HCl dan intrinsic factor
Sel-sel G terdapat di mukosa antrum dan mengeluarkan gastrin. Di lokasi ini terdapat pula sel-sel mucus yang mensekresi lendir (Tjay & Rahardja. 2002).


Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung (Anonim, 2009). Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri (Anonim, 2009). Selain itu, lambung juga mensekresi gastrin dan intrinsic factor, dan absorpsi (minimal) dari bahan makanan tertentu (Tjay & Rahardja, 2002). Mukosa lambung memiliki berjuta-juta kelenjar kecil yang menghasilkan getah lambung, yang terdiri dari gastrin, HCl, pepsin, dan lendir. Sekresinya dipicu oleh beberapa mekanisme, yakni melalui stimulasi N. vagus yang timbul bila melihat atau membaui makanan, juga stimulasi sel-sel sekresi secara langsung akibat tekanan makanan pada dinding lambung. Gastrin memegang peranan penting pula pada regulasi sekresi.
4. Usus Halus
Merupakan lapisan tunggal sel epitel yang membentuk lekukan-lekukan yang disebut lekukan Kerckring yang meningkatkan luas permukaan intestinal. Proyeksi kecil dari lekukan-lekukan ini disebut villi yang dapat meningkatkan luas permukaan 10 lekukan lainnya. Proyeksi yang lebih kecil sepanjang villi terdapat mikrovilli yang meningkatkan luas permukaan 20 lekukan lainnya. pH lingkungan usus halus sekitar 4-5 hingga agak basa. Fungsi usus halus adalah untuk absorbsi dari nutrient normal. Obat yang dapat terabsorbsi dengan baik adalah obat yang tidak terionisasi atau basa lemah.

Usus halus memproduksi campuran dari disakarida, peptida, asam lemak, dan monogliserida. Sehingga sebanyak 90-95% dari nutrisi terjadi absorbsi di dalam usus halus ini. Akhir dari pencernaan dan absorbsi terjadi didalam vili, yang merupakan lapisan permukaan dari usus halus. Pada bagian permukaan dari sel epitel pada setiap vili ditutupi oleh mikrovili sehingga total permukaan dari usus menjadi (biasa disebut sebagai"brush border") 200 meter kuadrat.
5. Usus besar (kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Tidak terdapat mikrovilli. Lingkungan dari usus besar bersifat netral hingga basa. Berfungsi untuk eliminasi dari lendir dan fecal. Yang dibantu dengan transport ion natrium. Absorpsi obatnya terjadi di rektal. Usus besar menerima residu dari pencernaan seperti air, selulosa yang tidak dicerna, fiber yang semuanya steril sehingga usus besar terdapat banyak populasi mikroorganisme. pH dari usus besar adalah 5,5 - 7, dan seperti area bukal, darah yang mengalir di rektum tidak ditransport pertama kali ke hati.
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.

6. Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.

BAB III
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

3.1 Pendahuluan
Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebagian besar pasien datang dalam keadaan stabil dan sebagian lainnya datang dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat.
Kejadian perdarahan akut saluran cerna ini tidak hanya terjadi di luar rumah sakit saja, namun dapat pula terjadi pada pasien-pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit terutama di ruang perawatan intensif dengan mortalitas yang cukup tinggi. Selain itu perdarahan akut SCBA sering menyertai penyakit-penyakit lainnya seperti trauma kapitis, stroke, luka bakar yang luas, sepsis, renjatan dan gangguan hemostasis.

3.2 Epidemiologi
Di negara barat insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per 100.000 penduduk/tahun, dan laki-laki lebih banyak dari wanita. Insidensi ini meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.  Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui. Dari catatan medik pasien-pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1996-1998, pasien yang dirawat karena perdarahan SCBA sebesar 2,5% - 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam.
Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60%, sedangkan kematian pada perdarahan non-varises sekitar 9-12%. Sebagian besar penderita perdarahan SCBA meninggal bukan karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena penyakit lain yang ada secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung, penyakit hati kronis, pneumonia dan sepsis.

3.3 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. Pylori, penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), alkohol. Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang. (Dubey, S., 2008)

3.4 Etiologi
PSCA secara umum dibagi menjadi dua, yaitu PSCA karena rupture varices dan PSCA bukan karena varices. Pada PSCA karena varices, patofisiologi yang mendasari adalah meningkatnya tekanan vena porta yang mengakibatkan vena-vena esophagus, lambung melebar dan juga menyebabkan gastropati. Sedangkan PSCA yang non varices, melibatkan perdarahan arteriel seperti ulkus dan rupture mukosa yang dalam, atau perdarahan vena tekanan rendah seperti pada teleangiectasi dan angioectasis.
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat menentukan kira-kira lokasi PSCA. Riwayat penyakit hati kronis/alkohol bisa memperkirakan perdarahan berasal dari gastropati hipertensi portal atau pecahnya varices esophagus. Riwayat pemakaian obat antiinflamasi non steroid/obat-obat anti rematik/penghilang nyeri yang berkaitan dengan cyclooxygenase-1 yang menurunkan ketahanan mukosa terhadap asam lambung, bisa menuntun kita ke arah ulkus lambung.
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms (Porter, R.S., et al., 2008):
1. Duodenal ulcer (20 – 30 %)
2. Gastric atau duodenal erosions (20 – 30 %)
3. Varices (15 – 20 %)
4. Gastric ulcer (10 – 20 %)
5. Mallory – Weiss tear (5 – 10 %)
6. Erosive esophagitis (5 – 10 %)
7. Angioma (5 – 10 %)
8. Arteriovenous malformation (< 5 %)
9. Gastrointestinal stromal tumors
3.5 Patofisiologi
Varices esofagus dan hipertensi portal gastropati.
PSCA karena varises terjadi pada 25-30 % pasien sirosis hati, dengan angka kematian dari tahun 1971 sampai 1981 diberbagai penelitian di Indonesia 30-60 %. Harapan hidup selama 1 tahun sesudah perdarahan pertama sekitar 32-80%.
Varices esofagus dan gaster disebabkan karena peningkatan aliran darah dalam vena-vena kolateral dari aliran darah porta melalui vena gastrica coronaria akibat hipertensi portal. Perdarahan varices ini terjadi bila hepatic venous gradient melebihi 12 mmHg. Pasien dengan gastropati hipertensi portal tidak selalu disertai dengan varices gastroesofageal yang nyata. Bila terjadi perdarahan pada pasien kelompok gastropati ini, biasanya lebih banyak khronik dan tersamar.

 

Ulkus Peptikum / Tukak peptik
Tukak ini berkaitan dengan infeksi H. Pylori (80%) dan bisa juga dengan aspirin/OAINS. Tukak peptik dapat di lambung, duodenum, esofagus, dan diverticulum Meckel, dan hebat tidaknya perdarahan tergantung dari kaliber pembuluh darah yang terluka. Forrest membagi aktivitas perdarahan ulkus peptikum sebagai berikut :



 
Stress Gastritis
Suatu erosi superfisial mukosa akut yang difus dengan menifestasi sebagai eritema. Perdarahan yang terjadi biasanya ringan dan berhenti sendiri, jarang menjadi masif. Stress gastritis/ulceraini terjadi pada cedera kepala yang menyebabkan tekanan intracranial meningkat (ulkusCushing) dan luka bakar ( ulkus Curling), dan pasien dalam ventilator. Faktor predisposisi yang bisa mengganggu keseimbangan antara barier mukosa protektif lokal (mukus, bikarbonat, aliran darah, sintesis prostaglandin) dengan faktor agresif (asam lambung, pepsin) akan menyebabkan erosi mukosa yang difus. Keadaan tersebut misalnya pada: renjatan, trauma multipel, acute respiratory distress syndrome, sepsis.

 

Pencegahan agar tidak terjadi perdarahan pada keadaan-keadaan ini dengan menstabilkan hemodinamik untuk memastikan aliran darah mukosa dan memberikan HRA antagonis untuk mengurangi keasaman lambung. Proton Pump Inhibitor diberikan bila sudah terjadi perdarahan.

Esofagitis dan gastropati.
Esofagitis dan gastropati adalah suatu peradangan esofagus dan lambung disebabkan biasanya oleh asam lambung/refluxate lain misalnya pada GERD atau obat-obat tertentu seperti OAIN/NSAIDs. Gastropati bisa juga terjadi pada pasien dengan sakit berat misalnya pasien dengan ventilator, sepsis/multi organs failure (MOF), koagulopati.konsumtif. Gastric antral vascular ectasia (GAVE) Keadaan ini disebut juga sebagai water melon stomach, banyak pada orang tua yang bisa juga disertai penyakit lain seperti, penyakit ginjal menahun stadium akhir, cirrhosis. Pengobatan dengan argon plasma coagulation (APG) serial bisa menstabilkan kadar hemoglobin dan mengurangi kebutuhan transfusi darah.

Dieulafoy lesion.
Ini adalah suatu keadaan arteri submukosa yang dilatasi dan ruptur sehingga timbul perdarahan saluran cerna. Biasanya terdapat pada cardia lambung namun bisa juga terjadidi sepanjang saluran cerna. Sumber perdarahan sukar terlihat dengan endoskopi bila tidak sedang berdarah karena lesi ini dikelelingi mukosa yang normal. Pengobatan dengan endoskopi atau angiografi.

3.6 Manifestasi klinis
Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami perdarahan. Secara umum perdarahan saluran cerna diklasifikasikan sebagai perdarahan akut (dapat berupa hematemesis, melena, atau hematoschizia), atau khronik dengan manifestasi adanya darah samar di feses atau anemia.
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat bermanifestasi klinis mulai dari yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang mengancam hidup. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena. Hematokezia (darah segar keluar per anum) biasanya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon). Maroon stools (feses berwarna merah hati) dapat berasal dari perdarahan kolon bagian proksimal (ileo-caecal). (Djojoningrat, D., 2006)
Upper gastrointestinal tract bleeding (“UGI bleeding”) atau lebih dikenal  sebagai perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga  80 % dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber perdarahannya berasal dari esofagus, gaster, dan duodenum.
Gejala klinis pasien dapat berupa
Hematemesis : Muntah darah berwarna hitam seperti bubuk kopi
Melena : Buang air besar berwarna hitam seperti teh atau aspal
Hematoskezia : Buang air besar berwarna merah marun, biasanya dijumpai pada pasien dengan perdarahan masif dimana transit time dalam usus yang pendek
Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah sinkope, instabilitas hemodinamik karena hipovolemik, dan gambaran klinis dari komorbid seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal dsb.
• Hematemesis termasuk ‘coffee ground emesis’ 40-50%.
• Melena 70-80%.
• Hematoschizia ( feses warna merah atau marun) 15-20%.
• Syncope 14%
• Presyncope 43%
• Dispepsia 18%
• Nyeri epigastr 41%
• Nyeri abdomen difus 10%
• Berat badan menurun 12%
• Ikterus 5%
Hematemesis, melena, hematoschizia, dan pemeriksaan/hasil laboratorium tertentu bisa digunakan sebagai indikator sumber perdarahan, seperti pada tabel dibawah ini :


3.7 Diagnosis
Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana dalam melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis yang sangat cermat dan pemeriksaan fisik yang sangat detail, dalam hal ini yang diutamakan adalah penanganan A-B–C ( Airway – Breathing – Circulation ) terlebih dahulu. Bila pasien dalam keadaan tidak stabil yang didahulukan adalah resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih seksama.
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu-jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru, dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.
Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilakukan adalah penilaian ABC,pasien-pasien dengan hematemesis yang masif dapat mengalami aspirasi atau sumbatan jalan nafas, hal ini sering dijumpai pada pasien usia tua dan pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi jumlah perdarahan :
- Perdarahan < 8% hemodinamik stabil
- Perdarahan 8%-15% hipotensi ortostatik
- Perdarahan 15-25% renjatan (shock)
- Perdarahan 25%-40% renjatan + penurunan kesadaran
- Perdarahan >40% moribund
Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu mencari stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai), masa abdomen, nyeri abdomen, dll. Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan adalah colok dubur.Warna feses ini mempunyai nilai prognostik. Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya warna feses maka warna aspiratpun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni
ditemukan adanya aspirat yang jernih pada NGT.
Dalam prosedur diagnostik ini perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain laboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula darah, elektrolit, golongan darah, RÖ dada dan elektrokardiografi. Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard. Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera ( bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien dengan hematemesis, melena atau hematemesis-melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan :
- Esofagus : Varises,erosi,ulkus,tumor
- Gaster :Erosi,ulkus,tumor,polip,angiodisplasia,Dilafeuy,varises,gastropati kongestif
- Duodenum : Ulkus,erosi,tumor,divertikulitis
Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan, pemeriksaan dengan kontras barium (OMD) mungkin dapat membantu. Untuk pasien yang tidak mungkin dilakukan endoskopi dapat dilakukan pemeriksaan dengan angiografi atau skintigrafi. Hasil pemeriksaan endoskopi untuk pasien-pasien perdaahan non varises mempunyai nilai prognostik.

3.8 Penatalaksanaan
Tindakan umum:
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC. Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai, pasien dapat segera dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi.
Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum (kateter) yang besar minimal no 18. Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pemasangan CVP.
Oksigen sungkup/kanula. Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT
Mencatat intake dan output, harus dipasang kateter urine
Memonitor Tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dan keadaan lainnya sesuai dengan komorbid yang ada.
Bilas Lambung
Dilakukan selama periode perdarahan akut (kontroversial, karena mengganggu mekanisme pembekuan normal. Sebagian lain meyakini lambung dapat membantu membersihkan darah dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan selama endoskopi).
Bilas lambung menggunakan 1000-2000 ml air atau normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dengan menggunakan NGT. Kemudian dikeluarkan kembali dengan spuit atau dipasang suction sampai sekresi lambung jernih. Bilas lambung pakai es tidak dianjurkan.
Irigasi lambung dengan cairan normal saline levarterenol agar menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung, obat dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana metabolisme terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat dicegah. Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan.
Pasien beresiko mengalami aspirasi lambung karena pemasangan NGT dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang digunakan untuk membilas. Pemantauan distensi lambung dan membaringkan pasien dengan kepala ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila posisi tersebut merupakan kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral kanan memudahkan mengalirnya isi lambung melewati pilorus.
Pemasangan nasogastric tube
Pemasangan pipa nasogastrik sebaiknya dilakukan untuk setiap perdarahan saluran cerna. Hal ini untuk diagnostik dan pemantauan perdarahan dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Kecuali pada perdarahan khronik dengan hemodinamik stabil atau sudah jelas-jelas PSCB pemasangan pipa ini tidak perlu. Bila cairan yang keluar dari pipa nasogastrik yang berwarna cairan seperti mengandung bubuk kopi atau berwarna merah segar, berarti perdarahan aktif masih berlangsung. Lakukan bilas lambung dengan air dengan suhu kamar sampai bersih. Ulangi hal tersebut setiap 6- 8 jam. Meskipun sewaktu dipasang pipa nasogastrik tak keluar darah pada aspirasi, pertahankan pipa nasogastrik tersebut 12-24 jam. Bila yang keluar cairan empedu selama waktu tersebut, dianggap bukan PSCA/sdh berhenti.
Transfusi
Tidak semua kasus PSCA perlu ditambah darah. Transfusi perlu dipertimbangkan pada keadaan-keadaan :
• Hemodinamik tidak stabil
• Perdarahan baru atau yang masih berlangsung dengan perkiraan 1000 cc
• Perdarahan baru atau yang masih berlangsung dengan Hb 10 g%, hematokrit < 30%
• Tanda-tanda penurunan oksigenisasi jaringan
Medikamentosa
Untuk PSCA non varices obat-obat yang biasa digunakan:
1. Pemberian Vasopresin (Pitresin)
Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong, maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena. Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya menurunkan aliran darah pada tempat perdarahan. Pemberian vasopresin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopresin 50 unit dalam 100 ml Dextrose 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit, dapat diulang tiap 3-6 jam. Mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.
2. PPI (Proton Pump Inhibitor)
Obat-obat golongan ini lebih efektif dalam menghentikan perdarahan tukak peptik dibanding dengan anti sekresi asam lain (H2 receptor-blocker). Diberikan dalam dosis tinggi. Tujuannya adalah untuk menjaga pH lambung > 6, untuk menjamin terjadinya agregasi trombosit, pembekuan darah, stabilisasi trombus yang terbentuk, dan pepsin menjadi tidak aktif. Preparatnya bisa pantoprazole/esomeprazole 80 mg i.v. bolus, dilanjutkan 8mg/jam selama 72 jam. Efek samping PPI : sakit kepala, alergi, diare, mual, konstipasi, sekit perut, kembung, polipfundus, hipo Natremi.
2. Antasida, sukralfat, mukoprotektor.
Antasida diberikan untuk menetralisir asam yang sudah disekresi. Sedangkan sucralfat sebagai mukoprotektor yang akan melapisi lesi-lesi agar cepat sembuh. Begitu juga mukopromoter lain seperti rebamipide dan tripenon dikatakan untuk lebih memacu pulihnya mukosa yang cedera.
3. Somatostatin dan analognya ( octriotide)
Obat ini dimaksudkan untuk menurunkan aliran darah splanchenic terutama berguna untuk menghentikan PSCA akut karena varices dengan keberhasilan sekitar 70-80%. Obat ini dapat juga untuk perdarahan non varices, karena menekan sekresi asam lambung.
Dosis somatostatin 250 mcg bolus, dilanjutkan 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti. Octreotide 100 mcg i.v. dilanjutkan dengan 25 mcg/jam selama 8-24 jam / sampai perdarahan berhenti. Selain itu semua obat yang bisa menimbulkan luka lambung seperti OAINS, glukokortikoid, dan aspirin dihentikan. Bila terjadi infeksi H. Pylori obati sesuai dengan protokol.
4. S-B tube ( Sengstaken-Blakemore)
Ada 2 jenis tube untuk hal ini : Sengetaken-Blakemore dan Minnesota tube. Balon yang tamponade pada tube dikembangkan untuk menghentikan perdarahan varices esofagus. Di Indonesia pada umumnya S-B tube yang biasa dipakai. Saat ini sudah jarang di pasaran. Pemasangan dilakukan oleh tenaga medik terlatih. Komplikasi yang fatal aspirasi dan perforasi esofagus. Pengembangan balon seyogyanya tidak melebihi 24 jam agar esofagus tidak nekrosis esofagus.

Endoskopi
Endoskopi dilakukan untuk mendeteksi penyebab perdarahan, memperkirakan prognosis, terapi hemostasis, penyuntikan obat (adrenalin, histoacryl, polidokanol ), mechanicalhaemostasis (endoloops /clip, staple, suture), thermal (contact dan non contact), penyuntikan adrenalin 1: 1000 pada tukak peptik sub mukosa di sekitar sumber perdarahan dengan dosis 0.5 cc setiap suntikan sampai maksimal 10 cc, dapat menghentikan perdarahan 95% dengan kemungkinan perdarahan ulang 15-20%.
Untuk tukak peptik dengan pembuluh darah yang tampak (visible vessel) pemakaian clips dapat menghentikan perdarahan sampai 100%. Dengan laju perdarahan ulang lebih rendah daripada adrenalin. Thermal hemostasis terdiri contact (bipolar electrocoagulation; heater probe thermocoagulation) dan non contact (Argon Plasma Coagulation dan laser Nd YAG). Panas yangditimbulkan menyebabkan edema, protein jaringan menggumpal mengakibatkan konstraksi dinding pembuluh darah sehingga perdarahan berhenti. Terapi hemostasis dengan endoskopi dikatakan dapat mengurangi perdarahan ulang, menurunkan tindakan pembedahan, mengurangi mortalitas
Untuk PSCA karena varises, Hemostasis endoskopik varises esofagus yang berdarah, sebagai pilihan utama adalah ligasi varises. Ligasi ini lebih sedikit efek sampingnya (perdarahan, ulkus esofagus, striktur) dibandingkan dengan suntikan sclerosan (ethoxysclerol). Bila perdarahan masif, sehingga ligasi sukar dilakukan atau secara tehnis sulit, skleroterapi merupakan pilihan alternatif. Untuk varices di gaster di suntik dengan histoacryl sebagai pilihan terapi untuk menghentikan perdarahan yang terjadi.


6. Radiologi intervensi
Dilakukan terutama untuk pasien dengan kondisi kritis dimana pembedahan merupakan kontraindikasi/berisiko tinggi. Dengan menggunakan gel foam, tissue adhesive dan coilmetal menggunakan keteter yang sangat super selective dipandu dengan flouroskopi untuk menyumbat pembuluh darah yang bocor. Komplikasi yang bisa timbul bisa dari ileus sampai nekrosis saluran cerna.
7. Pembedahan
Dalam penanganan perdrahan, sebaiknya ahli bedah sudah dilibatkan sejak awal dalam tim penanggulangan PSCA. Hal ini agar bisa menentukan waktu yang tepat untuk bertindak. Tindakan bedah dilakukan pada dasarnya bila segala upaya terapi medik, endoskopik dan radiologi gagal.
Indikasi intervensi bedah pada tukak peptik :
Perdarahan hebat yang tidak bisa diatasi dengan resusitasi.
Pengobatan medikamentosa, endoskopi hemostasis maupun radiologi intervensi gagal menghentikan perdarahan/perdarahan berulang.
Perforasi, obstruksi, atau keganasan.
Perdarahan yang berkepanjangan (prolong bleeding) dengan kehilangan darah 50% volume darah. Darurat I-II, dimana kebutuhan transfusi 2000 cc darah dalam8-24 jam atau 6 kantong dalam 24 jam.
Perdarahan berulang kali tukak peptik
8. Diet
Pada prinsipnya makanan tidak diberikan selama hemodinamik tidak stabil dan perdarahan aktif masih berlangsung. Namun puasa yang berkepanjangan tidak baik untuk keutuhan mukosa dan vili saluran cerna disamping memudahkan translokasi bakteri yang akan menimbulkan infeksi. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair yang bertahap ditingkatkan sesuai dengan kondisi pasien (start low, go slow).

BAB IV
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH
4.1 Pendahuluan
Perdarahan SCBB mempunyai angka kematian mulai dari sekitar 10% sampai 20%, dengan pasienlanjut usia (> 60 tahun) dan pasien dengan komorbidnya. Perdarahan SCBB lebih mungkin pada orang tua karena insiden yang lebih tinggi pada diverticulosis dan penyakit pembuluh darah pada kelompok ini. Insiden Perdarahan SCBB lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita.
Perdarahan SCBB dapat disebabkan oleh berbagai keadaan diantaranya adalah diverticulosis, anorectal diseases, carcinomas, inflammatory bowel disease ( IBD ), dan angiodysplasias. Perdarahan SCBB juga dapat dibagi menjadi massive bleeding, moderate bleeding, dan occult bleeding dimana terdapat perbedaan dengan faktor predisposisi usia pasien, manifestasi klinis, serta penyebab terjadinya perdarahan.

4.2 Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah menyumbang sekitar 20-33% dari episode perdarahan saluran cerna. Walaupun secara statistik, perdarahan SCBB mempunyai frekuensi yang lebih jarang dari perdarahan saluran cerna bagian atas. Setiap tahunnya sekitar 20-27 kasus per 100.000 populasi pada negara-negara barat. Perdarahan SCBB memerlukan perawatan di rumah sakit dan merupakan faktor morbiditas dan mortalitas di Rumah Sakit.
LGIB yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit di Amerika adalah sebesar kurangdari 1 %. Penyebab LGIB yang paling sering adalah diverticulosis yaitu sekitar 30-50% danangiodisplasia sekitar 20-30% dari seluruh kasus. Para ahli juga mengatakan bahwaangiodisplasia dialami lebih sering oleh pasien dengan usia lebih dari 65 tahun.
Menurut penelitian yang dilakukan di RSCM, tingkat kematian karena perdarahansaluran cerna bagian atas juga cukup tinggi hampir mencapai 26%. Penelitian yang dilakukanterakhir di RSCM dari 4.154 endoskopi saluran cerna atau selama 5 tahun (2001-2005)didapatkan 837 kasus dengan perdarahan saluran cerna.


4.3 Definisi
Perdarahan saluran cerna bawah didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari organ traktus gastrointestinalis yang terletak distal dari Ligamentum Treitz yang menyebabkan ketidakseimbangan hemodinamik dan anemia simptomatis. Pada umumnya perdarahan ini (sekitar 85%) ditandai dengan keluarnya darah segar per-anum/per-rektal yang bersifat akut, transient, berhenti sendiri.

4.4 Etiologi
Penyebab Tersering dari perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Perdarahan divertikel kolon, angiodisplasia, dan kolitis iskemik merupakan penyebab tersering dari saluran cerna bagian bawah. Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang kronik dan berulang biasanya berasal dari hemoroid dan neoplasia kolon. Tidak seperti halnya perdarahan saluran cerna bagian atas, kebanyakan perdarahan saluran cerna bagian bawah bersifat lambat, intermiten, dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
1. Divertikulosis.
Perdarahan dari divertikulum biasanya tidak nyeri dan terjadi pada 3% pasien divertikulosis. Tinja biasanya berwarna merah marun, kadang-kadang bisa juga menjadi merah. Meskipun divertikel kebanyakan ditemukan di kolon sigmoid, namun perdarahan divertikel biasanya terletak di sebelah kanan. Umumnya terhenti secara spontan dan tidak berulang, oleh karena itu tidak ada pengobatan khusus yang dibutuhkan oleh para pasien.

2. Angiodisplasia.
Angiodisplasia merupakan penyebab 10-40% perdarahan saluran cerna bagian bawah. Angiodisplasia merupakan salah satu penyebab kehilangan darah yang kronik. Angiodisplasia kolon biasanya multipel, ukuran kecil kurang dari diameter <5mm dan biasa terlokalisir di daerah caecum dan kolon sebelah kanan. Sebagaimana halnya dengan vaskular ektasia di saluran cerna, jejas di kolon umumnya berhubungan dengan usia lanjut, insufisiensi ginjal, dan riwayat radiasi.
3. Kolitis Iskemia.
Kebanyakan kasus kolitis iskemia ditandai dengan penurunan aliran darah viseral dan tidak ada kaitannya dengan penyempitan pembuluh darah mesenteik. Kolitis iskemik, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera iskemik pada sistem pencernaan, sering melibatkan daerah batas air (watershed ), termasuk fleksura lienalis dan rectosigmoid junction. Umunya pasien kolitis iskemia berusia tua. Dan kadang-kadang dipengaruhi juga oleh sepsis, perdarahan akibat lain, dan dehidrasi.
Iskemia menyebabkan peluruhan mukosa dan peluruhan ketebalan parsial dinding kolon, edema, dan pendarahan. Kolitis iskemik tidak berhubungan dengan kehilangan darah yang signifikan atau hematochezia, walaupun sakit perut dan diare berdarah adalah manifestasi klinis yang utama.
4. Penyakit Perianal.
Penyakit perianal contohnya: hemoroid dan fisura ani biasanya menimbulkan perdarahan dengan warna merah segar tetapi tidak bercampur dengan faeces. Berbeda dengan perdarahan dari varises rectum pada pasien dengan hipertensi portal kadang-kadang bisa mengancam nyawa. Polip dan karsinoma kadang-kadang menimbulkan perdarahan yang mirip dengan yang disebabkan oleh hemoroid, oleh karena itu pada perdarahan yang diduga dari hemoroid perlu dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan polip dan karsinoma kolon.
5. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Macam-macam kondisi peradangan dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi tanda, melainkan berkembang dalam perjalanan penyakitnya, dan penyebabnya diduga berdasarkan riwayat pasien. Kebanyakan pendarahan berhenti secara spontan atau dengan terapi spesifik pada penyebabnya.
Penyebab infeksi meliputi Escherichia coli, tifus, sitomegalovirus, dan Clostridium difficile. Cedera radiasi paling umum terjadi pada rectum setelah radioterapi panggul untuk prostat atau keganasan ginekologi. Pendarahan biasanya terjadi 1 tahun setelah pengobatan radiasi, tetapi dapat juga terjadi hingga 4 tahun kemudian.
6. Neoplasia Kolon.
Tumor kolon yang jinak maupun ganas yang biasanya terdapat pada pasien usia lanjut dan biasanya berhubungan dengan ditemukannya perdarahan berulang atau darah samar. Kelainan neoplasma di usus halus relatif jarang namun meningkat pada pasien IBD seperti Crohn’s Disease atau celiac sprue.
7. Penyebab Lain dari Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
Kolitis dapat menimbulkan perdarahan namun biasanya sedikit sampai sedang. Divertikular Meckel merupakan kelainan kongenital di ileum dapat berdarah dalam jumlah yang banyak akibat dari mukosa yang menghasilkan asam. Pasien biasanya anak-anak dengan perdarahan segar maupun hitam yang tidak nyeri. Intususepsi menyebabkan kotoran berwarna marun disertai rasa nyeri ditempat polip atau tumor ganas pada orang dewasa. Hipertensi portal dapat menimbulkan varises di ileukolon dan di anorektal yang dapat menimbulkan perdarahan dalam jumlah yang besar. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah yang lebih jarang seperti fistula autoenterik, ulkus rektal soliter, dan ulkusdi caecum.
4.5 Manifestasi Klinis
Perdarahan SCBB dapat bermanifestasi dalam bentuk hematoskezia, maroon stool, melena, atau perdarahan tersamar.
Hematoskezia adalah darah segar yang keluar lewat anus/rektum. Hal ini merupakan manifestasi klinis perdarahan SCBB yang paling sering. Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari anus, rektum, atau kolon bagian kiri (sigmoid atau kolon descendens), tetapi juga dapat berasal dari usus kecil atau saluran cerna bagian atas (SCBA) bila perdarahan tersebut berlangsung masif (sehingga sebagian volume darah tidak sempat kontak dengan asam lambung) dan masa transit usus yang cepat.
Maroon stool: darah yang berwarna merah hati (kadang bercampur dengan melena) yang biasanya berasal dari perdarahan di kolon bagian kanan (ileo-caecal) atau juga dapat dari SCBA/usus kecil bila waktu transit usus cepat.
Melena adalah buang air besar atau feses yang berwarna hitam seperti kopi (bubuk kopi) atau seperti teh (aspal), berbau busuk dan hal ini disebabkan perubahan hemoglobin menjadi hematin. Perubahan ini dapat terjadi akibat kontak hemoglobin dengan asam lambung (khas pada perdarahan SCBA) atau akibat degradasi darah oleh bakteri usus. Misalnya pada perdarahan yang bersumber di kolon bagian kanan yang disertai waktu transit usus yang lambat. Perdarahan SCBB akan tersamar bila jumlah darah sedikit sehingga tidak mengubah warna feses yang keluar.
Gambaran klinis lainnya akan sesuai dengan penyebab perdarahan (misalnya pada tumor rektum, teraba massa pada pemeriksaan colok dubur) dan dampak hemodinamik yang terjadi akibat perdarahan tersebut (misalnya anemia atau adanya renjatan). Sebagian besar perdarahan SCBB (lebih kurang 85%) berlangsung akut, berhenti spontan, dan tidak menimbulkan gangguan hemodinamik.
Perdarahan SCBB diklasifikasikan sebagai perdarahan akut dan berat bila:
1. telah menimbulkan keadaan hipotensi ortostatik atau renjatan
2. terdapat penurunan hematokrit minimal 8-10% setelah resusitasi volume intravaskular dengan cairan kristaloid atau plasma expander
3. terdapat faktor risiko seperti pada usia lanjut atau terdapat penyulit lainnya yang bermakna.

4.6 Diagnosis
Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang akurat merupakan data penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Riwayat hemoroid atau IBD sangat penting untuk dicatat. Nyeri abdomen atau diare merupakan petunjuk kepada kolitis atau neoplasma. Keganasan kadang ditandai dengan penurunan berat badan, anoreksia, limfadenopati atau massa yang teraba.
Pada anamnesis juga harus ditanyakan tentang riwayat penggunaan NSAID atau obat antikoagulan, adanya sakit perut atau tidak, adanya diare dan demam yang dialami sebelumnya yang dapat mengarah pada colitis baik infeksi atau iskemi. Pasien yang pernah mempunyai operasi aorta harus terlebih dahulu dianggap memiliki fistula aortoenteric sampai dibuktikan bukan.
Baru-baru ini ditemukan bahwa kolonoskopi dapat menyebabkan perdarahan dari daerah yang pernah di biopsy atau pernah mengalami polypectomy. Penyebab perdarahan sebelumnya harus ditelusuri, yang pada sebagian besar kasus adalah inflammatory bowel disease.
Riwayat penyakit keluarga berupa sindrom poliposis atau keganasan kolon juga dapat dipertimbangkan. Perdarahan Saluran Cerna Bawah pada pasien yang berusia kurang dari 30 tahun biasanya berhubungan dengan polip usus dan Meckel diverticulum.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital untuk mengetahui adanya syok, oropharynx, nasopharynx, abdomen, perineum, and anal canal. Semua pasien harus diresusitasi. Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah luka bekas operasi terdahulu, adanya masa di abdominal, lesi pada kulit dan mulut yang menunjukkan sindrom poliposis.
Perdarahan yang berasal dari hemorrhoid atau varices yang disebabkan hipertensi portal pada pasien sirosis sebaiknya dipertimbangkan. Pemeriksaan rectum diperlukan untuk mengetahui adanya kelainan pada anorectal, yaitu tumor, ulser, atau polip.
Warna pada daerah anorectal, dan adanya bentuk atau gumpalan darah harus diperhatikan. Nasogastric tube (NGT) harus dipasang untuk menyingkirkan penyebab perdarahannya adalah bukan dari saluran cerna atas yang menunjukkan adanya gambaran coffee ground. Pada 50 % kasus pasien yangdipasang NGT, hasil aspirasinya adalah false negative. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan lain yaitu esogastroduodenoscopy (EGD) untuk mengetahui lokasi sumber perdarahan. Pasien dengan hematochezia dan hemodinamik yang tidak seimbang, dilakukan emergency upper endoscopy .
Perdarahan saluran cerna bawah yang massive merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Terkadang manifestasi LGIB yang massive adalah feses yang berwarna merah marun atau merah muda yang berasal dari rectum juga muncul pada perdarahan saluran cerna bagian atas.
Penentuan lokasi sumber perdarahan adalah penting untuk memilih jenis terapi mana yang akan dilakukan. Setelah keadaan pasien stabil baru akan dilakukan uji diagnostic yaitu colonoscopy, Selective Visceral Angiography, dan Technetium 99m-Red Blood Cell Scintigraphy.

Colonoscopy
  Colonoscopy dapat dilakukan Setelah episode perdarahan berhenti secara spontan dan tidak didapatkan stigmata perdarahan. Colonoscopy yang harus dilakukan segera, diindikasikan pada pasien yang telah 12 jam dirawat di rumah sakit dengan perdarahan yang telah berhenti, telah mendapat resusitasi, disertai dengan keadaan hemodinamik yang stabil. Pada keadaan ini colonoscopy dapat dilakukan setelah proses pembersihan kolon. Colonoscopy tidak dilakukan pada pasien LGIB dengan massive bleeding.
Selective Visceral Angiography
Mesenteric arteriography telah banyak digunakan dalam evaluasi dan pengobatan pasien dengan perdarahan gastrointestinal bagian bawah. Injeksi selektif radiografi kontras ke arteri superior mesenterika atau inferior mesenterika mengidentifikasi perdarahan pada pasien perdarahan mulai dari 0,5 ml/min atau lebih.
Metode ini bukan merupakan pilihan pada pasien dengan perdarahan yang terjadi pertama kali atau perdarahan berulang yang waktunya tidak pasti.
Pembedahan

Subtotal colectomy
Dilakukan jika sumber perdarahan tidak diketahui dengan studi diagnostic perioperatif dan intraoperatif. Jika lokasi sumber perdarahan tidak dapat didiagnosis dengan endoscopy intraoperatif dan dengan pemeriksaan, dan jika terdapat bukti perdarahan berasal dari kolon, subtotal colectomy dilakukan dengan anastomosis iloerectal. Subtotalcolectomy adalah pilihan yang tepat karena berhubungan dengan tingkat perdarahan berulang yang rendah dan tingkat morbiditas (32%) dan tingkat mortalitas (19%).


Hemicolectomy
Lebih baik dilakukan daripada blind subtotal abdominal colectomy, apabila bertujuan untuk mengetahui lokasi sumber perdarahan.
Pasien dengan riwayat perdarahan berulang dengan lokasi sumber perdarahan yang tidak diketahui harus dilakukan elective mesenteric angiography, upper and lower endoscopy, Meckel scan, Foto serial saluran cerna atas dengan usus halus, and enteroclysis. Pemeriksaan seluruh bagian saluran cerna diperlukan untuk mendiagnosis lesi yang jarang dan AVM yangtidak terdiagnosis.

4.8 Penatalaksanaan
Resusitasi
Resusitasi pada perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut mengikuti protokol yang juga dianjurkan pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Dengan langkah awal menstabilkan hemodinamik. Oleh karena perdarahan saluran cerna bagian atas yang hebat juga menimbulkan darah segar di anus maka pemasangan NGT (nasogatric tube) dilakukan pada kasus-kasus yang perdarahannya kemungkinan dari saluran cerna bagian atas.
Pemeriksaan laboratorium memberikan informasi serupa dengan perdarahan saluran cerna bagian atas meskipun azotemia jarang ditemukan pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan segera diperlukan pada kasus-kasus yang membutuhkan transfusi lebih 3 unit pack red cell.
Medikamentosa
Beberapa perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat diobati secara medikamentosa. Hemoroid fisura ani dan ulkus rektum soliter dapat diobati dengan bulk-forming agent, sitz baths, dan menghindari mengedan. Salep yangmengandung steroid dan obat supositoria sering digunakan namun manfaatnya masih dipertanyakan. Kombinasi estrogen dan progesteron dapat mengurangi perdarahan yang timbul pada pasien yang menderita angiodisplasia. IBD biasanya memberi responterhadap obat-obatan anti inflamasi. Pemberian formalin intrarektal dapatmemperbaiki perdarahan yang timbul pada proktitis radiasi. Respon serupa jugaterjadi pada pemberian oksigen hiperbarik.
Terapi Endoskopi.
Colonoscopic bipolar cautery, monopolar cautery, heater probeapplication, argon plasma caogulation, and Nd: YAG laser bermanfaat untuk mengobati angiodisplasia dan perubahan vaskular pada kolitis radiasi.Kolonoskopi juga dapat digunakan untuk melakukan ablasi dan reseksi polip yang berdarah atau mengendalikan perdarahan yang timbul pada kanker kolon.Sigmoidoskopi dapat mengatasi perdarahan hemoroid internal dengan ligasimaupun teknik termal

Penyebab Inflamasi
Penyakit asam lambung meliputi erosi atau ulkus di esofagus lambung dan duodenum merupakan penyebab yang tersering dari perdarahan samar saluran cerna dan menyebabkan anemia defisiensi besi pada 30-70% kasus. Erosi longitudinal di dalam sakus hiatal hernia dikenal sebagai Erosi Cameron merupakan salah satu penyebab penting (10%) dari anemia defisiensi besi. Penyebab inflamasi yang lain termasuk IBD, celiac sprue, divertikel Meckel,gastroenteritis eosinofilic, enteritis radiasi, ulkus kolorektal dan penyakit Whiffle. Penyebab infeksi di Amerika Serikat, infeksi jarang menimbulkan perdarahansamar saluran cerna namun organisme seperti cacing tambang, Mycobacteriumtuberkulosis, Amoeba dan Ascaris dapat menimbulkan kehilangan darah kronik  pada beberapa ratus juta penduduk dunia.

Pembedahan
Tidak ada kontraindikasi terhadap pembedahan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dan perdarahan yang berlangsung terus menerus. Pembedahan juga diperintahkan walaupun pada pasien yang membutuhkan 5 unit labu transfuse atau lebih pada 24 jam dan penentuan lokasi sumber perdarahan secara perioperatif tidak akurat. Pembedahan juga perlu dilakukan pada pasien dengan perdarahan berulang selama dirawat di rumah sakit.

Preoperatif
Tiga aspek utama yang berperan dalam penanganan perdarahan SCBB adalah perawatan initial syok, mecari lokasi sumber perdarahan, dan rencana intervensi. Pasang NGT pada semua pasien, aspirasi cairan yang jernih tanpa cairan empedu menyingkirkan perdarahan yang berasal dari proximal Ligamentum Treitz. Setelah resusitasi inisial, sumber perdarahan dapat dicari dengancara angiogram, perdarahan dapat terkontrol sementara dengan embolisasi angiographic atauinfuse vasopressin. Segmental colectomy dilakukan 12-24 jam kemudian.
Intraoperatif
Intervensi pembedahan yang diperlukan memiliki persentase yang kecil pada kasusperdarahan SCBB. Pilihan dilakukanyya tindakan bedah tergantung dari sumber perdarahan yang telah diidentifikasi pada saat preoperative sebelumnya. Setelah itu baru dapat dilakukan segmental colectomy.
Jika sumber perdarahan tidak diketahui, dilakuakan endoscopy saluran cerna bagian atas. Jika tidak berhasil lakukan intraoperative pan-intestinal endoscopy dan jika gagal, lakukansubtotal colectomy dengan end ileostomy
 Postoperatif
  Hipotensi dan syok biasanya terjadi akibat kehilangan darah, tetapi tergantung daritingkat perdarahan dan respon pasien. Syok dapat mempresipitasi infark miokard, kelainan cerecrovaskular, gagal ginjal dan gagal hati. Azotemia biasanya muncul pada pasien dengan perdarahan saluran cerna.
Komplikasi pembedahan
  Komplikasi dini postoperative yang paling sering adalah perdarahan intra abdomina dan anastomose, ileus, obstruksi usus halus mekanik, sepsis intraabdominal, peritonitis local dandiffuse, infeksi luka operasi, Clostridium difficile colitis, pneumonia, retensi urin, infeksi saluran kemih, deep vein thrombosis, dan emboli paru. Sedangkan komplikasi lanjut biasanya muncul lebih dari 1 minggu setelah operasi, yaitu sriktur anastomosis, hernia insisional, dan incontinens.

4.9 Prognosis
  Identifikasi letak pendarahan adalah langkah awal yang paling penting dalam pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat secara langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak perdarahan yang tepat telah sangat meningkat dalam tiga dekade terakhir, 10-20% dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan sumber pendarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi persentase kasus perdarahan saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Agus, Priyanto, 2008. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika
  2. Anand, B.S., 2011. Peptic Ulcer Disease, Bayler College of Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/181753-overview#a0156 (Accesed 1 Mei 2011)
  3. Caestecker, J.d., 2011. Upper Gastrointestinal Bleeding Clinical Presentation, Hahnemann University. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/187857-clinical#a0216 (Accesed 1 Mei 2011)
  4. Djojoningrat, D., 2006. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Dalam: Sudoyo, A.W., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: 4th ed. Vol 1. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 289 – 292.
  5. Djojoningrat D, Hardjodisastro D. Ileocaecal ulcerogranulomatous lesions: Etiopatho- genetic aspect in Jakarta Indonesia. J Gastroenterol Hep;15(suppl):S27.
  6. Dubey, S., 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam: Greenberg, M.I., et al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta: Penerbit Erlangga, 275.
  7. Jubril, N., et al.,1992. Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas di Bagian Penyakit Dalam RSU dr. Jamil, Padang. Dalam: Sriwidodo. 1992. Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: Grup PT. Kalbe Farma, 26-28.
  8. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
  9. Savides TJ. Acute lower GI bleeding. In: Grendel JH, editor. Current diagnosis & treatment in gastroenterology. London: Prentice Hall International; 1996. p. 61-72.
  10. Putra, D.S., 2009. Endoskopi Saluran Cerna. Available from: http://www.dr-deddy.com/artikel-kesehatan/105-endoskopi.html (Accesed 1 Mei 2011)
  11. Soeprapto, P., et al., 2010. Kegawatdaruratan Gastrointestinal Dalam: Juffrie, M., et al. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi: 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 27 – 50.


3 comments:

  1. Thanks sob materi'y bagus n ney sob blog Q lo u mau kunjungi My Blog at http://aanborneo.blogspot.com/....
    salam kenal.. :)

    ReplyDelete
  2. Mantap dokter...terimakasih....

    ReplyDelete